Archive Warnings applied. See the end of the first chapter to see the full warnings.

ENJOY! ;)


Against All Odds


Disclaimer:

Character © Masashi Kishimoto, 1999

Story © karinuuzumaki, 2017

Pairing: NaruSaku


EPILOGUE

Naruto tidak suka menerima kenyataan bahwa dirinya salah. Tentu, membuat kesalahan bukan hal baru dalam hidupnya. Namun sekali ini, kesalahan itu bukannya tak terprediksi sebelumnya.

Bagaimanapun Sakura telah berulang kali memperingatkan. Trauma tidak bisa sembuh begitu saja dengan kehadiran seseorang. Ia bukannya tidak mempercayai kata-katanya, pun bermaksud mengabaikannya. Ia telah berjanji akan menemui seseorang untuk memulai pengobatan, untuk berusaha sembuh seutuhnya. Hanya saja sekarang ia belum siap untuk memulainya. Dan jika pun ada sisa penyangkalan dalam benaknya, yang bersikeras mengatakan bahwa ia bisa sembuh dengan sendirinya, hal itu tidak ingin diakuinya.

(Sekalipun sisi penyangkalan itu memang ada. Perasaan bersalah ini adalah buktinya)

Hingga pada akhirnya hal buruk itu kembali terjadi, dan Naruto terpaksa menyudahi segala sangkal dalam dirinya. Semua yang dikatakan kekasihnya itu benar adanya. Bahwa kehadiran Sakura di sisinya membuat keadaan jauh lebih baik. Akan tetapi itu saja tak lantas membuat trauma dan serangan kepanikannya hilang dengan sendirinya.

Penyadaran itu datang seminggu pasca Naruto dan Sakura menuntaskan segala kemelut hubungan mereka. Di sepotong sore dalam perjalanan pulang, Naruto kembali mengalami sebuah episode serangan kepanikan. Harus diakui perasaannya langsung gundah tak keruan. Apalagi pemicunya adalah sesuatu yang tidak ia perkirakan. Sore itu, sekumpulan anak-anak menghampirinya ketika berpapasan di jalan. Sesuatu yang cukup sering terjadi setahun belakangan. Anak-anak selalu ingin berbicara dengan sang pahlawan, dan olehnya Naruto harus siap menanggapi celotehan mereka. Maka Naruto memasang senyum pahlawan terbaiknya, sembari merespons pertanyaan mereka seriang mungkin.

Tetapi kemudian seorang anak lelaki bertanya kepadanya, 'bagaimana rasanya bertempur di perang?' dan seketika pandangannya berubah gelap. (1)

Tubuhnya seketika kaku. Napasnya tertahan lantas membeku. Dalam sekejap mata ia seperti kembali ke masa itu. Darah, tangisan, kematian. Seluruh bayangan bengis kembali merasuki pikiran, dengan kejamnya mengambil alih sisa kesadaran. Beruntung episode paniknya kala itu tak berlangsung lama. Ia masih bisa menggapai kembali kewarasannya tanpa banyak menarik perhatian. Maka dengan segera ia menyudahi segala percakapan (sekalipun itu berarti harus mengabaikan sorot penuh kekecewaan dari wajah lugu mereka) dan pulang ke rumah.

Tidak apa-apa, ia masih bisa mengatasinya. Ia pernah mengalami hal yang lebih buruk dari ini sebelumnya. Hal itu yang terus ia katakan pada dirinya sendiri sembari memijat pelipisnya. Meski tak bisa ia pungkiri, kenyataan itu tetaplah mencengangkan. Bayangkan, ia nyaris kehilangan kendali di hadapan sekumpulan anak-anak.

Puncaknya adalah ketika kali pertama Naruto harus tidur sendirian setelah sekian malam selalu berdampingan dengan Sakura. Sekali itu, Sakura tengah didaulat untuk menjalankan misi di luar desa. Naruto sendiri tidak diikutkan karena kemampuannya tidak akan dibutuhkan dalam sebuah misi kemedisan. Memang selalu ada kalanya mereka tidak ambil misi bersama. Hal yang sangat biasa terjadi dalam lini pekerjaan mereka.

'Kau akan baik-baik saja?' begitu tanya Sakura ketika pagi itu Naruto mengantarnya sampai ke gerbang desa.

'Tentu saja.' jawab Naruto penuh keyakinan.

Dan memang benar pada awalnya semua baik-baik saja. Selepas mengantar Sakura, ia memulai harinya seperti biasa. Diawali dengan workout rutinnya. Menyelesaikan laporan tertulis dari misi sebelumnya. Menemui Hokage Keenam untuk mengikuti sesi tutornya. Harinya berjalan sebagaimana mestinya. Hingga pada akhirnya matahari mulai padam diculik oleh malam. Segala pertahanannya lantas runyam. Ia yang tadinya berbaring nyaman di kasurnya, tiba-tiba di hampiri oleh duka nestapa yang merajam. Seisi neraka kembali tercipta di atas kasurnya. Ia kembali melihat segalanya. Api, sekarat, ngeri, tercekat, mati, mayat. Bagaikan terikat tali yang sangat kuat, pikirannya kembali terjerat. Ia seakan dipaksa menyaksikan kiamat. Seluruh mimpinya yang keji hadir kembali. Dinginnya udara yang mengerat sendi, matahari yang tak bersinar lagi, segala harapan habis dilalap api. Seisi dunia sunyi. Teman-temannya tak bernapas lagi. Kekasihnya mati!

Naruto terhenyak dari mimpi buruknya. Matanya terbelalak ngeri, seketika tubuhnya hiperventilasi. Belum pula kesadarannya utuh kembali, rasa mual membawanya berlari ke kamar mandi. Perutnya seakan diaduk. Ia dipaksa memuntahkan segala isinya dari mulut. Baru ketika mualnya mereda, ia dapat mulai memikirkan mimpinya barusan. Mengingatnya saja sudah cukup membuat peluhnya berguguran. Tubuhnya gemetaran, jantungnya berdetak kencang tak keruan. Ia hanya bisa melipat lututnya, terduduk di depan pintu kamar mandinya. Sama sekali tak memiliki keberanian untuk kembali ke kasurnya.

Ia butuh minuman. Sebuah bisikan datang merasuki pikiran. Tentu saja alam bawa sadarnya langsung tertuju pada minuman. Ia butuh melupakan, dan cara tercepat untuk melupakan adalah dengan berada di bawah pengaruh minuman. Seluruh sel dalam tubuhnya seakan menjerit minta minuman, namun setengah mati bisikan setan itu ia lawan. Naruto menarik kepalanya, bahkan sesekali membenturkannya. Sisa malam itu ia habiskan dengan memegang erat kewarasannya. Karena butuh seluruh kewarasan dalam dirinya untuk tidak menenggak minuman.

Ketika Sakura pulang di petang hari berikutnya, Naruto menyambutnya dengan sebuah pelukan yang lebih kencang dari biasanya. Matanya nanar, seperti tak tidur semalaman. Sakura langsung mengetahui bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi tadi malam. Namun paling tidak, dia tak mencium jejak alkohol pada tubuh sang pemuda.

"Biarkan aku mandi dulu, oke? Lalu kita makan malam?" bisik gadis merah jambu itu dalam pelukannya.

"Aku tidak lapar…"

Sakura mengusap punggung Naruto.

"Baiklah. Kita tidur saja setelahnya?"

Dan dia mendapati Naruto mengangguk perlahan sebagai responsnya.

•••

Naruto dan Sakura berakhir terjaga di atas kasur mereka.

Sakura yang kini telah berbalut setelan tidurnya, berbaring nyaman di atas tubuh sang pemuda. Telinganya menempel di atas dada kekasihnya, mendengarkan detak jantungnya yang lamat-lamat mendayukan. Sementara Naruto sendiri tak henti membelai surai merah jambu. Sesekali bibirnya mengecup hangat mercu kepala gadis itu. Keduanya sama-sama terdiam, namun dua pasang mata mereka urung pula terpejam. Mungkin karena mereka sama-sama tenggelam dalam pikiran masing-masing. Meski satu yang pasti, mereka begitu menikmati sentuhan satu sama lain.

"Kau harusnya makan sesuatu, Sakura." Ujar sang pemuda setelah sunyi entah berapa lama. "Pasti kau lapar sepulang dari misi."

Kunoichi itu tertegun sejenak sebelum menghembuskan gelak singkat. Bahkan tanpa perlu kata-kata, Sakura tahu bahwa kekasihnya mengalami hari yang lebih melelahkan daripada sekedar misi. Kenyataan bahwa Naruto justru mengkhawatirkannya sungguh tak dinyana. "Sempat-sempatnya kau khawatirkan soal aku." balas Sakura dengan senyum tipis terkulum. "Kau sendiri tidak makan… Makanan yang kutinggalkan saja masih utuh di kulkas."

Napas Naruto menjadi berjeda, terselingi oleh gentar yang samar. "Aku tidak bisa makan. Semalam aku muntah-muntah." Jawaban itu kontan membuat Sakura menengadahkan wajahnya, menatap Naruto penuh kekhawatiran. Meski kemudian sang pemuda mencoba menepisnya. "Aku tidak apa-apa, kok. Hanya saja… aku kembali bermimpi buruk semalam."

Jika percakapan ini terjadi dengan orang lain, maka jawaban itu mungkin dapat terdengar melegakan. Namun Sakura sangat mengetahui kondisi Naruto sehingga jawaban itu justru menambah resah dalam benaknya. Sakura lantas bergerak mendekap erat tubuh kekasihnya. Membuat wajahnya berhadapan langsung dengan sisi kiri sang pemuda. Menghirup aroma tubuhnya, sebelum perlahan mengecup bahunya yang lebar.

"Kau mau membicarakannya?"

"Kurasa tidak…" balas pemuda jabrik kuning itu tersenyum kecil. "Tidak ada yang berbeda, mimpi itu tetap sama… Namun mungkin karena aku tak menduga mimpi itu akan datang lagi, semua jadi terasa lebih menyakitkan dari sebelumnya."

Pemuda itu kini memejamkan matanya, berupaya meredam bayangan yang kini berkelebatan. Seakan memahaminya, Sakura mengusap lengannya perlahan. Sebuah gestur sederhana yang kemudian membesarkan hatinya.

"Kita ke rumah sakit besok pagi, ya? Sebaiknya jangan ditunda lagi…" Sakura membujuk kekasihnya itu perlahan. Namun alih-alih menjawabnya, Naruto kembali terdiam. "Tapi sepertinya kau masih ragu…"

Kalimatnya terhenti di sana dan Sakura pikir itu akan menjadi akhir dari pembicaraan mereka. Namun setelah beberapa saat jeda, suara sang pemuda kembali terdengar.

"Aku tidak tahu apakah pergi ke rumah sakit adalah sebuah ide yang bagus…" bisik Naruto perlahan. "Dengan semua titel pahlawan ini… mereka selalu menganggap aku adalah sosok yang kuat dan tegar. Jujur terkadang aku terbebani dengan itu semua, namun orang-orang itu… mereka selalu melihatku sebagai simbol harapan mereka. Dan aku tak ingin mengecewakan seluruh harapan mereka." Pemuda itu menghela napasnya yang terasa berat. "Jika aku datang ke psikiater untuk mengobati seluruh trauma ku ini… maka untuk pertama kalinya mereka akan melihat betapa rapuhnya pahlawan mereka. Mereka akan mengetahui bahwa pahlawan mereka…"

"Juga seorang manusia." Sakura melengkapi kalimatnya dengan segera. Menatap lekat-lekat wajah kekasihnya. "Mereka akan mengetahui bahwa pahlawan mereka adalah seorang manusia sama seperti mereka. Yang bisa sakit dan terluka. Yang bisa jatuh dan rapuh. Namun juga akan bisa kembali bangkit dan tidak menyerah pada kondisinya."

"Semua trauma yang kau alami ini, bukan berarti kau lemah. Tapi menunjukkan bahwa kau adalah seorang manusia."

Naruto menatap Sakura penuh damba, sementara perasaan hangat mengalir mengisi dadanya. Pemuda itu memeluk tubuh gadisnya erat, lantas mendaratkan sebuah ciuman ke bibirnya. Sesuatu yang langsung disambut penuh dan utuh oleh Sakura.

"Apa ini berarti kau bersedia ku ajak ke rumah sakit besok pagi?" tanya gadis itu ketika ciuman mereka berjeda

Pemuda jabrik kuning itu tergelak singkat mendengarnya.

"Ya, Sakura. Kita bisa ke rumah sakit besok pagi."

Sakura kembali memagut bibirnya seketika setelah ia menyelesaikan kalimatnya. Dan ternyata itu sajalah yang dibutuhkan Naruto untuk melenyapkan sisa keraguan dalam dirinya.

•••

"The damage and invisible scars of emotional abuse are very difficult to heal, because memories are imprinted on our minds and hearts and it takes time to be restored. Imprints of past traumas do not mean a person cannot change their future beliefs and behaviors. As people, we do not easily forget. However, as we heal, grieve, and let go, we become clear-minded and focused to live, restore and emotionally healthy."

― Dee Brown in Breaking Passive-Aggressive Cycles (2010)

•••

Perjalanan untuk mengalahkan setan dalam pikiran bukanlah perkara yang mudah untuk dilakukan. Bahkan ketika ia telah berusaha mencari bantuan dari seorang yang memiliki keahlian.

Naruto menemui seorang psikiater yang bertugas di Rumah Sakit Konoha. Seorang lelaki muda bernama Ishizaki, tenaga medis non-shinobi dengan keahlian klinis kejiwaan, yang rupanya hanya satu-satunya di desa ini. Meski hanya satu-satunya, Ishizaki cukup kompeten dalam bidangnya. Setelah melakukan penelusuran masalah dan diagnosis awal, Ishizaki menjelaskan bahwa untuk minggu-minggu pertama, mereka akan mencoba beberapa metode penyembuhan untuk mencari tahu mana yang paling sesuai untuk Naruto. Proses uji coba diperlukan, karena penyembuhan penyakit mental dapat berbeda dari satu pasien ke pasien lainnya.

Betul, proses uji coba itu diperlukan, namun tidak berarti hal itu mudah untuk dilakukan. Pada awalnya mereka mencoba untuk menggabungkan terapi kognitif dengan resep obat sedatif ringan. Sesuatu yang cukup riskan, mengingat Naruto sendiri memiliki masalah kecanduan alprazolam. Maka Ishizaki sendiri berhati-hati dalam memilih obat untuk diresepkan. Namun setelah minggu pertama terlewati, ternyata pengobatan itu tidak berhasil. Naruto selalu merasa di luar kendali tiap kali minum obatnya, dan itu bukanlah sebuah pertanda baik. Oleh karenanya Ishizaki memutuskan untuk sepenuhnya mengenyampingkan pemberian obat dan berfokus pada terapi.

Mereka bersepakat untuk bertemu seminggu dua kali untuk terapi. Awal terapi difokuskan untuk mengidentifikasi seluruh pemicu trauma atau mimpi buruknya. Sebelum berlanjut pada problem solving terhadap pemicu-pemicu tersebut. Terapi tersebut berjalan cukup lancar, namun Naruto tidak bisa mengatakan bahwa dirinya menyukainya. Bagaimanapun terapi itu didesain untuk 'memaparkan' dirinya pada hal-hal yang selama ini selalu ingin dilupakannya. Semua itu harus dilakukan untuk dapat menemukan semua pemicu traumanya. Dan jujur saja, setiap kali mereka menemukan pemicu lainnya, semua sama sakitnya. Rasanya seperti menemukan duri yang diam-diam menancap dan menghujam dalam dirinya. Pada akhirnya, untuk dapat mencabut tuntas semua duri tersebut, dia harus kembali mengalami semua rasa sakitnya.

Pada minggu keempat, mereka masih dalam tahap identifikasi dan Naruto merasa seperti ia sudah tidak punya energi tersisa untuk kembali menelusuri jejak pikiran kelamnya. Bagian terburuknya, terkadang terapi itu menyisakan pikiran yang terbawa hingga tidurnya. Sesekali, ia masih harus menghadapi mimpi buruknya, meski memang sekarang mimpinya itu tak lagi sejelas yang terdahulu.

"Aku takut, Sakura…" bisik Naruto pada suatu malam. Ketika mimpi itu datang kembali. Ketika ia terbangun dengan rasa gundah dalam hati. Ketika ketakutannya tak bisa dibendung lagi. "Apa benar aku bisa sembuh dengan keadaanku yang begini? Kupikir aku akan berhasil menyingkirkan semua mimpi buruk ini. Tapi ternyata mimpi itu kembali…"

"Bagaimana kalau ternyata tidak ada jalan bagiku untuk keluar dari semua kegelapan ini? Bagaimana kalau ternyata aku akan terus terjebak di sini?"

Malam itu, Sakura menemaninya terjaga di sepanjang sisa malam. Dia mendekap Naruto erat, sembari mengusap-usap lengan sang pemuda. Sesekali, gadis merah jambu itu mendaratkan ciuman ke dahi kekasihnya.

"Aku tidak akan membiarkanmu terjebak di sana." jawabnya dengan segenap keyakinan. "Kau pernah berkata bahwa aku adalah cahaya hidupmu… Maka selama aku ada disini, kau tidak akan pernah tertinggal dalam kegelapan. Aku akan selalu ada untukmu."

Perjalanan untuk mengalahkan trauma adalah perjalanan yang panjang dan menyakitkan. Namun Naruto bersyukur ia tidak perlu melakukan semua itu sendirian. Ada Sakura yang selalu mendampinginya. Ada teman-teman dan orang terdekatnya yang kini telah memahami kondisinya dan terus mendukungnya. Bahkan ternyata, ketika kondisinya sedikit banyak diketahui oleh para warga desa, mereka tidak bereaksi negatif terhadap keadaannya. Mereka tetap menghormati ia, bahkan tak sedikit yang mengirimkan doa untuk kesembuhannya. Semua benar-benar di luar dugaannya. Ia tidak bisa membayangkan apa jadinya jika pada malam ketika Sakura datang ke rumahnya, ia tetap bersikeras untuk melawan ini semua sendirian.

Beberapa minggu kemudian, Naruto menyadari bahwa mencari bantuan medis ternyata tidak seburuk yang dia pikirkan. Naruto dan Ishizaki berhasil mengidentifikasi semua pemicunya. Naruto perlahan mempelajari cara mengatasinya setiap kali ia harus berhadapan dengan pemicu traumanya. Lebih jauh, ia bahkan berhasil menemukan cara untuk berdamai dengan masa lalunya. Naruto sadar bahwa hidupnya tidak baik-baik saja, namun semua akan baik-baik saja. Mengalahkan trauma adalah sebuah proses yang dipenuhi dengan pasang surut, dan Naruto masih berupaya keras untuk menyeimbangkan segalanya.

Pada akhirnya, mencari bantuan adalah hal yang layak untuk dilakukan. Bahwa sangat manusiawi bagi seorang manusia membutuhkan bantuan di kala lemah tiada harapan. Bahwa sangat melegakan baginya untuk berpikir demikian.

•••

"Naruto-san, kau terlihat segar sekali hari ini." Sapa Ishizaki ketika Naruto memasuki ruangannya.

"Trims, Ishizaki." balas Naruto sembari duduk di sofa biru di mana mereka biasa memulai sesi mereka. "Aku ada janji kencan setelah sesi ini jadi kupikir lebih rapi sedikit boleh lah…"

Psikiater itu tersenyum singkat. "Sakura-san pasti senang."

Jujur, Naruto pun berharap demikian. Karena diam-diam ia ingin celana jeans mahal yang baru ini dibelinya ini paling tidak mengesankan Sakura pada kencannya sore nanti.

"Kalau begitu sebaiknya kita mulai sesinya sekarang, Naruto-san?" Ishizaki mengambil buku catatannya dan pena, sebelum menghampiri pasiennya itu. "Tapi sebelumnya aku memiliki sebuah tawaran untuk sesi kali ini. Berdasarkan observasi dari beberapa sesi kemarin, aku melihat banyak kemajuan pada kondisimu. Ini pertanda baik. Namun perlu analisis lebih lanjut terkait hal itu. Jadi kupikir untuk sesi kali ini, bagaimana kalau kita melakukan analisis itu?"

Naruto mengangkat alisnya tertarik. Betul memang, akhir-akhir ini ia merasa harinya lebih mudah untuk dijalani. Menemukan pemicu traumanya dalam sehari-hari itu sering terjadi, namun ia bisa mengatasinya. Ia betul-betul bangga untuk menyatakan bahwa kini ia dapat mengendalikan pikirannya.

"Tentu. Apa yang harus kulakukan?"

"Tidak ada yang terlalu rumit, hanya semacam asosiasi kata sederhana. Aku akan memberimu 20 kata dan kau bisa menjawab dengan hal pertama yang muncul dalam pikiranmu." Ishizaki menerangkan metode analisisnya. "Misal kubilang shinobi dan kau akan menjawab dengan…" (2)

"Tekad api?"

"Benar, semacam itu." Psikiater itu lantas membuka catatannya, sepertinya dia telah menyiapkan serangkaian kata-katanya. "Kau siap untuk memulainya?"

Naruto mengangguk, dan Ishizaki memulai pertanyaannya.

"Pagi?"

"Terang."

"Malam?"

"Gelap."

"Makan?"

"Ramen."

"Minum?"

"Air."

"Rumah?"

Ia menjawab dengan keyakinan, "Konoha."

"Teman?"

"Keluarga."

"Ayah?"

"Hebat."

"Ibu?"

"…Rindu."

"Kyuubi?"

"Kawan lama."

"Sasuke?"

"Huh…" Naruto menghela napas, separuh tergelak mendengarnya. "Menyebalkan."

"Mimpi?"

Diluar dugaan hanya satu hal yang muncul dalam pikirannya, "Hokage."

"Bertarung?"

"Pekerjaan."

"Lawan?"

"Rasa sakit."

"Sakit?"

"Dipulihkan."

Ishizaki menatapnya sejenak sebelum melanjutkan pertanyaan.

"Mati?"

Naruto balas menatap dokternya sejenak.

"Dikenang."

"Damai?"

"Tujuan."

"Perang?"

Detik itu Naruto tidak bisa langsung menjawabnya. Seakan ada sebuah jeda yang tiba-tiba saja mengosongkan pikirannya.

"Perang?" Ishizaki mengulangi pertanyaannya.

"Berakhir." Jawab Naruto ketika berhasil menemukan suaranya. Ia dapat melihat Ishizaki menuliskan sesuatu di catatannya. Entah mengapa pemuda jabrik kuning itu pun jadi sedikit gugup dibuatnya. Ia lantas segera mempersiapkan diri, berjaga-jaga kalau pertanyaan selanjutnya akan lebih mencengangkan bagi dirinya. Meski alih-alih melontarkan pertanyaan yang menyinggung traumanya, Ishizaki justru beralih pada sesuatu yang lebih trivial.

"Musim dingin?"

"Salju…"

"Musim semi?"

"Sakura."

"Sakura?"

Naruto mendapati dirinya tersenyum sebelum menjawabnya.

"Segalanya."

•••

Pintu lift baru saja terbuka, membawa Sakura pada lantai lima Rumah Sakit Konoha. Hal pertama yang menyambutnya adalah dinding hijau bertuliskan 'Poliklinik Jiwa'. Tidak ada banyak orang di sana, dua orang perawat yang berjaga, lima orang pasien menunggu gilirannya, dan beberapa orang lain lalu lalang. Namun itu saja sudah terhitung ramai apabila dibandingkan dengan jumlah pengunjung pada masa sebelumnya. Hal ini tentu di satu sisi melegakan Sakura sebagai tenaga medis, ini berarti warga desa semakin paham tentang kesehatan jiwa. Namun disisi lain, dia menjadi kian bertanya-tanya, sudah berapa banyak dari mereka yang memendam gangguan dalam pikiran sejak lama tanpa berani mencari pertolongan?

"Selamat sore, Sakura-san…" belum sempat Sakura menyelesaikan pikirannya, seseorang menginterupsinya. Kontan dia menoleh ke sumber suara dan mendapati seorang perawat tersenyum kepadanya. Seorang gadis berambut ikal yang dulu sempat dicuri dengar pembicaraannya di kafeteria tempo hari. Baru sejak dia sering bertandang kemari Sakura mengetahui bahwa ternyata gadis itu bertugas di lantai lima. Itulah mengapa pada malam itu dia tidak begitu familier dengan sosoknya.

"Mencari Naruto-sama?" lanjut perawat itu lagi.

Ada sedikit geli dalam benak Sakura. Naruto dan Sakura memang tidak secara khusus mempublikasikan ataupun menutupi hubungan mereka. Namun sepertinya hal itu tak membuat publik kesulitan untuk mengetahui bahwa kini Naruto dan Sakura bukan lagi sekadar teman biasa. Dan kenyataan bahwa gadis di hadapannya ini langsung mengaitkan kedatangannya dengan Naruto membuatnya penasaran, seperti apa kiranya perputaran gosip di antara para perawat sekarang?

"Megumi-san, sore…" balas Sakura akhirnya. "Naruto sudah datang?"

Gadis itu mengangguk, "Baru saja masuk ke ruangan. Harusnya sesinya dimulai sebentar lagi."

"Baiklah. Kalau begitu kutunggu Naruto di ruang observasi, tidak apa-apa kan?"

"Tentu, Ishizaki-san sudah mempersilakan kok."

Sakura tersenyum pada Megumi lantas berpamitan. Dia langsung menuju ruang observasi yang berada tepat di sebelah ruang terapi psikiatri, tempat di mana Ishizaki melakukan sesi terapinya. Satu-satunya yang memisahkan ruang observasi dengan ruang terapi adalah jendela berkaca film yang memungkinkan seseorang untuk melihat jalannya terapi, tanpa diketahui oleh sang pasien. Umumnya ruangan ini memang digunakan oleh tenaga medis untuk melakukan observasi medis. Namun untuk kali ini, Sakura mempergunakannya untuk kepentingan yang sifatnya sedikit lebih pribadi (dan tentunya dengan seizin Ishizaki).

'Kalau begitu sebaiknya kita mulai sesinya sekarang, Naruto-san?'

Suara Ishizaki terdengar oleh Sakura. Psikiater itu lantas menjelaskan tentang sesi terapi mereka kali ini kepada Naruto. Sakura sendiri sudah mengetahuinya. Pagi tadi, dia sempat berbincang pada Ishizaki dan psikiater itu menyatakan rencananya untuk sesi ini. Itu pula yang membuat Sakura meninggalkan shift kerjanya tiga puluh menit lebih awal dan datang kemari. Dia ingin mengetahui bagaimana sesi mereka berjalan hari ini.

Sesi itu sudah berjalan beberapa saat ketika Sakura mendapati seseorang menyusulnya masuk ke ruang observasi.

"Di sini kau rupanya…" Seseorang itu menyapanya. Dari suaranya saja, Sakura sudah mengetahui siapa yang bergabung bersamanya.

"Ino…" balas Sakura kemudian. "Kok datang kemari?"

"Aku diminta Shishou menyampaikan sesuatu padamu, tapi aku tidak menemukanmu di ruangan. Lalu kupikir mungkin kau ada di sini, maka aku kemari." Ino tersenyum simpul pada sahabatnya, seperti hendak menggoda. "Dan tentu saja kau ada di sini."

Wajah Sakura sedikit memerah seakan tertangkap basah. Jujur dia tidak perlu diingatkan bahwa dia sedang meninggalkan pekerjaannya untuk melihat kekasihnya. "Aku nanti kembali ke ruangan kok…"

"Ah, mana mungkin… Naruto tidak bakal membiarkanmu kembali kerja. Dia pasti langsung akan menculikmu begitu sesi-nya selesai, sama seperti sebelum-sebelumnya." Yamanaka itu memutar bola matanya. Dan Sakura tidak bisa menampiknya karena tuduhan itu memang benaradanya. "Ngomong-ngomong, bagaimana terapinya? Lancar?"

"Kondisi Naruto sudah jauh lebih baik sekarang. Ini sekarang Ishizaki sedang melakukan re-assessment terhadap kondisinya." jawab Sakura dengan senyum di bibirnya. "Kalau hasilnya bagus, maka sesi berikutnya bisa jadi sesi terapi terakhir bagi Naruto."

"Syukurlah kalau begitu, semoga hasilnya baik!" balas Ino. "Hitung-hitung mengurangi beban kerja Ishizaki juga, kan? Sekarang poli ini jadi makin ramai, Ishizaki pasti lumayan sibuk menangani semuanya sendirian."

"Aku barusan juga memikirkan hal itu…" Sakura masih menatap kedua pemuda di ruangan sebelah, sebelum beralih pada gadis di sampingnya. "Eh, apa yang dititipkan Shishou padamu?"

"Oh, iya, ini…" Gadis berambut pirang itu menyodorkan sebuah surat kepada Sakura. "Kau melamar apprentice tingkat lanjut untuk mempelajari Healing Power Alteration Technique, kan? Shishou menyetujui aplikasimu. Ini surat resminya. Beliau memintaku untuk memberikannya padamu."

Sakura membaca surat itu dan sedikit tertegun. Dia teringat beberapa bulan lalu ketika dibuka kesempatan apprentice tingkat lanjut. Dengan pertimbangan bahwa keadaan sudah semakin stabil, Sakura pikir ini adalah kesempatan bagus untuk mengembangkan diri dengan mempelajari teknik yang dianggapnya cukup menantang. Namun kini, ketika kesempatan itu di depan mata, justru dia tak begitu yakin dengan keputusannya.

"Kok sepertinya kau tidak senang?" tanya Ino kemudian. Terkadang Sakura lupa bahwa gadis itu memang memiliki kemampuan untuk membaca pikiran yang tidak bisa diragukan.

"Entahlah, Ino. Aku tidak yakin ingin mulai mempelajarinya sekarang." Sakura mengangkat bahunya sejenak. "Kau tahu… setelah pembicaraan kita tentang perang tempo hari, terlebih setelah mengetahui masalah trauma yang dialami Naruto… aku pikir kita sebagai tenaga medis harus lebih peduli tentang isu kesehatan mental ini." Gadis merah jambu itu kembali melayangkan pandangannya ke ruangan seberang, menatap lekat-lekat si pemuda jabrik kuning dengan pandangan menerawang. "Sudah terlalu lama kita hanya mengubur duka pasca perang tanpa benar-benar menyembuhkan traumanya. Mungkin sekarang setelah melihat Naruto berobat, beberapa warga yang mulai terbuka dengan kondisi mental mereka dan mencari bantuan. Tapi pasti masih banyak orang-orang di luar sana yang masih terperangkap dalam trauma tanpa tahu bagaimana cara mengakses bantuan atau bahkan terlalu takut untuk mencari bantuan."

"Mempelajari teknik baru bisa ditunda nanti, tapi untuk saat ini aku lebih ingin fokus mempromosikan lebih banyak tentang kesadaran kesehatan mental." Sahut Sakura pada akhirnya. "Aku ingin membuat layanan kesehatan mental lebih mudah diakses oleh banyak orang." (3)

Usai mendengar penjelasannya, Yamanaka itu menganggukkan kepalanya. Mata aquamarine-nya turut mengikuti pandangan si gadis merah jambu. Percakapan dari ruang sebelah pun terbawa hingga mengisi jeda di antara Ino dan Sakura.

'Sasuke?'

'Huh…' Sebuah gelak terdengar. 'Menyebalkan.'

'Mimpi?'

'Hokage.'

"Naruto memang selalu bisa menginspirasimu untuk menjadi lebih baik lagi, ya?" ujar Ino kemudian.

Kali giliran suara gelak Sakura yang terdengar.

"Kurasa kau benar…"

Pertanyaan dan jawaban itu terus berlanjut, sementara kedua kunoichi itu mengamatinya dalam diam. Hingga pada akhirnya, Ishizaki melontarkan dua pertanyaan terakhir pada sesi hari ini, dan gadis berambut pirang itu jadi menyadari sesuatu lainnya.

'Musim semi?'

'Sakura.'

'Sakura?'

Naruto tersenyum sebelum menjawabnya.

'Segalanya.'

Yamanaka itu mengerjapkan matanya. Sejenak dia mengulum senyum untuk dirinya sendiri, namun pada akhirnya dia pun tak kuasa menahan diri untuk mengomentari. "Well, tampaknya kau pun juga menginspirasinya untuk menjadi lebih baik lagi."

Sakura, yang masih tertegun di sana, tidak menjawab pernyataan sahabatnya. Mungkin karena dia sendiri terlalu sibuk memproses jawaban Naruto yang benar-benar tak terduga. Mungkin karena perasaan haru dalam dada berhasil mencuri seluruh kata dari bibirnya. Atau mungkin karena kalimat Ino barusan memang benar adanya.

Bahwa Naruto dan Sakura memang tercipta untuk saling melengkapi satu dan lainnya.

•••

"Kau sudah membawa semua yang kau butuhkan?" tanya Sakura dengan nada khawatir. Pandangan mengitari sosok di hadapannya, mengamati kalau-kalau ia melupakan sesuatu yang seharusnya dibawa. "Tidak ada yang ketinggalan?"

Gerbang Utama Desa Konoha masih terlihat cukup lengang sekalipun hari sudah mulai siang. Hanya ada dua orang terlihat di sana, yakni Sakura bersama dengan Sasuke Uchiha. Pemuda itu mengenakan jubah berkelana, jelas bahwa dia lah yang akan melintas keluar desa. Dan sama seperti sebelum-sebelumnya, tiap kali Sasuke akan meninggalkan desa, Sakura selalu mengantarnya sampai ke gerbang desa untuk melepas kepergiannya. Sebuah hal yang tak jua berubah meski telah bertahun-tahun lamanya.

"Aku tidak butuh bawa banyak barang." jawab sang Uchiha sembari melingkarkan duffle bagkecil ke badannya. "Ini saja cukup."

Sakura mengangguk kecil. Sebagai ninja, dia paham bahwa banyaknya barang bawaan dapat menghambat perjalanan. Terlebih jika sedang diburu waktu untuk menjalankan misi. Namun khusus untuk pemuda ini, ia tidak pernah pergi untuk waktu yang sebentar. Melakukan perjalanan adalah hidupnya. Dan mungkin Sakura yang sulit membayangkan bagaimana menjalani keseharian dengan begitu sedikit kepemilikan.

"Sudah putuskan akan kemana setelah ini?" tanya Sakura kemudian.

"Ada beberapa tempat yang kupikirkan…" ujar Sasuke tenang. "Tapi sepertinya Kirigakure. Suigetsu sempat mengabarkan tentang pergerakan kelompok separatis di sana. Kakashi juga memintaku untuk mencari tahu lebih banyak tentang hal itu."

Setelah Sasuke menyelesaikan kalimatnya, raut wajah Sakura berubah serius. Dahinya berkerut, seakan ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Mata hijaunya menatap duffle bagSasuke dengan tatapan kurang setuju. Hal yang lantas membuat Sasuke mengangkat alisnya sedikit heran.

"Seharusnya paling tidak kau membawa mantel cadangan jika hendak ke Kirigakure." Sakura mengungkapkan hal yang mengusik pikirannya, yang kemudian langsung dibalas dengan dengusan tawa dari si pemuda. "Kok malah tertawa? Udara Kirigakure sangat berangin dan basah. Paling tidak kalau ada dua mantel, kau bisa tetap kering diperjalanan."

"Kupikir kau sedang mengkhawatirkan apa…" Sasuke menyudahi tawanya. "Ternyata aku?"

"Tentu aku khawatir padamu…" ujar Sakura mengulum senyumnya.

Sasuke menyeringai tipis. Tiba-tiba saja niat untuk menggoda muncul dalam benaknya. "Jangan terlalu khawatir padaku, nanti ada yang cemburu."

Dan benar saja, ungkapan itu berbuah rona merah di kedua pipi Sakura.

"Sasuke-kun!"

"Lho, betul 'kan?" Seringai itu berubah menjadi sebuah senyum puas di wajah sang pemuda. "Kalau sekarang, pasti kau sudah tidak mau ikut bersamaku."

Sakura masih menatap Sasuke dengan wajah memerah. Meski begitu, dia tak ingin kalah. Tidak hanya si pemuda Uchiha yang bisa menggoda. "Jadi sekarang aku sudah boleh ikut bersamamu?"

Pertanyaan itu membuat Sasuke tertegun sejenak, sebelum kemudian ia kembali mendeguskan sebuah tawa kecil sari bibirnya. Mengikuti sang pemuda, sakura pun akhirnya menjadi tertawa. Tak biasanya dia bisa mengungguli argumen si Uchiha. Maka Sakura membiarkan tawanya mengambil alih suasana beberapa saat, sebelum akhirnya keduanya berakhir saling bertatapan.

"Mungkin lain kali ya, Sakura."

Sasuke melangkah maju untuk mendekati Sakura. Perlahan ia mengangkat tangannya dengan telunjuk dan jari tengah yang teracung, bergerak menghampiri wajah sang gadis. Sebelum kemudian―

Syut!

―sebuah siluet yang berkelebat menarik mundur Sakura. Tubuh gadis itu kontan limbung, namun langsung disangga oleh tubuh dari si pemilik siluet tersebut. Belum pula Sakura memproses segalanya, sepasang tangan secara protektif melingkari tubuhnya. Tidak dibiarkannya gadis itu terlepas dari dekapannya. Dan Sakura tahu betul, hanya kekasihnya yang punya cukup nyali untuk melakukan itu kepadanya secara tiba-tiba.

"Naruto―"

"Mau apa kau barusan?" Pemuda jabrik kuning itu tidak memberikan kesempatan bagi Sakura untuk menyelesaikan kalimatnya dan langsung mengkonfrontasi sang Uchiha. "Pokoknya tidak ada yang ikut-ikutan. Sana pergi sendirian!"

Sakura memukul paha sang pemuda, meski dia tidak berusaha untuk beringsut dari dekapan kekasihnya. "Naruto, kau ini tidak sopan…"

"Kupikir kau tidak datang." ujar Sasuke tanpa menggubris konfrontasi dari sahabatnya.

"Lalu apa? Memberimu kesempatan untuk bisa menculik pacarku? Enak saja!"

Kali ini Sakura menyikut keras perut Naruto hingga ia mundur beberapa langkah, dan melepaskan pelukannya. Gadis itu mendelik tajam pada kekasihnya, meski sorotnya sama sekali tak memancarkan emosi yang betulan. "Kau ini ngomong apa sih?"

"Aku 'kan bicara yang sesungguhnya." Naruto mengerucutkan bibirnya sembari mengusap-usap perutnya. Seketika nada bicaranya menjadi memelas. "Pokoknya aku tidak rela kalau Sakura-chan sampai ikut pergi dengan Teme!"

Pemuda Uchiha itu menatap kedua teman satu timnya itu sembari menyimpan geli. Jika ada kontes pasangan paling berisik, pasti keduanya akan dengan mudah memenangkannya.

"Santai saja. Tidak ada yang akan menculik pacarmu." Suara Sasuke menengahi mereka berdua. Mata onyx-nya mengerling kepada gadis merah jambu di hadapannya, dan sebuah ide lain terlintas dalam benaknya. "Walau harus ku akui, pacarmu adalah gadis yang sangat menarik…" Sasuke sejenak menatap Sakura yang kini wajahnya kembali memerah, sebelum akhirnya justru mengedipkan matanya pada Naruto. "Tapi kurasa aku lebih tertarik pada… klan Uzumaki."

Detik selanjutnya suasana mendadak senyap. Begitu senyap, hingga bunyi napas Naruto dan Sakura yang terkesiap bisa dengan jelas terdengar. Bola mata hijau dan biru itu sama-sama terbelalak menatap sosok sang Uchiha. Sepasang kekasih itu nampak kesulitan berkata-kata.

"Uzu―apa?" Naruto, yang lebih dulu menemukan suaranya, merespons si Uchiha. "Kau salah bicara, 'kan?"

Pemuda berambut gelap itu berusaha keras mempertahankan wajah tanpa ekspresinya. Meski hal itu tak bertahan lama. Sasuke tak sanggup berlama-lama menatap kengerian di wajah kedua sahabatnya. Pada akhirnya pemuda Uchiha melepaskan tawa yang sedari tadi dengan susah payah ditahannya. Tawa itu tidak lantas melenyapkan kebingungan kedua sahabatnya memang. Yang ada Naruto dan Sakura kini justru saling bertatapan; separuh karena tawa Sasuke yang begitu lepas seperti ini adalah sesuatu yang jarang sekali terdengar, separuh lagi karena mereka tak memahami apa maksud Sasuke sesungguhnya.

"Jangan besar kepala dulu, Naruto. Bukan hanya kau satu-satunya Uzumaki di muka bumi." Sasuke memulai penjelasannya ketika tawanya mulai mereda. "Yang ku maksud adalah Karin. Nama belakangnya Uzumaki, kau tahu?"

"Hah?" Mata biru milik Naruto kembali membulat, namun kali ini tanpa ekspresi horor di wajahnya. "Ya bagaimana mungkin aku mengetahuinya? Kau tidak pernah bilang kalau dia klan Uzumaki!"

"Betul." Sasuke lagi-lagi tersenyum puas. "Karena memang informasi itu kusimpan khusus untuk pembicaraan seperti ini."

Sadar bahwa ia sedang digoda sahabatnya, wajah Naruto kini berubah kesal. Ia bersiap membuka mulutnya untuk memprotes sang Uchiha, namun keduluan oleh Sakura yang melontarkan pernyataan.

"Tunggu sebentar―kau juga tidak pernah bilang kalau dia pacarmu!"

"Yah, kami memang belum terlalu lama berpacaran. Baru sekitar setengah tahun belakangan." jawab Sasuke tenang. "Sebenarnya, aku hendak memperkenalkan Karin secara langsung padamu, Sakura. Kau ingat sore ketika aku meneleponmu dan mengajak makan di restoran baru itu? Hari itu Karin ada di Konoha. Tadinya aku bermaksud memperkenalkan Karin sebagai pacarku padamu saat makan malam itu. Tapi ternyata kau sakit dan tidak jadi datang."

Lagi-lagi, Naruto dan Sakura terdiam untuk sementara waktu. Mereka berdua sama-sama tahu dan ingat apa yang terjadi pada sore itu. Namun pemuda jabrik kuning itu mengingat Sakura baik-baik saja saat itu. Dia menerima ajakan itu, dan bahkan hendak mengajaknya untuk ikut makan malam bersama.

"Sakura-chan… sakit hari itu…?" tanya Naruto hati-hati.

Gadis itu mengangkat wajahnya dan mendelik pada kekasihnya.

"Awalnya sih tidak." jawab Sakura tegas. "Sampai kemudian aku bertengkar dengan orang bodoh, yang membuatku menangis sepanjang malam di bawah shower dan jadi terkena flu berat."

"M-maafkan aku, Sakura-chan." hanya itu yang terucap oleh Naruto.

"Sudah sewajarnya begitu." Gadis itu melipat tangannya di depan dada. "Paham sekarang? Itu akibatnya kalau kau membuat kesimpulan seenaknya. Sudah kubilang, itu bukan kencan dan hanya makan malam, tapi kau tak mempercayaiku!"

Pemuda Uchiha itu kembali menatap kedua teman satu timnya itu dengan pandangan terhibur. Pikiran jeniusnya dengan mudah menghubungkan potongan-potongan percakapan keduanya, lantas mendapatkan gambaran tentang apa yang sebenarnya terjadi malam itu. Terkadang ia jadi heran, mengapa butuh waktu begitu lama bagi kedua kawannya ini untuk menjalin hubungan, ketika keduanya begitu jelas sama-sama memendam rasa. Sasuke masih tenggelam dalam benaknya, sampai kemudian ia menyadari bahwa Naruto tengah menatap dirinya dengan pesan 'tolong aku' tersirat dari matanya. Uchiha itu pun akhirnya menjadi tidak tega pada sahabatnya.

"Sebaiknya aku pergi sekarang sebelum kalian berdua bertengkar lagi karena aku." Sasuke pun akhirnya mengambil alih situasi.

"Jangan khawatir, Sasuke. Kami bertengkar bukan karena dirimu kok! Tapi karena si bodoh ini sulit sekali dibilangi." Gadis merah jambu itu memukul lengan sang pemuda, yang diikuti dengan 'aduh' kecil darinya. Pukulan Sakura, sekalipun tanpa banyak tenaga, sudah cukup membuat siapa saja meringis dibuatnya. "Hati-hati di jalan, Sasuke-kun! Jika kau kembali ke Konoha, jangan lupa ajak Karin bersamamu. Kami ingin betulan berkenalan dengan pacarmu di lain waktu."

"Ya, Sasuke. Kami ingin berkenalan dengan pacarmu." sahut Naruto dengan menekankan kata 'kami' dalam kalimatnya. "Aku tidak percaya kau hendak memperkenalkan pacarmu, yang juga merupakan sepupuku, pada Sakura, tapi tidak padaku! Benar-benar keterlaluan."

"Aku akan mengirimimu pesan kalau aku dan Karin berkunjung lain kali." Tanpa menggubris protes dari Naruto, Sasuke melemparkan sebuah seringai pada si gadis merah jambu. Meski kemudian ia tetap beralih menatap pemuda jabrik kuning itu. "Jangan lakukan hal bodoh selama aku pergi, Dobe."

"Bagaimana bisa? Kau 'kan membawa pergi semua kebodohannya bersamamu, Teme." (4)

Suara gelak tawa dari ketiga anggota Team Tujuh itu menjadi penutup pembicaraan mereka. Ketika tawa mereka mereda, sang Uchiha pun mengucapkan salam, lantas melangkah pergi. Menuju perjalanan konstan yang sudah seperti kehidupan baginya. Sementara kedua sahabatnya itu melambaikan tangan dan melepas kepergiannya. Kali ini tanpa perasaan berat yang dulu selalu hinggap di benak mereka setiap melihat si Uchiha pergi. Kepergiannya bukan lagi suatu perpisahan yang menyedihkan. Karena Naruto dan Sakura tahu, Sasuke akan baik-baik saja. Karena mereka tahu, apapun yang terjadi Team Tujuh akan tetap bersama.

Sakura menurunkan lambaian tangannya ketika Sasuke sudah hilang dari pandangan mereka. Dia kemudian menarik tangan Naruto dalam sebuah genggaman. Gestur itu lantas membuat Naruto menoleh pada gadisnya, dengan sebuah tanda tanya tampak jelas dari sorot matanya.

"Ada apa nih, kok tiba-tiba…?"

Sakura mengerucutkan bibirnya, meski tak melepaskan genggamannya. "Apa tidak boleh?"

Pemuda jabrik kuning itu tergelak mendengar kekasihnya merajuk. "Boleh kok. Mau peluk juga boleh!"

"Huh, ngelunjak!" Sakura mendorong tubuh Naruto hingga terhuyung beberapa langkah. Namun kemudian tangannya melingkar penuh di lengan Naruto. Jemari lentiknya dengan mudah menempati setiap celah dari jari-jari tangan sang pemuda, seakan seperti itulah mereka seharusnya. Sang pemuda pun akhirnya memilih untuk tidak berkomentar. Ia memutuskan untuk menikmati kehangatan dari sentuhannya, sembari kaki mereka berdampingan melangkah kembali menuju Konoha.

"Aku hanya jadi berpikir…" ujar Sakura di sela-sela derap langkah mereka. "Andai kita tahu waktu itu Sasuke akan memperkenalkan Karin… Kau pasti jadi mau ku ajak untuk ikut makan malam bersama, ya?"

Naruto menatap Sakura sejenak sebelum menyelami pikirannya. "Kalau saat itu kita tahu Sasuke akan memperkenalkan Karin…" Naruto memulai kalimatnya. "Mungkin aku akan langsung mencari Sasuke dan meninjunya saat itu juga… semata karena ku kira dia telah membuatmu terluka."

Langkah kaki mereka kini melambat, selaras dengan sang gadis yang kini lebih sibuk menatap si pemuda ketimbang terus berjalan. Tatapan yang jelas meminta Naruto untuk mengelaborasi maksud kalimatnya.

"Aku yang dahulu… sudah begitu siap untuk merelakanmu dengan Sasuke. Meski tak bisa kupungkiri, setiap kali melihatmu bersama Sasuke sangat menyakitkan bagiku, namun aku selalu berpikir bahwa setidaknya kau berbahagia dengannya." Pemuda jabrik kuning itu berusaha melemparkan senyum tipis. "Dan jika aku sampai tahu bahwa ia memilih gadis lainnya dan itu semua menyakitimu… Setelah semua yang kulakukan, setelah aku menepati janjiku dan membawa Sasuke pulang untukmu… entahlah…"

Sakura mengatupkan bibirnya erat. Rasa tak percaya sekaligus haru terbersit secara bersamaan, membuat dirinya tak tahu harus memasang ekspresi seperti apa. Namun pada akhirnya, keseluruhannya menjalarkan kehangatan dalam dirinya. Napasnya terhela perlahan, menyingkap sepotong geli terbawa dari hati. Dia tak bisa menahan diri untuk tidak mencubit keras pinggang sang pemuda.

"Aduh!" Pemuda itu kembali meringis, entah sudah keberapa kali dalam sehari ini. "Kenapa lagi kali ini?"

"Hukuman karena kau hobi buat keputusan sepihak seenaknya sendiri!" tukas Sakura dengan nada yang dibuat setegas mungkin, sekalipun masih tersisa jejak geli dari suaranya. "Bisa-bisanya seenaknya menentukan jalan perasaan orang lain, padahal dirinya sendiri jadi terluka karenanya. Dasar sok kuat!"

"Asal kau tahu, mendapati Sasuke pacaran dengan Karin tidak membuatku terluka. Tidak kemarin dan tidak juga sekarang." Sakura tersenyum simpul sejenak. Meski kemudian lengkung bibirnya perlahan berubah datar. "Hal yang membuatku terluka itu… Ketika aku mengetahui kau dijodohkan dengan Hinata."

Suara Sakura melirih pada kalimat keduanya. Sejenak dia ragu apakah harus melanjutkan kalimatnya. Namun ternyata kekasihnya itu menatapnya lekat-lekat seakan menanti kelanjutannya. Maka dia kembali membuka suaranya.

"Pertama kali aku mendengar gosip bahwa kau dijodohkan dengan Hinata, aku sangat terpukul. Aku merasa kau akan meninggalkanku sendiri dan semuanya terasa begitu menyakitkan… Semua itu tak masuk akal bagiku… Aku tidak bisa memahami mengapa semua menjadi sesakit itu padahal kita hanya berteman." Gadis merah jambu itu mengambil jeda untuk mengeratkan genggaman tangannya, sebelum kemudian melanjutkan kalimatnya. "Pada akhirnya hal itu menyadarkanku bahwa ternyata perasaanku padamu lebih dari sekedar teman biasa. Dan saat itu, rasanya sangat ironis. Karena penyadaran itu datang ketika semuanya sudah terlalu lambat untuk diungkapkan."

Kala Sakura menuntaskan kalimatnya, kala itu pula Naruto bergerak untuk menarik sang gadis mendekat. Ia memeluk tubuh kekasihnya erat. Membiarkan indra penciumannya terbenam di ujung kepala Sakura, menikmati aroma rambut sang gadis yang disukainya itu. Sementara Sakura sendiri tak menduga reaksi sang pemuda, namun dia selalu menikmati dekapan kekasihnya. Maka dia membiarkan seluruh kehangatan itu menyelubungi tubuhnya, dan kemudian membalas pelukan sang pemuda.

"Aku hampir membiarkan diriku berpikir bahwa aku bisa menikahi Hinata… bahwa mungkin dengan bersamanya aku bisa melanjutkan hidup dan mencoba melupakanmu." bisik Naruto perlahan. Kali ini membenamkan wajahnya di pundak Sakura, sebelum kemudian menyudahi pelukannya. Meski begitu, tubuh mereka masih begitu dekat. "Tapi kemudian aku sadar bahwa aku tak bisa melakukannya, karena aku terlalu mencintaimu dan aku tidak ingin melupakanmu. Aku ingin terus mencintaimu, sekalipun perasaan itu hanya bisa kusimpan dalam hatiku."

"Aku sangat bersyukur kita bisa benar-benar bersama sekarang. Sekalipun begitu banyak hal yang terjadi dalam hubungan kita, kita tetap bisa menemukan jalan untuk menyatakan perasaan." Tangan milik sang pemuda bergerak membingkai wajah kekasihnya, sementara tatap matanya tak lepas dari sosok dia. Perlahan, jemarinya mengusap lembut pelipisnya. "Terima kasih karena kau sudah memilih untuk tidak menyerah kepadaku. Aku tidak menyangka bahwa aku benar-benar layak untuk memiliki dirimu."

Sakura, yang kini telah kehilangan kata-kata, memilih untuk menutup jarak di antara mereka. Bibirnya mendaratkan ciuman hangat ke bibir kekasihnya. Sang kekasih dengan senang hati menyambutnya. Sejenak mereka saling berpagutan. Sejenak merayakan penantian mereka yang telah berujung pada kebahagiaan.

"Kita layak atas satu sama lain, sayangku." Sakura berbisik kepada kekasihnya di sela-sela ciuman mereka. "Kau dan aku layak untuk saling memiliki."

Ketika ciuman mereka berujung, maka tinggalah dua pasang mata mereka yang saling menatap penuh gandrung. Sekali lagi, Sakura melingkarkan tangannya erat-erat pada lengan Naruto. Dia menyandarkan kepalanya ke pundak sang pemuda. Sementara Naruto membalas dekapannya dengan memberikan sebuah kecup hangat pada ujung pelipis Sakura. Mereka kembali melangkahkan kaki dan meniti jalan pulang.

Naruto dan Sakura berjalan berdampingan. Dengan tangan yang saling menggenggam erat, hati yang telah terpikat, perasaan yang mengikat.

Dengan janji yang telah terpahat, bersama sampai akhir hayat.

.

To have and to hold from this day forward, for better, for worse.

.

FIN (for real)

02.05.2020 || 11:51 AM


Additional Disclaimer:

Every PTSD / Trauma healing treatment in this story is only based on my own take from brief research in the internet as an ordinary people with no medical background. I don't claim them as medically correct. If you need a help on PTSD or trauma recovery, please meet and consult with the certified therapist or psychiatrist available around you.

Additional Note:

(1) : Scene ini terinsipirasi dari panic attack yang dialami oleh Tony Stark dalam film Iron Man 3 (2013)

(2) : Psychological Assessment ini terinspirasi dari scene words test assessment dalam film Skyfall (2012) karya Sam Mendes

(3) : Scene ini dibuat sebagai referensi dari Sakura Hiden: Thoughts of Love, Riding Upon a Spring Breeze, di mana pasca perang Sakura dan Ino membuka klinik di Rumah Sakit Konoha khusus untuk memberikan pelayaan kesehatan mental anak-anak korban perang.

(4) : Kalimat ini diambil dari percakapan Steve Rogers dan James Barnes dalam film Captain America: The First Avengers (2010) dan Avengers: Endgame (2019).

Author's Note:

Welp, I consider the writing of this epilogue was fast (at least for my pace, lol). Tadinya aku ragu, apakah epilogue ini benar-benar perlu ku tulis. Terlebih karena planning awal epilog ini hanya untuk menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan Sasuke (karena untuk Hinata I consider it elaborate enough in the chapters that she will be fine, while for Sasuke it still seems unclear). Bagaimanapun, aku ingin menyelesaikan arc-nya Sasuke, karena namanya tercantum sebagai jajaran chara utama di cerita ini (dan karakternya juga sangat manis di cerita ini, haha, siapa sangka?). Setelah beberapa lama ku utak-atik idenya, ternyata kupikir boleh juga. Secara umum, epilog ini sedikit menyelami perjalanan Naruto dalam melawan PTSD, sedikit mengulik tentang rencana Sakura ke depan, dan pada akhirnya menyelesaikan arc-nya Sasuke dengan apik. At first, I don't intend to bring any Team 7 thingy, but then I put everything in place, I thought it was a very nice excecution! Oh ya, scene terakhir yang Naruto dan Sakura pegangan tangan itu juga tadinya sama sekali tidak ada dalam draft awal. Tapi ternyata jadi penutup yang manis. I think the last scene really able to tied every pieces in this story together into one beautiful package. Thus I'm very happy with how this story end. So yes, this is the end guise. I fulfilled my promise to you! Kuharap kalian tidak berharap Naruto dan Sakura buat dinikahin ya, karena aku pribadi kurang percaya sama institusi pernikahan, lol.

Sekali lagi, terima kasih kepada para pembaca yang masih setia dengan cerita ini. Terima kasih atas review, favs, dan dukungannya selama ini. Ke depan, saya masih ingin (dan terus ingin) menulis NaruSaku lagi. Silakan pembaca sesekali mampir ke lapak saya (atau mungkin klik tombol follow author) jika ingin membaca karya-karya saya selanjutnya. Silakan teman-teman meninggalkan review untuk saya! Saya akan sangat senang menerima feedback atas cerita yang saya tulis ini, bisa tentang bagian mana yang paling kalian sukai, bagian mana yang kurang jelas dalam cerita, atau bagaimana perasaan kalian selama membaca cerita saya. I would glad to answer any question related to my story. Tentu akan lebih mudah bagi kawan-kawan untuk sekadar membaca saja, namun review dari pembaca akan sangat melegakan saya sebagai penulis cerita, bahwa karya saya layak untuk saya bagikan.

Terima kasih sudah mampir datang! Semoga hari kalian menyenangkan!

v

v

v