Ini versi lengkap part satu ya…

.

.

.

Rewrite dari novel karya SANDRA BROWN dengan judul LONG TIME COMING. Tanpa mengubah inti cerita, alur cerita atau ide dasar penulis asli. Bahkan, nama tempat dalam cerita yang be-rsetting di Houston, Texas pun sengaja tidak dirubah dengan alasan penyesuaian profesi tokoh cerita. Semoga itu tidak merubah kenikmatan intisari cerita, dan semoga bisa diterima pembaca.

Saya tidak ada maksud menjiplak, hanya ingin berbagi cerita dari salah satu novel favorit saya, dengan tokoh cerita yang dirubah menjadi couple idola favorit saya, Sehun-Luhan.

Selamat menikmati…

.

.

.

.

.

LONG TIME COMING

(Rewrite story from Long Time Coming – Sandra Brown)

.

.

Satu

.

.

.

MOBIL Porsche itu meluncur di jalan bagai seekor macan kumbang yang ramping. Mobil itu menikung tajam di belokan, suara mesinnya mendengung rendah dan dalam hingga terdengar seperti geraman seekor hewan pemangsa.

Luhan sedang berlutut di kebun bunga-nya yang subur, menggali di antara semak-semak di bawah rumpun ligustrum dan mengumpati serangga-serangga kecil yang berpesta pora melahap tanamannya, ketika deru mesin mobil itu menarik perhatiannya. Ia menengok ke belakang mengamati mobil itu, lalu mulai panik saat mobil itu berhenti di muka rumahnya.

"Ya ampun, apa sudah sesiang itu?" gumamnya. Ia meletakkan sekopnya, lalu berdiri dan mengibaskan tanah basah yang menempel di lututnya.

Tangannya terangkat untuk mengusap poni dari keningnya sebelum Luhan menyadari ia masih me-ngenakan sarung tangan berkebunnya yang tebal. Luhan segera melepaskannya dan menaruhnya di samping sekop, sambil terus memperhatikan si pengemudi keluar dari mobil sport itu dan mulai berjalan memasuki pekarangannya.

Luhan melirik arlojinya, dan melihat bahwa ia tidak lupa waktu. Pria itulah yang kepagian untuk pertemuan mereka, dan akibatnya, Luhan tidak bakal memberi kesan pertama yang baik. Kepanasan, berkeringat dan kotor bukan penampilan yang hebat untuk bertemu dengan seorang klien. Padahal ia sangat membutuhkan komisinya.

Sambil memaksakan seulas senyum, Luhan ber jalan menyambut tamunya, dengan gelisah berusaha mengingat apakah rumah dan studionya cukup rapi ketika ditinggalkannya tadi waktu ia memutuskan untuk berkebun selama satu jam. Ia sudah berencana untuk merapikannya sebelum tamunya tiba.

Penampilannya mungkin acak-acakan, tapi Luhan tidak mau kelihatan bisa diintimidasi. Keramahan yang diimbuhi rasa percaya diri adalah satu-satunya cara untuk menutupi penampilannya yang tidak menguntungkan ini.

Pria itu masih beberapa langkah darinya ketika Luhan menyapanya. "Halo," ujarnya sambil tersenyum lebar. "Kelihatannya waktu kita tidak tepat. Saya pikir Anda tidak akan datang sampai beberapa saat lagi."

"Aku memutuskan bahwa sudah waktunya permainan kotormu diakhiri."

Sepatu kets Luhan sedikit terpeleset di atas trotoar saat ia berhenti mendadak. Ia memiringkan kepalanya kebingungan. "Maaf, saya—"

"Siapa kau sebenarnya, Nona?"

"Luhan. Anda sangka siapa?"

"Aku tidak tahu siapa namamu. Muslihat apa yang sedang kaumainkan?"

"Muslihat?" Luhan memandang ke sekeliling-nya tanpa daya, seolah-olah pohon sycamore besar di halamannya dapat memberi jawaban atas interogasi yang aneh ini.

"Kenapa kau terus-menerus mengirimiku surat-surat itu?"

"Surat-surat?"

Pria itu jelas marah, dan keheranan Luhan tampaknya semakin membuatnya murka. Pria itu melangkah cepat ke arahnya seperti seekor elang mengincar tikus sawah, hingga Luhan harus menengadah untuk menatapnya. Matahari yang cerah berada di balik pria itu, sehingga yang tampak hanya siluetnya.

Pria itu berambut hitam, tinggi, ramping dan mengenakan celana panjang santai dan kaus — gayanya tanpa cela. la memakai kacamata hitam, sehingga Luhan tidak dapat melihat matanya, tapi melihat ekspresi dan cara berdirinya yang begitu garang, Luhan lebih suka tidak melihat matanya.

"Saya tidak mengerti apa yang Anda bicarakan."

"Surat-surat itu, Nona, surat-surat itu." Pria itu menekankan kata-katanya sambil mengatupkan giginya yang putih.

"Surat-surat apa?"

"Tidak usah pura-pura."

"Anda yakin Anda berada di alamat yang benar?"

Pria itu kembali melangkah maju. "Aku berada di alamat yang benar," ujarnya geram.

"Tampaknya tidak." Luhan tidak suka ditekan seperti itu, terutama oleh seseorang yang tidak dikenalnya mengenai sesuatu yang sama sekali tidak diketahuinya. "Entah Anda gila atau mabuk, tapi bagaimanapun juga, Anda salah. Saya bukan orang yang Anda cari dan saya minta Anda segera meninggalkan rumah saya. Saat ini juga."

"Tadi kau sedang menungguku. Aku bisa melihatnya dari caramu menyambutku."

"Tadinya saya pikir Anda orang dari biro iklan."

"Yah, saya bukan orang biro iklan."

"Syukurlah." Luhan tidak suka kalau harus berbisnis dengan seseorang yang begitu pemarah dan tidak masuk akal seperti orang ini.

"Kau tahu betul siapa aku." ujar pria itu, membuka kacamata hitamnya.

Napas Luhan tercekat dan ia mundur satu langkah karena ia ternyata memang mengenal pria itu. Ia memegang dadanya untuk menahan jantungnya yang berdebar cepat. "Sehun," bisiknya.

"Betul. Oh Sehun. Persis seperti yang kautulis di amplop-amplop itu."

Luhan terpana melihat pria itu setelah bertahun-tahun lamanya, kini berdiri hanya beberapa senti di hadapannya. Kali ini pria itu bukan hanya sosok yang dikenalnya di surat kabar atau layar TV. Sosok asli pria itu ada di hadapannya. Tahun-tahun berlalu namun penampilan pria itu masih tetap gagah.

Luhan ingin tetap berdiri dan terus memandang pria itu, tapi Sehun memandangnya dengan tatapan jijik dan sama sekali tidak mengenalinya. "Mari masuk, Mr. Oh," ajak Luhan dengan lembut.

Beberapa orang tetangga yang sedang menikmati cuaca akhir pekan yang cerah sambil berkebun, berhenti bekerja atau menyirami tanamannya untuk memperhatikan mobil dan tamu Luhan.

Tamu pria yang datang ke rumahnya bukanlah sesuatu yang aneh. Banyak kliennya yang pria dan kebanyakan dari mereka berkonsultasi dengannya di rumah. Umumnya tamu-tamu pria yang datang adalah eksekutif resmi, dan mengenakan setelan bisnis. Jarang sekali yang berkulit bersih, bertampang bintang film, dan mengendarai mobil mewah.

Wilayah hunian di Houston ini bukanlah pemukiman mewah seperti yang ada di sekitarnya. Sebagian besar penduduk di situ berusia separo baya dan mengendarai sedan yang biasa-biasa saja. Porsche yang berhenti di wilayah itu tentu saja memancing rasa ingin tahu. Dan sepanjang ingatan para tetangganya, Luhan tidak pernah bertengkar dengan siapa pun.

Sepatu bersol karetnya berdecit saat ia berbalik dan Oh Sehun mengikutinya hingga masuk rumah. Kelembapan di luar sana membuat udara AC terasa nyaman, tapi karena tubuh Luhan basah karena keringat, udara yang dingin malah membuatnya merinding. Atau mungkin kesadaran bahwa Sehun ada di belakangnya yang membuat bulu kuduknya meremang.

"Lewat sini."

Luhan mengajaknya melewati lorong yang luas, yang biasanya ditemukan di rumah-rumah yang dibangun sebelum PD II, dan menuju teras belakang yang berkaca, yang juga menjadi studionya. Ia merasa seperti di rumah di tempat ini, lebih santai, dan membuatnya lebih mampu menghadapi kenyataan mengagumkan bahwa Oh Sehun tanpa disangka-sangka kembali memasuki hidupnya lagi.

Saat Luhan berbalik hingga berhadapan dengan pria itu, mata Sehun yang biru jernih sedang mengamati sekeliling studio. Matanya segera memandang mata Luhan bagaikan magnet.

"Jadi?" tanyanya ketus, bertolak pinggang. Jelas pria itu sedang menunggu penjelasan lengkap atas sesuatu yang sama sekali tidak diketahui Luhan.

"Aku tidak tahu apa-apa tentang surat apa pun juga, Mr. Oh."

"Surat-surat itu dikirimkan dari alamat ini."

"Kalau begitu ada kesalahan dari kantor pos."

"Tidak mungkin. Tidak sampai lima kali selama beberapa minggu. Dengar, nona eh... siapa tadi?"

"Luhan."

Pria itu memandangnya sekilas dengan rasa ingin tahu. "Nona Luhan, aku sudah melajang selama tiga puluh sembilan tahun. Sudah lama melampaui masa remaja. Aku tidak ingat setiap wanita yang kutiduri."

Jantung Luhan kembali melonjak-lonjak tak keruan, dan ia menghirup napas dengan cepat, "Aku tidak pernah tidur denganmu."

Pria itu membuka kakinya sedikit dan memiringkan kepalanya dengan angkuh. "Kalau begitu bagaimana mungkin kau mengaku memiliki seorang anak laki-laki dariku? Seorang anak laki-laki yang keberadaannya tidak pernah kuketahui sampai aku menerima suratmu yang pertama beberapa minggu yang lalu."

Luhan terpana memandang pria itu hingga tak mampu berkata-kata. Ia dapat merasakan wajahnya memucat. Rasanya seolah bumi di bawah kakinya telah lenyap.

"Aku tidak pernah punya anak. Dan kuulangi lagi, aku tidak pernah mengirimimu selembar surat pun." Luhan menunjuk ke arah kursi. "Bagaimana ka-lau kau duduk dulu?" Ia tidak menawarkan itu demi sopan santun maupun kenyamanan pria itu. Ia khawatir kalau ia tidak segera duduk, lututnya takkan tahan lagi menyangga tubuhnya.

Sehun memikirkan tawarannya selama beberapa saat, menggigit sudut bibirnya dengan marah sebelum bergerak menuju sebuah kursi rotan. Ia duduk di sudutnya, seolah bersiaga untuk segera berdiri jika diperlukan.

Menyadari sepatu ketsnya yang kotor, celana pendeknya yang sudah belel dan kausnya yang usang, Luhan duduk di kursi berhadapan dengan pria itu. Ia duduk dengan tegak, merapatkan lututnya yang kotor, dan menangkupkan tangannya dengan gugup di atas pangkuannya.

Luhan merasa telanjang dan rapuh saat mata tajam pria itu bergerak menelusuri dirinya, wajahnya, rambutnya yang acak-acakan, bajunya, dan lututnya yang kotor.

"Kau mengenalku." Sehun melontarkan kata-kata nya seperti tembakan peluru kendali.

"Siapa pun yang menonton TV atau membaca surat kabar pasti mengenal Anda. Anda adalah astronot paling terkenal setelah John Glenn."

"Karena itu aku jadi sasaran paling empuk bagi setiap orang sinting yang mencari korbannya."

"Aku bukan orang sinting!"

"Kalau begitu kenapa kau mengirimiku surat-surat itu? Kau tahu, cara seperti itu sudah umum. Aku mendapat lusinan surat tiap harinya."

"Selamat, ya."

"Tidak semuanya surat penggemar. Ada beberapa surat orang-orang fanatik yang marah, yang merasa kami melawan takdir Tuhan. Beberapa menganggap kecelakaan Challenger adalah campur tangan Tuhan—hukuman-Nya—karena ulah kami yang menodai surga atau omong kosong seperti itulah. Aku menerima banyak tawaran untuk menikah maupun tawaran-tawaran aneh lainnya," ujarnya datar.

"Kau beruntung sekali."

Sehun mengacuhkan sindiran Luhan dan terus berbicara. "Tapi surat-suratmu memunculkan ide baru. Kau adalah orang pertama yang menyatakan bahwa aku adalah ayah anakmu."

"Anda dengar tidak sih? Aku kan sudah bilang bahwa aku tidak pernah punya anak. Bagaimana kau bisa menjadi ayahnya?"

"Justru itu maksudku, nona Luhan!" sergahnya. Luhan berdiri. Demikian juga pria itu. Ia mengikuti Luhan yang berjalan menuju meja gambarnya dan menyibukkan diri membereskan pensil-pensil sketsanya dan kuas-kuas catnya ke dalam berbagai wadahnya.

"Kau juga orang pertama yang mengancam untuk membeberkan hal itu seandainya aku tidak melakukan apa yang kauminta."

Luhan berbalik dan Sehun berada sangat dekat dengannya. Ia bahkan dapat merasakan celana pria itu di kakinya yang telanjang. "Memangnya apa yang bisa kulakukan untuk mengancammu? Kau adalah malaikat dalam program penjelajahan ruang angkasa, diagung-agungkan sebagai pahlawan. Kau menyihir seluruh penduduk Amerika untuk terus menonton televisi saat kau dan seorang kosmonot Rusia berjabat tangan untuk kesepakatan damai di luar angkasa.

"Ada parade yang meriah untuk menyambut kedatanganmu dan para kru di New York. Kau pernah makan malam di Gedung Putih bersama Presiden dan Ibu Negara. Bisa dibilang hanya kau yang berhasil mengubah pandangan publik terhadap NASA, yang tentunya tidak simpatik setelah peristiwa Challenger. Kritik-kritik atas penerbangan pesawat luar angkasa dengan awak manusia tidak dipedulikan lagi setelah apa yang telah kaulakukan. Kalau aku yang bukan apa-apa ini berani menentang orang setenar dirimu, aku pasti sudah gila atau bodoh. Aku bisa pastikan bahwa aku bukan dua-duanya."

"Kau memanggilku Sehun."

Setelah ucapannya yang panjang-lebar itu, sergahan tiga kata dari pria itu menjadi pernyataan anti klimaks yang membuat Luhan terkejut. "Apa?"

"Waktu kau pertama kali mengenaliku, kau memanggilku Sehun."

"Itu memang namamu, kan?"

"Tapi biasanya orang yang berpapasan di jalan akan memanggilku Kolonel Oh, bukan panggilan akrab seperti Sehun. Kecuali kalau kita sudah saling mengenal sebelumnya."

Luhan mengelak pernyataan itu. "Apa yang diminta dari surat-surat yang kautuduhkan itu?"

"Pertama-tama, uang."

"Uang?" pekik Luhan. "Konyol sekali."

"Lalu pemberitahuan pada publik atas keberadaan anakku."

Luhan melepaskan diri dari impitan pria itu dan meja gambarnya. Kedekatan Sehun membuatnya tidak dapat berpikir jernih. Ia mulai mengatur tumpukan sketsanya yang bertebaran di atas meja kerjanya. "Aku orang yang sangat mandiri, yang mampu memenuhi kebutuhanku sendiri. Aku tidak akan pernah menuntut uang darimu maupun dari orang lain."

"Ini pemukiman yang indah, rumah yang besar."

"Milik orangtuaku."

"Mereka tinggal di sini bersamamu?"

"Tidak. Ayahku sudah meninggal. Ibuku terserang stroke beberapa bulan yang lalu dan tinggal di rumah perawatan." Luhan membanting tumpukan sketsanya dan berbalik menghadap tamunya. "Aku sanggup menghidupi diriku sendiri. Apa urusanmu dengan semua hal ini?"

"Kurasa korban harus mengenal orang yang hendak memerasnya." Dengan suara parau ia menambahkan, "Dalam setiap segi."

Mata pria itu kembali menelusuri Luhan. Kali ini lebih perlahan dan penuh penilaian. Luhan melihat mata itu berhenti di payudaranya, yang nyaris tidak dapat ditutupi oleh kausnya yang basah. Ia dapat merasakan puncak payudaranya menegang dan gagal untuk meyakinkan dirinya bahwa reaksinya itu adalah akibat penyejuk ruangan, dan bukan tatapan Oh Sehun.

"Kelihatannya kau harus pergi sekarang," ujar Luhan angkuh. "Sebentar lagi aku akan kedatangan seorang tamu dan aku harus bersiap-siap."

"Siapa yang kau tunggu? Orang dari biro iklan itu?" Melihat tatapan kaget Luhan, Sehun menambahkan, "Kau menyebutnya waktu aku baru tiba tadi."

"Dia berjanji untuk datang dan melihat sketsa-sketsa yang kutawarkan untuk memperoleh komisi."

"Kau seniman?"

"Ilustrator."

"Kau bekerja di mana?"

"Bekerja sendiri. Aku pekerja freelance."

"Sekarang ini kau sedang mengerjakan proyek apa?"

"Sampul depan Buku Pariwisata Houston."

Alis Sehun yang pirang kecoklatan terangkat, tampak terkesan. "Komisinya lumayan dong."

"Aku belum mendapatkan pekerjaannya." Luhan seharusnya menggigit lidahnya saat kata-kata itu meluncur. Pria itu cukup cerdas untuk mendengarnya.

"Kau sangat rnembutuhkan komisinya?"

"Tentu saja. Sekarang. kalau kau—"

Pria itu menahan lengannya saat Luhan berusaha untuk melewatinya, berjalan menuju pintu depan. "Pasti sulit sekali, ya, hidup dari satu komisi ke komisi berikutnya sementara kau harus mengurus rumah ini dan membiayai perawatan ibumu."

"Aku bisa mengatasinya."

"Tapi kau tidak kaya."

"Memang tidak."

"Karena itulah kau mengirimiku surat-surat ancaman itu, kan? Untuk mendapatkan uang dariku?"

"Tidak. Untuk kesejuta kalinya, aku tidak pernah mengirimmu surat apa pun."

"Pemerasan adalah kejahatan serius, Miss Lu."

"Dan tuduhan yang bahkan terlalu konyol untuk dibicarakan. Sekarang, tolong lepaskan lenganku."

Pria itu tidak menyakitinya. Tapi jari-jari yang melingkari lengannya itu membuat Luhan terlalu dekat dengan pria itu. Ia cukup dekat untuk mencium cologne Sehun yang seksi dan kesegaran napas pria itu,cukup dekat untuk melihat pusat bola matanya yang gelap yang pernah menghias sampul depan majalah Time yang menyebabkan majalah itu berhasil meraihrekor penjualan tertinggi dalam sejarah penjualannya. "Kau tampaknya cukup pandai." ujar Sehun.

"Apakah itu pujian?"

"Kalau begitu kenapa kau mengirim surat-surat kaleng padaku, lalu menulis alamatmu di amplopnya?"

Luhan tertawa lembut penuh keheranan dan menggelengkan kepalanya. "Aku tidak melakukannya. Atau barusan itu pertanyaan jebakan? Mana surat-surat itu? Apa aku boleh melihatnya? Mungkin setelah aku membaca surat-surat itu aku dapat memberi penjelasan."

"Memangnya aku bodoh? Aku tidak akan menyerahkannya padamu supaya kau bisa menghancurkan bukti-buktinya."

"Ya ampun," pekik Luhan. la lalu menengadah menatap wajah pria itu yang tampak tegang, dan berkata, "Kau benar-benar serius dengan semua ini, ya?"

"Awalnya tidak. Kau hanyalah satu dari sekian banyak orang sinting. Tapi setelah surat yang kelima, waktu kau mulai mengancam atas tuduhan bahwa aku lah ayah anakmu, kupikir sudah saatnya aku berhadapan langsung denganmu."

"Aku tidak termasuk tipe wanita yang akan menuduh pria mana pun juga sebagai ayah anakku."

"Bahkan pria yang sangat terkenal sepertiku ini?"

"Tidak."

"Seorang pria yang akan kehilangan segalanya jika sampai terlibat skandal?"

"Ya! Lagi pula, aku kan sudah bilang bahwa aku tidak pernah punya anak."

Mereka mendengar pintu depan dibuka dan dibanting kembali hingga menutup. Ada suara orang ber lari di ruang depan. Lalu seorang remaja laki-laki yang tinggi-kurus berlari menuju pintu.

"Mom, cepat lihat mobil yang diparkir di depan rumah kita. Mobilnya betul-betul keren!"

.

.

HunHan

.

.

.