—Maafkan aku, tapi kurasa memang tempatku bukan disini.

Terima kasih telah mengajarkan diriku banyak hal. Oh, dan satu lagi—

—aku menyayangimu jiji, selalu.

Naruto Namikaze.


Naruto belongs to

Masashi Kishimoto

Harry Potter © J.K. Rowling

The Black Parade

Original story by: Larryry


Summary : Naruto sering dijauhi karena dianggap aneh. Akhirnya ia menemukan bahwa apa yang dianggap orang-orang suatu keanehan adalah keajaiban yang tak mereka miliki di tanah ini.

"—aku akan pergi." Tempatku bukan disini.

"—kalian bisa memanggilku, Nash." Rahasia tersembunyi.

"Jadi, siapa kamu sebenarnya?" Anggapan sebuah anomali.

Warning :Typo(s), OOC! OC! Harry Potter universe.

.

.

.

.

.

Uap meluncur melewati cerbong asap kereta hitam. Suara koper diseret dan ucapan orang tua mengiringi kepergian anak mereka sayup-sayup melewati gendang telinganya.

Anak sekitar umur sebelas tahun itu mengedarkan sekilas pandangan pada gerbong yang baru dinaiki. Langkah kaki membawanya pada suatu kompartemen kosong disudut.

Meletakan koper pada bagasi atas, Memindahkan berat tubuhnya pada busa empuk kompartemen. Menggenggam sebuah buku tebal nan usang. Jari lentik membuka halaman pertama, kertas berwarna coklat menandakan telah lama usia tercipta.

Kelereng sewarna biru batu Sapphire itu teralih pada sisi jendela. Menampilkan pandangan padang hijau bergerak, bukti nyata kereta telah berangkat.

Garis bibir terangkat sedikit kesisi kanan. Menghasilkan senyum miring yang tak begitu ketara.

Yah, tahun ajaran pertama terdengar tidak begitu buruk.

.

.

Tok tok tok

Pintu kompartemen terbuka.

"Bisa aku duduk disini? Tempat lain sudah penuh." tanya pemuda bersurai dirty blonde.

"Sure. Masuklah."

Senyum dikecil dirupa. Seolah menyebar, garis bibir naik serempak mampir dimuka penghuni baru kompartemen.

Duduk didepan pemuda bersurai pirang-keemasan, tentu saja sesudah meletakan barang.

"Er... Namaku Edward Sangster. Aku anak baru tahun pertama, dan sepertinya kau juga ya?." senyum ramah nan lebar. Kelewat lebar lebih tepatnya. Pemuda pirang itu mengangguk.

"Jadi.. Namamu siapa?"

Pemuda beriris cinamon didepannya terlihat bersahabat. Pikirnya dalam hati.

"Nash Tyrell. Kau bisa memanggilku, Nash."

"Kalau begitu" tangan diangkat mendekati Nash. "Salam kenal Nash."

Cengiran lebar yang polos. Binar senang yang terlihat jelas.

Yah. Sangat tidak buruk—

Kan?

.

Hogwarts.

.

"Jadi Nash, tebakkanmu kau akan ada dimana?" Edward ternyata sungguh teman yang keingintahuannya yang besar. Maka akan lebih menyengkan, Edward tak akan berhenti hingga penasarannya terlewati.

"Entalah, kalau kau?" surai pirangnya sedikit bergoyang.

"Aku tak tau, mungkin Hufflepuff?" walau tak bisa diam, tapi Edward teman yang baik sejauh kelihatannya.

Belum terlontar suara Nash walau bibirnya terbuka ingin bersua, karena perhatiannya teralihkan oleh keributan anak di barisan depan.

Kedua anak itu terdiam. Menonton penuh perhatian antara pemuda pirang platina, pamuda berkacamata bersurai hitam berantakan serta anak dengan muka berjerawat bersurai merah.

Terasa mendrama, itu gumam Edward yang diam-diam disetujui Nash dalam hati. Adegan cukup lama, sebelum pundak si pemuda pirang platina ditepuk seorang wanita paruh baya.

"Aku yakin, mereka penuh detensi saat dalam satu ruangan." bisik sinis Edward ditengah jalan menuju aula.

Tak sempat membalas pernyataan orang disebelahnya. Riuh suara di Aula perlahan tapi pasti mulai memelan. Digantikan berpasang-pasang bola mata menatap anak tahun pertama yang baru masuk.

Nash sibuk mencermati sekitar. Mulai dari langit-langit hingga arsitektur hogwarts. Biru sapphire menelisik seolah berusaha melihat celah dari bangunan kokoh.

Sampai perhatiannya teralih pada anak yang disortir oleh topi seleksi. Rata-rata seleksi anak membutuhkan waktu singkat, entah kenapa hanya Harry potter agak sedikit lama, dan penuh bisik-bisik tentu saja.

"Nash Tyrell"

Pemuda berkulit putih melangkahkan kaki pada sebuah kursi. memulai pernyortiran.

"Huuummm— very difficult. Baru tahun ini, aku merasa menyeleksi orang susah. Dimana sebaiknya aku menempatkan mu?—Kau melalui banyak hal sulit ternyata."

"Aku tidak mengerti apa yang kau maksud. Tapi, kurasa itu privasi, Hat-san." bisik Nash lirih.

Dusta kalau berkata tidak mengerti.

Ia sangat memahami.

"Baiklah. Kita lihat—Kau punya banyak keberanian nak, sangat berani. Dapat melihat sebuah celah dan pantang menyerah. Royal, ada keinginan membuktikan diri serta pintar. Mengingatkanku tentang seseorang yang dulu aku kenal. Kau akan lebih sukses di Slytherin, nak."

"Putuskan, apa saja selain Gryffindor atau Slytherin. Kedua tempat itu sering bersitegang bahkan berasal dari pendiri asramanya. Itu merepotkan. Aku ingin hal yang tenang."

" begitu sudah diputuskan—

.

.

.

.

—RAVENCLAW."

.

Menara Ravenclaw.

.

"Selamat datang, kasur baruku."

Kasur memantul beberapa kali karena beban yang tiba-tiba mengenainya. Pemuda yang lebih tinggi dari Nash menatap langit-langit. Hela nafas panjang dari Edward yang berbaring melintang dengan kaki masih menggantung.

"Rapikan barang-barang mu, Ed. Itu mengganggu."

Melambaikan tongkat, sekejab pakaian-pakaian terbang dengan sendirinya kesebuah lemari.

Mengangkat alis beberapa senti.

"Kau cukup hebat, Nash. Aku bahkan hampir lupa kalau aku ini penyihir. Malas kalau harus pindahin satu-satu. Yakin kau tidak pernah berhubungan dengan dunia sihir sebelumnya?"

"Ah, bagaimana ya?. Dari dulu aku kan sudah hebat. Kau saja yang belum tahu, Edward."

Senyum miring mampir dibibir peach Nash. Kalau tidak mengingat Nash temannya, sudah Edward lempar bantal yang digenggamnya kini.

"Kau menyebalkan, Nash!"

Pemuda tampan itu cemberut. Gerutuan kecil tak di hiraukan yang bersangkutan. Nash, membawa beberapa buku dan menaiki ranjangnya.

Ruangan itu cukup besar, bahkan cukup untuk lima ranjang sekaligus.

Hanya mereka yang menempati kamar tersebut. Alasannya? Masing-masing kamar, diisi oleh tiga orang. Namun, Anak laki-laki tahun pertama di Ravenclaw tersisa mereka berdua.

Kebanyakan anak-anak asrama biru adalah half-boold atau pure-blood. Seperti Edward yang lahir dari ibu pure-blood dan ayah seorang muggle-born. Dunia sihir bukan hal yang baru bagi Edward. Sedikit yang dapat dihitung penyihir muggle-born. Tapi Nash tidak peduli.

"Kau serius ingin membaca buku, saat hari pertama di Hogwards? Crazy! Ini sudah malam, Nash." Suara Edward terdengar nyaring.

"Yeah, aku penasaran sih."

Edward mendecak tiga kali.

"Kita satu asrama, tapi kurasa kau punya Ravenclaw Syndrome yang parah!"

"Oh, ya? Terima kasih."

"Itu bukan pujian, stupid."

Senyum menyebalkan mampir diwajah manis Nash.

"Apa aku berkata itu pujian?"

"Kau seperti menggangap itu pujian." Ekspresi Nash terkejut, tapi siapa pun tahu kalau itu hanya pura-pura.

"Oh? Aku melakukan itu?"

"Tentu saja."

"Bagaimana kau bisa beranggapan begitu?"

Nash berkedip sok polos.

"Oke Nash, aku menyerah. Terserah kau saja—" Nash nyengir lebar. Selimut membungkus badan Edward sampai dada. Menguap pelan. Mata terpejam.

"—G'nite, Nash."

"G'nite, Ed."

Helai pirang bergoyang pelan ulah nakal angin malam dari sisi jendela sebelah kirinya. Iris biru bersinar keperakan dibawah cahaya dewi malam. Pemandangan dari menara Ravenclaw memang sangat indah. Ditambah bulan yang bulat menyeluruh menyinari pekarangan hogwarts.

Perkataan tanya Edward perlahan masuk dipikirannya.

'—karena aku butuh sesuatu untuk melelahkan otakku, Ed. Sangat lelah hingga tak punya waktu untuk memikirkan hal lain.'

Bawah langit bertabur kerlip bintang. Netra bercahaya itu terpejam.

.

.

Bisa kau singkirkan buku itu, Nash? Melihat buku tebal di pagi hari adalah hal yang tidak enak dipandang tahu." kata Edward tiba-tiba.

Walau Edward adalah Ravenclaw, sifatnya seolah menunjukan bahwa ia alergi buku. Anehnya walau terlihat ogah-ogahan dalam segala hal tentang tugas, nilai Edward selalu hampir mendekati sempurna. Bahkan sangat jarang melihat Edward belajar.

"Kalau tidak enak dipandang, ya jangan memandang. Problem solved." Nash sedikit nyengir.

Edward Memutar bola mata.

"Kau membaca buku apa sih, Nash?"

"Oh—"Buku sedikit diangkat. "—Ini?" Edward mengangguk. "Memang buku yang mana lagi? Kau terlihat serius sekali."

"Umm, Buku transfigurasi. Yah, Transfigurasi adalah cabang sihir untuk mengubah suatu hal ke hal yang lain. Aku penasaran, bisakah aku mengubah barang lain menjadi galleon?—" tubuh Nash sedikit condong kedepan. Keingintahuan dan raut polos tergambar jelas.

"— aku bisa membeli barang apasaja tanpa khawatir kehabisan uang. Jadi, di dunia sihir aku tidak perlu bekerja keras untuk menghasilkan uang?"

Nash menuturkan spekulasinya dengan nada sedikit tak yakin diakhir. Namun, nada yang terdengar seolah sedang membicarakan keadaan perang. Sangat krusial.

Edward seketika tersedak. Buru-buru mengambil jus labu disisi kanannya. Masih untung tidak menyemburkan makanannya, atau Nash yang berada didepannya akan terkena semburan lokal.

"Hahh?!" Nada si pemuda iris cinnamon naik satu oktaf, untung aula sedang ramai saat ini.

"Merlin! Aku tidak percaya ini. Tidak tahukah kau? Itu bisa jadi penipuan besar kalau terjadi." Edward mencondongkan badan kedepan. Seraya berbisik.

"Aku tahu, aku kan cuma penasaran."

"Aku tidak tahu kau kurang kerjaan atau apa—" Nash sedikit mengecutkan bibirnya saat kata 'kurang kerjaan' terlontar.

"— tapi idemu bagus juga." senyum lebar seolah memenangkan pertaruhan terbentang dibibir kedua pemuda.

Secepat datangnya cengiran pemuda pirang, secepat pula menghilang.

"Tapi masalahnya Ed, bukankah galleon terbuat dari emas? Bagaimana kalau ada yang mengecek kandungannya dan terdapat sihir didalamnya?" Nada Nash terdengar lesu. Perkataan tiba-tiba Nash, membuat cengiran lebar pemuda didepannya juga seketika lenyap.

"Kau Pemberi Harapan Palsu, Nash. Menerbangkan harapanku lalu Menghancurkan mimpi indahku juga bersama dear galleon." Edward kesal.

"Dari tadi aku memikirkan itu—" Bahu Nash turun sedikit. "Maka dari itulah, aku sedikit bingung—" terdapat jeda sejenak.

"—bagaimana kalau menggunakan glamor yang dimotifikasi? Atau mantera semacam anti deteksi sihir mungkin? Atau mungkin mantra yang dapat menampilkan informasi sesuai kehendak kita, jadi saat di cek, terlihat seperti aslinya?"

Edward menyangga kepalanya dengan telapak tangan kanan. "Aku tidak tahu apakah ada sihir seperti itu. Umm, tidak menutup kemungkinan itu bisa terjadi sih—" Edward meminum jus labunya. "—kita bisa tanya prof. Flitwick untuk itu." Edward nyengir lebar.

Senang karena mimpi bersama gunungan galleon masih ada harapan, yaitu menanyai kepala asrama mereka.

"Jangan terlalu berharap sepenuh jiwa, Ed. Kalau tidak terlaksana kau bisa sakit jiwa." humor terselip dikata Nash.

"Aku tau Nash. Setidaknya jangan menuturkan kenyataan dengan humor kejam dong." Edward sedikit cemberut.

"Well, kalau begitu biasakanlah mulai sekarang."

Nash tersenyum lebar.

Nash mengabaikan runtukan kesal pemuda didepannya. Iris birunya memindai sekeliling aula. Tatapannya berhenti pada tiga orang di meja Gryffindor. Lebih tepatnya pada Harry Potter, sang The boy who lived.

Entah kenapa, Nash merasakan bahwa anak emas itu memiliki sesuatu hal yang gelap. Sesuatu itu terkadang mengusik pikirannya saat melihat sang penyelamat dunia sihir, membuatnya kadang bertanya-tanya kenapa.

Orang yang ditatap Nash, tiba-tiba menatap Nash balik. Emerald sepersekian detik memandang Blue Sapphire. Nash mengalihkan tatapannya pada tempat dimana para professor berada. Mencoba pura-pura bahwa tadi adalah sebuah pandangan sekilas, tidak dengan sengaja memandang sang subyek. Nash tahu bahwa dia masih diperhatikan oleh iris emerald. Hal itu jugalah membuat Nash tetap memaku tatapan ke meja professor.

Nash sedikit mengerutkan kening saat melihat master bidang ramuan. professor Snape sidikit aneh menurut Nash, sering memotong poin terutama Gryffindor dengan alasan yang kurang relevan. Terlihat suka memberi detensi, terutama Harry Potter. Tingkahnya yang tertutup dengan aura misterius seakan mengatakan Jangan-dekati-aku atau dekati-aku-kau-mati.

Tapi Nash tidak terlalu peduli. Ada seseorang yang lebih mengganggu pikiran Nash dari pada Professor Snape dan Harry potter. Seseorang yang berada tak jauh dari meja Snape. Guru pertahanan ilmu hitam, yang terkenal akan kegagapannya.

"—Nash! Woi! Nash!" Suara Edward hampir seperti teriakan. Sang pemuda tampan itu setengah mati kesal karena diabaikan.

"Aku dengar, Ed. Aku belum tuli." Balas singkat sambil meminum jus labu sampai habis.

"Ayo cepat, aku tidak mau terlambat dikelas madam Hooch." Nash nyengir polos sambil berlalu meninggalkan aula yang masih ramai.

Menghiraukan gerutuan temannya yang sayup-sayup berkata 'apaan itu? dari tadi aku mengajakmu pergi. Sekarang aku malah ditinggal!?Woi Nash! Nash!'

Nash meninggalkan aula dengan langkah ringan. Senandung kecil diantara teriakan teman sekamarnya.

.

.

Hello dunia.

Sungguh, pagi yang indah.

.

.

.

.


TBC

A/N : Hallo? :v Ini pertama kali saya membuat fanfic (=^▽^=) saya biasa mengimajinasikan banyak hal. Tapi stuck di otak saja T.T , ada rasa tak percaya diri saat mempublishnya.

*ada yg serupa disini?*

Karakter Edward disini tercipta karena otak terbayang-bayang kekerenan Mas Thomas sangster yang berperan sbg Newt di film Maze Runner. Kyaaaaaaaa #fansgirling *oke, mulai keluar topik* (o).

The Black Parade, judul ini saya ambil dari nama salah satu album My chemical Romance. Kenapa saya pilih ini? Nuansa dark nan mengispirasi banyak ditulis pada album ini. Saya bukan pecinta MCR berat sebenarnya. Tapi, beberapa lagu tidak buruk ^^ . Sebagian besar saya menyukai lagu berdasarkan artinya sih :v

saya merasa masih banyak kekurangan disini. Mohon saran dan kritiknya, minna-san. Jangan takut kalau mau PM saya ya? Hehehe.

See you next time.