Tak Ada Yang Spesial Dariku
.
.
.
.
.
.
.
Selepas dari presentasi project di kantor, Naruto sebenarnya ingin langsung pulang untuk menenangkan pikirannya. Namun disinilah kenyataannya mereka berdua sekarang, mereka yaitu Naruto dan Hinata tengah makan Ramen Ichiraku, kedai favorit Naruto sejak kecil. "Bagaimana presentasinya tadi sayang?" Hinata yang merasa kekasihnya menjadi pendiam berinisiatif membuka percakapan. "Lancar Hime, seperti sebelum-sebelumnya, hehehe" sahut si kuning dengan sedikit candaan.
"Baguslah sayang, setelah ini kita mau kemana? Sekarang giliranmu usul tadikan aku yang mengusulkan makan disini."
"Bagaimana kita langsung ke rumah Hime?" Usul Naruto karena saat ini ia merasa tidak bersemangat untuk kemanapun.
"Tak biasanya, ada apa Sayang? Apa ada pekerjaan yang harus diselesaikan?" Tanya Hinata heran.
"Tak ada Hime, aku hanya ingin istirahat"
"Baiklah, kita pulang." Hinata berdiri dan memanggil pelayang di kedai Ichiraku tersebut dan bertanya total harga makanan mereka dan membayarnya. "Ayo pulang sayang" ajak Hinata dengan mengandeng lengan kekasihnya."
Suasana hening diperjalanan menuju rumah mereka berdua, dan hal tersebut tak seperti biasa. Biasanya Naruto akan mengeluarkan candaan kecil yang membuat Hinata tertawa lebar.
"Sayang, bagaimana tentang permintaan ayah?"
"Tentu saja kita akan ke Tokyo Hime." Jawab Naruto tak semangat sambil focus menyetir mobil.
"Aku pesan tiket pesawat sekarang ya Sayang." Hinata tersenyum kearah Naruto berharap kekasihnya ikut tersenyum.
"Eh!.. Hime bagaimana dirumah saja kita pesan tiketnya?" Naruto yang melihat hinata membuka smartphone segera ia ambil smartphone tersebut.
"Kenapa Sayang?" Hinata heran apa yang sedang terjadi pada kekasihnya ini. Sebernya ia sedikit paham mengapa Naruto berubah menjadi diam ini.
"Tak apa, nanti saja ya Hime dirumah pesannya"
"Baiklah" Jawab Hinata pasrah dan menyandarkan kepalanya dipundak Naruto.
.
.
Sesampainya dirumah Naruto langsung menuju ruang komputer sedangkan Hinata ke kamar. Hinata yang merasa aneh kepada Naruto karena sikap diamnya yang entah datang dari mana, ia mencari-cari kekasih kuningnya setelah urusannya dikamar tuntas.
"Sayang ada apa denganmu?" Ucap anggota Hyuuga saat melihat Naruto berdiri didepan jendela dan menerawang langit.
"Ah.. Hime, tak da apa-apa" Pemuda tersebut kaget karena kegiatannya diketahui orang yang ada dipikirannya saat ini.
"Kau terlihat berpikir keras, apa yang kau pikirkan? Apa mengenai pekerjaan" Tanya Hinata berdiri disebelah sang kekasih.
"Sedikit Hime, hehehe" cengiran khas Namikaze Naruto keluar namun terkesan dipaksakan "Bukan, ini bukan masalah pekerjaan.
"Ku mohon katakanlah apa masalahmu Sayang, kita sudah sepakat untuk membagi suka duka kita bersama."
"Huffttt.. Baiklah Hime, aku memang tak bisa menyembunyikan apappun darimu. Sebenarnya aku khawatir dengan ajakan ayahmu yang ingin bertemu kita di Tokyo"
"Kenapa? Apa karena ini pertama kalinya kamu bertemu dengan ayah?" Hinata yang mulai memahami arah pembicaraan sang kekasih mengajaknya untuk duduk.
"Iya Hime, ini akan menjadi pertama kalinya. Kalau melihat ayahmu dimedia elektronik atau cetak aku sering melihatnya." Ungkap Naruto namun seberanya bukan karena hal itu, ia sudah banyak bertemu dengan orang yang memiliki berbagai sifat.
"Ayah tak sekeras seperti media kok Sayang. Kalau secara langsung ayah orang yang friendly" Ucap hinata menenangkan sang Namikaze dengan sedikit mengusap telapak tangannya.
"Semoga saja Hime, sebenarnya bukan itu yang aku khawatarikan. Namun mengenai hubungan kita"
"Hubungan kita kenapa Sayang?" Hinata merasa semakin jelas alas an mengapa Naruto sedari tadi menjadi cuek dan pendiam dan stress.
"Aku takut keluargamu tak menyetujui hubungan kita. Kau tahukan kau berasal dari keluarga bangsawan, anak dari Menteri Pertahanan Jepang. Sedangkan aku hanya Imigran Hime, dari keluarga miskin yang sekarang kedua orangtuaku sudah tiada. Bila boleh jujur sebenarnya aku tak pantas untukmu Hinata. Apa yang kau lihat dariku? Aku tak punya sesuatu yang bisa kau dan keluargamu banggakan." Naruto akhirnya mengungkapkan isi dikepalanya, bahkan ia sampai menangis.
"Hiks, hiks, hiks, jangan pernah berkata seperti itu Sayang. Aku bersamamu bukan karena hal materi atau apapun. Aku mencintaimu secara tulus, tak pernah aku melihatmu dari segi yang kau katakana tadi. Bagiku kau seperti matahari bagiku. Aku membutuhkanmu dalam hal apapun, tolong jangan pernah berkata seperti itu lagi, itu sangat menyakitkan" Hinata yang mendengar penuturan kekasihnya ikut menangis, ia memeluk erat sang pemuda dan semakin erat.
"Maaf Hime maafkan aku"
"Apapun yang terjadi aku akan tetap bersamamu. Seandainya kemungkinan terburuk yaitu keluargaku tak menyetujui hubungan kita. Aku akan tetap bersamamu, aku rela menginggalkan nama Hyuga untukmu" Ditengah pelukan meraka Hinata sudah membulatkan tekad bahwa apapun yang terjadi ia tidak akan meninggalkan pemuda yang tengah dipeluknya saat ini.
"Jangan Hime kumohon jangan lakukan hal tersebut" Naruto menenggelamkan wajahnya dileher Hinata setelah mendengar keputusan tersebut.
"Aku rela Sayang, asal kita bisa bersama."
.
.
Mereka berpelukan cukup lama, Hinata berusaha menenangkan Naruto yang saat ini tengah down.
"Jangan terlalu dipikirkan itu Sayang, apapun yang terjadi aku akan selalu bersamamu. Kau tak perlu khawatir"
"Baiklah"
"Bagaimana kalau kita berjanji Sayang?" Hinata mendorong sedikit Naruto agar pelukan mereka lepas. Lalu ia menatap dalam kekasihnya yang saat ini terlihat sedang memiliki beban yang berat.
"Berjanji apa Hime?" jawab Naruto pelan.
"Berjanji setelah dari Tokyo apapun hasilnya kita akan menikah"
"Menikah? Apa yang kau pikirkan? Menikah itu butuh restu orang tua!" Naruto terbelalak atas keputusan yang diambil Hinata. Namun sejujurnya ia juga merasa bahagia akan ucapan kekasih ayng sudah menemainya selama 4 tahun lebih terebut.
"Dapat atau tak dapat restu dari ayah, kita akan tetap menikah. Maukah kau berjanji itu Sayang?" Hinata kembali memeluk Nruto dengan erat untuk menujukkan bahwa ia sudah bulat akan keputusannya.
"Tentu Hime" balas Naruto ditengah pelukan erat meraka bedua.
"Aku yakin kita berdua pasti bisa melewati apapun Sayang."
.
.
Tanpa disadari ponsel Hinata berdering menandakan ada sebuah pesan yang diterima. Hinata bisa melihat tulisan "Ayah" yang mengiriminya pesan tersebut.