PURNAMA KEDUA BELAS
Remake from Andrea Hirata's novel, AYAH
Park Jimin x Min Yoongi
BTS and some characters belong to God, their parents, and their agency.
Rated T
Warn: BxB! M-preg! Typo(s), boring, etc
Enjoy yas!
Gegabah dan tergesa-gesa sama sekali bukan gayanya. Suho, lelaki berkarier yang selalu mengedepankan hidup yang serba teliti, hati-hati, dan terstruktur.
Maka itu ia menghabiskan waktu hampir setahun dengan puluhan surat dari dan untuk seseorang di Busan sampai akhirnya ia memutuskan untuk menaikkan status hubungan dari surat menyurat itu ke tingkat yang lebih lanjut.
Dari surat-surat itu ia melakukan analisis kecil. Tentang tekanan penulisan, tebal tipis penulisan, dan derajat kemiringan huruf. Singkat saja ia menyimpulkan bahwa seseorang yang dikenalnya lewat tulisan adalah orang yang rebel, pembosan, liar, informal, dan antikemapanan.
Sedikit ketar-ketir ia membaca simpulannya sendiri. Sambil mengurut kening ia pikir orang itu besar bertolak belakangnya dengan Suho. Bolak balik ia membaca hasil analisis itu. Hubungannya beresiko. Tapi jika sudah melihat foto yang disertakan orang itu pada suratnya yang ke lima, ia seperti orang lupa diri. Coretan-coretan analisa yang ia buat kandas. Melihatnya, ia seperti mempunyai satu lembaran baru untuk diisi kembali. Ia sudah lelah dirundung kesepian dan kesendirian. Mengerjakan rutinitas tanpa siapa pun, hanya beberapa kali dalam seminggu anak-anaknya dengan istri yang lama bertandang ke rumah.
Akhirnya ia memutuskan pekan itu untuk bertemu dan menjemputnya di stasiun. Pukul sepuluh ia sudah berdiri menunggu tiga meter dari peron. Napasnya agak berat, ia sedikit gugup. Beberapa kali ia berdehem kala sebuah kereta menelikung di depannya. Penumpang keluar satu per satu. Dadanya berdentum-dentum.
Ia segera melangkahkan kakinya ketika melihat seseorang yang belakangan ini sering ia tatapi. Suho tertegun beberapa saat, sampai orang-orang yang keluar dari kereta menyuruhnya untuk menyingkir karena menghalangi jalan.
"Suho?" tanya orang itu saat mereka sudah menepi.
"Ya. Ya, saya Suho."
"Min Yoongi." Orang itu mengulurkan tangannya. Suho menyambutnya dan baru menemukan alasan mengapa hatinya tidak dapat menolak ketika melihat foto-fotonya. Senyum Yoongi seperti gula-gula. Sangat manit meskipun tipis.
"Ini pasti Judy?" ia mengulurkan tangan untuk mengelus rambutnya.
Judy mencicit takut-takut di samping ibunya.
…
Beberapa bulan saat Yoongi masih bersurat dengan Suho, ia mendapatkan satu surat dari ayahnya. Kira-kira seperti ini isinya,
Aku tahu Jimin bukan apa-apa untukmu. Di depanmu Jimin itu buruk rupa, tapi kadang memang iya. Tapi harusnya kau tahu, hatinya itu sangat mulia!
Yoongi mendengus melihat banyak tanda seru yang Yoongi malas menghitungnya. Surat itu dilanjutkan dengan ancaman-ancaman Min Sihyuk. Yang terparah adalah ia tak akan mengakuinya sebagai anak lagi kecuali jika Yoongi sudah bertobat.
Api dilawan api. Yoongi langsung meremas dan membanting surat dari ayahnya. Ia bersumpah tidak akan pernah menginjakkan kaki lagi di rumahnya itu.
Sementara Judy? Ia seperti bola bekel yang dilemparkan nasib tak tentu arah. Balita itu terhempas ombak kepentingan orang dewasa. Ia terombang-ambil kemelut biduk rumah tangga. Saat Yoongi masih bersama pengoleksi vespa yang dikencaninya beberapa bulan yang lalu, Judy selalu rewel. Saban malam ia susah tidur, lantaran tak ada lengan besar dan hangat yang memeluknya seperti ayahnya dulu. Tak ada yang membacakannya dongeng-dongeng dan puisi. Tak ada yang membuatnya tertawa tergeli-geli. Sering ia bernyanyi tak jelas. Sebenarnya, ia menyanyikan lagu yang sering Jimin nyanyikan ketika merayu Judy. Judy menginginkan ayahnya, tapi Yoongi tak mengerti.
Diberi mobil-mobilan, ia tak mau. Diberi permen kapas, ia minta permen. Diberi permen, ia meminta mobil-mobilan. Ketika tak diberi apa-apa, ia meminta semuanya. Ketika diberi mobil-mobilan, permen, dan permen kapas, Judy bungkam. Ia tak ingin apa-apa. Yoongi geram dibuatnya.
"Apa sebenarnya maumu, hah!?"
Judy menangis.
Dalam kejengkelan yang tak tahu harus diapakan, ia sekilas menatap tas punggung yang selalu dikenakan Judy. Dibukanya tas itu dan menemukan kemaja milik Jimin. Ia julurkan kemeja itu pada Judy. Judy terpana dan menyahutnya. Ia menciumi dan memeluk kemeja itu. Dari tangisan nyaring beberapa menit yang lalu berubah menjadi isakan sehingga tubuhnya tersentak-sentak. Air matanya masih bergelimangan di pipinya yang memerah. Mulut kecilnya menyerukan 'appa, appa'. Begitu seterusnya hingga ia lelah dan jatuh tertidur sambil menciumi baju ayahnya.
…
Masih lekat di pikiran Jimin, hujan lebat bulan Juli tahun lalu, saat Judy direnggut oleh Yoongi darinya. Malang nian, dua minggu setelahnya ibu Jimin meninggal. Disusul ayahnya tiga minggu kemudian. September, kucing kesayangan Judy hilang. Ibarat kata, Jimin sudah jatuh tertimpa tangga. Lalu berjalan menginjak kotoran ayam dan tertusuk paku karatan. Lengkap sudah nasibnya.
Jika dilihat seksama, tidak ada yang tersisa dari Jimin. Warungnya sudah habis, gulung tikar. Tabungannya kandas untuk keperluan makan. Sofa dan barang berharganya berakhir di pegadaian. Satu-satunya barang yang masih kokoh dan tak dijualnya adalah ranjangnya dan ranjang kecil milik Judy saat masih bayi.
Keseharian Jimin hanya bernapas dan duduk di beranda. Menikmati semilir angin yang menelisip rumah kayu mungil di bibir pantai. Satu-satunya tempat yang masih menaunginya. Jimin sadar, apa yang selama ini dilakoninya, semangat yang menyembul di balik sendi-sendi, setiap tarikan napas, adalah demi anaknya. Si kecil yang murah senyum dan menggemaskan itu.
Sekali pun tak bisa ia mengalihkan pikirannya dari Judy. Hampir tiga tahun tak pernah ia jauh-jauh dari putranya itu, tapi tiba-tiba ia tak ada. Raib digondol ibunya.
Setahun sudah ia kehilangan. Sering ia melakukan rutinitasnya, bangun subuh-subuh, menjerang air dan membuat susu. Tergesa-gesa karena bangun agak terlambat. Aduk ini, aduk itu, memasukkan ke dalam botol. Bergegas ke kamar lagi, tetapi terkejut karena sang putra tak ada. Jimin bersandar di dinding. Embun masih bergelayut, Jimin sudah menangis tersedu-sedu.
Setiap hari Jimin dicekik kerinduan sekaligus kekhawatiran. Sering ia menatapi ombak sambil mulutnya bergumam memanggil nama Judy. Hidup Jimin kian merosot. Tanpa siapa pun tahu, otaknya tiba-tiba kosong. Beberapa detik kemudian diisi memoar yang hanya ada dia dan anaknya. Hanya berdua. Kadang juga ia menambahkan Yoongi di dalamnya. Tersenyum dengan mata bulan sabitnya. Segalanya terasa hangat dan mendebarkan.
Sejak kapan tepatnya, Jimin tak tahu. Bahwa ia mulai hidup di awang-awang yang hanya ada dia dan keluarganya kecilnya.
TBC
Halo,
Maafkan sudah lama Jimin hilang ditelan cintanya pada Yoongi;(
Maafkeun ya, ini sumpah sibuk bngt. Plus giliran nulis sama storyku yang lain, termasuk cerita Minyoon yang lagi aku susun.
Tengkyuuu yang sudah mau baca, apalagi menunggu. Yg review, fav, follow juga. Kuusahakan segera dayung ke ending ya, kebelet nulis minyoon yg lain juga soalnya wkwk.
Big lav, ED.
