Voices

.

.

A Shingeki no Kyojin Fanfiction

.

.

Disclaimer: all characters belong to Hajime Isayama. I don't take any profit from this.

Saya menulis untuk kesenangan sendiri.

.

Warning: AU, penulisan kacau, alur terlalu cepat, typo, OOC.

.

.

(i)

Hari ini. Tepat satu minggu.

Pria berambut ebony menatap datar cangkir dan laptop diatas meja makan. Pandangan matanya kemudian beralih ke luar jendela, tapi tidak fokus pada apapun. Hanya tatapan kosong. Sekosong hati dan rumahnya.

Langit biru dengan awan cirrus. Angin yang menggoyang lembut kelopak bunga-bunga di halaman rumah. Pagi yang cerah di akhir musim panas. Kilauan cahaya lembut matahari terbit terasa begitu menusuk baginya. Garis- garis cahaya yang masuk menimpa meja dan kursi-kursi kosong didepannya seakan ingin mengembalikan ingatannya saat pagi terakhir ada orang lain yang duduk bersamanya disitu.

Levi mengerang, lalu berusaha fokus kembali pada sesuatu yang sedang dikerjakannya. Jemarinya lanjut mengetikkan sesuatu dan menggeser kursor, memberi perintah pada laptop agar melakukan sesuatu untuknya. Merasa sudah selesai, ia cepat-cepat mematikan benda itu. Menatap kursi kosong, sembari membiarkan pikirannya bernostalgia.

"Sakit dan sesak sekali.."

Levi tersentak dari lamunannya. Suara itu. Suara rendah nyaris berbisik yang terus terngiang dalam kepalanya, seperti kata yang baru saja terucap dari bibir. Ia mendengarnya seminggu lalu. Tapi suara itu bergema dan terus berulang dikepalanya, seakan berusaha membuatnya tidak lupa.

"Mungkin aku terlalu lelah." Gumamnya sambil berjalan ke ruang depan untuk merebahkan diri diatas sofa. Beban pikirannya terlalu banyak. Ia lelah. Tidur adalah satu-satunya pelarian.

Malang baginya, dalam tidurpun masih diusik suara itu.

Ini menyedihkan. Apakah ia harus menceritakan ini pada seseorang?


(ii)

Angin dingin mulai bertiup. Awan putih bergerak pelan, menutupi sebagian langit biru di tengah hari. Levi berjalan dua blok dari tempat tinggalnya, dan masuk kedalam restoran fastfood yang sudah dijadikan titik pertemuan. Ia mendudukkan diri di kursi yang berada dekat sebuah jendela besar yang menghadap ke jalanan.

Meja ini.

Tak lama kemudian, orang yang ditunggunya muncul. Hanji.

"oi, Leviii!" Hanji datang menghampiri mejanya dengan senyum lebar. Ia mendecih pelan dan membiarkan wanita itu duduk didepannya. Untuk beberapa saat, mereka hanya diam seakan tidak tahu akan melakukan apa.

"Erwin dimana?" Ia bertanya, memulai basa-basinya. "Dia di kantor, Lev. Jam istirahat siangnya sudah berakhir, jadi dia tidak kesini. Nah, sekarang, katakan padaku. Apa yang mau kau ceritakan?"

Levi terdiam. Menatap keluar jendela seakan menghindari kontak mata dengan sepasang iris coklat itu.

"Hm? Kau teringat dia lagi ya? Apakah meja ini dulu spot favorit kalian?"

Pertanyaan itu dibiarkan mengambang tanpa jawaban. Si wanita tahu, pertanyaan itu membuat memori lama terputar lagi di benak mereka berdua.

Memori yang dulunya menyenangkan, namun sekarang terasa menyedihkan.

Iris viridian lebar yang berkilau penuh keceriaan. Teriakan bahagia ketika berhasil memenuhi challenge menghabiskan cheese burger raksasa. Restoran favoritnya sejak masih berumur 5 tahun.

"Suaranya terus terngiang, Hanji. Aku tidak bisa menghilangkan sosoknya dari pikiranku." Levi menghela nafas berat dan menatap iris coklat didepannya. "Ini menyedihkan."

Hanji tahu, tidak ada yang bisa ia lakukan untuk membantu temannya ini. Kecuali kalau ia bisa menghapus ingatan, yang sialnya tidak dapat ia lakukan.


(iii)

Tidak ada yang berubah di rumah. Tetap rapi dan bersih seperti biasa. Ruang tamu dengan foto pernikahannya. Sofa hitam besar dengan bantal-bantal tersusun rapi diatasnya.

Ini tempat tidur siang favoritnya. Biasanya sofa ini selalu berbau keringat dan penuh remah keripik kentang.

Levi lanjut berjalan ke dapur. Diatas pantry, disamping cangkir favoritnya ada mug merah dengan angka 30 tercetak dipermukaannya. Mug favoritnya. Levi selalu membuatkan susu cokelat tiap pagi untuk dia dengan mug itu, sebelum memasak sarapan untuk mereka berdua.

Sarapan terakhirnya. Sarapan terakhir Levi dengannya. Setelah itu Levi hanya memasak untuk dirinya sendiri.

Langkah kakinya bergerak menuju ke kamarnya. Rapi. Terlalu rapi. Tidak seperti biasanya. Tidak ada lagi jersey bau keringat yang dilempar sembarangan. Tidak ada sepatu kets basah yang dijemur di ambang jendela. Tidak ada buku yang berserakan dan bungkusan snack di ranjang dan lantai.

Ia sudah tidak ada disini lagi.

Levi duduk di pinggir ranjang berlapis bedcover biru tua. Menatap kearah meja dengan perangkat elektronik yang tersusun rapi dan tidak tersentuh diatasnya. Kearah lemari tinggi dengan banyak tempelan stiker dan bola basket disampingnya. Suara itu kembali terdengar di benaknya.

"Apa kau masih memegang tanganku?"


(iv)

Hari ini, tepat satu bulan.

Levi merapatkan trenchcoat abu-abu miliknya dan berjalan keluar, ke garasi rumah. Di sebelah mobil sedan hitam miliknya, sebuah mobil hatchback warna merah yang ringsek dan ditutupi cover silver terparkir rapi.

Mobilnya. Saksi bisu kejadian itu.

Levi segera masuk ke sedannya dan menyetir pelan ke arah pinggiran kota. Ke pemakaman.

Daun-daun merah khas musim gugur mulai berjatuhan menutupi sebagian tanah berumput lahan pemakaman yang luas. Pria bersurai ebony berjalan membawa buket bunga mawar berbagai warna di tangan, kearah sudut dekat pagar pemakaman. Tempat peristirahatan terakhir orang terkasih. Belahan jiwanya. Orang-orang yang begitu berarti baginya.

Levi menunduk lalu berlutut dan meletakkan buketnya.

REST IN PEACE

BELOVED WIFE, MOTHER AND FRIEND

PETRA ACKERMAN

19xx – 19xx


(v)

"Levi.."

Levi memegang tangan Petra yang begitu pucat dan lemah. Ia kehilangan banyak darah. Ia mengalami pendarahan hebat saat melahirkan anak mereka satu-satunya, Eren Ackerman.

"Petra, aku disini. Tetaplah hidup. Tolong jangan tinggalkan aku dan Eren, Petra. Kau bisa mendengarku?'

Levi berbisik pelan di telinga Petra. Ia belum siap.

Tolong jangan pergi, Petra. Demi dirinya. Demi Eren.

Pandangannya mulai buram. Nafasnya terputus-putus. Ia memeluk tubuh mungil Eren erat-erat dan ia masih bisa merasakan hangat tangan Levi.

"Maafkan aku, Levi. Ibu sayang padamu, Eren."

Iris sienna Petra perlahan menutup.

Di hari itu, Levi kehilangan belahan jiwanya.

.

ia bahkan belum sempat membuat sebuah foto keluarga.


(vi)

Di sebelah makam Petra, terdapat makam yang masih baru dengan nisan marmer persis seperti milik Petra.

"Kenapa disini dingin sekali, ayah? Tolong aku"

Suara itu. Levi tidak bisa menahan airmatanya lagi.

REST IN PEACE

BELOVED SON AND FRIEND

EREN ACKERMAN

19xx – 20xx


(vii)

"Ayah? Ini dimana?"

Suara Eren terdengar bergetar dan lemah. Ia tersadar dari pingsannya di dalam ambulance yang membawanya ke rumah sakit. Eren mengalami kecelakaan lalu lintas di jalan tol saat perjalanan pulang dari rumah temannya. Mobilnya ditabrak dengan kecepatan tinggi dari belakang hingga terguling melewati pembatas jalan. Pengendara yang menabraknya mabuk.

Levi ada dalam ambulance itu. Ia langsung datang ke tempat kejadian setelah dihubungi polisi. Mobil hatchback merah milik Eren ringsek berat dan ia terjepit didalamnya. Eren terluka parah dan kehilangan banyak darah.

"sakit dan sesak sekali.."

Suara Eren begitu pelan, nyaris berbisik. Levi terus memegangi tangan anaknya.

Tidak. Bertahanlah Eren. Jangan tinggalkan ayah.

"apa kau masih memegang tanganku?"

"bertahanlah, Eren. Ayah disini." Levi berusaha menenangkan Eren.

"Kenapa disini dingin sekali, ayah? Tolong aku.."

Levi meneteskan air matanya. Tidak. Jangan pergi sekarang. Hanya kau yang kumiliki dari Petra, Eren.

"Ibu? ibu.. Aku sayang ayah." Eren mulai meracau. Memanggil ibunya yang bahkan hanya pernah ia lihat dalam foto.

.

Eren Ackerman meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit.

Anak satu-satunya. Buah hatinya dengan Petra, istrinya tercinta.


(viii)

Levi memutuskan untuk menghabiskan sisa hidupnya sendiri. Tidak menikah dan membangun keluarga lagi. Ia tetap berteman baik dengan Hanji dan Erwin. Hanya mereka berdua yang mengerti hancurnya Levi saat ditinggal oleh orang-orang paling berharga dalam hidupnya. Suara-suara itu masih terdengar dalam pikiran Levi, meski tidak sesering dulu. Ia melanjutkan hidup dalam kenangan-kenangannya akan Petra dan Eren.

Sampai suatu hari, suara- suara itu berubah.

Terdengar lebih jelas dan keras. Seakan diucapkan langsung dihadapannya.

"Levi, aku disini."

Bayangan Petra dengan gaun pengantin putih yang ia kenakan di hari pernikahan mereka.

"Ayah, sekarang waktunya."

Suara Eren. Lalu bayangan Eren dengan kaus hijau pudar, celana putih dan jaket coklat. Pakaian terakhir yang dikenakannya sebelum meninggal.

Mimpi apa ini?

Levi terbangun dari tidurnya. Tubuhnya lemas, kepalanya pusing dan ia merasa sulit bernafas.

"Gas?"

Levi Ackerman meninggal di rumahnya akibat keracunan gas. Tubuhnya ditemukan oleh Erwin Smith, temannya 2 jam setelah kematian.

Keran gas bocor dan ventilasi rumahnya dalam keadaan tertutup.

.

dan pada akhirnya, mereka semua bisa kembali berkumpul sebagai satu keluarga utuh.

Seperti dalam impian mereka.


A/N

HUWAAAAAA APA INIIII :")

HAPPY BIRTHDAY LEVI ACKERMAN. MAAFKAN SAYA NYIKSA KAMU DI FF INI :")