Re: Andante

RE:

Naruto (Masashi Kishimoto)

Penulis tidak mendapat keuntungan apapun dari fanfiksi ini

.

.

Sekali saja. Setiap musim, kala dedaunan mulai menua dan menguning, kala ranting-ranting semula kokoh, rapuh dan melepas genggamannya. Semi yang hangat tanpa rasa bergulir jadi lebih dingin. Meski samar, tapi ia masih ingat, bagaimana rona daun-daun itu di musim gugur, atau kah bagaimana corak pohon di sepanjang jalan yang biasa ia lewati.

Tongkat kayu cokelat tersebut mulai menjadi teman setia. Menuntun langkah-langkah tanpa arahnya, menjaga dari lalu lalang satu, pun sekelompok orang.

Ia tidak berpikir bila ini adalah karma. Hukuman atas kebiadabannya, toh ia sendiri yang memilih jalan ini. Jalan gelap, dengan binar yang tak lagi menyala, selamanya.

Buag ... boug ...

"Monster buta! Monster buta! Bwahahaaa ..."

"Teman-teman, ayo serang dia!"

Anak-anak itu--entah anak-anak siapa--selalu menjahilinya. Boleh jadi anak-anak yang sama. Setiap kali saat ia menyusuri jalanan, samar tercium pekat aroma kopi dari sebuah kedai. Lalu, wangi-wangi khas kelopak mekar yang sepertinya datang dari toko bunga. Kemudian serupa bau pattiserie, sebelum akhirnya ia duduk pada kursi panjang, sampai sekelompok bocah menghampiri sembari melempar batu.

Dan ketika itu terjadi, seorang wanita pasti datang memarahi anak-anak tersebut. Ia tidak tahu siapa, tapi sang perempuan tampaknya begitu baik.

"Berapa kali kubilang berhenti mengganggunyaaaa!"

"Ho-hoowaaaa ... lariiiiii!"

"Awas ya kalian!"

Terdengar tapak kaki beberapa orang berlari menjauh.

"Apa Anda terluka?"

Pertanyaan yang sama, dan bernada formal tak ubah biasanya.

Dia kemudian duduk di samping pemuda buta itu.

Bau yang khas, bau bunga lavender yang selalu mengingatkannya pada sosok 'itu'.

Naruto tersenyum getir.

.

Akulah monster yang harus kau jauhi

Aku mencintaimu dari lama

Rasaku padamu tak pernah berubah

Tidak salah.

Sama sekali tidak ada salah yang salah

Aku sudah berjanji akan membahagiakanmu kan?

Ingat pertanyaanmu sore itu,

"Bagaimana indahnya langit sore ini? Bisa ceritakan padaku?"

Kau harus melihatnya sendiri. Bahwa ... tak semua yang kukatakan adalah kebohongan.

"Naruto menitipkan penglihatannya padamu. Bukan kau merebut mata itu darinya. Cahaya Naruto adalah kau. Jika dengan mata ini kau jadi redup, maka semua tidak ada artinya."

Lalu, apakah bahagia di atas kepedihan orang lain itu berarti?

Jika dahulu ia begitu membenci Naruto, rasanya sekarang Hinata berbalik mengutuk diri sendiri.

Jika Naruto bisa berkorban besar untuknya, meski sedikit, Hinata akan berusaha mengenal Naruto lebih dalam lagi.

.

"Alat pengubah suara?"

"Um. Cara pakainya begitu mudah. Hanya dijepitkan pada kerah baju, klik on, maka suara kita akan berubah. Aku tidak sabar untuk mecobanyaa."

Wajah Hinata lama membungkam semringah. Seuntai kurva enggan lagi kentara di bibir ranumnya semenjak ia tahu sang pendonor mata ialah sahabatnya, sekaligus seorang yang paling dia benci.

Tawa bahkan memudar lama. Hingga terlupa, kapan terakhir bibir itu tergelak oleh bahagia.

Hari-hari dilalui Hinata dalam belenggu kebimbangan. Bukan salah dia memang, akan tetapi hati tak dapat dibohongi jika rasa bersalah berdiam, tumbuh, meninggi, menghantui, sampai membentuk sebuah sudut pandang bercabang. Otaknya dituntut memikirkan kehidupan pemuda itu selanjutnya. Apalagi melalui mata ini, Hinata acap merasa di suatu waktu, di sebuah tempat, berperan sebagai Naruto yang mencintai dirinya.

"Aku sudah ingatkan, Naruto tidak ingin lagi bertemu denganmu. Dia hanya berusaha mengabulkan keinginanmu saat itu, Hinata. Haruskah kau merusaknya dengan muncul di hadapannya?"

Kala Shion bertanya tentang itu, Hinata sebatas mampu menunduk. Irisnya teduh menatap bawah pada sepasang sepatu kets yang ia kenakan.

"Aku ingin memperbaiki semuanya sebelum benar-benar hancur, Kak."

"Apa? Memperbaiki? Bukankah kau sudah meremukkannya tanpa kau sadari? Jujur aku membencinya karena memanfaatkan kekuranganmu. Tetapi di sisi lain, hanya Naruto, lelaki pertama yang kujumpai mau berkorban banyak demi orang yang dia cinta. Aku bahkan iri, aku ragu Neji bisa melakukan tindakan yang sama dengan pemuda itu."

Sebelah tangan Hinata lemah bergerak menutupi mata. Rambut indigonya terurai jatuh sepinggang--tergoyang angin bertiup semilir.

Keduanya berdiri di balkon rumah dengan posisi saling menghadap. Shion sebatas mau sekali lagi menegaskan jika Naruto tak ingin menemui Hinata seperti kata-katanya sesaat sebelum masuk ruang operasi.

"Urungkan niatmu." Tangan Shion menggenggam pergelangan tangan Hinata dengan kuat.

"Aku sudah bertekad, Kak. Benar dia menyakitiku. Dia memperlakukanku seperti orang bodoh. Aku menghakiminya dengan cara yang menurutku benar dan wajar di pikiran semua orang. Tapi saat aku mengingat kembali masa-masa itu, Naruto sekalipun tak pernah memperlakukanku dengan buruk. Dia selalu bertindak lembut dan membantuku dalam segala hal; termasuk menuntunku berjalan kemanapun ku mau. Ditambah mata ini, semua yang ia lalui pelan-pelan mampu kulihat. Aku selalu memikirkannya Kak, ketika Naruto berusaha menjadi cahaya terbaik untukku, aku justru membalasnya dengan keji. Julukan monster yang pernah kutujukan padanya rasanya lebih pantas kusandang sendiri." Matanya yang mulai memanas tak ia sadari sejak kapan. Tiba-tiba bulir itu luruh begitu saja, jatuh, menyusuri pipi. "Aku ingin sedikit berguna baginya Kak--"

Terlihat sakit saat Hinata mencengkram leher kausnya dengan erat. Suaranya semakin terdengar lemah, serak, dan tercekat di tenggorokan.

Shion bingung harus bagaimana. Sepertinya, Hinata memang sungguh-sungguh dengan ini.

"Selamanya Naruto takkan dapat menggantikan Sasori-kun.Tapi dia pemuda yang sama baiknya dengan Sasori-kun. Aku ingin menjadi pelitanya dengan cara yang sama dengan dia dulu; menggunakan kebohongan. Ini bukan balas dendam Kak. Aku hanya mencari jalan terbaik untuk mendekatinya. Aku akan menjadi orang baru dan menarik tangannya dari rongga gelita, seperti bagaimana dulu ia menceritakan indah dunia kepadaku.

"Aku ingin dia tak sendiri dalam dunianya yang sekarang gelap."

.

"Anak-anak kecil itu memang tidak ada kapoknya, dasaaar."

Bangku yang ia duduki sesaat berdecit.

Perempuan itu bergumam panjang, cepat, dan terkesan kompleks kalimat dalam gerak lidahnya.

Dulu, sang wanita sempat sekali memperkenalkan diri. Namanya cantik. Kalau tidak salah mengandung arti mendalam--bunga pohon musim semi--Hanako Haruki.

"Aku punya dua potong sandwich. Isinya daun selada, potongan daging ayam, telur orak-arik, bawang bombai cincang dan mayonaise. Kalau mau aku bisa membagi satu untukmu,"

Terasa sebuah wadah kecil menduduki pahanya. Dari aroma, sepertinya enak.

"Aummmm ... ini enak sekali loh,"

Tangan Naruto bergerak ragu-ragu. Antara perutnya yang belum terisi sejak pagi, dan ia yang kurang biasa menerima makanan dari seseorang di mana sama sekali tak dikenalinya.

Bukankah terdengar seperti lelucon? Bisa jadi gadis itu kasihan melihat dirinya yang buta dan berpikir ia tidak dapat melakukan apapun.

Naruto memilih tidak mengambil makanan dari dalam kotak bekal tersebut. Ia justru meletakkan wadah itu di sampingnya duduk.

"Aku sudah kenyang--"

Kryyuuuuukkkk~

Siiiiaaaal ...

Perutnya berbunyi.

Terang Naruto kontan segera memalingkan wajah ke sisi lain demi menyembunyikan rasa malunya.

Shit!

"Kenapa di saat seperti ini sih?!"

Terdengar kikikan kecil dari gadis si sampingnya.

"Lihat, dia pasti sedang menertawakan kebodohan ku." Naruto bergumam dalam hati.

"Hehehe ... yakin tidak mau mengambilnya? Ini enak sekali loh."

"Tidak ..." Naruto kukuh pada pendiriannya. "Tabung pencernaan,"

"... eh?"

"Tabung pencernaan bergerak melalui proses gelombang kontrasi otot yang secara terus menerus menuju tempat pencernaan. Gerakan ini bisa menimbulkan bunyi pada perut. Bukan karena lapar, melainkan karena gerakan antara benda padat, cairan chyme, serta adanya gas dalam perut guna pengolahan makanan di dalam tabung pencernaan dalam tubuh. Jadi perut berbunyi tidak selalu karena lapar."

"U-uuh, terdengar rumit sekali." Hinata membuang pandangannya ke arah dua gadis kecil yang memberi makan burung dara bersama ibu mereka. "Sejak kapan Naruto jadi seperti ini?"

"Rumit? Ini tak lebih sistem kinerja organ dalam manusia. Tidak beda ketika kau terus memintaku memakan sandwich itu. Kau terus meminta, sementara kau sudah tahu jawabanku. Kau lebih terasa rumit karena tetap memaksakan apa yang kau inginkan. Itu tidak baik loh. Sama artinya kau tidak butuh jawaban dari lawan bicaramu.

"Terimakasih tadi sudah menolongku. Aku harus pergi sekarang." Pelan Naruto bangkit. Tongkatnya mulai meraba-raba ubin dan kakinya lekas bergerak ke arah yang sama setiap kali ia pulang dari tempat ini.

Hari ini hasilnya gagal lagi. Nihil. Hinata tidak berhasil mendekati pria itu.

Rasanya Naruto juga jadi dua pribadi yang berbeda. Naruto yang sekarang jauh lebih tertutup. Dia seakan membatasi siapa saja yang ingin mengenalnya. Tidak mungkin. Tidak mungkin rasanya seorang mantan model terkenal, pria periang seperti Naruto jadi sosok anti sosial. Atau, dia hanya tidak mau seseorang memandangnya iba? Mendekatinya karena unsur kasihan.

Perlahan Hinata mengikuti Naruto dari belakang. Tangannya terulur ke depan, seolah hendak menggapai punggung Naruto.

Lebih keras ...

Ia harus berusaha lebih keras lagi.

Tunggu ...

Jika ia benar-benar ingin menjadi cahaya Naruto, mengembalikan pemuda itu seperti dulu.

"Tu--"

Maka Hinata harus berusaha lebih keras.

"TUNGGUUU!"

Langkah kaki Naruto seketika terhenti. Ia pun menoleh ke belakang,

"Tu-tunggu! Biarkan aku memperkenalkan diriku!"

Langkah kecil terdengar mendekatinya. Langkah dari gadis muda yang Naruto dapat bayangkan berbadan mungil; tidak begitu tinggi, dan memiliki tubuh yang tidak begitu gemuk.

Saat angin berhembus, lagi-lagi angin membangkitkan aroma yang untuk masa sekarang sangat ingin Naruto hindari. Lavender. Bukan ia tidak suka.Harus Naruto akui aroma tersebut memiliki bau khas yang kelewat nikmat. Berefek menenangkan, mendorong naiknya kadar senyawa dalam tubuh untuk memproduksi perasaan tenang dengan cepat. Tak beda jauh wangi lemon, lavender ditengarai mampu membantu penderita insomnia supaya lebih cepat tertidur. Hmmm ... namun di sisi lain, aroma tersebut juga menurunkan konsentrasi. Seperti bau gadis itu saat berada di sebelahnya, selalu mengingatkan ia pada sosok teman--ah, sosok istri palsu di mana sekarang telah membencinya. Sangat benci, bahkan.

"Bi-biarkan aku memperkenalkan diri dulu. A-aku--"

"Hanako Haruki, kan?" Naruto memotong.

"Heh? Kau sudah tahu?!"

"Kau saja yang lupa."

".. be-benarkah?"

"Kau sekali memperkenalkan diri. Sekarang katakan apa tujuanmu?"

Deggg

"Kenapa sekarang kau mengikutiku? Di tempat ini, kenapa selalu kau yang menolongku dari kejahilan anak-anak itu? Kenapa harus kau? Kau seolah ada di setiap aku membutuhkan bantuan. Aku tidak berpikiran buruk. Hanya saja, rasanya kau seperti penguntit yang selalu ikut kemanapun aku pergi."

Deggg

Pernyataan Naruto sama sekali tidak meleset.

Harus bagaimana?

Harus Hinata jawab dengan apa agar pemuda berambut cepak itu tak curigai?

Meski Naruto sama sekali tidak dapat melihat ekspresi wajahnya sekarang, bagaimana keringat dingin mulai menetes pelan menyusuri pelipisnya, pun raut tegang yang kini terukir jelas di wajahnya, tetapi bila dia tetap salah menjawab apalagi terkesan gugup, Naruto sudah pasti bakal curiga. Dengan kehilangan indera penglihatan, maka indera-indera yang lain akan lebih peka menerima rangsangan sekitar. Logikanya, pada area otak ada yang disebut medial occipital. Pada orang yang mengalami kebutaan sedari lahir atau semasa muda, bagian ini sangat berperan penting mendeteksi suara. Di usia muda, pusat otak yang mengatur penglihatan, pendengaran dan indera lainnya masih terhubung baik. Karena itu, terkadang orang yang mengalami kebutaan tidak hanya bisa mendengar lebih baik, melainkan juga memiliki indera sentuhan dan penciuman yang lebih peka.

Hinata meneguk ludahnya, "I-itu ..."

"Kau benar-benar mengikutiku ya?"

Bungkam. Rasanya ingin segera melarikan diri dari sana.

Mengapa sekarang Naruto mampu memberinya impresi sebuah tekanan yang sedemikian hebat? Tidak mungkin kan Hinata berkata "iya aku memang mengikutimu".

Sampai, sekelompok mahasiswa terlihat berjalan di kawasan kota tua tersebut.

Tempat ini dikenal juga sebagai kota antik markasnya para samurai. Kawagoe. Kota yang telah ada dari zaman Edo ini terletak di Prefektur Saitama, utara kota Tokyo.

Jangan berharap menemukan bangunan dengan atap kubah besar, pilar-pilar beton sebagai penyangga, atau ornamen-ornamen bangunan yang berupa garis-garis tegas terutama di bagian menara dengan banyak sekali detail yang disematkan. Kota tua di sini terbilang kontras di banding kota tua yang ada di Eropa, pun negara-negara bekas koloni benua biru itu. Kota tua di sini sebenarnya telah berdiri sejak periode Edo tahun 1603. Seluruh bentuk bangunan dipelihara dengan baik, serta dipertahankan tanpa ada perubahan besar. Jadi bangunannya konstan bergaya rumah-rumah pada zaman Jepang kuno.

"A-aah ... se-sebenarnya aku seorang mahasiswi yang sedang melakukan penelitian." Ucap Hinata begitu saja.

Naruto pernah mendengar. Kawagoe acap menjadi destinasi empuk bagi para mahasiswa dari luar kota yang tengah melakukan study tour.

"Karena itu dengarkan aku dulu. Ini kartu mahasiswaku. Sekali lagi kukatakan, namaku Hanako Haruki. Aku sedang menjalankan sebuah penelitian. Aku sedang mengkaji psikologis kaum tunanetra.

"Dua bulan lalu aku melihatmu duduk di bangku yang sama dengan bangku yang kau duduki hari ini. Sebelumnya kau juga di ganggu beberapa anak kecil. Sebulan lalu, aku lantas ke tempat ini lagi dan kembali melihatmu duduk di sana. Mulai dari itu aku jadi sering mengunjungi tempat ini. Aku yakin aku akan menemukanmu kembali. Dan benar, kau selalu duduk diam di sana. Kau seakan sedang menikmati apapun yang ada di sekitarmu. Yang kau dengar, yang kau rasa, tak terkecuali angin yang menerpa kulitmu dan menimbulkan sensasi dingin. Aku selalu mengamatimu. Aku selalu berpikir ingin merasakan jadi dirimu. Aku tidak seburuk penguntit dalam bayanganmu, sungguh!"

Hinata tersenyum. Kali ini dirinya yakin Naruto tak kan sadar dan lantas begitu saja percaya.

Walau kartu mahasiswa yang dia maksud sebenarnya tidak ada, sekalipun dia berbohong, Naruto tak akan tahu.

"... begitu ya? Melakukan pengamatan? ... tch!"

Terdengar pria itu mendecih. Bola matanya bergulir menatap tajam ke arah Hinata--meski sebenarnya arah tatapan tersebut tidak benar-benar tepat.

"Kau benar-benar menyedihkan."

"... a-apa?"

"Jadi kau merasa sudah sempurna? Memiliki sepasang mata yang dapat melihat, dua kaki yang sanggup berjalan kemanapun, sepasang tangan, indera penciuman yang baik dan pendengaran yang normal. Dengan memiliki kelima hal tersebut, lalu kau pikir pantas menilai seseorang yang tak memiliki satu, atau beberapa dari hal yang kau punya? Hei, kau Jangan merasa lebih tahu dari siapapun, karena kau bukan dirinya."

Deggg ...

KAU TAK PERNAH JADI BUTA!

Kau tak pernah tahu betapa gelapnya hidupku sekarang! Aku kehilangan cahaya dan orang-orang yang mampu membuatku bertahan. Kau tak pernah menjadi buta seperti ku. Jadi jangan merasa lebih tahu tentang kebahagiaan siapapun, karena kau bukan dirinya!

Kalimat itu nyaris serupa dengan kata-katanya pada Naruto beberapa bulan lalu saat pemuda itu ingin minta maaf.

"Dan kau ingin menjadi aku?" Naruto berbalik. Entah mengapa ia tak meneruskan pertanyaannya, hanya saja, tangannya tampak mengepal.

Kenapa ada orang bodoh yang mirip sepertiku ...

Tch!

Naruto meninggalkan Hinata yang masih membisu--mematung, di belakangnya.

.

.

.

Bersambung

Re : Andante adalah sekuel dari Andante.

Sebelum membaca ini, Ki sarankan membaca Andante dulu:)))