Ishikawa Takuboku tidak mengerti mengapa shisho-nya, pemilik perpustakaan besar yang menaungi mereka semua, tokoh utama yang bertujuan mulia melindungi dunia kesusastraan, memberikan sebuah buku bersampul merah kepadanya.

Jangankan itu, tujuan ia dipanggil ke dalam ruangan ini juga tak paham.

"Tolong cari dan bawa kemari penulis buku itu."

Titah perempuan muda bermata sejuk itu. Ada lingkaran hitam di bawah matanya, biasanya ia berpenampilan begitu setelah begadang semalaman karena membaca suatu buku di perpustakaan besarnya.

Buku bersampul merah itu memiliki gambar sebuah kapal. Kapal yang tidak biasa. Bukan kapal pesiar mewah maupun kapal perang zaman perang dunia. Lebih mirip seperti kapal induk yang tidak memiliki landasan maupun senjata.

Kanikousen.

"Tapi saya tidak tahu siapa yang menulis buku ini."

Perempuan muda yang usianya bahkan tak sampai setengah usia kematian Takuboku di kehidupan sebelumnya itu memasang wajah polos. "Di bukunya ada, namanya Kobayashi Takiji."

Takuboku menghela napas. "Bukan, tentunya bukan itu, Shisho. Maksudku, aku tak tahu dia siapa, seperti apa wajahnya, di mana dia tinggal. Kurasa kau harus menyuruh orang yang dekat dengannya untuk mencarinya."

Perempuan itu sedikit berpikir. "Hmm, yang dekat dengannya mungkin Shigeharu-san. Tapi dia sedang terluka."

"Bagaimana dengan yang lain? Lagipula kenapa kau harus menyuruhku? Aku tidak kenal orang ini!"

Pandangan shisho bermata sejuk berambut hitam itu lurus terarah padanya.

"Karena kau adalah penyebab utama mengapa buku itu bisa ada di tanganmu."


.


Namun demikian, walaupun sudah memprotes sedemikian rupa, buku bersampul merah itu tetap dibawa. Perintah shisho yang aneh tetap akan dilaksanakan. Takuboku yakin sekali penulis yang dikehendaki shisho-nya adalah orang yang hidup setelah kematiannya. Atau paling tidak, ia sudah meninggal sebelum orang itu sempat menulis buku ini.

Sebelah bahunya terasa berat. Satu lengan melingkari lehernya. "Ouw, Takuboku. Kau sedang apa? Mukamu seperti habis ditimpa batu dua ton!"

Takuboku menghela napas sepanjang-panjangnya. Belum pernah dia mengeluh seperti itu kecuali untuk urusan uang. "Shisho menyuruhku memanggil orang yang menulis buku ini," ia menyerahkan buku itu kepada si pemilik tangan, Shiga Naoya. Pangeran Shirakaba, Dewa Novel, dan orang pertama yang selalu dia minta bagian kalau sedang gajian.

"Hufft, padahal aku tidak kenal siapa orangnya. Sepertinya buku itu ditulis setelah aku mati. Mungkin kau mengenalnya, Shiga? Umurmu cukup panjang, kan?"

Takuboku melihat Shiga tidak bergerak. Matanya terpaku pada buku merah itu. Tangannya gemetaran.

"Shiga?"

Shiga Naoya tersadar dari tidur.

"A-ah, tentu. Tentu saja aku kenal. Anak ini... dia muridku."

Entah kenapa Takuboku sulit mencerna kalimat itu. Ia merasa ada yang salah saat menunjukkan buku merah pemberian shisho kepada Shiga. Seperti—

"Dia muridku yang manis... Murid kesayanganku... dan dia mati di hari ulang tahunku..."

–sudah kuduga.

"B-begitu ya. Pasti.. dia anak yang baik..."

Keduanya terdiam lama. Takuboku bahkan tidak berani meminta kembali buku yang harusnya ia gunakan untuk mencari penulisnya. Shiga sepertinya masih berniat nostalgia mengingat murid kesayangannya yang—katanya—manis itu.

Kemudian, Shiga menepuk pundaknya, sembari tersenyum lebar. "Yosh, kuserahkan padamu ya, Takuboku! Pastikan kau pulang membawa serta muridku yang manis! Oke?"

Buku bersampul merah dikembalikan. Gambar kapal pekerja berada di depan, menempel di dadanya. Takuboku mengangguk paham. Tentunya, apa yang tidak demi sahabat yang telah bertarung bersama.

"Tentu saja!"


Bungou to Alchemist milik DMM