Pertama kali Seijūrō mengecup Tetsuya, dirinya terdiam seribu bahasa, sementara pelakunya hanya mengangkat bahu, "Masalah hormon," gumamnya canggung, "Maaf?"
Rasanya seperti ada panah, melesat menembus jantung, napas Tetsuya berhenti sesaat ketika ia mulai melihat Seijūrō bukan lagi sebagai seorang anak lelaki kecil, bukan pula remaja, melainkan seorang pria.
Sebelah tangan dengan cekatan melipat-lipat kertas origami yang sejak tadi tersimpan di saku kemeja Seijūrō.
Tetsuya menatap telapak tangannya yang kini diisi oleh origami buatan Seijūrō, "Tsuru?".
Seijūrō menjawab dengan senyuman. Kembali melipat kertas origami yang lain, lalu melesatkan pesawat kertas tersebut pada langit sewarna inai.
"Ayo!" Seru Seijūrō diiringi suara kereta api dari seberang sungai. Mengajaknya berlomba lari (searah dengan laju kereta) menyusur di tepian pematang sungai.
Namun lomba lari macam apa itu jika kedua pesertanya saling menautkan tangan sambil tertawa bebas, eh?
Mereka berhenti tepat di titik tempat pesawat kertas tersebut terjatuh.
Seijūrō memungutnya, dan dengan keahliannya pesawat kertas tersebut kini bertransformasi menjadi perahu kertas. Dengan tenang kakinya melangkah-mendekat pada tepian sungai.
"Aku percaya, sejauh apapun terpisah" Seijūrō berjongkok, perahu kertas diapungkan pada aliran sungai yang tenang, "berapa lama waktu terlewat, jika Tuhan sudah menggariskan 'jodoh'," tubuh ditegapkan, sepasang rubi kembali meminta notis dari iris azure, "maka pertemuan pasti terjadi."
Tetsuya hanya tersenyum simpul mendengar filosofi bijak yang spontan dicetuskan oleh… teman? Kekasih? Sahabat?—Sampai sekarang ia bahkan tidak tahu status apa yang paling tepat untuk orang yang sedang berupaya membaca hatinya itu.
Dia adalah dia. Teman tersayang.
Namun sepertinya definisi turunannya akan berakar tanpa ujung konklusi.
Seijūrō meraih satu tangan Tetsuya yang menggenggam Tsuru kertas.
"Aku, Kaisar, yang mulai besok harus memimpin tentara di selatan dengan ini," sebuah kecupan dirasakan Tetsuya pada punggung tangan, "akan memulai misi untuk melindungi kerajaan, jadi Permaisuriku tersayang, berikanlah restumu dalam sebuah pelukan atau … ciuman, hm?"
Tetsuya mengatup mulutnya dengan sebelah tangan yang bebas. Matanya bersinar geli, "Akashi-kun, kau hanya mengikuti latihan militer bukan hendak ke medan perang, jangan berlebihan."
Remasan pada tangan yang terhubung merupakan sirat yang lolos dari penafsiran Tetsuya.
"Kuharap begitu…"
"Hm?"
"—eh, ya … jadi bagaimana? Peluk atau cium?"
Sungguhan atau tak lebih dari gurauan, Tetsuya tidak tahu. Ia hanya menganggap opsi yang diberikan Seijūrō itu sangat memalukan dan err… menggiurkan di saat bersamaan. Dan, tidakkah ia selalu? Ajektif yang satu itu adalah sinonim yang mutlak untuk dirinya; Akashi Seijūrō-kun.
"Baiklah Tetsuya, jika kau tidak—"
Cup
Singkat, tapi cukup memabukkan. Pelan, tapi terasa membekas. Dan itulah ciuman perdana mereka.
Seijūrō terpana.
Tetsuya tersipu.
"Pergilah, dan … cepat kembali." Ujar Tetsuya kikuk.
Senyum terpulas. Dalam diamnya, Seijūrō mengetahui lebih baik daripada semua orang bahwa kebahagiaan ini tidak akan bertahan lama.
.
Tuhan, sudikah Engkau menghentikan waktu.
Disclaimmer
Kuroko no Basuke/黒子のバスケ© Fujimaki Tadatoshi
CANDIDE © Kina
ATTENTION : This story are purely fictitious. All characters appearing in this story are Fujimaki Tadatoshi (where some places and incidents either are products of the author's imagination or are used fictitious). Any resemblance to real persons, living or dead, is purely coincidental.
.
Dedicated to Gii
Genap satu dekade berlalu semenjak ciuman-serupa salam perpisahan-dengan teman tersayang, Tetsuya mulai mengasah diri pada bidang medis.
Sehari tanpa sapaan, Tetsuya tidak mengapa.
Seminggu tanpa senyum, Tetsuya mafhum.
Sebulan tanpa kabar, Tetsuya bersabar.
Setahun, lalu tahun bertambah dan bertambah.
Hingga pada akhirnya penyakit rindu yang dideritanya terkuak karena tak terbendung.
"Yang kau lakukan selama ini semata demi pemuda bermarga Akashi, benar?"
Tetsuya menggerenyit ketika mendengar keinginannya sendiri disuarakan dengan cara begitu gamblang oleh gurunya. Tetsuya memandang Midorima, waspada, bertanya-tanya, mungkinkah pengikut setia Oha-Asa dianugerahi kemampuan membaca pikiran?
"Apa yang mendasari kesimpulan sensei?"
"Bukannya aku peduli, tapi yang kuperhatikan kau terlalu memaksakan diri. Mengingat passion yang kentara darimu sangatlah berseberangan dari apa yang kau pelajari selama sepuluh tahun terakhir."
"Pekerjaan menjauhkan seseorang dari tiga keburukan: rasa bosan, dosa dan kemiskinan. Mungkin aku sudah terdoktrin satu dari sejuta hikayat seorang Turki yang pernah kubaca. Dan yeah, bidang medis atau farmasi sepertinya lebih menjanjikan masa depan, mengingat sangat minimnya jumlah para medis di kota ini."
"Pada akhirnya, kau memutuskan untuk mengkomersilkan kemampuan medismu sebagai pengganti 'ini', hmp?"
Selembar kertas putih dengan gradasi simbol kerajaan Seirin terayun pada genggaman Midorima.
Tetsuya tersenyum lemah pada gurunya, ketika helaan napas lelah sang guru kembali dijadikan tanggapan. Mereka mengawali kembali serentetan pertanyaan dan pernyataan yang sama. Sesungguhnya selama sepuluh tahun terakhir ini Tetsuya berusaha keras menemukan jawaban (atau alasan) yang dapat meyakini seseorang yang ia jadikan tumpuannya tersebut. Namun sayangnya, Tetsuya bukanlah tipikal manusia yang mampu memainkan mimik wajah. Jadi untuk meraih keinginannya yang satu ini, ia berusaha untuk melatih seraut wajah memelas dan mengucap selamat tinggal pada gengsinya.
Bagi Midorima Shintarō, obligasi sebagai seorang guru sekaligus teman berbagi tanggung jawab yang sama yaitu bagaimana cara menjelaskan ketidaksetujuan atas permohonan Tetsuya yang beresiko itu. Meski tsundere mendarah daging, namun hati nurani itu ada. Dirinya tidak cukup tega untuk meloloskan izinnya. Karena ia lebih dari cukup untuk mengetahui, bahwa menandatangani kertas itu sama saja membukakannya pintu ke kolam prajurit-prajurit beringas di mana ahli medis merupakan minoritas. Siapa yang akan menjamin keamanan Tetsuya di sana? muridnya yang manis dan ia dapat sesumbar dengan sumpah demi Oha-Asa yang diimani, ketika muridnya dewasa nanti, pemuda manis itu akan tumbuh bagai putik bunga aster dengan lebah-lebah yang berebutan menghinggapinya.
Tetsuya cukup mahir untuk membaca dinamika wajah seseorang. Jadi bukan tanpa sebab jika surat permohonan rekomendasi untuk dinas ke luar yang diajukannya setahun lalu hingga saat ini belum juga ditanggapi dan selalu berakhir kembali tanpa hasil yang berarti.
Kekhawatiran yang dikemas dalam sikap apatis bukti yang tersuguh pada diri Midorima-sensei. Tetsuya cukup untuk dapat mengukir senyum transparan, memaklumi, dengan wajah memohon yang entah terjangkau atau tidak, setidaknya ia masih berharap permintaannya dapat diterima meski seringkali dalam percikan khayalannya sendiri.
Meski demikian, bagaimana pun bentuk penolakkannya, tekad Tetsuya justru semakin kuat. Hingga saat inilah, keduanya telah sampai pada titik kulminasi. Di mana yang satu sudah berpikiran untuk memalsukan surat perizinan beserta identitas dirinya, sedang yang satunya lagi sudah tidak sabar untuk menjadikan kertas itu sebagai bahan bakar perapiannya di rumah.
Namun agaknya, kali ini Midorima harus menyerah pada keteguhannya.
Entah karena menyesal atau karena kelelahan. Karena semalam ia pulang larut, setelah divisinya baru saja dikirim ke perbatasan Babilonia untuk memberikan bantuan medis kepada para prajurit yang terluka saat tengah menginvestigasi lokasi pengeboman oleh tim radikal setempat.
Maka, ketika Tetsuya kembali menyodorkan kertas laknat itu di meja kerjanya, ia memutuskan untuk sedikit merenggangkan pertahanannya. Kesal memang, ketika sadar bagaimana kelelahan dapat membuat sistem defensif tidak bekerja efektif. Oh diperparah lagi dengan bentuk kurva menyesatkan iman itu. Sial, siapa pula yang mengajarinya tersenyum manis?
"Jujur saja, kau berpeluang mendapat masa depan yang cerah, dengan kemampuan yang kau miliki sekarang, kau bisa membuka klinik, menemukan pasangan hidup yang baik, menikah dan punya anak-anak yang manis. Bukankah itu semua lebih menjanjikan kebahagiaan?"
"Apa aku harus memberikan alasan yang dahsyat untuk membuatmu menggerakan pena itu?."
"Ya, coba saja, nanodayo."
Kembali Midorima temukan sebuah determinasi pada sepasang bola mata biru. Selalu, seperti ini jikalau mereka mulai mengangkat topik yang sama. Tetsuya tersenyum kecil, sebelum menjawab.
"Ada seseorang yang ingin kulindungi di kemiliteran."
Suaranya pelan namun tegas dengan tatapan mata bulat penuh tekad. Keduannya adalah bukti kesungguhan mutlak, yang pada akhirnya menghapus keraguan di hati sang guru. Kuharap tidak akan terjadi apapun padamu, aku yakin kau bisa menjaga diri.
Pena terayun. Tetsuya tersenyum.
"Berikan laporanmu padaku tiap minggunya."
Sebuah anggukan lalu disusul dengan tundukan setengah badan, "Haiik. Arigatō gozaimasu, Sensei."
.
.
Akashi Seijūrō dididik untuk menjadi manusia yang tangguh.
Manusia yang memegang prinsipnya sampai akhir. Manusia yang mampu memutuskan secara akurat siapa orang yang akan dijunjungnya, dipercayai dan dititipkan hati.
Karena di jaman yang penuh dengan desingan peluru, dentuman meriam dan pertumpahan darah ini, setiap orang akan berujung pada sebuah pilihan. Saat nilai kebenaran dan salah sudah membaur, maka hanya keyakinanlah yang akan dijadikan tolok ukur paling benar, meski terkadang perlu beberapa pengorbanan mahal untuk meraih bahagia dalam bingkai kedamaian dunia.
Jiwa dan pandangan hidup yang dibutuhkan oleh seorang prajurit.
Sebuah tepukan tangan terdengar, saat Seijūrō berhasil menembakkan peluru terakhir tepat pada pusat bulatan berwarna merah di seberang sana. Sembilan tembakan dengan satu lubang tercipta pada papan target. Sempurna.
"Kenapa kau gemar sekali membuat orang-orang cemas, Akashi-san?"
Seijūrō melepas pelindung telinga dan mata, lalu menaruhnya bersebelahan dengan pistol dalam sebuah kotak. "Aku bosan meringkuk seperti manusia tidak berdaya."
Pemuda brunette itu segera menghampiri Seijūrō untuk membantunya duduk pada bench, "Ya, tapi setidaknya bersabarlah sampai dislokasi lututmu sembuh."
"Apa yang membawamu ke sini?"
Seijūrō dapat merasakan sebuah elusan ringan pada kepala bermahkota perban. Saat matanya bertemu dengan sepasang bola mata coklat, seketika mereka terhubung dalam retrospeksi singkat pada ingatan yang berklausa.
Sebelas bulan berlalu sejak serangan yang dilancarkan oleh para pemberontak di bagian selatan terjadi. Pemuda yang baru resmi dua tahun bergabung dengan pasukan militer menetapkan pilihan pada Akashi Seijūrō sebagai tempatnya mengabdi hingga mati.
Bukan karena fakta mereka yang memang kebetulan menjadi satuan superior dan subordinat. Atau…pun luka yang didapat sang Letnan Kolonel akibat melindungi dirinya yang hampir sekarat saat misil mengancam nyawa dalam sebuah misi. Bukan, masih ada alasan lain yang jauh lebih kuat yang mendasari keinginannya tersebut. Mungkin sesuatu yang berkaitan dengan … hati?
Wajah kian menutup jarak selaras dengan tangannya yang turun perlahan dari lilitan perban di kepala menyusuri pelipis, lalu pipi. "Akashi-san, aku…"
.
.
Sepanjang perjalanan menuju markas utama, tidak ada bosannya Tetsuya memandangi bangau kertas yang ia kemas dalam sebuah tabung bening. Objek sederhana yang selalu dijaganya sebaik mungkin. Sebuah pemberian yang mungkin saja dapat mempertemukannya kembali, pikir Tetsuya.
'…pertemuan pasti terjadi.'
Ia memiliki keyakinan yang mendalam akan satu hal.
Ia percaya sepenuhnya pada pernyataan teman tersayang di satu dasa silam. Sebuah keyakinan bahwa dirinya akan segera bertemu dengan—
—Bukkh
Rasa nyeri serta merta merambat dari bokong lalu pada telapak tangan. Kedua mata membulat saat menemukan botol bening tak lagi mengurung bangau kertas. Berserak serupa beling-beling kecil.
Tetsuya mengurungkan niatnya untuk menghardik pada seseorang yang menabraknya, saat dilihat sebelah tangan telah terjulur dihadapan, "Maaf—apa kau baik-baik saja?"
Enggan bersuara, anggukkan kepala dijadikannya jawaban.
Tangan disambut, dan Tetsuya menunggu sebelah tangannya dibebaskan. "Hei, boleh aku menebak?"
Tidak ada perubahan ekspresi wajah yang berarti, karena yang Tetsuya nanti adalah 'kapan jabat tangan ini berakhir?', dan lagi, memang apa yang ingin pemuda blonde itu tebak? Dirinya bahkan tidak mengatakan apapun sejak tadi.
Wajahnya mendekat dalam sepersekian detik, dan pada beberapa senti lagi maka bibir mereka dipastikan akan bersentuhan. "Ku-roko … Tetsuya, benar?!"
Kembali sebuah anggukan harus puas diterima pemuda bermata lentik itu.
"Ahahaha ternyata benar, kau benar-benar manis." Alih-alih terlepas, pemuda yang lebih mungil kini justru terjebak lebih dalam pada sebuah pelukan. "pantas saja Akashi-chii tergila-gila padamu."
Seperti alarm alami yang berdentang untuk memaksa kesadaran, Tetsuya tergoda untuk bertanya.
"Apa kau mengenal Akashi-kun?"
"Uwo-woh … bahkan suaramu pun sungguh menenangkan hati-ssu. Nma, apa kau ini dewi Eirene yang diutus Zeus untuk membawa kedamaian di belahan bumi ini?."
Bola mata merotasi, "Tolong lepaskan," kedua tangan ditumpu pada dada pemuda blonde, Tetsuya berusaha membuat spasi, "kau membuatku sesa— akh.." dan tersadar ada sebuah luka gores di telapak tangan.
"Ma-maaf." Saliva terteguk, dengan kikuk dilepasnya pemuda mungil. Delusi meliar saat dilihatnya Tetsuya yang tengah menjilati luka gores. Andai saja sebuah cermin ada dihadapannya, maka lihatlah sendiri, betapa idiotnya wajah yang terpasang.
Merasa diperhatikan, Tetsuya mengakhiri metode penyembuhan amatirnya.
"Kutanyakan sekali lagi, apa kau mengenal seorang prajurit bernama Akashi-kun?"
"Kalau yang kau maksud Akashi Masaomi, maaf mengecewakan-ssu. Beliau … sudah gugur dalam perang delapan tahun lalu."
Tetsuya tertunduk, dirinya entah mengapa dapat membayangkan kesedihan yang dirasa Seijūrō saat masa berkabung itu, karena faktanya, Tetsuya pun mengalami hal serupa, bahkan ia merasakannya lebih dahulu ketimbang Seijūrō. Rasa sakitnya kehilangan kedua orang tua dan orang-orang terkasih. Sungguh, rasanya bagai terapung antara dimensi hidup dan mati.
Pundak ditepuk perlahan. Isyarat meminta atensi dari sepasang iris teduh, "Dan jika yang kau maksud Akashi Seijūrō, kau dapat menemuinya di markas ini-ssu."
Meski samar, biner kuning itu menangkap senyum tipis pada bibir si rupa manis. "Ayo, kuantar menemuinya," terlalu bersemangat, bahkan dirinya yang justru terlihat seperti tidak sabaran.
"Ah ya, sebelum masuk apa kau membawa surat izin dinasmu di sini?"
Tetsuya kembali pada anggukan kepala.
"Yosh, kalau begitu kita lewat sini." Sebelah tangan kembali diraih, membimbing langkah Tetsuya dalam tuntunan tangan. "dan jika kau beruntung, kau dapat bertemu dengannya di bilik menembak yang akan kita lewati-ssu."
Tetsuya tidak menjawab, hanya … berharap, semoga keberuntungan itu menjadi nyata.
.
Sepanjang perjalanannya menuju ruang administrasi, sudah tak terhitung jumlah sepasang mata yang mencuri-curi pandang atau bahkan terniat untuk meminta notis dari pemuda manis.
Dalam hati Tetsuya bertanya-tanya, seperti apakah rekan setim Akashi-kun? Apakah seorang yang ceria seperti pemuda blonde ini? Apakah justru seorang penggoda seperti pria-pria random yang barusan dilihatnya? atau—
Larut dalam lamunan membuat Tetsuya tak menyadari bahwa mereka sudah berada di samping pintu masuk bilik menembak.
Seketika pemuda blonde membalikkan badan, kedua tangan dengan gerak cepat menyekap masing-masing telinga Tetsuya.
Mungkin hanya kalah cepat sepersekian detik.
Dan Tetsuya berani bersumpah, bahwa kontemplasi renungan tak lantas mematikan fungsi otak untuk mencerna suara yang berhasil didengar.
—atau seseorang yang memiliki perasaan yang sama denganya?
.
.
"Akashi-san, aku … menyukaimu."
.
.
.
—CANDIDE—
つづく
[Jakarta, 17/07/2017]
a/n : Hanya cerita fiktif yang terinspirasi dari film Saving Private Ryan mix Offical video clip MCR–The Ghost of You. Hope you like it, Gii. (Gomen, asemnya belom ada, maybe next chapter #lol)
