Between The Lines
By: the autumn evening
Pairing: Sasuke/Sakura
Rating: M
Disclaimer: I do not own Naruto, but the story is mine
Warning: AU. Typos. OOC. Two-shots. Amnesia!Sasuke. Alur maju mundur. Italicize adalah untuk flashback
Summary:
Sakura tahu dia beruntung. Dia cukup mapan, memiliki pekerjaan tetap dengan gaji tinggi, sekumpulan sahabat setia, seorang ayah yang menyayanginya, rumah yang hangat, dan seorang pria seksi sebagai partner seks. adalah, Sakura mendapatkan hal baik lebih dari cukup daripada apa yang biasa orang lain dapatkan, dia tidak seharusnya mengeluh. Tapi siapa yang sedang ia coba bohongi? Dia sedang membicarakan dirinya, tentu saja tidak begitu kenyataannya.
Sasuke dan Sakura sudah menjalin hubungan sex-tanpa status selama tiga tahun, saat Sasuke kehilangan ingatannya karena sebuah kecelakaan.
.
.
Sakura tahu dia beruntung. Dia cukup mapan, memiliki pekerjaan tetap dengan gaji tinggi, sekumpulan sahabat setia, seorang ayah yang menyayanginya, rumah yang hangat, dan seorang pria seksi sebagai partner seks. Atau, apa kata yang lebih tepat? Friend with benefits? Tidak—karena mereka berdua tidak bisa dikatakan berteman. Intinya adalah, Sakura mendapatkan hal baik lebih dari cukup daripada apa yang biasa orang lain dapatkan, dia tidak seharusnya mengeluh.
Jangan salah sangka, dia tidak sedang mengeluh. Hanya saja di saat seperti ini, saat Sasuke bangkit dari sisinya, menarik beberapa lembar tisu untuk membersihkan diri, memakai kembali celana jeans-nya sebelum mencium kuat-kuat bibir Sakura lalu melangkah keluar dari apartemennya. Sakura tidak bisa menahan hatinya untuk menginginkan lebih.
Tapi itu adalah masalahnya.
'Lebih' tidak ada dalam kesepakatan mereka. Sasuke sudah memperjelas semuanya di awal, bahwa dia tidak menawarkan diri sebagai sosok pria idaman yang akan memberi Sakura gadis kecil berambut hitam dan bermata hijau, atau sebuah rumah di pinggir kota dengan pagar berwarna putih dan halaman hijau penuh bunga. Jika Sakura menginginkan hal semacam itu, dia tidak bisa mendapatkannya dari Sasuke. Dan Sakura menerimanya.
Sakura sudah menjadi paralegal—pendamping pengacara- di Uchiha Firma, dan dia tidak memiliki waktu untuk menjalin suatu hubungan. Seseorang yang dapat memenuhi hasratnya adalah apa yang ia butuhkan.
Tapi siapa yang sedang ia coba bohongi? Dia sedang membicarakan dirinya, tentu saja tidak begitu kenyataannya.
Ini sungguh bukan salah siapapun kecuali Sakura, bahwa selama tiga tahun mereka melakukan hal ini, entah kapan—mungkin detik pertama dia melihat Sasuke—dia terpeleset dan jatuh pada Sasuke.
Begitulah adanya. Sakura tidak pernah pandai dalam permainan, juga payah dalam hal keberuntungan; dia akan kalah.
Itu tidak bisa dihindari.
.
.
Ini adalah pesta perusahaan pertama yang ia hadiri, dan Sakura sangat gugup. Dia bahkan tidak bisa melewati pesta SMA seperti orang normal pada umumnya. Bagaimana dia bisa melewati pesta cocktail mewah, dan bersosialisai tanpa mempermalukan diri dan kembali ke rumah dalam keadaan utuh?
Gaunnya terasa gatal dan panas, satu- satunya yang sedikit membuatnya lega adalah Sai dan Ino yang mengatakan dia terlihat cantik. Ino membuat Sakura menghabiskan banyak uang untuk gaun ini.
Dia mengambil segelas champagne dari baki pelayan yang kebetulan melewatinya, tangannya berkeringat. Dia akan baik- baik saja, dia jelas bisa melewati ini semua, tanpa masalah. Dia harap Ino berada di sini, dia pasti akan menepuk bokong Sakura dan menyuruhnya untuk menegakan punggung.
Ruangan pesta yang super fancy dan terlihat seperti ballroom hotel berbintang juga tidak membantu rasa gugup Sakura. Mereka sedang berada di lantai teratas gedung firma, pemandangan kota dari atas yang terlihat dari panel kaca yang mengelilingi empat sisi ruangan terlihat sangat indah. Mengintimidasi, itulah yang Sakura rasakan berada di perusahaan sukses ini.
Sakura mengatur nafasnya, menenangkan diri, champagne tidak lagi dingin di tangannya. Langkah pertama, cari Naruto. Dia juga salah satu paralegal di sini.
Naruto berjanji akan bertemu dengannya di pesta, maka dia harus datang. Jika tidak, Sakura akan mendatangi apartemennya dan menusuknya dengan kuku.
Ruangan pesta penuh seperti kaleng sarden, Sakura sama sekali tidak bisa mengenali seorang pun. Maka dia memutuskan untuk melangkah menuju balkon yang mengelilingi ruangan untuk mencari sosok sahabat pirangnya. Dia melangkah membelah kerumunan, hati- hati agar tidak menumpahkan champagne yang mungkin harganya beberapa ratus dolar per gelas.
Sakura menyapukan pandangan ke seluruh sudut ruangan, berharap menemukan Naruto atau Ino di sana. Namun kosong. Mendesah, Sakura menghabiskan champagne dalam sekali teguk, meletakan gelasnya di salah satu meja yang tersebar di ruangan sebelum melangkah ke sisi lain balkon.
Karena dia tidak pernah bisa digambarkan sebagai seseorang yang elegan, detik selanjutnya Sakura menabrak sesuatu yang solid seperti tembok batu. Suara 'aw' kecil meluncur begitu saja dari bibirnya, saat sebuah lengan menahan tubuhnya untuk tidak jatuh ke belakang.
Saat dia sudah cukup sadar, Sakura mendongak dan –whoa, oh tuhan, bagaimana ada orang setampan ini di dunia? Tuhan pasti membenci Sakura, dia mungkin membunuh anak kucing di kehidupan sebelumnya, karena pria seksi di hadapannya itu tengah merengut menatapnya, seperti Sakura adalah permen karet yang menempel di sepatu kulit mahal yang mungkin dibuat khusus untuknya di Italia.
"Maaf," gumam Sakura, malu setengah mati, "tidak melihatmu."
Alis si pria seksi terangkat, terlihat menantang. Memangnya dia mengharap Sakura mengatakan apa? Maaf, izinkan aku menjilat sepatumu untuk menebus dosaku? Dan mmm, menjilat—oke jangan ke sana.
"Uh," gumam Sakura, bagus, cerdas sekali. "Mungkin aku sebaiknya mencari keberadaan temanku, maaf sekali lagi."
Sakura tidak melarikan diri dan bersembunyi di toilet selama lima belas menit, itu menggelikan.
.
.
Suara telepon terdengar jam empat pagi, Sakura mengerang di kegelapan dan berusaha meraih ponselnya. Dia menggeser sebal layar ponselnya untuk menjawab panggilan saat melihat foto kontak Ino.
"Halo?" gumamnya, "Ino, kau tahu ini jam berapa? kalau ini tidak penting aku akan mencakar wajahmu."
Ino tidak sedang berada di rumah—ada suara berisik dari seberang sambungan. Ino menghela nafas, "Oke. Aku tidak tahu bagaimana mengatakan ini. Kau harus ke sini, Sasuke masuk Rumah ..."
Sakura mendudukan diri di ranjang sebelum Ino selesai berbicara, kalimat Sasuke dan Rumah Sakit mengiang di telinganya. "Apa? Apa yang terjadi? Apa dia baik- baik saja? Sial, sial, di mana bra ku?" Sakura tersandung di kegelapan, tangannya meraih saklar.
"Tenangkan dirimu. Dia baik- baik saja sekarang, dia tertabrak mobil saat di jalan pulang, tapi dia tidak terlupa parah. Hanya saja—" Ino menjeda, Sakura bisa menebak gadis pirang itu tengah mengigit bibir.
"Ino," Sakura memanggil, suaranya rendah.
"Kata dokter dia mengalami amnesia retrograde. Dia tidak ingat kejadian tiga tahun terakhir ini."
Udara berhenti masuk ke paru- paru Sakura, "Tiga tahun?" ulangnya, pikirannya melayang.
Di sisi lain sambungan Ino diam sebelum memecah keheningan dengan membersihkan tenggorokan. "Iya, tiga tahun. Sakura, dengar... aku ikut menyesal."
Sakura tidak mengingat bagaimana dia bisa sampai di Rumah Sakit. Dia mungkin mematikan sambungan dengan Ino karena dia sudah tidak lagi berbicara. Dia sedikit mengingat bahwa dia berjanji untuk tidak menyetir pada Ino.
Dia bertanya tentang Sasuke pada resepsionis dan diarahkan menuju lantai tiga. "Oh, sweetheart," kata resepsionis, "maaf tidak menghubungimu lebih awal. Kami tidak tahu dia memiliki kekasih, tidak ada di catatan." Sakura masih kebas, dia hanya menggelengkan kepala dan berterimakasih, tidak mau repot mengoreksi asumsinya.
Pintu ke ruangan Sasuke sedikit membuka, cahaya tipis menyeruak menyinari koridor. Sakura tidak bisa melakukan ini, dia tidak bisa menemui Sasuke seperti ini. Dia berbalik untuk kembali pulang. Apa yang dia pikirkan, muncul di sini? Mereka bahkan tidak terikat hubungan apapun, Sakura tidak memiliki hak untuk berada di sisi ranjang Sasuke dan menggenggam tangannya seperti seorang kekasih. Sasuke bahkan tidak mengingatnya.
Namun keberuntungan memang tidak pernah memihaknya. "Masuk," suara Sasuke terdengar dari dalam, "aku bisa mendengarmu di luar situ, mengganggu."
Membeku selama beberapa detik, Sakura menghela nafas dalam dan memaksa kakinya melangkah. Dia tahu bahwa Sasuke tahu bahwa dia ada di sini, tapi dia tetap mengetuk pintu sebelum masuk, berusaha sopan.
"Uh, hai," bisiknya setelah masuk. Sasuke tengah menyandar ranjang Rumah Sakit, koran di tangan dengan wajah merengut. Dia tidak merespon sapaan Sakura selain dengan alis yang terangkat.
Sakura berusaha menemukan kata- kata dari bibirnya untuk memecahkan ketegangan, "Bagaimana keadaanmu? Apa dokter mengatakan..."
Sasuke memutar bola mata melihat usaha canggung Sakura mengobrol dengannya, "Siapa kau?"
Pertanyaan yang paling Sakura takutkan. Bagaimana dia harus menjawabnya? Hai, iya aku adalah wanita yang kau datangi untuk melakukan seks selama tiga tahun belakangan? Aku juga tidak tahu apa yang aku lakukan di sini, karena jelas kau tidak akan menjengukku kalau saja posisi kita bertukar?
"Aku adalah temanmu," jawab Sakura akhirnya, "dari kerjaan. Kita bekerja bersama, ya." Sakura memang bukan pembohong ulung.
"Teman?" ulang Sasuke, dan jelas dia tidak mempercayainya sama sekali, "dari kerjaan."
"Iya," Sakura segera menjelaskan, "maksudku, kau adalah seorang pengacara, dan aku adalah paralegal di Uchiha Firma, dan kau mungkin berpikir paralegal adalah orang- orang yang gagal masuk sekolah hukum. Tapi aku ingatkan lagi, hey, aku melakukan tugasku dengan baik. Kalian pengacara tidak akan bisa menjadi hebat tanpa kami, karena research kami adalah kunci utama kalian memenangkan kasus." Sakura menghela nafas, merona saat menyadari Sasuke tengah menatapnya dengan campuran antara bingung, kesal dan terhibur.
"Mmm," gumam Sasuke, "jadi teman, aku masih tidak tahu namamu."
"Oh!" Sakura terpekik, baru menyadari dia belum memperkenalkan diri. "Sakura, Haruno Sakura."
Sasuke mengangguk, matanya terlihat berpikir. Dan membuat Sakura sedikit takut, karena ekspresi itu adalah ekspresi yang biasa Sasuke gunakan saat sedang membuat suatu keputusan atau tebakan yang akurat untuk menjatuhkan lawannya, dan sekarang tatapan itu ia tunjukan pada Sakura.
"Baiklah, Sakura," kata Sasuke dengan suara mendesah, dan wow, perubahan sikap Sasuke membuat Sakura tercengang.
Kepalanya meleleh di bawah tatapan panas Sasuke, ia merasa sedikit sedih mengingat Sasuke tidak perlu banyak berusaha untuk merayu Sakura. Mungkin sejak pertemuan pertama mereka. Sakura selalu mudah untuk Sasuke, dan Sasuke tahu akan hal itu, maka untuk apa berbelit- belit? Bukan hal sulit untuk mengetahui bahwa Sakura bersedia meninggalkan apapun yang ia lakukan jika dia mendapat sms atau telepon untuk datang ke apartemen Sasuke untuk seks cepat. Dan tidak, Sakura sedang tidak merasa sedih akan hal itu, kenapa dia harus sedih?
Tapi kembali lagi ke masa sekarang, "Menarik sekali saat kau mengatakan bahwa kita adalah teman," Sasuke meneruskan, seringai menghiasi wajah tampannya, matanya turun dengan pandangan panas, "saat kau datang ke sini dengan aroma tubuhku yang sangat kuat di tubuhmu dan memakai bajuku."
Sakura mencoba untuk tidak tercekat. "Apa maksudmu?" tanyanya.
Sasuke mendengus, "Yang kau pakai adalah kaos almamaterku, aku ingat menumpahkan kopi di bagian lengan dan nodanya tidak bisa hilang. Belajarlah untuk berbohong dengan lebih baik atau berhenti pura- pura tidak tahu apa yang aku bicarakan."
Sakura tidak berbohong, mereka bisa dibilang teman. Dan aroma Sasuke di tubuhnya? Itu berlebihan.
"Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan. Kita tidak—" Sakura membuat kutipan dengan jarinya, "seperti itu. Maksudku, kita melakukannya kadang- kadang. Tapi tidak seperti yang kau pikirkan."
Wajah Sasuke merengut beberapa detik sebelum kembali menampakan ekspresi datar, "Ah," responnya, "aku mengerti."
Rasanya sakit melihat Sasuke seperti ini, lebih terbuka dari yang biasa ia tunjukan di depan Sakura. Ini adalah Sasuke yang Sakura temui di malam pesta perusahaan, sebelum hubungan entah apa yang mereka jalani.
Sakura tidak tahu apa yang sudah terjadi di antara malam pesta itu dan awal bermulanya hubungan rumit mereka. Tapi Sakura tahu apapun yang terjadi, itu membuat Sasuke lebih dingin, lebih tidak berperasaan dan tidak peduli. Dia tidak tahu apa yang salah—bagaimana mereka jadi semakin menjauh seiring berjalannya waktu. Tubuh sangat dekat, bergerak sempurna bersama tapi perasaan mereka semakin menjauh. Sakura bahkan tidak yakin apakah Sasuke menyadarinya.
Sakura menggosok belakang lehernya, memindahkan berat badan dari satu kaki ke lainnya. "Aku hanya datang untuk melihat bagaimana keadaanmu. Apa kau baik- baik saja?" dia mengoreksi pertanyaannya di kepala, "maksudku," sambung Sakura, "apa kau baik- baik saja untuk ukuran seseorang yang kehilangan tiga tahun ingatannya?"
Sasuke menatapnya tajam. "Sangat bagus,"jawabnya sarkastik, "menurutmu bagaimana?"
"Hey, aku hanya bertanya," Sakura membela diri.
Sasuke mengambil koran yang tadi ia taruh, membukanya lagi dengan aura yang memintanya keluar. Sakura mendesah. Tidak sopan, Sasuke memang tidak memiliki sopan santun.
"Tutup pintunya saat kau keluar," perintah Sasuke, dan seperti seorang idiot—
Sakura menurutinya.
.
.
"Naruto," Sakura mendesis di ponselnya. "Kau di mana? Kau harus cepat ke sini, aku rasa aku baru saja menyinggung seorang pembunuh berantai."
Untungnya toilet sedang dalam keadaan kosong, Sakura sudah cukup malu apalagi jika ditambah dengan seseorang mendengar percakapan putus asanya. Kuota malunya sudah terpenuhi hari ini, terimakasih banyak.
Suara pesta perusahaan masih terdengar dari luar, hanya semakin mengingatkan Sakura dengan tatapan tajam si pria seksi yang masih ada di luar sana.
Namun Naruto adalah sahabat yang buruk. Sakura sedang mempertimbangkan untuk mengeliminasinya dari posisinya. "Maaf, maaf..." kata Naruto. "Aku masih di rumah. Kau tahu bagaimana Hinata—dia sedang menyidam pizza dengan topping selai nanas dan meminta aku membuatnya sendiri. Serius, Sakura, susah sekali mencari nanas malam- malam begini." pria malang itu terdengar putus asa.
Sakura akan bersimpati jika saja ini adalah hari biasa, tapi tidak sekarang. "Kau tidak membantu," dia mendengus, "aku baru saja membuat seorang pria marah, dia mungkin sedang mengincar nyawaku sekarang."
"Oh," respon Naruto, seperti baru sadar arah pembicaraan Sakura, "siapa?"
"Tidak tahu," bisik Sakura, membuka sedikit pintu toiletnya untuk mengintip ke luar. "Tinggi, misterius, rambut hitam, seksi setengah mati? Ada ide?"
Sakura dapat mendengar kebingungan Naruto. "Lupakan," Sakura mendesah, keluar dari toilet.
"Sasuke Uchiha," sebuah suara terdengar dari belakangnya, Sakura hampir menjatuhkan ponselnya kaget.
"Apa—"
Si pria seksi berdiri di belakangnya, menyandar di dinding keramik hitam di koridor yang menuju ke toilet. "Kau bilang kau tidak tahu siapa aku, jadi aku memperkenalkan diri." Dia menyapukan pandangan dari ujung kaki hingga rambut Sakura, tatapannya intens seperti membakar kulitnya. "Sasuke Uchiha," katanya lagi.
"Sasuke," ulang Sakura dengan nafas terperangah, dia melihat tatapan Sasuke jatuh di bibirnya sebelum kembali menatap matanya, pupil hitamnya melebar dan seperti berkilau dengan hasrat. Wow, pria ini sangat wangi dan memabukan, Sakura ingin tidur dikelilingi aroma ini sepanjang hari.
Sasuke menegapkan tubuhnya, melangkah mendekati Sakura dan menyudutkannya ke dinding. Oh, pikir Sakura saat dia dapat merasakan panas tubuh Sasuke menekannya. Wanginya membuat Sakura ingin menciumi Sasuke sepanjang hari.
"Sepertinya aku belum tahu namanu, Nona." Sasuke berbisik dengan nada lembut dan manis—seperti Sakura adalah seseorang yang pantas untuk dipuja. Kedua mata hitam itu sayu mendamba.
"Sakura," jawabnya, tubuhnya sepenuhnya tertekan ke dinding keramik, "aku Sakura."
Bibir Sasuke berkedut menahan senyum, "Hai, Sakura," panggil Sasuke, seperti mencoba nama Sakura di bibirnya, suaranya rendah penuh...
"Sasuke!" suara seorang wanita dari ruang utama terdengar, dan momen di antara keduanya berakhir. Sakura seketika merindukan panas tubuh Sasuke saat pria itu menjauh dari tubuhnya, sebelum menoleh. Seorang wanita cantik dengan rambut merah dengan kacamata yang membuatnya terlihat cerdas berjalan menghampiri.
"Karin," sapa Sasuke, dan oh.
Oh.
Sakura adalah orang bodoh. Dia seharusnya tahu orang seperti Sasuke tidak akan tertarik pada orang sepertinya, tidak tanpa suatu agenda. Dan dari cara Karin menatapnya tajam, sepeti memberitahunya bahwa Sasuke tidak benar- benar mendekatinya. Kekecewaan menghampiri Sakura, disusul rasa malu. Sasuke mungkin mendekatinya untuk membuat pacarnya—Karin—cemburu.
Bagus.
"Itachi mencarimu, Sasuke," kata Karin, dia tidak menatap Sakura lebih jauh.
Sisa pesta hanya kilasan kejadian kabur, Sakura mengernyit mengingat kebodohannya setiap dia melihat Sasuke di tengah kerumunan. Sasuke sama sekali tidak menatapnya, namun Karin—dia merasakan tatapan penilaiannya tidak pernah lepas.
Sakura mencoba berbaur beberapa saat agar terlihat seperti dia tidak berusaha kabur dari pesta di kesempatan pertama yang dia dapat. Masih jam sepuluh, dan kerumunan sedikit menipis saat Sakura menuju ruang penyimpanan coat. Sakura memberikan nomer mantelnya, menunggu petugas mengambilkannya.
Saat dia berada di dalam taksi, Sakura baru menyadari ada secarik kertas di dalam saku dalam coat yang sebelumnya tidak ada. Kertas itu, saat dia melihatnya lebih teliti adalah kertas berkualitas mahal yang tebal dan halus, seperti kartu nama mahal pada umumnya. Satu sisi hanyalah lembaran kosong. Merengut, Sakura membalikan kartu itu, menggigit pipi bagian dalam saat melihat tulisan Sasuke Uchiha, Pengacara Senior, Uchiha Firma dengan detail kontak dicetak dengan warna emas. Ada nomer ponsel yang ditulis dengan tulisan tangan rapi, walau terlihat seperti ditulis buru- buru, dengan tambahan 'Telepon aku,' di bawahnya.
.
.
Bukan rahasia bagi Sakura bahwa Karin Uchiha tidak begitu menyukainya.
Sakura tidak tahu apa yang menggangunya, tapi setidaknya mereka sudah melewati tingkatan di mana Karin tidak lagi mengira dia merayu dan menggunakan pesonanya untuk mendapatkan posisi lebih tinggi lewat Sasuke di malam pesta perusahaan. Karena A) apa kau sudah melihat Sakura? Dia tidak memiliki pesona, b) dia bahkan tidak tahu siapa Sasuke saat itu, dan C) Sakura memiliki rasa percaya diri yang rendah, bagaimana bisa dia berani merayu Sasuke?
Intinya adalah, Sakura sedikit terkejut saat Karin Uchiha mengunjungi apartemennya di hari setelah dia mengunjungi Sasuke di rumahsakit. Hari sabtu, untungnya, tapi itu berarti Sakura masih berada di ranjangnya sampai jam dua belas, saat Karin mengetuk pintu apartemennya. Itu membuat Sakura membukakan pintu dengan rambut berantakan dan masih memakai piama tidurnya—yang terdiri dari celana pendek dan kaos superhero yang sudah dia pakai sejak SMA. Canggung.
Sakura tidak berusaha mengintip lebih dulu lewat peephole sebelum membukakan pintu dan itu sama sekali tidak membantu. Maka dia mendapatkan kernyitan penuh dari Karin. Sakura menjulurkan lidah di dalam kepalanya, ini hari Sabtu, dia boleh bermalas- malasan.
"Well?" Karin bertanya, alisnya terangkat tidak sabar, sama seperti kebiasaan Sasuke. Hh, Sasuke...Baru satu hari, dan Sakura sudah merindukannya, sungguh menggelikan. "Kau tidak menyuruhku masuk?"
Sakura mengangguk, dia melangkah menuju dapur untuk membuat kopi. "Buatkan aku juga," suara Karin terdengar dari ruang tamu, Sakura hanya memutar bola mata.
Sepuluh menit kemudian, Sakura mendudukan diri di sofa super nyaman dengan cangkir mengepul di tangannya. Karin mengendus curiga kopinya, posisi duduknya seperti dia sedang berada di singasana dan bukannya di sofa yang Sakura beli di garage sale.
Setelah menyesap likuid surga di cangkirnya, Sakura merasa seperti manusia kembali. "Jadi," dia memulai, "ada yang bisa aku bantu?"
Tidak mungkin Karin Uchiha berkunjung ke apartemennya karena iseng. Dia jelas memiliki sesuatu untuk dibicarakan. Karin adalah salah satu petinggi Uchiha Firma, bersama dengan Itachi Uchiha, suaminya. Dia memutar cangkirnya sebelum menaruhnya di atas meja setelah menyesap kecil. Dia menatap sekeliling apartemen Sakura dengan pandangan tidak setuju.
"Jadi, Sakura," katanya, "berapa lama kau dan Sasuke..." dia mengayunkan tangannya membuat gestur yang Sakura tangkap sebagai berhubungan seks.
"Tiga tahun," jawab Sakura, memeluk cangkir dengan kedua tangan, "dan aku rasa kau tahu pasti tentang itu."
Karin mengerucutkan bibir, "Aku tahu," akunya, "dan tentu saja Sasuke sudah memperjelas bahwa, uh, hubungan kalian tidak akan menghasilkan apapun di masa depan?" Nadanya seperti sebuah pertanyaan, tapi kalimat Karin lebih seperti sebuah pernyataan.
Ah.
Jadi dia ingin membahas ini. "Ya, tapi aku pikir ini tidak ada hubungannya denganmu."
Kuku panjang indahnya mengetuk meja kopi. "Oh tidak," dia setuju, "tapi apa kau tidak berpikir bahwa tiga tahun adalah waktu yang cukup lama untuk Sasuke merasa bosan dengan seseorang? Dan saatnya mencari sesuatu yang baru?"
Sakura bukan seorang pengacara. Dia benci permainan kata seperti ini. "Kau mau aku putus darinya," kata Sakura memotong.
Karin mengerutkan hidung, "Putus? Itu menyiratkan bahwa kalian terikat sebuah komitmen, atau hubungan jangka panjang, yang kita semua tahu bukan begitu kasusnya. Jadi tidak, aku mau kau berhenti melakukan apa yang biasa kau lakukan dengannya."
Jujur saja, Sakura tidak tahu apa yang sudah dia lakukan sampai membuat Karin sangat tidak menyukainya. Interaksi mereka hanya sepintas lalu dan biasa saja. Namun Karin selalu memperlakukannya dengan tidak baik.
Tubuh Sakura bergetar menahan marah, hal bodoh karena dia tidak memiliki hak untuk tersinggung. "Aku tidak mengerti kenapa aku harus mendengarkanmu, ini sama sekali tidak ada hubungannya denganmu."
Karin menyandarkan punggung, dan Sakura merasa masam melihat bagaimana Karin bisa mengubah sofanya menjadi singasana pribadi. "Jangan bodoh, Sakura. Apa menurutmu aku melakukan ini tanpa alasan? Sasuke adalah adik iparku, dia bercerita tentang kehidupannya padaku. Dia sudah berpikir untuk mengakhiri semua ini selama beberapa bulan ini. Aku hanya membantunya dengan mengakhiri ini. Lagipula dia bahkan tidak bisa mengingat siapa kau."
Rasanya Sakura seperti dihantam palu godam, udara pergi dari paru- parunya. "Beberapa bulan?" ulangnya, semua harga dirinya pergi.
Cangkir di tangannya tiba- tiba terasa berat, maka dia meletakannya di meja dengan suara klak keras. Dia pasti terlihat sangat menyedihkan, karena setelah itu mata Karin melembut dan dia menepuk canggung lengan Sakura.
"Dengar," katanya, "aku yakin Sasuke menyukaimu, Tapi kau harus memahami bahwa tidak akan ada masa depan untuk kalian. Dia butuh sosok dengan nama keluarga stabil untuk mendampinginya,"
Tentu, Karin, silahkan lanjut putarkan pisau yang sudah kau tusuk di jantungku. Tidak apa- apa, Sakura memang memiliki sisi masokis.
Sakura tidak bisa menatap mata Karin, dia hanya menatap kosong cangkir kopinya, matanya memanas. Setelah beberapa lama, Karin berdiri. "Aku pulang," katanya pelan, dan Sakura ingat dia mengangguk.
Dia tidak ingat apa yang terjadi setelah itu, dan bangun dari sofa pukul tujuh sore dalam gelap. Jantungnya berdetak sakit di dadanya.
.
.
Saat Sakura mendapat promosi jabatan di Uchiha Firma tujuh bulan kemudian, orang pertama yang ingin ia hubungi setelah ayahnya adalah Sasuke. Itu adalah reaksi refleks dari otaknya. Tapi tidak demikian hubungan di antara mereka, tentu saja. Maka Sakura menahan diri, dan menelepon Ino sebagai gantinya.
Ino sangat senang mendengarnya dan mengajak Sakura untuk merayakan dengan mentraktir minum di bar saat mereka bertemu untuk makan malam perayaan. Menuju bar favorit mereka pukul delapan, Ino merangkulnya bangga saat mereka masuk, diikuti Naruto, Hinata, dan Sai. Malam itu berlalu samar- samar, makanan berminyak, percakapan tidak jelas, dan asupan alkohol tanpa henti. Sakura sudah merasa tipsy saat jam menunjukan pukul sepuluh.
Hinata dan Naruto pulang pukul sepuluh seperempat, mencemaskan bayi mereka yang ditinggalkan bersama ibu Hinata. Ino sedang berada di kamar mandi, mungkin masih menungu dengan antrian panjang. Maka hanya tinggal dia dan Sai, Sai sedang merangkulkan lengannya di pundak Sakura saat Sasuke Uchiha berjalan masuk ke bar.
Perhatiannya tertuju pada Sakura detik dia memasuki ruangan, mata menatap meja mereka tajam, dan whoa, dia terlihat marah. Mungkin karena Sakura sedikit mabuk, tapi melihat Sasuke marah kepadanya membuat Sakura ikut marah. Dan malam ini tidak seharusnya membuat dia marah.
Sakura baru saja naik jabatan, yang dia inginkan adalah untuk merasa gembira dengan pencapaiannya. Dia tidak mau berurusan dengan Sasuke yang sedang marah. Tidak.
Alis Sasuke memperlihatkan mode pembunuh berantai saat dia melangkah menuju meja mereka. Ino, masih entah di mana.
"Sakura," Sasuke menyapa dengan menggeretakan gigi, Sakura mengangguk, "siapa temanmu?"
Dalam ketegangan dan interaksi canggung itu, Sai melepaskan rangkulan tangannya. "Uh, hai Sasuke," sapa Sakura, "Ini Sai, dari Uchiha Firma, dia kepala IT, dan temanku. Sai, ini Sasuke Uchiha, dari Uchiha Firma, seperti yang sudah bisa kau tebak dari namanya, karena—"
"Sakura," potong Sasuke tersenyum, dan sial, itu adalah senyum paling tidak ramah , dan super berbahaya, "diam."
"Oke," Sakura membuat gerakan mengunci mulutnya.
Dan tentu saja saat itu Ino memutuskan untuk menampakan diri. "Oh, Hai Sasuke," sapanya. Oh, Sakura lupa menyebutkan bahwa Ino adalah asisten pribadi Sasuke.
"Aku akan mengantar Sakura pulang," kata Sasuke pada Ino, menarik lengan atas Sakura. Sakura akan dengan senang hati protes, namun saat tubuhnya menempel dengan tubuh hangat Sasuke, kalimat protesnya menyangkut di tenggorokan, karena pelukan Sasuke terasa amat nyaman.
Sakura tidak memperhatikan percakapan di antara mereka setelahnya, terlalu terlena dengan aroma lezat tubuh yang memeluknya. Sasuke menggiringnya menuju mobilnya, memasukan Sakura ke kursi penumpang. Sakura mungkin tertidur di perjalanan, karena saat dia tersadar, mereka sudah berada di garasi bawah tanah apartemen Sasuke, apa?
"Rumahku?" tanya Sakura bingung. Sasuke hanya menjawab tidak dengan nada kasar sebelum keluar dari mobil, memutar membukakan pintu untuk Sakura yang keluar dengan langkah sempoyongan. Sasuke menuntunnya menuju pintu lift, Sakura memejamkan mata dan menyandarkan kepala pada dada Sasuke saat menunggu lift.
Apartemen Sasuke gelap saat mereka sampai, Sasuke menarik Sakura menuju kamarnya. Seperti ada tombol yang baru saja dinyalakan, pikiran Sakura yang tadinya terpengaruh alkohol dan rasa kantuk menghilang saat betisnya mengenai ranjang Sasuke.
"Sini, sini..." lenguh Sakura, mencoba melepas baju yang ia kenakan, Sasuke sudah menyalakan lampu dan melangah ke arahnya, tangan kekarnyanya bergerak melepas kancing kemejanya, mata masih mengunci tubuh Sakura. Sakura mungkin harusnya merasa malu karena dia tidak merasa malu bertingkah nakal di depan Sasuke, namun dia masih dalam pengaruh alkohol.
Saat Sasuke sudah sampai di depan Sakura, dia sudah telanjang, Sakura masih kesulitan berkutat dengan kancing dan resleting.
Sasuke menghela nafas, tangannya mendorong dada Sakura sampai gadis itu terjatuh ke ranjang. Tangan kekarnya mulai melepaskan pakaian Sakura, gadis itu merasa lebih panas saat Sasuke berhasil melepaskan bajunya.
Baju dan celana akhirnya terlepas, Sasuke mulai menciumi betis Sakura lalu ke atas. Ujung hidung Sasuke terasa dingin menyapu kulit halus Sakura. Sasuke diam di sana beberapa saat, menghirup wangi Sakura. Jika saja itu adalah orang lain, maka Sakura akan mendeskripsikannya sikap Sasuke dengan kata lembut, seperti seseorang mencumbu kekasihnya. Sasuke mengangkat tubuh Sakura dan menjatuhkannya ke tengah ranjang. Tangan Sasuke meraba seluruh kulit porselen yang bisa dia capai. Bibirnya menghisap leher Sakura, meninggalkan tanda di tengkuk kemudian satu lagi di bawah telinga.
Sakura sudah sangat basah. Dia tahu Sasuke tidak suka saat dia menyentuh dirinya sendiri saat mereka bersama. Namun sepertinya Sasuke belum berniat berpindah dari leher Sakura, masih meninggalkan tanda di tempat yang tidak mungkin bisa ia tutupi besok.
"Sasuke, cepat..." Sakura melenguh, bibir, lidah dan ujung jari Sasuke sibuk bermain dengan puncak dada Sakura memberikan sengatan pada pangkal pahanya. Sakura menganggat pinggulnya, berusaha mencari friksi dengan tubuh Sasuke, dapat ia rasakan likuid merembas dari sana.
"Sial," Sasuke mendesis merasakan gerakan pinggul Sakura, tangannya membuka lebar paha Sakura dan hanya menatap selama beberapa saat. Sakura tahu wajahnya sudah merah padam karena malu, pahanya bergerak menutup membuat Sasuke menggeram. Mata pria itu tak lepas menatap Sakura, iris penuh hasrat sebelum menenggelamkan wajahnya di sana.
Pria itu senang mempermainkan hasrat Sakura, dia akan berhenti tepat saat Sakura hanya berjarak sejengkal dari puncak. "Sasuke... aku mohon..."
Menaruh dua bantal di bawah Sakura, dia membuat tubuh bagian bawah Sakura semakin terbuka dengan sudut yang ia inginkan. "Aku akan mencumbumu dengan keras, kau tidak akan mengingat nama orang lain selain aku." Sasuke mengigit leher Sakura cukup keras.
.
Sasuke selalu lebih lembut setelah mereka selesai, memperlakukan Sakura seperti gadis itu adalah kekasihnya. Dan Sakura selalu menikmatinya, kedekatan dan intimasi, bagian Sasuke yang ia damba dan simpan hanya untuk dirinya sendiri.
Setelah melepaskan diri, Sasuke mengambil bantal dari bawah tubuh Sakura, mengangkat tubuh lemas Sakura untuk posisi yang lebih nyaman. Dia memeluk Sakura erat ke dadanya, menghujani pelipis Sakura dengan ciuman seringan kapas. Sakura selalu memutar wajahnya untuk menyambut sebuah ciuman lembut, hangat basah, dan perlahan.
"Kau melakukannya dengan hebat," bisik Sasuke di telinga Sakura, membuat hatinya meluap bahagia. Dia mencoba mengatur perasaannya, membenamkan wajahnya di leher Sasuke, menyesap aroma tubuh mereka yang tercampur bersama.
Dia mengatakan pada dirinya bahwa ini sudah cukup, bahwa dia sudah mendapatkan lebih dari yang orang lain dapatkan.
Tapi sekali lagi, siapa yang sedang dia coba bohongi?
.
.
.
A/N: Apa ini? Benernya mau oneshot, tapi ternyata masih setengahnya aku udah berasa terlalu panjang, jadilah aku penggal. Alur bolak-balik mungkin masih sedikit membingungan apalagi kalau dipenggal sampai sini. But bear with me, people.
Anyway, Terimakasih sudah membaca. See you in the near-ish future~
Kritik, saran dan pendapat (atau ada yang mau menebak apa reaksi Sasuke selanjutnya ) silahkan sampaikan lewat review.
-with cherry on top-
.the autumn evening.
