For Us created by me, Miyoko Kimimori

Cover isnt mine, its belong to the artist

Naruto (c) Masashi Kishimoto

Saya tidak mendapatkan keuntungan apapun dari fanfiksi ini

NaruSaku. AU. Drama, Hurt/Comfort. T

Rekomendasi : dengerin Virgoun – Surat Cinta Untuk Starla

=0==Chapter Sebelumnya==0=

Sakura, bisa pinjamkan ponselmu? Aku akan menelpon Kakashi."

Rupanya Naruto meminta Kakashi membayarkan biaya rumah sakit untuk ibunya Konohamaru. Mendengar hal itu, Kakashi meminta penjelasan lebih rinci sekaligus ingin mengecek langsung keadaan ibunya terlebih dulu. Namun sebelum itu, ada hal yang membuatku sangat marah ketika Kakashi datang ke kamar Naruto untuk membicarakan hal ini…

"Aku ingin uang untuk biaya operasiku diberikan semuanya pada Konohamaru."

Jantungku seolah berhenti saat itu juga. "Apa maksudmu, Naru?"

=0=0=0=

Chapter 3–

Aku slalu bermimpi tentang indah hari tua bersamamu… tetap cantik rambut panjangmu meskipun nanti tak hitam lagi

Naruto menatapku nanar tanpa menjawab. Aku tidak mengerti kenapa tiba-tiba Naruto mengatakan hal itu. Apa maksudnya? Dia tidak mau operasi? Kenapa? Ternyata tak seperti dugaanku, pembicaraan ini menjadi sangat serius. Begitu seriusnya hingga aku merasa tegang sekaligus ketakutan. Kulihat Kakashi langsung mengambil kursi dan duduk di samping ranjang.

"Katakan, kenapa kamu sampai bilang seperti itu?"

Wajahnya menunduk. "Om… om pasti sudah tahu masa laluku kan? Terlahir dengan penyakit seperti ini, orang tuaku juga meninggal sejak aku masih kecil, aku tidak punya saudara. Terkadang aku berpikir, untuk apa aku bertahan jika pada akhirnya aku akan mati juga?"

Aku merasa tersentak. "Tapi kan ada aku dan Kakashi! Apa kamu tidak berpikir bagaimana perasaan kami, Naru?" tanyaku dengan nada agak tinggi.

Lagi, ia menatapku. "Saat aku melihat Konohamaru, aku seperti melihat diriku sendiri. Aku tidak ingin Konohamaru merasakan kehilangan orang tua seperti aku."

Nafasku tertahan.

"Aku tahu perasaanmu, tapi aku bisa membayar biaya operasimu sekaligus biaya perawatan ibunya. Kamu tidak usah membatalkan operasinya," ucap Kakashi kemudian.

Aku sedikit merasa lega ketika mendengar hal itu. Naruto akan tetap menjalani operasi dan biaya perawatan ibunya Konohamaru akan ditanggung semua oleh Kakashi. Namun entah kenapa rasa khawatir ini masih ada, aku juga masih ketakutan. Melihat wajah Naruto yang tak menunjukkan ekspresi setelah apa yang Kakashi katakan, membuatku merasa tidak tenang hingga…

"Aku… tidak mau operasi. Batalkan saja."

Untuk kedua kalinya jantungku terasa terhenti. Tanpa sadar aku menggeram kesal. Aku mencoba menahan dentuman keras di dadaku, namun sia-sia. Pada akhirnya aku membentak lelaki pirang itu dengan penuh emosi.

"Apa lagi ini?! Apa maksudmu, Naru?! Tadi Kakashi kan sudah bilang akan membayar semuanya. Kenapa kamu tetap berkata seperti itu?! Tolong jangan bercanda, kamu mulai membuatku kesal!" Ujung mataku mulai berair. Aku segera memalingkan wajah lalu menghapusnya.

"Naruto, aku tidak tahu apa yang sebenarnya kamu pikirkan, tapi setelah semua ini kamu ingin menyerah?" timpal Kakashi, ia menatap Naruto dengan tatapan yang sulit diartikan. "Kita sudah sampai sejauh ini."

Naruto menggelengkan kepala. "Kalian tidak mengerti."

"Kamu yang tidak mengerti!" ucapku spontan. "Kamu tidak mengerti perasaan kami berdua yang sudah menjagamu, yang selalu berdoa agar kamu sembuh tapi–"

Setetes cairan bening yang mengalir di pipinya membuatku bungkam.

"Aku sudah menderita cukup lama karena penyakit ini, hatiku juga menderita tiap kali aku melihat anak kecil bahagia bersama orang tua mereka, dan Konohamaru… dia membuatku ingat pada ayah dan ibu. Aku merindukan mereka dan kalian tidak akan pernah mengerti hal itu."

Kakashi memegang kedua pundak Naruto, memaksanya untuk saling bertatapan. "Apa yang kamu bicarakan? Apa kamu akan terus bersedih untuk itu? Lihat, aku dan Sakura ada di sampingmu dan kamu malah berkata seperti itu? Apa kami tidak seberharga orang tuamu?"

Naruto menghembuskan nafas berat. "Om, bagaimana kata dokter? Apa setelah operasi aku akan sembuh? Apa aku akan benar-benar sembuh, om?"

Suasana menjadi hening untuk beberapa saat. Namun, aku dapat mendengar dengan jelas detak jantungku yang mulai tidak normal. Disusul rasa sakit seperti saat pertama kali aku mendengar tentang penyakit Naruto.

Kulihat Kakashi menurunkan tangannya. "Mustahil untuk sembuh."

Mataku langsung terasa panas.

"Apa setelah operasi umurku akan bertambah?"

Masih menatapnya, Kakashi menggeleng. "Tidak."

Aku mulai tidak tahan mendengarnya.

"Berapa lama lagi umurku menurut hasil check up terakhir?"

"Dua bulan."

Deg. Aku merengkuh dadaku yang sesak. Pandanganku tertuju pada Naruto yang juga sedang melihat ke arahku. Matanya menyorotkan keputus asaan.

"Apa-apaan ini…" ucapku dengan suara bergetar. "Kenapa kalian jadi berbicara seperti itu? Jadi untuk apa semua ini kalau kalian menyerah?"

Tak ada yang menjawab. Kakashi bangkit dari kursinya dan menghampiriku.

"Om bilang kita harus tetap menyemangati Naruto, kan? Kenapa om tidak mengatakan apapun padanya? Ayo om, buat Naruto berubah pikiran!"

Kakashi melihatku dengan sendu. "Dia sudah cukup menderita, jika memang dia sudah begitu lelah dengan ini semua, aku…"

Tak melanjutkan, Kakashi mulai melangkah menuju pintu keluar. Tinggallah aku berdua dengan Naruto. Aku masih berdiri tak jauh darinya dengan kedua mata yang sudah basah. Tak lama Naruto menggerakan tangannya, menyuruhku untuk duduk di sampingnya. Aku pun melangkah mendekat dan duduk di tepi ranjang.

"Sakura, aku–"

"Padahal kamu sudah berjanji…"

Naruto menyentuh kedua pipiku, membuatku harus menatapnya. Aku sedikit terkejut mendapati kedua mata secerah langit itu setengah memerah dan penuh dengan air mata.

"Apapun yang kita lakukan, aku tetap tidak akan selamat. Aku akan segera mati, Sakura," ucapnya seraya tersenyum miris. "Aku mencintaimu, sangat mencintaimu. Tapi ini sudah takdirku."

"Kenapa kamu menyerah seperti ini, Naruto? Apa kamu tidak percaya pada keajaiban? Kamu bisa saja sembuh. Perkataan dokter itu bisa saja salah. Kumohon…"

Naruto menggelengkan kepala. "Aku sudah lelah, aku ingin istirahat. Semua yang kulakukan di dunia ini juga sia-sia, semuanya tidak berarti."

Aku mendadak diam. Apa yang barusan dia katakan? Semuanya sia-sia? Tunggu… jadi, bersamaku juga sia-sia? Selama ini, Naruto bersamaku itu bukanlah hal yang penting? Dia menganggapnya tidak berarti.

Kulihat Naruto sedikit heran karena aku tak membalas. Sementara aku mulai tersenyum sinis. Aku menepis kedua tangan Naruto yang sebelumnya masih menyentuh pipiku. Lalu aku berdiri, menjauh darinya. Ada gejolak amarah saat aku menatap wajah Naruto. Dan meskipun aku menarik nafas panjang untuk menenangkan diri, nyatanya air mataku tetap mengalir.

"Sakura… kamu kena–"

"Seharusnya aku tahu dari awal kalau aku memang tidak berarti untukmu. Jadi selama ini kita menghabiskan waktu bersama… itu juga sia-sia di matamu? Jadi kamu hanya ingin mempermainkanku agar kamu merasa lebih baik sebelum kamu mati, begitu?!"

Naruto terkejut bukan main. Tanpa memikirkan kondisinya yang masih lemah dia turun dari tempat tidur dan berdiri di hadapanku.

"Bukan itu maksudku, Sakura. Aku–"

Tangannya yang hendak menyentuhku kembali kutepis keras.

"Jangan sentuh aku!"

Lagi-lagi dia mencoba memegang tanganku. Terpaksa aku mendorongnya. Naruto sedikit tersungkur, meskipun aku tidak mendorongnya sekuat tenaga. Ada sedikit rasa menyesal, namun emosi ini memenuhi kepalaku.

"Aku ingin kamu sembuh karena aku sayang padamu! Aku selalu percaya Tuhan akan menyembuhkanmu! Tapi kamu malah… kamu malah…"

Naruto tak mengucapkan apapun. Setelah aku mendorongnya, dia hanya terdiam di tempat, masih menatapku dengan tatapan yang tidak kumengerti.

Aku mencoba menarik nafas lagi. "Kalau memang semua ini sia-sia untukmu, terserah saja. Aku tidak penting untukmu kan? Kalau begitu, mati saja.

"Kamu ingin aku mati, Sakura?"

"Memangnya kenapa?! Toh itu kan yang kamu mau? Karena kamu merasa hidup di dunia ini bersamaku itu adalah hal yang sia-sia!"

Naruto kembali mendekat. "Bukan, bukan itu yang kumaksud."

"Lantas apa?!" Aku mengusap pipiku yang terus dialiri air mata. "Katamu kamu sudah lelah, kamu ingin operasinya di batalkan, itu karena semua yang ada di depanmu sekarang tidak berarti apa-apa untukmu! Kamu bahkan tidak ingin berjuang lagi demi kita! Apanya yang "aku akan sembuh demi kita"? Janjimu itu bohong!"

Naruto menatapku sendu. "Sakura, tolong jangan sepeti ini-"

"Cukup!" ucapku tegas. Aku kembali mengambil nafas untuk menenangkan diri. "Cukup. Jangan katakan apapun lagi. Kamu sudah cukup menyakitiku, Naruto. Sekarang, terserah kamu mau melakukan apa. Kamu mau operasinya dibatalkan? Terserah. Aku pergi."

Tubuhku langsung berbalik dan segera berjalan melewati pintu keluar. Aku agak tersentak saat melihat Kakashi yang ternyata menunggu di kursi depan. Dia melihatku yang masih berusaha menghapus air mata dan bertanya apa yang terjadi. Aku tak menjawab dan lantas pergi.

Rasanya pikiranku begitu kacau. Aku merasa sedih, kecewa, dan marah. Apa yang Naruto katakan tadi benar-benar membuat hatiku remuk. Kata 'sia-sia' itu terus terngiang di benakku, membuatku ingin berteriak kencang.

Setelah pergi meninggalkan rumah sakit, aku kembali ke rumah dengan mood berantakan. Tanpa berganti pakaian, aku lantas berbaring di ranjang. Sembari memeluk guling kesayangan, aku teringat kembali kenangan bersama Naruto dari awal kita bertemu, berpacaran, dan berujung pada kata 'sia-sia' yang baru saja dia ucapkan secara gamblang di depanku. Dadaku kembali sesak dan aku sedikit terisak menahan tangis. Sebegitu tidak berartinyakah aku bagi Naruto? Sehingga dia memutuskan untuk mati dari pada terus berjuang agar bisa tetap bersamaku.

Untuk beberapa saat, aku terus memikirkan hal itu. Pikiranku dipenuhi oleh Naruto dan itu rasanya menyakitkan. Kemudian tanpa sadar, perlahan mataku terpejam dan aku tertidur.

=0=0=0=

Bila habis sudah waktu ini tak lagi berpijak pada dunia, telah aku habiskan sisa hidupku hanya untukmu...

"Sakura, sayang…"

Suara lembut terdengar jelas di telingaku. Aku segera membuka mata. Pandanganku lantas beradu dengan iris mata biru yang begitu dekat dengan wajahku. Aku sedikit terkejut mendapati Naruto yang kini berbaring di sampingku dengan kedua tangannya memelukku erat. Dia terus tersenyum seraya mengelus puncak kepalaku.

Saat itu, entah kenapa aku merasa tenang. Aku seolah lupa dengan emosi yang sebelumnya menyulut di dalam dada. Tapi aku masih ingat semuanya, tentang pertengkaran itu, ketika aku membentak Naruto dan meninggalkannya begitu saja. Lalu sekarang, entah dari mana, tiba-tiba saja dia sudah berbaring bersamaku.

"Naruto, kok kamu di sini?" Tanyaku spontan. "Bukannya kamu di rumah sakit ya?"

Tanpa menjawab apapun, tangannya malah mendarat di sebelah pipiku. Pandangannya berubah sedih.

"Bekas air mata ini… apa kau menangis sampai tertidur, Sakura?" Dia bertanya dengan suara begitu pelan.

Aku mengangguk kecil. "Aku sangat sedih karena kamu bilang semuanya sia-sia. Kupikir bersamaku juga sia-sia, makanya aku sangat marah."

Naruto cepat menjawab. "Dengar Sakura, aku sama sekali tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa bersamamu adalah hal yang sia-sia. Kamu sangat berarti untukku. Aku hanya berpikir bahwa… aku akan segera mati dan tak ada yang bisa kulakukan dengan itu.."

Mataku mulai memanas. "Jadi kamu tetap menyerah? Bagaimana dengan janjimu dulu, Naru?"

Dia menggeleng pelan disertai senyuman miris. "Aku yang sekarang sudah tidak mungkin menepati janji itu. Maafkan aku, Sakura."

Ada gejolak aneh yang aku rasakan dalam dada. Dahiku sempat mengerut, tak mengerti dengan ucapannya.

"Apa maksudmu dengan 'aku yang sekarang'?"

Naruto tak menjawab lagi. Dia malah menutup kedua mataku dengan sebelah tangannya. Lalu dia membisikkan sesuatu sebelum akhirnya mencium bibirku dengan lembut. Ada kehangatan yang aku rasakan darinya. Kehangatan yang seharusnya membuatku bahagia, namun entah kenapa air mataku kembali mengalir.

Tak lama, aku sudah tidak merasakan tangan Naruto di mataku. Kehangatan dari sentuhannya menghilang begitu saja. Aku langsung membuka mata dan mendapati diriku berbaring memeluk guling dengan mata yang basah. Aku hanya sendirian dan tidak ada Naruto di sana. Ah, ternyata aku hanya bermimpi. Rupanya aku benar-benar tidak bisa melepaskan pikiranku dari Naruto sampai-sampai dirinya muncul di mimpi.

Kulihat jam dinding menunjukkan pukul 3 sore. Aku tertidur selama 2 jam tanpa sempat mengganti pakaian setelah aku pulang tadi. Aku mencoba bangun dan meraih ponsel untuk mengecek sesuatu. Mungkin saja Kakashi mengirim pesan dan… sejujurnya aku mengkhawatirkan Naruto.

Sayangnya, aku tidak menyadari ponselku mati. Pasti baterainya habis saat aku di rumah sakit tadi. Aku terlalu fokus pada Naruto saat itu dan tidak menyentuh ponsel sama sekali. Cepat-cepat aku meraih kabel isi daya dan segera menyalakannya.

Tak lama setelah itu, ponselku bunyi beberapa kali. Ada banyak pesan masuk dan notifikasi panggilan tak terjawab. Aku agak terkejut karena sebelumnya tidak pernah mendapat begitu banyak pesan seperti ini. Kulihat, pesan itu dari teman-teman kuliahku dulu yang juga teman Naruto. Aku membaca pesan mereka satu persatu dan mulai merasa heran. Aku sama sekali tidak mengerti maksud dari pesan yang mereka kirim. Dalam pesan itu, teman-temanku mengatakan bahwa mereka turut bersedih dan memintaku untuk tegar.

"Ini… maksudnya apa, sih?"

To Be Continue