Naruto © Masashi Kishimoto
.
Nocturne
.
Warning: Rated-M, OOC, OC AU, TypoS, Gaje, Aneh
.
.
Udara di pagi hari masih beraroma hujan tadi malam. Beberapa bagian jalanan terlihat becek, tapi tidak menyurutkan pejalan kaki melintasi jalanan dengan terburu-buru. Sesekali ada yang berlari sambil menghindari genangan air. Jika ada yang tidak sengaja menginjak kubangan air itu, mereka akan menggerutu sebentar lalu kembali berjalan.
Hinata berada di tengah kesibukan itu. Matanya fokus menatap layar ponsel cerdasnya dan terkadang akan melihat ke depan. Di telinganya tergantung handsfree yang tak bersuara tetapi mulutnya bersenandung pelan, entah menyanyikan lagu apa.
Hinata membelokkan langkahnya ke kiri. Tak jauh di depan, pagar kebesaran sekolahnya telah terlihat. Hinata terus melangkah hingga masuk ke sekolahnya tanpa melepaskan fokusnya dari layar ponselnya. Secepat kilat Hinata mengganti sepatu hitamnya dengan uwabaki dan beranjak dari sana.
Hari ini adalah hari pertama tahun ketiganya di sekolah itu. Tahun lalu Hinata tidak begitu sukses mencetak nilai terbaik di buku rapor, jadi Hinata tak berharap banyak untuk tahun ini. Lagipula tidak akan ada yang berubah, teman sekelasnya akan tetap sama dengan tahun lalu, begitu juga dirinya; tetap menjadi seorang Hyuuga yang berada paling bawah pada rantai makanan di dalam kelas yang penuh oleh anak-anak populer.
Karena sibuk dengan pemikirannya sendiri, Hinata tanpa sadar sudah berada di depan kelasnya. Ia diam sejenak di sana, melihat teman-teman kelasnya yang sudah datang dan mengisi meja-meja, hanya menyisakan sebuah meja dan kursi tepat di tengah kelas, posisinya sejak dulu.
"Tidak lagi," gumam Hinata. Alisnya tertarik ke atas sedikit, kecewa, "Ku mohon tidak lagi, Tuhan."
Dengan doanya yang singkat itu, Hinata memberanikan masuk. Keributan kecil dari kerumunan di kelas tiba-tiba menghilang, semua perhatian tersedot ke Hyuuga yang baru saja menggeser pintu. Hinata yang masih memakai handsfree melangkah lambat-lambat sambil menunduk.
"Hinata-chan," suara yang berasal dari depan Hinata membuat ia sedikit mengangkat kepala. Di depannya telah ada gadis berambut merah jambu yang memotong jalannya menuju bangkunya, "Saat jam istirahat nanti, jangan lupa ya ke tempat biasa. Kami sudah rindu padamu."
Hinata kembali menunduk, "I-i-iya."
"Bagus," Sakura tersenyum senang, "Kenapa kamu tidak tersenyum? Kamu tidak kangen ya? Padahal selama liburan ini aku sangat ingin bertemu denganmu."
Suasana masih hening, Hinata seketika berkeringat dingin. Perlahan Hinata mengangkat kepalanya, sudut-sudut bibirnya tertarik paksa. Dasar pembual, "Aku j-juga k-k-kangen, Sakura-san."
"Ya sudah," tutup Sakura, kembali ke kerumunan di kelas itu. Mereka pun kembali berbicara seperti semula, meninggalkan Hinata sendirian.
Hinata menggapai kursi dan duduk di atasnya. Handsfree bisunya telah terletak di atas meja, berikut dengan ponselnya. Tangan Hinata meremas roknya kuat dengan tetap menunduk.
"Tuhan apa salahku," teriak Hinata dalam hati. Ini tidak seperti mimpinya tadi malam!
Di mimpi Hinata, sangat jelas jika orang-orang itu tidak akan menganggunya lagi, menoleh pun tidak. Hinata akan terbebas dari kekejaman mereka hingga tamat SMA, dan yang paling utama, ia bisa menikmati masa muda. Tidak akan ada yang membicarakannya di belakang, menyuruhnya memberi uang jajan, menjadikannya budak, dan yang paling utama ... Hinata bisa berkencan.
Padahal mimpi Hinata selama ini selalu terjadi, setidaknya akhir-akhir ini. Tapi mana buktinya? Baru hari pertama saja Hinata sudah harus menemui mereka.
Terkadang Hinata berpikir Tuhan begitu kejam padanya.
Dari sudut matanya Hinata memandang kerumunan itu, meneliti satu persatu wajah teman sekelasnya. Sangat sulit untuk melihat orang-orang itu tanpa menoleh ke belakang, maka dari itu Hinata berpura-pura membenarkan tas yang ada di bangkunya dan mengambil beberapa buku.
"Ada apa, Hinata-chan?" Sakura menegur Hinata, tatapannya menyipit, "Kamu butuh sesuatu?" Lalu gadis Haruno itu tersenyum.
"A-aku hanya ingin mengambil b-buku," Hinata menatap sekilas lalu cepat-cepat menundukkan pandangan, "Maaf mengganggumu."
"Tidak apa," Sakura kembali menaruh perhatiannya pada kelompoknya.
Hinata pelan-pelan mendesah lega. Sakura tidak curiga, padahal sangat kentara jika Hinata gugup. Biasanya Sakura tidak akan menerima alasannya begitu saja, pasti Sakura akan membantahnya terus hingga Hinata terpaksa mengatakan kebohongan yang akan membuat gadis itu puas. Jika sudah begitu, Sakura biasanya akan mempermalukannya di depan umum.
Gadis Hyuuga membuka lembar demi lembar buku yang diambil. Kepalanya bergerak-gerak seolah membaca,walaupun pikirannya melayang entah kemana. Ia kembali mengingat siapa-siapa saja yang ada di sana tadi. Sakura, Ino, Tenten, Shion, Naruto, Sai, Kiba, Shikamaru dan ...
Hinata harus menelan kecewa karena lelaki itu masih ada di sana dengan tangan yang digelayut mesra Sakura.
.
.
Bel istirahat baru saja berbunyi. Penghuni kelas berhamburan keluar, menyisakan Hinata dan Shino di dalam kelas. Tak lama, Hinata beranjak untuk pergi menemui Sakura tapi panggilan Shino menghentikan langkahnya.
"Hyuuga-san," panggil Shino, "Aku lupa bilang kalau Kurenai-sensei memanggilmu tadi. Kau disuruh ke ruang guru."
Hinata melirik jam dinding yang ada di kelasnya, sudah lima menit sejak bel istirahat berbunyi. Lupa membalas ucapan Shino, Hinata segera mengangguk, "Terima kasih, Aburame-san."
Gadis itu buru-buru ke ruang guru. Hinata harus sesegera mungkin menyelesaikan masalahnya dengan Kurenai-sensei atau ia akan dalam keadaan bahaya. Dalam hati Hinata komat-kamit berdoa agar waktu berjalan lambat. Lagipula, ada apa gerangan guru kimia itu memanggil Hinata? Sejak dulu guru itu tak pernah memanggil Hinata secara pribadi, walaupun nilai Hinata bermasalah.
Begitu sampai di ruang guru, Hinata menunduk begitu melihat ada sensei yang lewat. Melewati beberapa meja, Hinata harus menelan kekecewaan melihat tidak ada Kurenai-sensei. Maka dari itu, Hinata menanyakan keberadaan gurunya pada guru lain.
"Oh Kurenai-sensei ya?" Guru pria itu tampak berpikir, "Aku pikir dia ada di perpustakaan. Sejak tadi pagi dia ada di sana."
Dengan itu Hinata berterima kasih dan pergi ke perpustakaan dengan sedikit berlari. Ia melihat jam di ponselnya, sudah 13 menit berlalu.
Napas Hinata sudah terputus-putus begitu sampai di depan perpustakaan. Saat memasuki ruangan penuh buku itu, Hinata kembali kecewa karena Kurenai-sensei tak ada di sana.
"Tadi Kurenai-sensei ada di sini. Baru saja pergi. Mungkin ke labor kimia," ucap penjaga perpustakaan.
Hinata lagi-lagi mengucapkan terima kasih. Jarak antara perpustakaan, labor kimia, dan tangga menuju atap begitu jauh. Jika ia berlari ke labor kimia sekarang, mungkin dia akan sangat telat untuk sampai di atap. Terlebih sekarang sisa jam istirahat pertama hanya tinggal sepuluh menit, apakah akan cukup? Haruskah ia langsung saja ke atap dan menemui sensei-nya pada istirahat sesi dua?
"Astaga. Lindungi aku Tuhan."
Dengan itu Hinata berlari ke labor kimia. Rambutnya sudah tak karuan lagi, kusut akan terpaan angin yang menyapu rambutnya. Wajah Hinata mengilap karena keringat. Tidak terhitung berapa kali orang-orang yang berlalu lalang menegur Hinata yang berlari di koridor tetapi Hinata tidak peduli. Kakinya terus melangkah menuju labor kimia secepat yang ia bisa.
Saat sampai, Hinata menarik napas dulu sebelum memasuki ruangan. Ia geser pintu labor kimia itu dan menemukan gurunya sedang asik membaca buku, "Sensei ..."
Kurenai-sensei langsung menoleh, "Ah Hyuuga-san. Ada apa? Kenapa kamu terengah-engah begitu?"
Apa?
Ada apa?
"Sensei tidak memanggilku?"
Wanita itu keheranan, "Tidak, siapa yang bilang kalau aku memanggilmu?"
Hinata ikut keheranan, "Bukankah tadi ..."
Aku lupa bilang kalau Kurenai-sensei memanggilmu tadi. Kau disuruh ke ruang guru.
Dan kini Hinata mengerti. Ini merupakan bagian dari "candaan" mereka.
"Maaf sensei, sepertinya aku salah dengar. Maaf menganggu Anda," dan Hinata tersenyum kikuk, kemudian menutup lagi pintu itu.
Seharusnya Hinata curiga dari awal. Belum pernah sekali pun Kurenai-sensei memanggil anak murid untuk menemuinya. Seharusnya Hinata sadar kalau itu adalah jebakan.
Hinata merutuk. Dengan putus asa, ia kembali berlari ke atap, berharap masih ada menit-menit yang tersisa untuknya. Walaupun dua menit tidak apa, setidaknya Hinata telah menyetorkan wajahnya ke orang-orang itu. Terserah dengan hukuman dari mereka karena mereka pasti sudah memperhitungkan ini.
Untuk sampai ke atap sekolah, Hinata harus melewati satu gedung dan dua tangga. Tungkai Hinata telah lemas sejak ia keluar dari labor kimia, tidak bisa diajak kompromi lagi yang membuat kecepatan larinya semakin melambat. Sangat lambat hingga Hinata kira ia merangkak, bukan berlari.
"Aw!" Hinata terjatuh di anak tangga kelima sebelum atap. Ia melirik lututnya, lecet.
Begitu sampai di depan pintu menuju atap, Hinata langsung mendobraknya.
Mata Hinata segera disambut oleh rambut platinum blond yang berkibar karena ditiup angin dengan netra aquamarine yang menatapnya bosan. Hanya ada Yamanaka Ino di sana, terduduk dengan kaki mengantung di atas tembok tak jauh dari pintu.
Hati Hinata mencelos.
KRIIING KRIIING
Bel tanda akhir istirahat berbunyi. Sontak Ino tegak dan berjalan ke arah Hinata. Ia berhenti begitu sampai di sebelah Hinata, "Sayang sekali, mereka baru saja turun lima menit yang lalu."
Tidak.
Gadis populer itu kembali berjalan, begitu di depan pintu yang menghubungkan atap dengan tangga, ia berhenti sejenak, "Ah ya, terima kasih atas buku tugas matematikanya."
Hinata terdiam.
Tatapan mata Hinata mengarah ke buku tulis di depannya yang bentuknya sudah tak karuan.
Seperti hatinya yang terasa mau meledak.
.
.
"Bisa kau jelaskan padaku mengapa kau terlambat, Hinata-chan?"
Sakura berdiri di hadapan Hinata, berkacak pinggang. Ia menatap kesal Hinata yang tak kunjung bersuara dan terlihat takut-takut. Oh, lihatlah betapa menggigilnya si Hyuuga itu! Sakura berani bertaruh kalau Hinata bahkan menyumpahi ia dibelakangnya dan sekarang Hinata berlagak ketakutan.
"Kau tuli?" sela Shion.
"A-A-A ...," Hinata menarik napas, "A-Aku tadi mencari Kurenai-sensei, Aburame-san bilang kalau sensei mencariku."
"Kau terlalu bodoh untuk ingat kalau Kurenai tidak pernah mencari muridnya," Sai menyimpulkan sambil tersenyum.
Ucapan Sai benar-benar menohok dirinya. Tidak pun Sai bilang, Hinata sudah tahu akan hal itu, Kurenai-sensei tak pernah meminta muridnya bertemu di luar jam pelajaran. Kebodohan ini membuat Hinata menggigit dinding bibirnya, menahan tangis yang mulai terkumpul di pelupuk mata. Hinata tidak boleh menangis jika ia ingin selamat.
"Sakura, dia sungguh bodoh," sela Shikamaru, "Lepaskan saja dia, aku bosan dengan Hyuuga ini."
"SHIKA! Kau lupa ya kalau aku harus menunggunya? Aku bahkan tidak sempat makan!" Protes Ino. Matanya menatap Hinata geram. Enak saja di biarkan.
Teman-teman gadisnya yang lain menyatakan kesetujuannya, menolak Hinata untuk dibebaskan. Suara mereka itu seakan menggema di telinga Hinata dan membuatnya mendengar kalau mereka ingin Hinata mati.
Hinata semakin gemetar.
Tenten akhirnya tegak, berdiri di sebelah Sakura. Tangannya menjatuhkan rantai dan choker anjing, "Duduk!"
Hinata segera duduk.
Tenten mengambil choker itu dan mengalunginya di leher Hinata. Puas dengan pekerjaannya, Tenten tersenyum, "Hinata ayo kita main anjing-anjingan. Aku majikan, kau puppy-nya, oke?"
"I-iya."
Naruto yang sedari tadi asik dengan ponselnya tiba-tiba nimbrung. Kesal dengan suara Hinata yang membuat game yang dimainkannya kalah, "Ah sial! Mana ada anjing bicara sialan!"
"Guk guk."
"Anjingmu sakit, Tenten? Atau bisu?" Ucap Shion.
"Guk! Guk!"
Ino mendekati Hinata, "Aku ingin tahu dia bisa apa saja ... Hmmm, berguling?"
Hinata berguling ke kanan. Sebelum ia dapat kembali ke posisi semula, badannya ditendang.
"Anjing nakal! Majikanmu aku jadi kau hanya mendengarkan perkataanku!" Tenten menendang lagi badan 'anjingnya'.
Hinata meringkuk kesakitan. Tentangan Tenten tepat mengenai perutnya yang belum terisi makanan. Rasanya sangat menyiksa, terlebih maag Hinata tetiba kambuh. Tak hanya badannya yang sakit, hati Hinata juga terasa perih karena membiarkan dirinya dihina. Sementara yang lainnya hanya menatap datar, tidak menaruh kepedulian sedikit pun.
Sakura menghela napas, beranjak menuju sisi Sasuke, "Kau saja yang bermain dengannya Tenten. Aku lelah."
Dari sudut matanya, Hinata dapat melihat Sakura menyandarkan kepalanya di bahu Sasuke, lelaki Uchiha yang hanya menatap 'kegiatan' mereka dalam diam. Merasa tak diacuhkan, Sakura mendengus pelan dan menjauhi Sasuke. Hinata tidak bisa melihat kelanjutannya begitu Tenten kembali menendang.
"Ke. Mana. Matamu. Pergi. Sialan!" Teriak Tenten.
"Guk guk!" Hinata merintih.
Tenten berdecih. Ia kemudian berjongkok dan menarik rambut Hinata, "Biasanya anjing selalu pipis sembarang. Kau tidak mau, bitch?" Lalu tenten melepaskan genggamannya dan tersenyum.
"Ah, benar! Anjing selalu pipis sembarangan kau tahu," Naruto memajukan bibirnya, "Bahkan anjing nenekku pernah pipis dikakiku."
"Guk guk guk," Hinata menggeleng. Tidak sudah cukup, Hinata tidak ingin dipermalukan lebih dari ini.
Shion bangkit, "Sepertinya anjingmu perlu bantuan, Tenten. Sini aku bantu ya."
Berakhirnya dengan ucapan Shion, Hinata dapat merasakan tangan yang menarik sebelah kakinya yang sedang dalam posisi merangkak ke atas. Tidak apa-apa, rok Hinata cukup dalam dan ia memakai celana tambahan di dalam roknya.
Namun hal itu menyebabkan ketidakpuasan di mata Shion, "Mana ada anjing yang pakai celana." Shion langsung menurunkan celana Hinata.
"Guk! Guk!"
Shion membawa kaki Hinata berputar, memamerkan hasil kerjanya ke teman-teman. Naruto menatap takjub dapat melihat panty hitam si cupu Hinata di balik roknya, "Aku tak menyangka cewek cupu sepertimu suka pakai celana dalam berwarna. Kukira hanya putih."
Hinata menunduk dalam. Ia malu, sangat! Sudah pasti celana dalamnya terlihat jelas, sangat jelas. Sudah pasti semua laki-laki yang ada di sana melihatnya. Sudah pasti ...
... Sasuke melihatnya.
Tidak! Berhenti!
"Guk! Guk!" Hinata menggonggong kuat. Ia menarik kakinya dari tangan Shion dan sialnya, kakinya malah menendang Shion.
Gadis blond itu merah padam, "Kau kira siapa dirimu HAH!"
Dan yang kemudian dapat Hinata rasakan adalah rasa sakit pada tubuhnya dan telinganya yang berdengung oleh makian. Tubuh Hinata meringkuk menutupi kepala dan menutup mata. Tak lama ia mendengar suara Shikamaru yang marah dan derapan langkah yang menjauhi dirinya.
Begitu Hinata membuka mata, ia dapat melihat sepasang manik hitam yang menatap kasihan padanya sekilas.
Mata milik Sasuke, cinta pertamanya.
.
.
Hinata merasa tidak beruntung karena ia tidak mati saat itu, ia lebih ingin mati saja di tangan Shion sehingga Hinata tak perlu merasa kesakitan dan takut. Guru pun selalu seperti itu, datang terlambat saat pem-bully-nya sudah kabur lalu bertanya pada Hinata siapa pelakunya, yang tentu saja, tidak akan Hinata jawab. Hinata tidak ingin mengadu dan tak ingin pula dirinya dikadu oleh murid lain ke kelompok itu. Cukup Hinata menderita sekali saja, tidak perlu berulang kali dengan tingkat kekejaman yang bertambah. Baru begini saja, sendi-sendinya serasa hampir lepas dan tubuhnya terasa remuk.
Hari sudah gelap ketika Hinata pulang menuju rumahnya. Ia menghabiskan sebagian sisa jam sekolahnya berada di majelis guru dan UKS yang penuh dengan pertanyaan dari orang dewasa. Nasib baik Hinata tidak pulang terlalu malam dan ketinggalan bus. Jalanan menuju rumahnya juga sudah cukup sepi hanya beberapa orang yang berlalu lalang.
Di tengah suasana sepi itu, Hinata menangkap suara tangisan yang terasa jauh. Begitu ia menoleh, Hinata tak menemukan seorang pun di sana apalagi yang menangis.
"Tolong."
Bukan hanya tangisan, kali ini Hinata mendengar suara minta tolong tetapi begitu Hinata periksa sekelilingnya, ia tak melihat siapa pun.
"Tolong!" Suara teriakan itu semakin keras, Hinata semakin sibuk memutar pandangan, "Tolong!"
"Siapa di sana?" Balas Hinata dengan berteriak juga yang hanya dibalas dengan kata yang sama, tolong.
"Tolong!"
Hinata akhirnya menemukan darimana suara itu berasal, dari belakangnya. Perlahan tapi pasti, Hinata mendengar derap lari yang semakin dekat. Tak lama terlihat wanita paruh baya yang berlari tergopoh-gopoh dengan kaki telanjang, "T-tolong!"
Lari wanita itu melemah seiring dengan matanya yang menangkap Hinata di ujung jalan, hingga akhirnya jatuh pingsan. Hinata dengan sigap menangkapnya tepat sebelum menyentuh aspal dan menyadari bercak darah di telapak tangannya, "Kau kenapa, Nona?"
Tidak ada tanggapan.
Tanpa Hinata sadari, seorang pria sudah berdiri di depannya yang menggenggam sebilah pisau yang berlumuran darah. Hinata terdiam, pikirannya tiba-tiba berkabut. Ada apa ini.
"Kembalikan Risa," ucap pria itu serak.
Entah mendapat keberanian dari mana, Hinata berdiri. Tatapannya menyalang tepat di mata pria itu, tak ada satu pun ketakutan di sana, "Tidak akan."
Oh sial. Sejak kapan kau berani, Hinata. Pergi dari sini sialan.
Pria itu tersenyum, mengacungkan pisaunya, "Aku ingin menjemput pacarku, Nak. Jangan ganggu." Ia melangkah maju tetapi segera dihadang, "Minggir."
"Tidak akan," Hinata menatap garang, merentangkan kedua tangannya dengan wajah yang seolah berani, padahal lututnya sudah gemetar tak karuan.
Tak perlu hitungan menit, Hinata merasakan tubuhnya sudah jatuh mencium aspal yang diiringi rasa sakit luar biasa pada perutnya. Pria itu tertawa sambil terus mendalamkan tusukannya.
"L-lepas," Hinata menggenggam tangan pria yang masih menancapkan pisaunya. Kekuatan Hinata yang lemah mampu melepas pisau dari perutnya, "P-p-perutku ..."
Lelaki jangkung itu kini mengarahkan pisaunya ke bagian perut Hinata yang lain. Gadis Hyuuga itu berhasil mencegahnya sebelum benar-benar mengoyak kulitnya, "J-jangan." Dengan tenaganya yang tersisa, Hinata membalikkan arah pisaunya yang langsung ditepis oleh pria itu dan terlempar tak begitu jauh.
"Hahaha!" Tawa pria itu, "Sabar Risa, aku akan menjemputmu," dengan itu, ia melilitkan telapak tangannya di sekeliling leher Hinata. Gadis itu sontak tersedak, menggerakkan kakinya agar dapat menendang sesuatu, serta mengarahkan tangannya untuk mengurangi cekikkannya.
"UGH ARGH," Hinata kesakitan. Paru-parunya sudah perlu pasokan oksigen baru tapi ia tidak bisa berbuat banyak, terlebih rasa perih dari abdomen kanannya terasa begitu menyiksa, "Lep-UGH."
Di detik-detik terakhir kesadarannya, netra Hinata menangkap pisau yang masih bisa ia raih. Perlahan tangan Hinata meraihnya dan ...
SPLASH
Pisau itu menancap secara sempurna di sisi kiri leher pria itu. Dengan sisa tenaga, Hinata menarik gagang pisau ke tengah leher, mengoyak setengah leher pria pembunuh. Tak lama ia terjatuh dan tidak bergerak.
Hinata bernapas keras-keras. Apa yang baru saja dilakukannya tadi? Bersikap heroik? Pembelaan? Hinata seketika gemetar.
Mata gadis itu menangkap pria di depannya yang mengeluarkan banyak darah. Tak jauh dari sana ia menangkap wanita yang dipanggil Risa tidak bergerak sedikit pun. Seketika ia kalut, takut.
"Tidak," ucap Hinata dengan tangan gemetar, "A-aku tidak membunuhnya."
Saat hendak berdiri, rasa sakit dari perutnya kembali terasa. Sakit, sangat sakit. Darah dari lukanya sudah merembes terlalu banyak, memerahkan seragamnya dan menetes di atas aspal. Tak perlu menunggu lama, tubuh Hinata kembali membentur tanah, lemas karena kehilangan banyak darah.
Apakah aku akan mati?
Dari bawah sana, Hinata dapat melihat langit malam yang tidak berhiaskan satu bintang pun. Langit itu bersih tanpa awan, gelap, dan mirip rambut lelaki itu.
"Sasuke," Hinata memegang lukanya, tanpa mengalihkan pandangan dari langit, "Apakah kau mengasihaniku, Sasuke?"
Hinata tersenyum. Selalu saja, saat ia terluka seperti ini akan ada "Sasuke" yang bersamanya. Baik Sasuke yang asli, atau pun hal yang mengingkatkannya pada Sasuke.
Pandangan Hinata terasa semakin kabur, ia sungguh mengantuk. Jika tidur sebentar, tidak apa-apa kan? Ia akan tetap bisa melihat Sasuke lagi kan?"
Dalam kesakitannya, Hinata menangis. Ia menolak untuk memejamkan mata, walau pandangannya semakin gelap, tubuhnya lelah dan sakit serta rasa kantuk yang luar biasa, "Aku masih ingin hidup. Aku ingin bersama dengan S-Sasuke."
"Aku ... Sasuke ...," ucapan Hinata semakin lemah. Kini mata gadis itu terpejam sempurna. Ia tidak merasakan apa-apa lagi.
Sasuke ...
.
.
Hal yang selalu dilakukan pertama kali oleh Hinata adalah meregangkan tubuhnya di atas tempat tidur. Maka begitu nada jam waker membangunkannya, Hinata langsung melakukan gerakan regangan sederhana untuk membuat tubuhnya lebih segar. Begitu selesai, ia akan meminum susu segar, membakar rotinya, lalu membersihkan diri sebelum berangkat sekolah. Ya, itu kegiatan rutin yang biasanya Hinata lakukan. Biasanya.
"Tidak!"
Hinata berteriak, terbangun dari tidurnya secara tiba-tiba. Matanya terbelalak lebar dan napasnya terengah-engah bagai seseorang yang baru saja marathon. Wajahnya menyiratkan kebingungan yang amat sangat.
Gadis itu langsung menoleh ke abdomen kanannya dan meraba, tidak terluka, ia baik saja. Kini ia melihat pakaiannya, ternyata ia masih menggunakan piyama favoritnya, bukan baju seragam yang berlumuran darah.
Ia mendesah lega. Ternyata hanya mimpi ya.
Tapi mimpi itu ... terasa begitu nyata. Hinata bahkan masih ingat sensasi pisau yang membelah perutnya serta tangannya yang memegang senjata itu.
Tanpa sadar gadis itu melamun, tak mendengar suara kecil yang asing di dekatnya.
"Sial," suara gerutuan dari sisi bawah tempat tidur Hinata membuat gadis itu pucat. Suara seorang lelaki, suara yang begitu dikenalnya, "Kenapa dingin dan keras sekali?"
Hinata menengok ke bawah, asal dari suara yang mengacaukan lamunannya.
Pada saat yang sama, lelaki yang di sana melihat gadis itu yang membuat mereka saling bertatapan. Seketika mereka terdiam, kaget.
Bukan hanya keberadaan lelaki itu yang membuat Hinata kaget. Keadaannya sekarang yang semakin membuat wajah gadis itu merasa darah di tubuhnya pergi entah kemana.
Uchiha Sasuke ada di kamarnya. Telanjang bulat.
"Hyuuga?"
.
.
TBC
.
.
A/N: Halo apa kabar? Sudah tiga tahun tidak ada post apa-apa. Maaf keun diriku ini yang sok sibuk:" Semoga ceritanya pas dilidah wkwkwk. Maafkan diriku yang udah kaku menulis dan saat kembali menulis malah jadinya aneh... Terinspirasi dari Gantz karya Oya Hiroku. Tapi genrenya bukan fantasy dan crime/gore kok...
Your masukan is highly appreciated.
Find me on Wattpad: marsalarin
Terima kasih!
