G-A-Z-E

Gaze(n). a steady intent look.

Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi

Warning: ada beberapa scene yang diambil dari manga/anime, but again, it's purely imagination, and I'm just thirsty for AkaKise interaction, typo masih terselip dibeberapa bagian.

.

.

.

Don't like, don't read, if you are kind enough, spare me a review if you like this fic xD


Chapter 1: Teiko


I. Friend

Berteman dengan kebanyakan siswa di Teiko bukan merupakan salah satu tugasnya sebagai serorang ketua OSIS. Tapi, Akashi menghitung kegiatan itu sebagai sebuah keuntungan. Tentu saja siswa yang dipilihnya untuk berteman bukan asal, ada kriteria tertentu yang ia sandangkan. Terdengar kejam dan licik –memang, dan tidak adil –tentu saja. Pemuda berambut merah itu tahu desas-desus yang sering tersebar tentangnya karena kebiaasaan itu. Walau begitu, ia tidak akan pernah benar-benar peduli menanggapi berita miring tidak berguna tentang dirinya.

Kata berteman untuknya dikhususkan untuk orang-orang yang punya atau bisa memberikan keuntungan pada sekolah. Suka atau tidak suka. Akashi hanya melakukan kewajibannya sebagai seorang ketua OSIS, membuat sekolah tentram dan tetap menghasilkan mendali, piagam ataupun piala untuk mengharumkan nama sekolah. Dua manik rubinya mengarah ke sebrang lain jendela. Memperhatikan lautan manusia yang ada di bawah, berpusat pada satu orang. Lengkap dengan teriakan melengking perempuan, bersahutan tanpa henti tiap kali ada senyum yang tertoreh dari pusat perhatian.

Kise Ryouta. Itulah si pusat perhatian yang membuat kebisingin di gerbang depan SMP Teiko. Akashi menganalisa keseluruhan profil fisik pemuda di sana dari jendela ruangan OSIS. Kise tinggi, mungkin lebih tinggi darinya, dia punya rambut kuning pirang, dan mata coklat. Menurut perempuan, si pirang itu tampan. Akashi mendengus kecil mengingat data yang satu itu. Tentu saja karena si pirang punya pekerjaan sampingan sebagai model. Keindahan wajah adalah hal trivial.

Kise aktif di berbagai klub olahraga, tapi punya kecenderungan untuk keluar beberapa bulan setelanya karena ternyata si pirang di bawah itu langsung bisa menjadi nomor satu di bidang olah raga yang dia mainkan dan si pirang itu mudah merasa jenuh.

Akashi menatap pemuda itu lekat. Mematri sosok Kise yang meninggalkan kerumunan. Angin mengayun dan bermain-main dengan rambut pirang itu. Rambut berwarna kuning cerah yang berpendar lembut diterpa sinar matahari, terlihat licin dan touchable – pasti akan terasa sangat halus di antara jemarinya. Lagi, wajah yang di atas rata-rata, dan tubuh tinggi. Akashi mendesah pelan. Kise Ryouta adalah target teman baru yang harus dijalinnya. Pada dasarnya, pemuda itu bisa punya influensi besar yang sangat berguna.

Pemilik nama Akashi itu kembali duduk di balik meja. Dia perlu berteman dengan Kise atau, lebih mudahnya, membuat mereka kenal satu sama lain. Hal yang sepertinya akan agak susah, tipe orang yang biasa punya reputasi seperti pemuda kuning itu cenderung sombong dan cuek. Semuanya sendiri, kurang lebih. Si kepala merah menyandarkan punggungnya ke penyangga kursi. Akan lebih mudah kalau seandainya Kise juga tertarik pada basket. Secara tidak langsung, Akashi bisa mengikat bakat Kise dan juga popularitas pemuda itu untuk digunakan demi kepentingan sekolah.

Beberapa hari kemudian, Akashi tahu kalau Dewi Keberuntungan jatuh cinta padanya. Nama Kise Ryouta terdaftar sebagai anggota baru di tim basket. Lebih beruntung lagi, si pirang itu ternyata cukup mudah didekati, dibanding imajinasinya.


II. Talent

Dentum bola yang memantul dan decitan karet sepatu mengisi lapangan. Akashi memeperhatikan tiap pemain yang berlari mengejar bola dalam diam. Midorima di sampingnya. Saat itu adalah masa evaluasi dimana dia selaku ketua setelah Nijimura harus memilih pemain reguler. Tentu saja beberapa nama sudah ada dalam kepalanya, tapi ada satu nama yang benar-benar harus diganti. Haizaki si pengacau. Kelakuannya yang seperti yanke sungguh mencemari nama klub basket dan Akashi yang merupakan ketua baru di tim tidak bisa tinggal diam.

Maka dari itu, si pemilik mata rubi itu berdiri awas di pinggir lapangan memperhatikan pergerakan anggota yang lain. Semua berjalan biasa, sampai dia melihat sekelebat rambut kuning itu lagi. Kise Ryouta sedang menunjukan kemampuannya di lapangan, mencoba melawan Aomine Daiki – Ace tim reguler. Si pirang itu bergerak lincah, kuat, dan yakin. Dengan pengetahuan minimnya tentang basket, Kise cukup percaya diri melaju di lapangan melawan Aomine yang dengan liar membuat jalan untuk memasukan bola ke ring.

Tapi Kise di tengah lapangan itu tidak mau kalah, dia melawan dan melawan dan melawan dan terus mencoba menggagalkan tiap gerakan Aomine. Kegigihan yang mengundang rasa penasaran Akashi. Dua manik merah yang lebih gelap dari warna rambutnya terkunci ke sepasang mata coklat – yang entah bagaimana bersinar emas makin lama dipandang. Dua bola mata yang memicing fokus pada bola, merefleksikan pertarungan. Keinginan untung menang, mengaung haus untuk diakui. Ambisi yang memancar jelas, berbinar tiap kali bola ada di tangan. Akashi mungkin tertegun, perhatiannya terpusat pada Kise Ryouta. Pada dua mata yang sedang nyalak melawan sesorang yang saat itu tingatnya jauh dari kemampuannya.

Pemandangan yang mempesona, di satu sisi. Indah, dan mengagumkan. Seperti singa atau macan yang lihai mencari mangsa, tanpa lelah memijak kakinya di lapangan. Melompat dari satu sisi ke satu sisi untuk mengejar bola. Rambut kuning yang berkilau keemasan terkena garis-garis sinar matahari dari jendela dan senyum penuh tantangan yang tidak pudar, a pure excitement. Tidak ada taktik, hanya adaptasi super cepat untuk memastikan buruannya ada di tangan. Bakat mentah yang benar-benar indah.

Akashi melihat pada papan latihan yang sedang digenggamnya. Tanpa ragu ia mulai menoreh beberapa nama yang akan masuk sebagai anggota utama untuk menghadapi kejuaraan mendatang.

Tim Regular

Akashi Seijuuro

Midorima Shintarou

Aomine Daiki

Murasakibara Atsushi

Kuroko Tetsuya

Kise Ryouta

Beberapa hari kemudian, nama itu diumumkan. Haizaki datang padanya, mengancam dengan gaya khas preman, liar dan kasar. Tapi Akashi hanya memandang dingin, merendahkan. Dia jauh lebih percaya pada bakat mentah Kise Ryouta dibanding mantan anggota regular di depannya yang lebih sering berprilaku seperti sampah masyarakat.

Bertahun tahun kemudian, Akashi tahu kemampuannya dalam merekrut orang adalah yang terbaik.


III. Breeze

Beberapa minggu menjelang ujian semester, Akashi menyamankan diri di salah satu meja di ruang perpustakaan. Dia berharap anggota first-string yang lain juga belajar, terutama Aomine dan Murasakibara serta Kise. Akan jadi masalah besar kalau ada salah satu dari mereka yang tidak lulus. Pemuda itu menaruh beberapa buku yang dibawanya ke atas meja. Gerakannya terhenti sebentar ketika melihat sosok orang di sebrangnya. Kepala kuning yang sedang menunduk dan beberapa buku yang berhambur terbuka di sekitarnya. Akashi tersenyum kecil, sepertinya dia tidak perlu terlalu khawatir soal Kise.

Dari sudut duduknya, permata rubinya sekali lagi menangkap kilat di dua mata coklat terang yang berpendar keemasan –Akashi bersumpah mata si pirang punya cara tersendiri untuk memantulkan warana emas yang mimikat.

Akashi membuka bukunya tanpa suara. Bahkan orang di depannya tidak sadar, si pirang itu terlalu fokus pada bagian narasi di soal bahasa inggris. Ada beberapa buku sejarah dan matematika di sampingnya. Akashi memperhatikan semua detail yang bisa ditangkap matanya lalu tersenyum kecil. Dia tertawa pelan, bahkan tidak terlalu terdengar seperti tawa. Kise Ryouta sepertinya cukup sadar saat pelatih mengumukan tentang pertandingan nasional dan Akashi mengapresiasi keseriusan si pirang di depannya.

Kise yang mendengar kekeh kecil itu melihat sekilas tanpa melepas pensilnya. Mata coklat keemasan itu terangkat sedikit, langsung bertemu dengan mata merah milik Akashi. Ada raut kaget di wajah si pirang.

"Eh- Akashicchi!" ujarnya menahan nada terkejut yang berbalut girang ketika melihat si kepala merah. Akashi tersenyum tipis dan mengangguk sekilas, menyapa salah satu anggotanya di tim basket itu dengan gesture khas.

"Kalau ada yang tidak kau mengerti, kita bisa belajar bersama," tawarnya. Buku yang dibuka adalah buku yang sama di depan si pirang. Guru bahasa Inggris di kelas mereka sama, pada dasarnya. Karena itulah sumber yang mereka baca sama.

Sebuah kesamaan yang baik. Pada akhirnys mereka berdua bertukar pikiran prihal soal-soal yang ada di buku. Walaupun si pirang itu kadang malah lebih sering membuatnya kesal selagi mereka belajar bersama, Kise cerewet kalau berhubungan dengan sesuatu yang disukainya. Dan dari semua pelajaran, bahasa Inggris adalah kesukaannya. Akashi akhirnya harus beberapa kali mengernyit ketika mereka beda pendapat.

Kise itu keras kepala, dan tidak segan untuk berargumen tentang apa yang dipikirnya benar. Bagus untuk diskusi, walau begitu. Akashi menikmati waktu mereka di perpustakaan – dan bagaimana gumaman pelan lagu yang dibawa Kise membuatnya tenang.


IV. Affection

Jadi ketua OSIS terkadang membuatnya pulang terlamabat. Akashi berjalan di tengah lorong sepi sekolah. Rapat, laporan, dan proposal menghambat jadwal pulang normalnya sampai dua jam. Akibatnya, latihan basket khusus tim regular harus ditiadakan karena dia tidak bisa langsung memantau dan Midorima juga harus ikut terjebak dalam rapat. Tapi beruntungnya, si kepala hijau bisa pulang lebih awal. Pekerjaannya sebagai wakil ketua sudah selesai dan Akashi bukan seorang yang tidak berkemanusiaan untuk menahan orang istirhat ketika itu adalah hak mereka.

Pemuda itu berjalan dari ruang OSIS melewati kelas dua lalu menuju tangga. Rute paling sederhana dan paling cepat yang akan mengantarnya ke gerbang sekolah. Sampai sekelebat warna kuning cerah yang familiar tertangkap matanya. Langkahnya berhenti dan dia mundur beberapa langkah, mengintip kelas dimana helaian warna kuning cerah itu menangkap rasa penasarannya, lagi. Warna yang berpendar mengkilap di bawah sinar temaram matahari yang samar-samar masuk ke dalam kelas. Dan angin lembut yang menerpa ujung-ujung helain itu.

Rasanya dejavu – lagi-lagi Kise. Akashi menyunggingkan senyum kecil. Kise Ryouta menarik, memang. Dan Akashi tertarik pada sosok pirang itu, pun dia tidak begitu yakin bagian mana yang membuatnya tertarik.

Menurut anggota regular, Kise itu berisik, satu point yang paling sering di bold oleh mereka secara keseluruhan. Kise itu tidak bisa diam, satu point lain yang akan diikuti dengusan kesal Aomine. Kise itu sangat manja, satu point yang akan ditambahkan Kuroko. Dan Kise itu keras kepala, satu point yang akan Akashi tambahkan khusus untuk mendeskripsikan si pirang.

Tapi kalau dipikir lagi, mungkin karena pemuda itu bersinar dengan cara yang tidak pernah dia kenal. Seperti saat ini, tertidur di atas meja, terlihat sangat tenang, dan mempesona. Akashi menahan nafasnya sejenak. Dia masih menatap wajah tidur itu dalam diam, berfikir. Mungkin karena senyum yang selalu mengelantungi wajah si pirang. Senyum manis dan ramah yang sering diumbar pada siapapun yang dia temui. Sebuah senyum yang akan terlihat lebih hidup ketika Kise ada di tengah atau pinggir lapangan basket dan bersenda gurau dengan anggota tim yang lain. Mungkin juga karena cerah dan berisik yang dibawanya ke tim mereka adalah sesuatu yang baik. Kuroko yang tidak berepreksi pun kadang mengulum senyum geli melihat tingkah laku Kise.

Akashi menggerakan tangannya, memindahkan helai rambut yang menutupi mata si pirang. Kise masih lelap dalam tidurnya. Akashi mentap wajah itu untuk beberapa lama lagi, sebelum sadar ketidaksopananya. Memandangi orang yang sedang tidur seperti itu, Akashi menggeleng kecil. Dia lalu memberi sentilan cukup keras di dahi si pirang. Sukses membuat si pirang gagap dan melihat ke sekitarnya seperti orang terkejut, wajar memang. Dengan seluruh kemampuannya menahan diri, si kepala merah menahan senyum kecil di ujung bibirnya.

"AHH! Akashicchi!" si pirang itu memekik kaget lalu mengerjap dan mengusap kantuk di matanya. "sekarang jam berapa?" lanjutnya sembari menguap kecil.

Kise Ryouta seperti manusia yang datang dari dimensi lain untuknya. Akashi akhirnya menarik sudut bibirnya untuk sebuah senyum yang hampir tak terlihat mata dan melihat jam.

"Jam 4, Kise. Kau sepertinya ketiduran," ujar si ketua OSIS kalem, menurunkan tangannya untuk memperhatikan Kise yang langsung panik mendengar angka dari jam di tangannya.

"ASTAGA, aku akan dibunuh!" dan setelah mengatakan sampai jumpa, Kise langsung sibuk dengan ponselnya, dan entah kenapa, Akashi hanya menikmati bagaimana matanya selalu menangkap keindahan itu, pipi pualam yang lembut dan bulu mata lentik, sangat indah, lalu mata kecoklatan yang bersinar keemasan.

Kise berlari duluan keluar kelas, menggumam soal terlambat datang ke pemotretan dan dimarahi menejer. Ketika bayangan si pirang itu menghilang, Akashi mengusap ujung jari yang menyentuh kulit ivory milik si pirang.

Ah, Kise Ryouta jauh lebih indah dari lukisan yang banyak tergantung di rumahnya.


V. Twisted

"Zettai wa boku da." Matanya nyalak terbakar api, keinginan, kemenangan, kesempurnaan. Akashi Seijuuro dengan dua mata heterokromiknya memandang semua anggota regular tim basket Teiko yang hanya menatapnya balik dengan sorot asing. Mereka semua terdiam, takjub dan terkejut. Takut mungkin jadi perasaan yang paling mendominasi. Aura yang dikeluarkan dari Akashi saat itu benar-benar berbeda. Sesuatu yang lebih gelap, arogan. Seperti neraka baru saja diangkat dan Akashi punya kemampuan untuk mengendalikannya.

Mereka semua terkejut dengan perubahan mendadak itu. Dua mata yang juga menguarkan hawa membunuh untuk siapapun yang menentangnya. Keringat dingin turun perlahan di tiap tengkuk orang di sana. Enam orang lain yang hanya memandang dalam diam, kengerian yang tidak bisa mereka pungkiri.

Sosok Akashi selalu tegas, berwibawa, tapi sosok merah yang ada di depan mereka adalah sesuatu yang lain. Merah yang benar-benar gelap, berbahaya.

Latihan kembali dilanjutkan untuk setengah jam. Kuroko dan Midorima serta Momoi mencoba berbicara dengan Akashi. Tapi pembicaraan itu tidak berbuah, begitupula ketika Murasakibara dan Aomine mencoba mencari tahu apa yang salah dengan ketua mereka. Akashi bergeming, memamerkan senyum kecil, runcing menusuk –lebih mirip seringai, dan tanpa berkata apa-apa langsung membuat dua raksasa itu ciut nyali. Kise hanya memperhatikan dari sudut lapangan. Mengenal Akashi selama empat bulan terakhir, sosok yang sedang diawasinya itu.

Sampai akhirnya latihan selesai dan mereka satu persatu meninggalkan lapangan. Akashi benar-benar wujud yang sangat mengintimidasi, sangat ambisius dan sangat arogan. Dua mata beda warna yang terang dengan kobaran api neraka, begitu penjelasan midorima yang ditanggapi sorot tajam si kepala merah. Kuroko mengehala nafas dalam ketika dia meninggalkan lapangan dengan Momoi dan Midorima, Akashi sama sekali tidak bisa diajak bicara seperti biasanya. Benar-benar berbeda.

Waktu itu, hanya tinggal Akashi dan Kise. Si pirang yang masih tertegun dan terkejut dengan perubahan si kapten tidak tahu harus bereaksi apa. Dia memang tidak terlalu dekat dengan Akashi. Tapi Kise menjadikan pemuda rambut merah itu sebagai panutannya. Di kursi panjang itu. Kise mengambil tasnya dan menatap Akashi yang masih diam memegang bola.

"Akashicchi, kau baik-baik saja…?" walaupun ragu, Kise menepuk pundak Akashi, pelan dan tidak mau menganggu, ada rasa khawatir yang nyata. Mungkin rasa takut pada perubahan yang terlalu drastis. Si pirang itu menegarkan dirinya, Akashi pernah beberapa kali jadi mentornya dalam pelajaran dan basket, walau intensitasnya tidak sedekat si emperor dengan mentornya yang satu lagi.

Akashi menatap balik si pirang, masih dengan wajah datarnya. Lalu seringi tipis, tajam.

"Aku baik-baik saja, Ryouta. Dengan semua kemenangan akan ada di tanganku," kalimat itu penuh determinasi, pengetahuan akan kemenangan dan keperyacaan diri yang tidak bisa diragukan. Ada shock, mungkin rasa asing, yang terpancar di bola mata Kise sebagai balasan perkataan Akashi. Seperti anggota lainnya, dia menatap Akashi dalam kebingungan.

Namun, tidak seperti menghadapi anggota yang lain, Akashi mengerenyit melihat sorot itu. Satu bagian dalam dirinya seperti ditempeli besi panas, sang emperor yang kini muncul mengatup bibirnya. Beberapa detik kemudian, rasa asing di mata si pirang itu pergi dan Kise walaupun kelihatan bingung menggaruk belakang kepalanya dan menyinggungkan senyum lebar.

"That's not something I can't argue, though," ujarnya. Pemuda itu terseyum, seperti anak kecil yang tertangkap basah berbuat nakal, melakukan sesuatu yang mereka sukai tapi tidak mau diakui secara gamblang. Kise menarik tangannya dari pundak si pemilik mata dwi warna itu, "Akashicchi itu, luar biasa- uhm, sampai jumpa besok." Ada cengir salah tingkah bergelayut di bibir si pirang sebelum dia berbalik dan keluar dari lapangan. Cengiran khas bocah yang familiar, tidak ada sorot asing di mata si pirang. Hanya seperti pandangan seorang anak kecil yang terkagum karena sesuatu yang dia suka itu sangat luar biasa. Akashi mendengus kecil, ada sesuatu yeng menggelitik dari ucapan si pirang.

Malamnya, Akashi memperhatikan dirinya di depan cermin. Menatap jelas dua mata yang berbeda warna. Warna merah pekat seperti darah, penuh intimidasi dan membunuh di satu bagian. Lalu, warna kuning keemasan, penuh ambisi,dominasi, dan keinginan di bagian lainnya. Jemarinya menyentuh refleksi warna mata barunya di kaca. Mengusap pelan warna kuning yang bersinar di bawah cahaya lampu. Terang dan mengkilap. Akashi mengerjap sekali. Dia ingat warna itu. Golden yellow, sebuah warna royal yang permukaannya hanya merepresentasikan satu makna. Keagungan.

Mata yang penuh ambisi, dan selalu mengincar kemenangan. Warna yang menunjukan kekuasaan.

[dan tidak lama setelah itu, Akashi sadar bagaimana ia selalu menganggumi warna mata si small forward yang berdiri penuh ambisi di atas lapangan.]


Next Chapter : High School

Stay Tune! Thank you for visiting :3