Disclaimer : Saya tidak mengambil keuntungan apapun dari FF ini :D
Jerit alarm di pagi hari menjadi pembuka dalam rutinitas hariannya. Menggerakkan tangan untuk menepuk alarm, pemuda itu mengangkat tubuh dan duduk di tempat tidur. Sembari mengumpulkan roh-roh yang tertinggal di atas bantal, pemuda bermanik merah itu mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan dan mulai tersadar.
'Hari ini juga seperti biasa,' pikirnya sambil menatap bantal tempat kepalanya berbaring sebelumnya.
Ia mengerjap-ngerjapkan mata selama beberapa kali sebelum memutuskan untuk bangkit berdiri. Sembari menguap sedikit, pemuda itu berjalan menuju ke pintu kamar dan membukanya untuk menampilkan ruangan yang masih gelap gulita. Masih terkantuk-kantuk ia berjalan menuju ke kamar mandi sembari membawa handuk juga pakaian. Tangannya menggapai pegangan pintu, memutarnya sebelum masuk ke dalam kamar mandi dan merapikan diri di dalam.
Lima belas menit kemudian, sosok pemuda beriris semerah delima dengan rambut cokelat gelap yang dibelah pinggir balas memandanginya di cermin. Pemuda itu mengenakan kemeja berwarna putih dipadu dengan vest sementara kedua tangannya sibuk memasangkan dasi berwarna merah di leher. Begitu dirasanya penampilannya sudah rapi, ia pun keluar dari kamar mandi dan turun ke dapur.
Ruangan masih gelap ketika ia turun ke dapur, belum ada tanda-tanda kehidupan di sana. Tanpa banyak bicara, ia pun menekan salah satu saklar di dinding untuk menerangi ruangan. Gorden disingkap dan jendela dibuka untuk mengganti sirkulasi udara, sementara apron dikenakan sembari berjalan ke arah kulkas.
Tanpa perlu rapot-repot menganalisis, tangannya sudah meraih tempat penyimpanan terlur, mengambil beberapa butir yang selalu bersiaga di tempatnya. Ia juga merogoh beberapa sayur-sayuran yang juga sudah pasti tersimpan di laci paling bawah kulkas. Dikeluarkannya semua dan diletakkannya di attas meja sebelum ia mulai menyiapkan penggorengan, minyak, dan mulai mengolah.
Waktu yang dibutuhkannya untuk menyiapkan sarapan kurang lebih empat puluh lima menit. Hari ini pun ia berhasil menyelesaikan semua pekerjaan plus mencuci peralatannya hingga pukul enam lewat seperempat. Melihat di atas meja sudah tersedia dua piring tamagoyaki, dua mangkuk sup miso dan dua mangkuk nasi putih dengan salad, ia pun mengangguk puas dan melepaskan apronnya. Setelah semuanya selesai, kini saatnya membangunkan satu-satunya wanita dewasa yang masih tertidur walau matahari sudah muncul dari ufuk timur.
Diketuknya kamar itu sembari berkata, "Yuki-nee, sarapan sudah siap. Ayo bangun!"
Hening sejenak dan pemuda itu menunggu. Pertanyaannya dijawab oleh hembusan angin musim semi yang masuk dari dapur. Ia pun mencobanya sekali lagi dan mengulangi perkataan yang baru saja diucapkannya, namun pintu di hadapannya tetap bergeming. Pemuda berambut cokelat gelap itu pun menghela napas, sepertinya hari ini pun ia akan membutuhkan lebih dari sekedar satu atau dua kali ketuk untuk membangunkan kakaknya. Untunglah kali ini pada percobaan kelima, ia mendengar bunyi berdebum pelan yang diikuti suara langkah diseret dan pintu yang mengayun terbuka.
"Nao-kun~, ngantuk!"
Pemuda itu mengabaikan gerutuan yang selalu muncul setiap kali ia membangunkan kakaknya. Tanpa ba-bi-bu, pemuda bermuka datar menjawab dengan nada monoton, "Aku tahu, Yuki-nee! Tapi kau harus cepat sarapan kalau mau tepat waktu menghadiri rapat guru pukul tujuh."
Masih sedikit tidak terima, gadis yang lebih tua itu mengacak-acak rambutnya dan keluar melewati ambang pintu dengan langkah gontai. Diikutinya langkah adiknya sebelum ia mengulurkan kedua tangan dan memeluk pemuda yang sedikit lebih pendek darinya itu. "Nao-kun saja yang menggantikanku."
"Kau mengigau, Yuki-nee!" Pemuda itu berkata sambil melepaskan pelukan sang kakak dengan bonus nada perintah monoton andalannya. "Cepatlah berganti baju dan mandi, kalau kau tidak mau terlambat!"
Sedikit bersungut-sungut, Yuki akhirnya menuruti keinginan sang Adik. Masih sembari menguap, gadis berusia awal dua puluhan itu berjalan perlahan ke kamar mandi. Mengambil handuk dan baju, gadis itu pun menutup pintu dengan diawasi oleh adiknya. Begitu sang adik sudah mendengar bunyi siraman air di kamar mandi, barulah iris merahnya beralih dari pintu kamar mandi.
Melanjutkan rutinitasnya, pemuda yang lebih muda enam tahun itu pun beranjak menuju ke meja makan. Menarik kursi, ia mengambil tempat di hadapan sarapan yang sudah dibuat dan mulai menyantapnya. Ia menghabiskan sarapannya dengan tenang hingga tanpa terasa pintu kamar mandi pun terbuka dan menampilkan sang kakak yang masih dalam balutan piyama.
"Aku makan!"
"Aku selesai!" Pemuda itu berkata sembari bangkit berdiri dan membawa nampan juga piringnya yang sudah kosong. Ia meletakkannya di bak cuci lalu menyabuni dan mencucinya terlebih dulu sementara kakaknya mulai menyantap sarapan. Setelah selesai, ia meletakkan piring dengan hati-hati dan beranjak ke sofa untuk mengambil blazer dan tas sekolah yang ia letakkan di sana.
"Aku berangkat dulu, Yuki-nee!" Ia berkata sambil mengenakan blazer dan mengepit tas nya.
"Lho? Nao-kun tidak mau menungguku?" Kakaknya berkata dengan bingung. "Berangkat bersamaku saja. Aku bawa mobil lho!"
Sang adik hanya menggeleng dan berkata, "Tidak, nanti telat."
"Eh, aku tidak selalu telat kok," balas sang Kakak membela diri. "Kemampuan mengemudiku di atas rata-rata. Kalau mau aku bisa jadi pembalap tercepat di Shinawara"
"Jangan mengebut, Yuki-nee!" Sang Adik memperingatkan sementara ia sudah mengenakan sepatu dan menurunkan pegangan pintu. "Aku berangkat! Jangan lupa kunci pintunya!"
Dan sang Kakak pun hanya dapat menjawab, "Hai, hai, Nao-kun!"
Puas mendengar jawaban kakaknya, ia pun melewati ambang pintu dan keluar dari apartemennya. Ia menutup pintu dan mulai melangkah menuju lift dan turun hingga ke lobby. Tangannya mencari-cari earphone dari saku tasnya dan mulai memasangkan di telinga sementara ia berjalan melewati para penghuni apartemen yang lain. Musik disetel sementara ia berjalan keluar menuju ke stasiun.
Baru saja tiba di stasiun dan menempelkan kartu di gerbang, salah seorang pemuda yang mengenakan seragam sepertinya menepuk punggungnya dengan keras. Ia pun menoleh ke belakang dan melihat temannya memamerkan sederetan gigi dengan ekspresi tak menyesal. Melihatnya, sukses membuatnya kehilangan minat untuk menyapa dan langsung berbalik meninggalkan teman satu sekolahnya.
"H-hei, kok acuh begitu?" Pemuda berambut pirang berantakan itu berkata sambil mengikuti temannya yang sudah lebih dulu menunggu kereta. "Oi, Inaho!"
Pemuda berambut cokelat gelap dan manik merah yang minim ekspresi itu tidak menggubris perkataan temannya. Ia terus berjalan hingga kakinya berhenti di peron tempat menunggu kereta. Gadgetnya dikeluarkan dan ia ikut menunggu kereta bersama orang yang sudah datang lebih dulu sementara temannya menghampiri.
Tepat saat temannya tiba di sampingnya, kereta yang ia tunggu pun datang. Di sebelahnya, sang sahabat masih terus berceloteh sementara mereka melangkahkan kaki masuk ke dalam kereta. Berhubung kursi sudah penuh, mereka berdua pun mengambil tempat di dekat pintu dan bersandar pada tiang yang terhubung dengan bangku penumpang. Sembari berdiri, Inaho menggerakkan tangan di atas ponsel pintarnya dan menulusuri berita pagi ini.
Kasus politik, kasus pembunuhan, kebakaran hutan, penangkapan pengedar obat-obatan terlarang atau gosip artis menghiasi layar ponselnya pagi itu. Kebanyakan berita negatif lebih dulu menjadi headline news dibandingkan berita yang positif seperti perkembangan teknologi anti kanker terbaru di negerinya, ataupun berita travel mancanegara. Sementara sejumlah berita tersebut menghiasi halaman lokal, di halaman internasional Inaho masih menemukan segelintir peperangan. Isu-isu internasional yang membahayakan perdamaian dunia itu seolah kalah menarik dibanding isu-isu politik yang memenuhi negeri.
Satu tepukan pelan di pundak membuatnya berhenti membaca berita di ponsel dan menoleh. Di sampingnya, seorang gadis berambut pendek dengan iris merah delima dan rambut hitam pekat mengangkat satu tangan untuk menyapanya. Gadis itu tersenyum lebar dan menggumamkan sesuatu yang tak bisa didengarnya sehingga Inaho terpaksa menurunkan earphone yang tengah ia kenakan.
"Ohayou, Inaho!"
Inaho mengangkat alisnya sedikit sebelum berkata, "Ohayou, Inko!"
Gadis berambut hitam pendek itu masih mempertahankan seringai lebar di wajah ketika mendengar namanya disebut. Dengan nada riang yang biasa ia pun berkata, "Wajahmu tetap datar seperti biasa. Ayolah, hari ini kita akan naik ke kelas dua! Seharusnya kau menunjukkan sedikit antusiasme! Mau kubagi sedikit?"
"Halah," pemuda yang bersamanya sebelumnya ikut menyahut, "tidak perlu, nanti Inaho malah ikutan bodoh sepertimu. Lagipula, dia justru sedang berharap untuk tidak sekelas lagi denganmu dan suaramu yang berisik, Inko!"
"Lihat siapa yang bicara?" Si gadis membantah dengan keras kepala. "Si peringkat bontot tahun lalu beraninya mengatai seseorang yang nilainya di atas rata-rata sebagai penular kebodohan. Seharusnya Inaho malah lebih risih sekelas denganmu, selama ini kau lah biang ribut di kelas. Namamu sama sekali tidak cocok dengan kepribadianmu, Calm!"
"Hei, kita tidak membahas kepribadian di sini," balas Calm yang nadanya selalu berubah sengit saat beradu debat dengan Inko. "Lagipula biarpun peringkatku bontot, nilaiku masih cukup untuk naik kelas."
Diapit dua sahabat tukang ribut membuat seluruh perhatian penumpang kereta tertuju pada mereka. Bahkan sikap ketiganya membuat gadis lain yang merupakan teman baik Inko datang menghampiri. Ia memperingatkan mereka untuk memelankan suara sejenak sebelum ikut bergabung. Gadis dengan kuncir dua di kiri dan kanan itu berdiri di samping Inko sambil sesekali berkomentar terhadap perdebatan sahabatnya dengan Calm.
Di tengah-tengah mereka, Inaho mendengarkan sepintas lalu sementara jemarinya setia menelusuri ponsel. Ketiga temannya tengah serius membahas siswa atau siswi di sekolah mereka, pemusik yang tengah naik daun atau guru yang akan mengajar kelas mereka. Ia sendiri tak berminat bergabung dengan ketiganya dan lebih memilih untuk mendengarkan. Paling tidak hingga salah satu dari mereka akhirnya kembali ke topik seputar murid-murid di sekolah.
"Oh ya," gadis dengan rambut cokelat panjang dan dikuncir dua itu tiba-tiba berkata, "kemaren Mizusaki sensei bilang akan ada murid pindahan di angkatan kita lho!"
Kedua teman Inaho membuka mata dengan tertarik mendengar berita tersebut sementara Inaho hanya mendengarkan. Salah satu dari mereka bahkan antusias bertanya, "Laki-laki atau perempuan?"
Disambut dengan pertanyaan yang susul menyusul dari yang satunya, "Apa dia cantik? Atau tampan? Pindahan dari sekolah mana, Nina?"
Yang ditanya hanya tersenyum meminta maaf sambil bergumam 'Aku tidak tahu sedetail itu'. Sikapnya membuat kedua temannya mendesah penuh kekecewaan sementara ia kembali menggumamkan permintaan maaf sembari cengengesan. Berhubung topik tersebut tidak bisa dibicarakan lebih lanjut, ketiganya pun memilih untuk mencari topik obrolan lain dan kembali larut di dalamnya.
Sangat bertolak belakang dengan Inaho yang justru mulai merenungkan perkataan mereka. Murid pindahan di angkatan mereka di awal tahun ajaran baru bukanlah berita yang umum. Sangat jarang ada murid di tingkat dua yang pindah ke sekolah lain setelah satu tahun menjalani orientasi di sekolah baru. Hanya ada beberapa hal yang menyebabkan si murid pindah dan ia hanya berharap bahwa dugaannya salah. Semoga saja murid baru yang datang ke sekolahnya adalah murid baik-baik dan bukan murid bermasalah seperti yang ia pikirkan sebelumnya.
Atau sebaiknya murid yang bermasalah saja sekalian supaya ia bisa keluar dari hari-hari biasa yang membosankan ini?
.
.
.
Ordinary Days by cyancosmic
Aldnoah Zero by Gen Urobochi
.
.
.
Chapter 1. Transfer Student
"… terima kasih dan mari bersama-sama menciptakan kenangan indah yang takkan terlupakan selama tiga tahun kalian bersekolah di Shinawara High."
Sepenggal kalimat pada pidato sang ketua OSIS di Shinawara High itu diakhiri dengan tepuk tangan dan sambutan antusias dari para murid kelas satu yang baru masuk. Gadis berambut kuning keemasan pun membungkukkan badan sejenak sebelum turun dari podium. Langkahnya yang anggun dan berwibawa masih mengundang pasangan mata untuk terus mengikutinya sekalipun ia sudah berdiri di samping para anggota OSIS yang berdiri di samping para guru.
"Pidato yang bagus, Hime-sama," ujar salah satu staff OSIS yang berambut panjang kecokelatan dan tidak terlalu tinggi itu sembari bertepuk tangan penuh semangat. Ia langsung berjalan mengikuti sang ketua OSIS dan sekali lagi berkata, "Benar-benar sangat memukau."
"Aku setuju, Edderrituo" ujar pemuda lain yang menjabat sebagai bendahara OSIS, "Pidato Asseylum-san benar-benar mengagumkan."
"Kalian ini bisa saja," balas sang ketua OSIS dengan senyum malu-malu di pipinya pada dua orang yang sudah seperti sahabat lamanya itu. Hanya saja, berbeda dengan kedua staffnya, wakilnya sendiri malah menunjukkan ekspresi tidak tertarik dengan ponsel pintar di genggamannya. Sikap yang membuat Asseylum mendekat pada pemuda berwajah datar itu dan berkata, "Inaho-san? Kau mendengarkan pidatoku?"
Mendengar namanya dipanggil, pemuda yang masih asyik dengan ponselnya itu mengangkat sedikit kepalanya. Kedua manik merahnya tertuju pada Asseylum sebelum ia mengangguk dan berkata, "Aku dengar."
"Oh," ujar Asseylum sambil tersenyum, "bagaimana menurutmu?"
Inaho mengangkat bahu dan berkata, "Bagus."
"Benarkah?"
Sekali lagi pemuda itu mengangguk, sebelum menambahkan sesuatu dalam kalimat, "Seperti biasanya."
Tak menyadari maksud ucapan si pemuda berwajah datar, Asseylum menunjukkan senyum manisnya pada pemuda itu. Hanya pemuda itu tidak menanggapi senyumannya berhubung kedua matanya kembali menempel erat pada ponsel di tangan. Reaksinya membuat Asseylum menghampirinya dan kembali berkata, "Apakah ada yang menarik di ponselmu?"
"Hm," jawab Inaho sembari menggeser layarnya, "begitulah."
"Ada kasus apa saja?" Asseylum kembali bertanya dengan nada ingin tahu.
"Politik, ekonomi, pembunuhan, seperti biasanya saja," jawab Inaho ala kadarnya sementara pandangannya masih tertuju ke ponsel. "Kau bisa melihatnya sendiri."
Asseylum tertawa mendengar jawaban pemuda berekspresi datar di hadapannya. Ia pun kembali menanggapi, "Terkadang aku hampir tak punya waktu untuk mengecek berita, aku iri padamu yang masih sempat mengecek berita terkini sekalipun kau juga anggota OSIS, Inaho-san."
"Biasa saja," jawab Inaho tak acuh.
"Ngomong-ngomong," Asseylum mendekat padanya dan kembali mengajak pemuda yang tengah serius dengan ponselnya itu bicara, "bagaimana menurutmu anak kelas satu yang baru masuk itu? Apakah ada yang menarik minatmu?"
Alis pemuda berambut cokelat di hadapannya terangkat sedikit sebelum sepatah kata kembali meluncur dari bibirnya, "Tidak."
"Memang kau sudah melihatnya?"
"Sudah," jawab Inaho cepat sambil menyerahkan beberapa lembar daftar murid baru yang masuk beserta foto mereka. "Wajah mereka pun sudah kuingat, tapi tidak ada profil yang harus kuwaspadai dari mereka."
"Diwaspadai?" Edderrituo mengulang perkataan sang wakil OSIS. "Kaizuka-san, kau memperlakukan para murid ajaran baru itu seperti musuh saja."
Inaho tidak menjawab. Ia lebih memilih untuk sibuk dengan ponselnya dibanding ikut serta dalam perdebatan tidak ada artinya dengan Edderrituo. Asseylum yang menyadari nada bicara Edderrituo akhirnya ikut menengahi dan menenangkan gadis kecil itu. Untunglah akhirnya Edderrituo mendengarkan Asseylum dan tak mempermasalahkan lebih lanjut.
"Bagaimana profil mereka, Inaho-san? Apakah di antara mereka ada murid berprestasi yang menarik perhatian?" Asseylum kembali bertanya pada wakilnya yang bermuka datar.
"Ada segelintir yang berprestasi baik akademis maupun non-akademis," jawab Inaho dengan suara yang tetap tenang. "Setidaknya tahun ini kita masih dapat mempertahankan prestasi Shinawara High."
Sekali ini Asseylum mengangguk setuju, "Aku senang mendengarnya dan kalau boleh, laporkan padaku siapa saja murid yang berprestasi ini agar kita bisa membantu mengarahkannya."
Staff yang lain mengangguk dengan penuh semangat, berbeda dengan Inaho yang tidak terlalu antusias. Ia justru lebih bersemangat ketika upacara ajaran baru dibubarkan sehingga ia bisa kembali ke kelas. Sebelum ada satu pun anggota OSIS yang beranjak, ia sudah lebih dulu berkata, "Kalau tidak ada lagi yang diperlukan, aku undur diri dulu. Permisi."
Sang ketua OSIS mengangguk mengiyakan sementara kedua bawahannya memandangnya dengan penuh tanda tanya. Di belakangnya, Inaho masih bisa mendengar suara Edderrituo yang berkata, "Aku heran kenapa orang seperti itu memilih bergabung dengan OSIS?"
"Tapi ia cukup cekatan dan punya pertimbangan yang matang," ucap bendahara mereka yang memegangi daftar siswa dari Inaho. "Ia bisa menganalisis sejauh itu padahal hanya tertera nama dan tanggal lahir mereka."
"Kau berlebihan memujinya, Klancain," kata Asseylum sambil tersenyum, "yang lain pun bisa melakukannya, bukan hanya Inaho-san seorang."
Sang bendahara OSIS tertawa mendengar perkataan ketuanya. Ia pun mengarahkan pandangannya pada pemuda yang telah menjauh dari kerumunan OSIS dan kembali berkata, "Walaupun aku sendiri heran, kenapa orang seperti dia memilih untuk ikut dalam kegiatan OSIS yang kebanyakan merupakan kegiatan sosial."
"Ah, dia bilang karena kakaknya menyarankannya untuk ikut OSIS bila ia hendak mengubah hari-harinya yang membosankan," jawab Asseylum sambil tersenyum.
"Dan apakah hari-harinya jadi tidak membosankan lagi sejak ikut OSIS?"
Asseylum mengangkat bahu. "Entahlah, kalau itu harus bertanya pada orangnya langsung kurasa."
Ketiga pasang mata memandangi punggungnya sementara Inaho berjalan menuju ke pintu di seberang aula. Walaupun sedikit bising ia masih bisa mendengar perkataan ketiganya yang mempertanyakan eksistensinya di OSIS. Mempertanyakan bagaimana orang seperti dirinya dapat bergabung dengan keanggotaan OSIS.
Harus ia akui bahwa menjadi anggota OSIS cukup menyita waktunya dan membuatnya sibuk sepanjang hari. Sayangnya dugaannya meleset saat mengira bahwa OSIS merupakan wadah spesial yang akan membuat minatnya pada sekolah ini bertambah. Kegiatan-kegiatan tersebut hanya membuatnya sibuk semata tanpa membuatnya tertarik untuk terlibat lebih dalam dengan aktivitasnya.
Sekali lagi ia menghela napas dan memutuskan untuk tak lagi mendengarkan ucapan mereka. Earphone dipasang di telinga dan Inaho pun berjalan menyusuri koridor untuk kembali ke kelas. Diabaikannya beberapa pasang mata yang mengenalinya sebagai salah satu anggota OSIS sementara musik di ponsel dikeraskan volumenya. Ia tak mau ambil pusing soal gosip yang belakangan banyak menerpanya sejak bergabung dengan OSIS.
Walaupun banyak gosip yang mengatakan bahwa ia manusia bermuka datar, banyak juga yang mengatakan bahwa ia jenius dan layak mendapatkan posisi di OSIS. Hanya saja, ia tetap tidak merasa ada yang spesial dari hari-harinya. Ia tetap hanya seorang murid dan seorang adik dan kehidupan sekolahnya tetap monoton seperti rutinitas hariannya.
Bangun pagi, memasak, membangunkan Yuki-nee, berangkat ke sekolah, mengobrol dengan teman, pulang, memasak lagi, mengerjakan tugas atau menunggu Yuki-nee pulang sama sekali tidak memompa semangatnya. Hari-harinya terasa begitu damai, begitu sama, begitu biasa hingga terasa membosankan. Tidak ada kebahagiaan yang besar, juga tidak ada kesedihan yang fatal. Semuanya begitu datar dan biasa saja baginya.
Ia bertanya-tanya, akankah hidupnya berbeda bila ia menjalani hari di tengah peperangan dan negara yang sedang konflik? Hidup berteman dengan senjata pembunuh, menjalani pelatihan bersama alat-alat tersebut, menyusun strategi untuk melumpuhkan lawan, mungkin akan lebih menarik dibanding hidupnya yang sekarang. Setidaknya hidupnya terasa lebih bergairah dan tidak membosankan seperti rutinitas hariannya.
Aneh dan tidak jelas memang. Tapi sekali saja, Inaho pernah berharap agar keluar dari situasi yang biasa-biasa saja ini. Bukan berarti ia tidak suka memasak, tidak suka mengerjakan tugas atau mendengarkan ocehan konyol teman-temannya. Ia menyukai semua itu, hanya ia merasa bosan dan… hampa.
Semakin dipikirkan, ia pun semakin tidak mengerti dirinya sendiri. Digelengkannya kepalanya dan ia menggeser pintu kelasnya. Ia masuk ke dalam dan menempati tempat duduk di paling ujung di dekat jendela. Kursi ditarik dan ia pun menempati bangku itu dengan pandangan tertuju ke jendela.
"Inaho!"
Teman yang menyapanya di stasiun langsung menghampirinya. Senyum lebar muncul di wajah ketika Inaho menoleh padanya dan pemuda itu berkata, "Kita sekelas lagi lho! Kau senang 'kan, Inaho?"
Ekspresi datar di wajah Inaho sepertinya tak cukup untuk menyampaikan maksudnya. Temannya langsung mengambil kursi milik entah siapa yang ada di hadapannya dan mendudukinya tanpa permisi. Bahkan tanpa menunggu Inaho bereaksi, pemuda berisik itu pun berkata, "Kau tahu siapa lagi yang sekelas dengan kita? Ayolah kau pasti penasaran!"
Inaho tidak tertarik, baginya mereka semua sama saja. Ia mengeluarkan buku dari dalam laci dan mulai membukanya. Setidaknya untuk mengalihkan perhatiannya dari celotehan pemuda berisik itu.
"Marylcian dan Mazurek juga sekelas dengan kita. Kau tahu mereka 'kan?" Temannya berkata dengan antusias, tak peduli reaksi datar dari orang di hadapannya. "Mereka itu mengambil pekerjaan juga sebagai model. Makanya gadis-gadis di kelas kita jadi berisik sekali karena sekelas dengan mereka. Tahun lalu hanya Inko yang berisik, tapi sekarang satu kelas sangat berisik."
Memang perkataan temannya soal itu ada benarnya. Tahun lalu, ia, Calm dan Inko merupakan teman sekelas. Mungkin itu sebabnya mereka cukup dekat terlebih ketika mengetahui bahwa tempat tinggal mereka berdekatan. Walaupun ia seringkali mengabaikan mereka, kedua orang itu tak pernah jera bersahabat dengannya. Mereka berdua seolah-olah mengabaikan batas yang dibuat olehnya dan terus merecokinya hingga ia terbiasa dengan kehadiran keduanya.
Pada dasarnya, Inaho bukan orang yang suka keributan dan mendengar bahwa ia harus berteman dengan pekikan gadis-gadis selama satu tahun membuatnya berpikir ulang soal membeli headset keluaran terbaru merk Boshu*(1). Mungkin ia harus memprioritaskan headset dibanding membeli laptop mutakhir yang sudah ia incar selama setahun belakangan ini.
"Oh ya, dan satu lagi," ujar sahabatnya dengan seringai menyebalkan di wajah, "murid baru itu akan masuk kelas kita lho!"
Ah ya, dan si murid baru ini juga.
"Tidak ada yang tahu apakah dia ini laki-laki atau perempuan, tapi aku berharap dia perempuan cantik," ujar sahabatnya sambil melanjutkan dengan penuh semangat. "Kalau sampai dia laki-laki juga, apalagi kalau ia tampan, maka lebih baik aku lahir kembali saja menjadi plankton."
Untuk pertama kalinya Inaho pun berkomentar, "Aku setuju, sebaiknya kau menjadi plankton saja."
Perkataannya membuat kepala Calm yang biasa bermonolog sendirian pun terangkat. Dibandingkan marah karena mendengar sindiran sahabatnya, pemuda satu itu malah berkata, "Tumben kau menyahut! Biasanya kau diam saja dan tak mau mendengarkan."
Inaho hanya mengangkat alis sekali lagi sementara Calm menginterogasinya soal sikapnya. Ia praktis mengabaikan semua pertanyaan. Matanya menyusuri isi buku tahun ajaran barunya dan sibuk membolak-balik halaman hingga pintu ruangan kembali digeser. Begitu mendengar bunyi hak sepatu menubruk lantai, ia pun segera menutup bukunya tanpa repot-repot mengangkat kepala.
"Sit down, class!" Suara itu berkata disertai dengan bunyi buku yang dihantamkan ke atas meja di depan. Suaranya tegas dan ia kembali berkata, "Kembali ke tempat duduk kalian, kelas akan segera dimulai!"
Mendengar suaranya, Calm pun langsung beranjak dari tempat duduk di hadapan Inaho dan menuju ke bangkunya sendiri. Begitu Calm menghilang, barulah Inaho mengangkat kepalanya. Ia menatap ke depan dan menatap dua orang yang sudah berdiri di depan dan menunggu hingga keributan reda.
Yang satunya, sepertinya ia tidak perlu menelaah lebih lanjut. Rambut pendek, rok span sebatas lutut berwarna biru dengan kemeja putih dan sepatu berhak membuat identitas wanita itu tak sulit dikenali. Mizusaki-sensei sudah pernah mengajarnya di tahun ajaran sebelumnya dan tahun ini wanita itu menyertai mereka naik ke kelas dua.
Sementara di sebelah wanita itu, seseorang berdiri sembari memegangi sebelah tali tas ransel yang ia kenakan. Seragamnya berbeda dengan seragam yang dikenakan Inaho dan ia juga mengenakan vest hitam untuk menutupi kemejanya yang berwarna putih. Iris matanya yang berwarna biru cemerlang mengelilingi ruangan dan membalas tatapan yang tertuju padanya satu persatu. Ia terus berkeliling hingga akhirnya pandangan mereka bertemu.
Saat itu, suara-suara bising di kelasnya langsung tidak terdengar. Kedua maniknya yang semerah delima melebar ketika melihat manik biru yang tertuju padanya. Bahkan sekelebat bayangan muncul saat pandangan mereka bertatapan, dan membuatnya menyentuh kepalanya tiba-tiba. Ia menatap si murid pindahan lagi, tapi pandangannya sudah sibuk menjelajah ke tempat lain.
'Apa itu tadi?' batinnya pada diri sendiri. Ia tidak mengerti kenapa tiba-tiba muncul pion catur di ingatannya? Ia juga melihat tangannya bergerak menjalankan bidak catur sementara di hadapannya tangan yang putih mulus bergerak membalas. Padahal ia nyaris tidak pernah menyentuh permainan itu, apalagi memainkannya bersama seseorang.
"Nah, silakan perkenalkan dirimu," ujar Misuzaki-sensei begitu keadaan kelas sudah lebih tenang.
Si murid pindahan pun kembali mengangguk dan ia mengedarkan pandangan tanpa ragu disertai senyum manis di wajah. Pemuda berambut perak platina itu kembali berkata, "Salam kenal, namaku Slaine Troyard."
Rambut perak platina juga mata birunya membuat para murid perempuan berteriak histeris. Bahkan Mizusaki-sensei sampai harus menggebrak meja untuk menenangkan mereka. Salah satu murid perempuan bahkan tak segan untuk bertanya, "Troyard-kun, bukan orang Jepang, ya? Kau pindahan dari mana?"
"Ah, ibuku orang Jepang," jawabnya dengan bahasa Jepang yang sangat lancar, "aku pindahan dari Inggris."
Sekali lagi para murid perempuan pun mulai berteriak riuh yang membuat Mizusaki-sensei kembali menggebrak meja untuk kesekian kalinya. Begitu kelas sudah cukup tenang, wali kelas mereka akhirnya berkata, "Baiklah, Slaine! Perkenalannya cukup. Kau boleh duduk di depan Kaizuka."
"Kaizuka?"
Mizusaki-sensei kembali berkata, "Silakan angkat tanganmu, Kaizuka!"
Inaho mengangkat tangan sesuai permintaan Mizusaki-sensei. Sekali lagi pandangan mereka bertemu dan sekelebat bayangan yang mengganggu Inaho pun kembali muncul. Tangannya gemetar sementara benaknya dihantui berbagai gambar layaknya slideshow yang diputar cepat.
"Maaf, kami tidak berhasil mencegahnya," ujar seseorang di kepalanya. "Maafkan kami, Letnan Kaizuka."
"Dia mengiris pergelangan tangannya sendiri dengan silet, seharusnya kami mengawasinya," suara yang lain berkata. "Kami benar-benar sangat menyesal."
Ia tidak menjawab apa pun. Matanya hanya menatap selimut berbercak darah dan mencengkeramnya erat. Selimut itu didekatkan ke dadanya sementara ia menatap kosong pada cekungan yang sebelumnya dihuni sesosok manusia berkulit putih pucat. Tangannya terulur dan menyentuh permukaan keras beton yang ditempati penghuninya sebelum seseorang berkata,
"Inaho! Hei Inaho!"
Inaho mengerjapkan mata ketika mendengar suara Calm. Ia pun menoleh ke arah teman dekatnya itu dan mengernyitkan dahi. Temannya malah membuat isyarat yang tidak ia pahami. Ia pun menoleh kembali ke depan dan menemukan si murid baru sudah duduk di hadapannya. Helaian rambut perak platinanya berkibar saat tertiup angin dan membuat Inaho kembali terpana melihatnya.
Pemuda di hadapannya pun sepertinya menyadari perhatian intens yang ditujukan Inaho padanya. Ia menggerakkan kepalanya ke belakang, menatap Inaho dan mempertemukan kembali iris sebiru langit miliknya. Senyum terkembang di wajahnya dan pemuda itu mengulurkan tangannya seraya berkata, "Salam kenal, Kaizuka-san!"
Alisnya mengernyit dan ia merasakan rasa sakit yang aneh di dadanya saat mendengar suara itu. Reaksinya membuat si murid baru menggerakkan kepala dengan bingung dan kembali memanggil namanya sekali lagi. Melihat itu ia pun mengabaikan rasa sakit di dadanya dan menerima uluran tangan si murid baru.
Sekali ini kehangatan yang tak biasa mengalir dari kedua jemari yang saling bertemu. Pandangannya kembali tertuju pada pemuda dengan helaian rambut platina di hadapannya, terlebih ketika pemuda itu memberinya seulas senyum manis di wajah.
"Kaizuka-san?"
Inaho cepat-cepat menarik tangannya ketika mendengar pemuda itu memanggil namanya lagi. Ia menggumamkan permintaan maaf singkat sebelum si pemuda berambut perak platina kembali menghadap ke depan. Barulah saat itu ia kembali mengarahkan manik merahnya dan menatap punggung orang di depannya.
Yang tadi itu apa? Mimpikah? Halusinasikah? Orang-orang yang ia dengar memanggilnya Letnan Kaizuka, tapi ia tidak yakin pernah bergabung dengan militer. Ia juga sangat yakin tidak ada leluhurnya yang pernah bergabung menjadi anggota militer, mereka semua benar-benar orang sipil sejak dilahirkan. Tapi kenapa ia tiba-tiba melihat hal seperti itu saat manik sebiru langit beradu pandang dengan manik merahnya? Siapa sebenarnya si murid baru ini? Kenapa ia membuatnya melihat hal-hal yang tidak masuk akal?
Entahlah. Inaho bingung. Ini pertama kalinya mereka bertemu, tapi ada yang aneh setiap kali ia menatap manik sebiru lautan atau ketika pandangan itu tidak tertuju padanya. Ia tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Ini pertama kalinya seseorang membuatnya seperti ini.
Dan untuk pertama kalinya, Kaizuka Inaho merasa bahwa kehidupan sekolahnya tidak membosankan.
(t.b.c)
Footnote:
1) Boshu = plesetan dari Bose (tidak berniat berpromosi, hanya kebetulan itu yang saya pake di kantor :P )
A.N:
Holla All! Saya kembali ke fandom ini lagi setelah hampir satu tahun ditinggalkan karena sibuk bertualang. Dan akhirnya di sinilah saia, merayakan ff kecil-kecilan buat menyambut ultah Slaine XD, happy belated birthday Slaine!
Aniway, ini pertama kalinya saya mencoba nulis di mana salah satu pairnya nggak saya ubah gendernya. Sedikit deg-degan karena takut malah jadi friend zone T_T
But aniway, hope you guys like it and if you mind, please share some of your thoughts dan mari kita fangirlingan bareng :P
With love,
Cyan