'Teruntukmu'
Kuroko no Basket by Fujimaki Tadatoshi
This Story by Akashiki Kazuyuki
Genre : Romance, Hurt/Comfort
Rated : T
Pairing : AoAka, Slight : KiAka, MayuAka, AoMomo
Warning : AU, OOC, Sho-Ai, Typo bertebaran
A/N : Halo semuanya~ Saya bawa cerita baru lagi nih. Untuk dicerita ini Akashi versi ore ya. Dan dicerita ini Akashi sudah bekerja dan Aomine masih berkuliah.
.
.
.
~ Happy Reading ~
.
.
.
"Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu. Maka dari itu aku akan meninggalkanmu."
.
.
.
Menjalani kehidupan bersama sang kekasih memang tidak selamanya bahagia. Meski mereka sebuah pasangan yang sudah menjalin kasih lebih dari lima tahun, tetap saja ada lika-liku cinta yang harus mereka hadapi. Terlebih mereka mempunyai kesibukan yang berbeda. Hal ini tidak luput dari kehidupan pasangan kekasih Aomine Daiki dan Akashi Seijuurou. Setelah berpacaran kurang lebih 3 tahun terhitung sejak mereka tahun pertama di sekolah menengah atas, mereka pun memutuskan untuk tinggal bersama di apartemen kecil namun nyaman bagi mereka. Mereka kini sudah menjalani kehidupan bersama hampir mencapai dua tahun. Akashi pikir kehidupannya dengan Aomine akan berjalan baik-baik saja. Namun tetap saja sepintar-pintarnya seorang Akashi ia tidak akan mampu memprediksi kehidupannya di masa depan. Hanya saja menurutnya, asal ia dan Aomine saling menghubungi dan tidak kehilangan komunikasi satu sama lain, kehidupan mereka akan baik-baik saja.
"Maaf ya Daiki, sepertinya untuk Sabtu ini kita tidak bisa menghabiskan waktu berdua lagi,"
"Hmm," yang diseberang menyahut malas. Akashi tidak heran, sebab memang inilah sifat kekasihnya.
"Aku akan menyelesaikan urusan ini secepatnya dan pulang ke rumah, oke?" Akashi tak mendengar jawaban selain suara menguap cukup keras dari seberang sana. "Daiki? Jangan hanya bermalas-malasan saja. Cepat keluar dari kamar, mandi dan sarapan," lagi, Akashi tak mendengar sebuah jawaban selain suara decakan kecal diseberang sana.
"Seijuurou, cepat sudahi teleponmu," Akashi menoleh cepat ketika sang ayah menegur dari belakang. Dan tak lama suara seseorang memanggil nama lengkapnya yang mengharuskan ia untuk menghentikan panggilan dengan sang kekasih lebih cepat.
"Maaf Daiki, kututup dulu teleponnya. Ingat, jangan lupa sarapan. Aku sudah berusaha menyiapkannya pagi sekali tadi," kemudian Akashi menutup teleponnya segera dan menghampiri wanita yang memanggil namanya beberapa detik yang lalu, yang kemudian disusul sang ayah di belakangnya.
.
.
.
"Daiki, kau belum mandi?"
"Setidaknya aku telah sarapan seperti perintahmu tadi," Akashi tidak membalas lagi. Ia memperhatikan Aomine dengan pakaian tidurnya semalam -kaos putih tanpa lengan dan celana pendek berwarna coklat yang masih melekat ditubuhnya.
"Maaf ya, Daiki. Lagi-lagi aku sibuk di hari Sabtu ini,"
"Yah asal kau cepat menyelesaikan urusanmu dan segera pulang aku tidak masalah," Aomine sibuk mengunyah makanan yang dibawa Akashi. Akashi tersenyum dengan sifat Aomine yang perhatian.
"Baiklah, minggu depan aku akan usahakan lebih cepat pulang dibanding hari ini,"
"Jadi Sabtu depan kau juga sibuk?" nadanya terdengar tak suka. Akasih mengangguk mantap.
"Begitulah. Tapi aku berjanji untuk Sabtu setelahnya aku akan mengambil cuti dan akan menghabiskan waktu denganmu di rumah,"
"...Terserah,"
'Drrrtt! Drrrtt! Drrrtt!'
Perbincangan mereka terpaksa terhenti begitu salah satu handphone di atas meja makan bergetar. Aomine meraih handphone itu cepat dan mengangkatnya. Ia bangun dari duduknya dan menjauhkan dirinya dari Akashi.
Akashi memperhatikan kekasihnya dari belakang. Terkadang Akashi bertanya-tanya, kenapa orang dengan tingkah seperti Aomine mau mengambil kegiatan lain selain perkuliahannya. Meski kegiatan yang diambil kekasihnya tidak jauh dari basket, tetap saja ini membuatnya sedikit senang. Setidaknya kegiatan yang dijalani kekasihnya tidak hanya berputar pada kuliah, pulang, makan, dan tidur saja.
"Sudah selesai menelponnya?" Akashi bertanya ketika Aomine kembali ke tempatnya ia duduk. Hanya dehaman kecil yang Akashi dengar. Aomine kembali melanjutkan memakan makan malamnya yang tertunda tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi.
.
.
.
Seminggu kemudian...
"Daiki, kau sudah bangun pagi sekali?" tanya Akashi ketika pemuda dim itu sudah menanggalkan pakaian tidurnya dengan pakaian kaos berwarna biru tua dan celana jins hitam.
"Ya, sedang ada urusan dengan tempat aku mengajar basket," tanpa menatap sosok yang bertanya, Aomine sibuk mengemas barang-barang yang akan dibawanya ke dalam tas ranselnya.
"Begitu," sepasang rubynya menatap Aomine menyampirkan salah satu tali ranselnya pada bahu sebelah kanannya.
"Jadi kau tidak perlu terburu-buru pulang dan selesaikan saja urusanmu. Sebab mungkin hari ini aku akan pulang telat,"
Dingin. Itu yang Akashi rasakan ketika Aomine berbicara. Tapi Akashi berusaha tak mempermasalahkannya. Mungkin saja ini hanya perasaannya semata.
"Oke. Tapi aku tak sempat menyiapkan bekal untukmu. Aku tak tahu kau akan pergi sepagi ini,"
"Tak perlu. Lagipula tak akan kumakan nantinya," Akashi tersentak. Ia mengangkat kepala dengan surai merahnya dan menatap wajah dingin kekasihnya.
"Daiki?"
"Hmm?"
"Tidak apa-apa," Akashi menyunggingkan senyum kecil, "Semoga harimu menyenangkan,"
"Ya,"
.
.
.
Akashi tak tahu apa yang membuat kekasihnya sedikit berubah belakangan ini. Aomine akhir-akhir ini lebih sering pulang telat dan meninggalkan makan malam bersamanya. Padahal yang ia tahu, jadwal kuliah dan jadwal mengajar basket Aomine tidak sepadat itu. Bahkan ketika mereka sedang bersama di apartemen kecil mereka, Aomine selalu sibuk memperhatikan layar komputernya dan tak jarang tak menjawab pertanyaannya.
"Daiki, kau sibuk," sebuah pernyataan meluncur pelan dari bibir tipis Akashi. Akashi memperhatikan punggung tegap yang membelakangi dirinya dan masih sibuk memfokuskan penglihatannya pada layar komputer.
Tak ada jawaban. Akashi pikir Aomine tak mendengar pernyataannya. Namun saat Akashi hendak menyentuh pundak kekasihnya sekedar memberitahukan kehadirannya, Aomine membalas perkataannya beberapa detik yang lalu.
"Mungkin tak sesibuk dirimu yang sudah mampu bekerja dan memimpin perusahaan besar. Tapi asal kau tahu saja, perkuliahanku cukup menyita waktuku beberapa hari ini,"
"Iya aku tahu kok. Maka dari itu aku membuatkanmu susu hangat agar setelah ini kau dapat tidur nyenyak,"
Sepasang alis milik Aomine Daiki saling bertaut. Kesepuluh jarinya ia istirahatkan barang sejenak kemudian memutarkan badannya 180 derajat dengan kursinya.
"Kau tak membuatkanku kopi?"
"Untuk apa? Kopi hanya membuatmu tak bisa tidur. Aku tak ingin kau kekurangan jam tidurmu, Daiki,"
Aomine menggertakkan giginya, sedikit erangan ia lontarkan guna menyadari sosok di depannya bahwa yang ia lakukan salah.
"Kau selalu saja begitu, Sei. Kau tak pernah menanyakan apa kemauanku dan selalu bertindak sesuka hatimu,"
Akashi mengernyit. Tak mengerti maksud Aomine. "Apa maksudmu? Apa tak membuatkanmu secangkir kopi membuatmu sebegitu marahnya?"
Lagi-lagi Aomine tak langsung menjawab. Aomine menutup matanya mencoba menghilangkan segala amarahnya yang tiba-tiba saja muncul ke daratan.
"Sudahlah. Letakkan saja susunya di meja sana," Tangannya ia arahkan pada sebuah meja kecil di samping tempat tidur mereka. Ia kemudian kembali memutar badannya seratus delapan puluh derajat menghadap layar komputernya.
Akashi menaruh cangkir putih berisi susu coklat di atas meja samping tempat tidur. Ia kemudian mendudukkan dirinya di pinggiran kasur sembari menatap punggung kekasihnya yang sudah menyibukkan dirinya kembali dengan mengetik sesuatu yang Akashi tak peduli itu apa.
"Daiki," sebuah panggilan kecil kembali Akashi lontarkan. Akashi tahu Aomine pasti mendengarkan panggilannya. "Besok Sabtu aku luang. Bagaimana kalau Sabtu ini kita keluar?"
Ada helaan nafas terdengar sebelum sosok yang ia ajak bicara menjawab, "Maaf Sei, Sabtu ini aku sibuk. Lakukan di lain waktu saja ya,"
Tanpa menoleh pada sosok di belakangnya sedikit pun. Aomine melanjutkan kegiatan mengetiknya. Akashi menatap kekasihnya dengan pandangan sendu.
.
.
.
Seharusnya Akashi tak keluar pada jam makan siang ini. Seharusnya ia biarkan saja dirinya yang kebosanan dengan setumpuk dokumen di atas mejanya. Seharusnya ia santai saja memakan bekal di ruangannya. Seharusnya itu yang ia lakukan jikalau dirinya tahu bahwa dengan ia keluar seperti sekarang ini ia akan bertemu dengan sosok mantannya dulu. Sungguh ia pasti tidak bisa lepas dari jeratan dirinya seperti sekarang ini.
"Tak heran memang melihatmu sukses seperti sekarang ini," ucapnya datar ketika mereka tak sengaja berpapasan di tengah jalan saat Akashi hendak merilekskan pikirannya di luar barang sebentar. Akashi tahu kalau mantan kekasihnya tidak biasa dengan berbasa-basi seperti sekarang ini.
"Maaf Mayuzumi-san, aku tidak bisa berlama-lama disini. Ada sesuatu yang harus kulakukan," namun nihil. Ketika Akashi mencoba melarikan diri secara halus, sosok bersurai abu-abu itu malah menggenggam pergelangan tangannya erat.
"Mayuzumi-san?"
"Apa kau tak ingin kembali denganku?" tatapan kosong yang tak pernah luput dari wajahnya berubah menjadi tatapan memohon. Ia meremas sedikit pergelangan tangan Akashi untuk sekedar memberitahunya bahwa ia menginginkan pemuda itu.
"Mayuzumi-san, aku..." ketika Akashi sedang bimbang melontarkan kata-kata selanjutnya untuk orang di hadapannya, sebuah suara berat menginterupsinya.
"Maaf, bisa kalian minggir. Kalian menghalangi jalanku,"
Akashi menolehkan kepalanya ke arah sumber suara cepat. Matanya membulat melihat sosok yang tak lagi asing di kehidupannya.
"Daiki-"
"Ah maaf Akashi, aku tak berniat mengganggu reunimu dengan mantan kekasihmu. Jadi setelah menyingkir dari jalanku, kau bisa melanjutkan apa yang ingin kalian berdua lakukan,"
"Daiki, tidak-"
"Ya, kami akan menyingkir. Maaf menghalangi jalanmu," Akashi tak tahu apa yang membuat dirinya bisa semudah ini ditarik oleh lengan kurus milik Mayuzumi Chihiro. Mayuzumi dengan mudahnya menarik dirinya untuk bergeser dari tempatnya untuk memberikan akses jalan pada pemuda dim dihadapannya.
"Daiki..."
"Aku tak tahu kalau waktu sibukmu itu ternyata kau gunakan untuk bertemu dengan mantanmu," kemudian ia kembali melangkahkan kakinya ke depan, menulikan semua pendengarannya pada sebuah teriakan yang memanggil namanya.
"Daiki, kau salah paham," Akashi berusaha berteriak. Tapi ia tak mampu, hanya isak tangis yang bisa ia dengar dipendengarannya. Ia ingin mengejar sosok yang berjalan mantap meninggalkannya. Memegang bahunya, memeluknya, serta menjelaskan semua kesalahpahaman ini padanya. Tapi ia tak bisa. Ada sepasang tangan yang mendekapnya dari belakang. Menghalangi dirinya pergi dari jangkauan mata abu-abunya.
"Tinggalkan dia, Akashi. Dan kembalilah ke pelukanku," bisik pemuda itu sambil mengeratkan dekapannya pada sosok mungil bersurai merah.
.
.
.
Aomine tak menyangka jadwal perkuliahan ternyata memang benar-benar menyita perhatiannya. Awalnya ia memang berniat ingin menyibukkan dirinya, tapi tak menyangka kalau akan semelelahkan ini. Salahkan dengan pikirannya yang kacau beberapa akhir ini. Dan sosok yang membuat pikirannya kacau hadir begitu sedetik pintu apartemennya ia buka. Daiki belum sempat mengucapkan kalimat 'aku pulang' tapi sosok merah itu melenyapkan salamnya dalam sekejab.
"Daiki, aku-"
"Sei, aku lapar, kau masak apa?" lagi, Aomine dengan sengaja memotong pembicaraan yang hendak dilontarkan kekasihnya kepadanya. Bukannya ia tak mau mendengar perkataannya barang sedetik saja. Hanya saja ia tahu Akashi hendak membahas apa. Dan ia tahu badannya yang cukup melelahkan ini tak mampu membahas pembicaraan rumit dengan Akashi sekarang ini. Maka dari itu ia berusaha mengalihkan pembicaraan Akashi.
"Aku belum memasak," ucapan pelan Akashi terdengar setelahnya. "Maaf, aku sedari tadi menunggu kepulanganmu disini,"
Alasan konyol.
"Masuklah ke dalam, Sei. Setelah ini aku akan memesan makanan dari luar saja,"
Akashi terlihat menurut dengan apa yang Aomine lontarkan. Ia melangkahkan kakinya pelan untuk masuk ke ruang tengah. Sedang Aomine melepas sepatunya sambil menimbang-nimbang makanan apa yang akan ia pesan nantinya.
Selang sejam kemudian, makanan yang Aomine pesan tiba. Sembari menunggu makanannya datang, Aomine memang sengaja untuk mandi terlebih dahulu. Hal ini ia lakukan untuk melewati masa canggung antara dirinya dengan Akashi selagi mereka menunggu datangnya makanan. Akashi sendiri tampak sedang memikirkan sesuatu sembari menyuap pelan makanannya. Tak perlu orang jenius pun Aomine tahu apa yang sedang dipikirkan Akashi saat ini. Apalagi kalau tidak menyangkut dengan kejadian siang tadi.
"Daiki, aku minta maaf," suaranya pelan. Akashi menundukkan kepalanya dalam. Sebenarnya Akashi tak tahu siapa yang salah pada hubungan mereka. Ini semua salah paham. Akashi patut disalahkan? Tidak. Hanya saja ia ingin mengalah. Akashi ingin bersikap lebih dewasa di depan orang yang dicintainya. Ia tak mau hubungan yang dibangunnya bersama Aomine selama lima tahun kandas begitu saja hanya karena sebuah kesalahpahaman.
"Jangan bahas itu lagi, Sei. Aku tak mau lagi mengingatnya," ucap Aomine pelan. "Habiskan makananmu dan setelah itu kita tidur," dan Akashi tahu setelah Aomine melontarkan kalimat itu, masalah yang mereka alami tidak akan selesai secepat itu.
.
.
.
"Daiki, apa Sabtu ini kau tidak bisa di rumah?" disela-sela waktu yang tersisa di pagi hari, Akashi menanyakan sesuatu kepada kekasihnya. Biasanya perkataan itu selalu diucapkan Aomine kepada dirinya. Tapi semenjak dua minggu yang lalu, Akashi lah yang selalu mengucapkan kalimat pernyataan itu.
"Aku sibuk. Apa aku harus berkali-kali mengucapkan kalimat itu padamu?" meninggikan suara di depan Akashi adalah hal terlarang yang seharusnya ia lakukan. Tapi entah kenapa satu bulan terakhir ini Aomine lebih sering melanggarnya.
"Sesibuk itukah dirimu sampai tak mau meluangkan waktu untukku? Tak apa tak keluar, di rumah saja cukup. Asal bersama Daiki..."
"Sei, kau yang memulainya duluan 'kan?" Dalam hati Aomine mengutuk dirinya sendiri yang tak bisa mengotrol emosinya sendiri. "Bukannya kau duluan yang selalu menolak ajakanku di hari Sabtu?"
Akashi mengedipkan matanya. Tak menyangka kalau hal sepele menurutnya akan dibahas oleh kekasihnya di waktu seperti ini. "Jadi Daiki balas dendam padaku?"
"Aku tak balas dendam. Aku hanya ingin kau merasakan betapa sakitnya diriku ketika waktu itu kau tinggalkan," kemudian Aomine pergi. Kembali meninggalkannya di ruang tengah sendirian.
.
.
.
"Seijuurou, bersikaplah profesional. Ayah tak ingin lagi melihatmu murung di rapat penting seperti tadi," lagi-lagi ia diingatkan.
Akashi sampai tak ingat kapan waktu kerjanya bisa sefokus seperti dulu. Akashi tak ingat kapan waktu kerjanya hanya untuk mengedepankan nama seorang Akashi. Yang ia sadari waktu kerjanya sekarang ia sudah tak bisa lagi berkonsentrasi pada apa yang direncanakan perusahaannya. Nama Aomine Daiki selalu terngiang-ngiang di setiap kesibukan kerjanya. Pertengkarannya dengan Aomine mungkin baru terjadi dua minggu belakangan ini. Tapi Akashi merasa ia tak lagi merasakan kehangatan seorang Aomine Daiki bertahun-tahun.
Ia salah. Semua memang salahnya. Salahkan dengan jadwalnya di hari Sabtu yang tidak bisa diganti dengan hari apapun. Karena jadwalnya itulah hubungannya dengan Aomine semakin merenggang. Akashi berusaha memperbaiki semua kesalahannya dengan meminta izin pada sang ayah untuk tidak bisa menunaikan kewajibannya di hari Sabtu selama dua kali berturut-turut. Dia pikir dengan begitu kehidupannya dengan Aomine akan kembali seperti semula. Ternyata ia salah.
"Kenapa Seijuurou? Apa semua kekacauanmu ini dikarenakan Daiki?"
Akashi tak langsung menjawab. Memang ini semua karena Aomine Daiki. Tapi Akashi tak bisa menyalahkan kejadian ini pada satu pihak.
"Maaf ayah, bisa beri aku waktu sebentar lagi untuk menyelesaikan kekacauan ini?"
"Ayah harap kau bisa dengan cepat menyelesaikannya. Ayah tak mau keadaannya justru akan semakin buruk,"
Akashi tersenyum mendengarnya. Ia menunduk sedikit kemudian pamit pergi dari hadapan ayahnya.
.
.
.
"Daiki, ternyata hari ini kau pulang cepat," Akashi tak menyangka kepulangannya siang ini sudah didahului oleh kekasihnya.
"Duduklah, Sei. Aku ingin berbicara denganmu," nadanya terdengar serius. Akashi sampai tak bisa mengira-ngira apa yang hendak Aomine ucapkan. Akashi menurut. Ia menarik kursi makan tepat dihadapan Aomine kemudian duduk disana. Akashi bisa melihat meski sebentar bahwa pemuda dim di depannya sempat menarik napasnya sebelum berbicara dengannya.
"Maaf Sei, aku rasa hubungan ini kita akhiri saja sampai disini,"
Akashi terdiam. Tak mampu lagi melontarkan sepatah kata pun. Entah kenapa matanya mulai terasa perih.
"Aku sudah tak mencintaimu lagi,"
.
.
.
~ TBC ~
.
.
.
Author Notes :
Maafkan saya tiba-tiba muncul justru dengan cerita baru. Ide ini tiba-tiba muncul dan takut keburu lupa makanya saya buat duluan. Saya gak ada niatan untuk mendiscontiue kan cerita lainnya kok. Jadi tunggu waktu updatenya dengan sabar ya.
Sekian dari saya, saran dan kritik tetap saya butuhkan untuk penulisan yang lebih baik ke depannya. Terima kasih.
Salam Cinta
_Akashiki Kazuyuki_