Aku mengerjapkan mataku yang terasa berat. Ketika mataku terbuka, ku pejamkan kembali karena cahaya yang begitu menyilaukan tiba-tiba menyerang indera penglihatanku.

Ku coba untuk membuka mataku sekali lagi. Kali ini, lebih pelan dan hati-hati. Mataku terbuka sedikit, lalu ketika sudah terbiasa dengan cahaya, ku buka lebih lebar.

Keningku berkerut ketika ku lihat langit biru yang cerah di atas tubuhku. Aku segera mendudukkan diriku ketika ku sadari aku sedang berbaring di atas rerumputan.

Di mana aku?

Kepalaku menoleh ke sana kemari, berusaha mengenali tempat ini. Namun nihil, aku tak mengenal daerah ini. Serius, ini dimana?

Ketika aku menoleh ke sebelah kanan, napasku tercekat. Aku melihat tiga orang pria berbadan besar dan kekar. Dua di antara mereka membawa busur panah lengkap dengan anak panahnya, sedangkan satu lagi membawa tombak dengan ujung yang tajam.

Siapa mereka?

Aku memicingkan mata, karena sekeras apapun aku berusaha untuk melihat, wajah mereka tampak buram, seolah ada kabut yang menghalangiku untuk melihat wajah pria-pria kekar itu.

Salah satu di antara pria itu berjalan mendekat ke arahku. Dia menenteng busur panah, di tangan kirinya. Mau apa pria ini?

Aku berusaha untuk kabur, namun aku tak bisa bergerak. Tubuhku seolah menancap dengan kuat di tanah, agar aku tak kabur kemana-mana. Aku menjerit tertahan ketika pria itu berjongkok di sampingku yang masih duduk di atas tanah.

Meskipun aku tak bisa melihat wajahnya yang seolah tertutup kabut, tapi aku bisa melihat perawakan pria itu dengan jelas. Tubuhnya besar dan kekar, dengan otot-otot yang terlatih. Rambut hitam pria itu sedikit panjang, nyaris menyentuh bahunya.

Suara pria itu terdengar berat saat dia mengucapkan sesuatu, tapi aku tak paham apa yang diucapkan olehnya. Belum sempat aku membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, pandanganku mendadak gelap, dan aku tak ingat apa-apa lagi.

.

Disclaimer : Naruto dan seluruh karakternya BUKAN punyaku. Minjem doang ini mah.

.

Naruto and The Red Stone © Vandalism27

.

Warning : Sasu(fem)Naru! OOC (ini fanfiksi, BUKAN MANGA ASLI), alur kecepetan, gak jelas, typo(s), dan segala kekurangan dan kecacatan lainnya. Kalo gak suka, NGGAK USAH CAPER :v

.

Sinopsis : Naruto pikir, ini adalah akhir dari hidupnya, mati ditabrak truk yang melaju ke arahnya. Namun sepertinya, Tuhan berbaik hati mengijinkannya tetap hidup… di dimensi lain!

.

.

SELAMAT MEMBACA!

.

.

Naruto membuka matanya.

Mata biru itu mengerjap, menatap atap bangunan yang tampak familiar untuknya.

Gadis berambut pirang sebahu itu menggaruk kepalanya, lalu mendudukkan dirinya di atas ranjang yang tampak berantakan. Ia terdiam, mengamati ruangan tempat ia beristirahat. Kemudian, terdengar helaan napas dari hidung mancung gadis itu.

"Sial," sang gadis mengumpat pelan. "Mimpi itu lagi."

Naruto turun dari ranjang sambil menghela napas panjang. Ini sudah kesekian kalinya dalam satu bulan ini, ia memimpikan hal yang sama. Padang rumput, laki-laki berambut hitam dengan tubuh yang kekar, pandangannya yang berubah gelap, kemudian ia terbangun.

Mata biru itu melirik jam dinding. Pukul 04:30 pagi.

"Ck," Naruto mendecakkan lidahnya, lalu ia memutuskan untuk ke kamar mandi, untuk membersihkan dirinya. Dia harus membuat sarapan untuk ayahnya lalu berangkat ke sekolah.

Ini masih terlalu pagi, tapi Naruto tak ingin tidur lagi. Dia bisa terlambat. Well, lima menit di dunia mimpi, berarti satu jam di dunia nyata.

Naruto membersihkan diri seperlunya. Dia bukanlah tipe gadis yang suka berlama-lama di kamar mandi. Kamar mandi adalah tempat yang dingin dan lembap, dia tak terlalu suka.

Selesai mandi dan berpakaian, Naruto menyiapkan sarapan untuknya dan juga ayahnya. Naruto hanya tinggal berdua bersama sang ayah, sedangkan ibunya tinggal di luar kota. Orang tua Naruto sudah bercerai tiga tahun yang lalu.

"Selamat pagi, Naruto," Minato–ayah Naruto, menyapa.

"Selamat pagi, Ayah," balas Naruto sambil tersenyum manis. "Kopi Ayah ada di atas meja."

Minato menggumamkan terima kasih, lalu meraih koran langganannya yang tergeletak di atas meja. Pria itu memang hobi membaca koran pagi, sambil menunggu sang anak selesai memasak sarapan.

Naruto meletakkan dua piring nasi goreng telur di atas meja, lalu mengambil segelas air putih. Gadis itu melepaskan celemeknya untuk bergabung bersama Minato di meja makan.

"Ayah, aku ingin ikut les matematika," kata Naruto.

Minato mengangguk setuju. "Boleh, kau pilih saja tempat yang kau inginkan, nanti Ayah yang akan membayarnya."

"Apa tidak apa-apa? Biaya les cukup mahal, Ayah," Naruto menyumpit nasinya dengan ogah-ogahan. Gadis itu sangat ingin ikut les matematika, mengingat nilainya selalu berada di zona angker. 60 adalah poin tertinggi yang pernah Naruto dapatkan.

"Tidak apa-apa, Naruto. Ini adalah kewajiban Ayah. Lagipula, Ayah tidak mau nilaimu jelek. Ini kan menyangkut masa depanmu," sang ayah berkata dengan bijak. Tentu saja, Minato pasti akan berusaha dengan keras bagaimanapun caranya, agar sang putri mendapatkan pendidikan terbaik.

Naruto mengangguk. Senyum cerah menghiasi wajah gadis manis itu. "Terima kasih, Ayah."

"Terima kasih kembali. Ayo, selesaikan sarapanmu, nanti kau terlambat!"

Naruto menghabiskan sarapannya dengan cepat. Selesai sarapan, Naruto segera berpamitan pada ayahnya untuk berangkat sekolah. Gadis itu hanya memerlukan waktu sepuluh menit berjalan kaki untuk tiba di sekolah.

Seperti hari-hari sebelumnya, Naruto akan saling bertegur sapa dengan teman-teman sekolah yang ia kenal, lalu mengikuti pelajaran pada hari itu.

.

.

.

Suasana kantin sekolah sedang ramai. Para murid sedang beristirahat dari kegiatan belajar. Ada yang makan, mengobrol dan bercanda dengan teman-temannya, bahkan di bagian sudut, ada yang sedang melamun seorang diri.

"Naruto!"

Naruto tersentak ketika seseorang menepuk kedua bahunya. Gadis berambut pirang sebahu itu menoleh, wajahnya berkerut kesal ketika dilihatnya Shikamaru, sahabatnya yang sedang berdiri di belakangnya.

"Kau ini, mengagetkan aku saja!" gerutu Naruto.

Shikamaru nyegir tanpa dosa. "Maaf, habisnya kau melamun lagi!" katanya. Pemuda itu kemudian duduk di sebelah Naruto. "Kenapa kau melamun? Kepikiran mimpi itu lagi?"

Naruto menghela napasnya, lalu mengangguk pelan. "Begitulah."

Naruto menopang pipinya dengan sebelah tangan, lalu memikirkan mimpi yang akhir-akhir ini mengganggu tidurnya. Selama satu bulan penuh, Naruto memimpikan hal yang sama, yaitu dia yang sedang berada di padang rumput yang luas, didekati pria berbadan kekar dengan wajah blur, lalu pandangannya berubah gelap.

"Sudahlah, itu hanya mimpi. Jangan terlalu dipikirkan," Shikamaru meraih jus milik Naruto yang tersisa setengah, lalu meminumnya.

"Aku takut, tahu. Mimpi itu datang setiap malam, dan setelah aku terbangun, aku tak akan bisa tidur lagi," Naruto menunjuk lingkaran gelap di bawah matanya. "Lihat? Kantung mataku sudah seperti Gaara!"

"Kau memanggilku?"

Sebuah suara berat yang familiar terdengar, membuat Naruto dan Shikamaru kompak menoleh ke belakang. Ada Gaara berdiri di belakang mereka, sambil menenteng sebungkus keripik kentang rasa barbeque.

"Dari mana saja, kau? Jam istirahat hampir selesai," kata Naruto pada Gaara yang duduk di sebelahnya.

"Anko-sensei meminta bantuanku untuk mengoreksi hasil ujian adik kelas," sahut Gaara. Pemuda itu membuka bungkus keripiknya, lalu menawarkannya pada Naruto.

Naruto mencomot satu keripik kentang Gaara sambil tertawa kecil. Gaara memang salah satu murid dengan nilai di atas rata-rata, jadi beberapa guru sering meminta bantuannya untuk mengoreksi hasil ujian. Shikamaru pun sebenarnya termasuk siswa yang jenius, hanya saja dia termasuk siswa yang malasnya minta ampun. Dia bahkan sering ketiduran di kelas.

"Apa nanti sore kalian sibuk?" Naruto bertanya.

"Tidak," Gaara menjawab, mewakili Shikamaru yang sedang sibuk mengunyah keripik kentang. "Memangnya kenapa?"

Naruto menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Aku ingin ke toko buku. Anko-sensei ngomel lagi, katanya nilaiku yang paling buruk di kelas, jadi aku ingin mencari buku untuk belajar," katanya. Gadis berambut pirang itu memelototi Shikamaru yang tertawa di sebelahnya.

"Makanya, jangan main mobile legends terus," Gaara bersedekap, lalu menyandarkan punggungnya. "Mau aku bantu belajar?"

Naruto menatap Gaara dengan tatapan memelas yang mirip anak hilang. "Kau serius? Tolong ajari aku, Gaara-sensei!"

"Kau yakin ingin mengajarinya, Gaara? Dia ini bebal dan sulit sekali untuknya memahami apa yang kita ajarkan. Aku sudah menyerah membantunya belajar matematika–aduh!" Shikamaru mengaduh, ketika pahanya dicubit oleh Naruto.

"Aku tidak bodoh, tahu! Aku hanya tidak pandai di bidang matematika!"

"Yang benar?" Shikamaru menaikkan sebelah alisnya. Pemuda ini memang suka menggoda Naruto, kadang-kadang sampai membuat gadis manis itu menangis saking kesalnya.

"Ah, terserah!" Naruto berdiri, lalu menggebrak meja. "Gaara, nanti sore, sepulang sekolah! Jangan lupa, ya!" Naruto pun melenggang pergi setelah menjulurkan lidahnya pada Shikamaru.

Gaara tak menjawab, dia mengangkat tangan kanannya sebagai tanda persetujuan. Sepeninggal Naruto, Gaara melirik Shikamaru yang sedang duduk sambil menguyah keripik kentang milik Gaara.

"Kau itu, suka sekali menggoda Naruto."

Shikamaru tertawa kecil. "Menyenangkan sekali melihat dia ngambek. Wajahnya terlihat seperti bakpao," jawab Shikamaru.

Kening Gaara berkerut samar. "Kau menyukai Naruto?"

Shikamaru melotot, ia menatap Gaara seolah alis pemuda itu sudah tumbuh dan terbentuk sempurna seperti alis Gigi Hadid. "Jangan bercanda, Naruto itu sahabatku! Sahabat kita!"

Gaara menghela napasnya. Mana ada, sahabat yang rela bangun pagi-pagi untuk membawakan sarapan? Mana ada, sahabat yang rela kehujanan hanya untuk menjemput Naruto yang lupa membawa payung sehabis kerja paruh waktu?

Tinggal menunggu waktu saja, sampai Shikamaru ini menyadari perasaannya untuk Naruto, teman mereka sejak TK.

.

.

.

Sore itu, sepulang sekolah, Naruto dan Gaara pergi ke toko buku sesuai dengan janji yang mereka sepakati siang tadi. Shikamaru tidak bisa ikut karena harus mengantarkan ayahnya ke rumah sakit.

Toko buku itu terletak di dekat stasiun, dan merupakan toko buku langganan Gaara. Setelah membeli beberapa buku yang menurut Gaara cocok untuk Naruto, ia mengajak Naruto untuk latihan mengerjakan beberapa soal yang ada di buku. Firasatnya tidak enak, dia merasa Naruto tak akan pernah membuka buku ini di rumah.

Mereka memutuskan untuk belajar di bakery shop yang ada di seberang toko buku. Awalnya Naruto menolak untuk belajar saat itu juga, tapi setelah di iming-imingi cheesecake, gadis itu pun mengangguk setuju tanpa pikir panjang.

Gaara menghela napasnya. Ini sudah kesepuluh kalinya dia menerangkan cara mengerjakan soal trigonometri pada Naruto. Menurut Gaara, soal ini amat mudah, mengerjakan sambil menutup mata pun Gaara sanggup.

Tapi ternyata, soal ini termasuk sulit untuk Naruto. Benar kata Shikamaru, diperlukan stock kesabaran tingkat dewa agar bisa mengajarkan matematika pada gadis ini.

"Bagian mana yang tidak kau pahami?" Gaara bertanya untuk kesekian kalinya.

Bibir Naruto mengerucut lucu. "Semuanya," jawab Naruto lirih. Ia memang tak pandai di bidang hitung-menghitung. Naruto lebih pandai di bidang bahasa. "Soal-soal ini seperti bahasa alien, susah sekali memahaminya."

Gaara menghela napasnya. Dia tak sampai hati memarahi Naruto yang tatapannya bak anak tiri yang teraniaya. "Ya sudah, kita istirahat dulu. Kau mau cheesecake, kan? Pesan saja, aku yang bayar."

Wajah Naruto berubah cerah. Dia menutup bukunya dengan semangat, lalu berlari pergi menuju ke konter kue yang menjual cheesecake, kue kesukaan Naruto.

Setelah menghabiskan satu cheesecake dan satu es cokelat favoritnya, Naruto berpamitan pada Gaara karena hari sudah menjelang malam, Naruto harus pulang untuk memasak makan malam untuk sang ayah.

Di perjalanan pulang, Naruto memutuskan untuk berbelanja. Dia ingin membuat makanan spesial untuk sang ayah. Ayahnya sudah bekerja keras seharian, jadi sebagai anak yang baik, Naruto ingin membuatkan makanan yang enak untuk sang ayah.

Untuk itu, Naruto mampir ke supermarket langganannya. Supermarket yang menurut Naruto adalah supermarket terbaik karena sering memberikan diskon belanja.

Setelah membeli barang-barang yang dia butuhkan, Naruto bergegas pulang ke rumah. Sang ayah akan sampai di rumah tiga puluh menit lagi. Gadis itu mengeratkan jaket yang dipakainya untuk menghalau udara yang malam itu terasa menusuk tulang.

"Jalanan ramai sekali," gumam Naruto.

Gadis itu berjalan sambil sesekali melihat-lihat barang yang terpajang di etalase toko. Naruto ingin membeli beberapa aksesoris lucu, tetapi ia tak ingin membuang-buang uang jajannya. Dia bukanlah anak orang kaya, Naruto tak ingin menghamburkan uang untuk hal-hal yang menurutnya tidak perlu.

Dering ponsel mengalihkan perhatian Naruto.

"Ya, Ayah?" sapa Naruto sesaat setelah ia menekan tombol hijau.

"Kau sudah di rumah, Naruto?" sang ayah bertanya di seberang sana.

"Belum. Aku habis belanja untuk makan malam," jawab Naruto. "Ada apa, Ayah?" Naruto berhenti bersama beberapa pejalan kaki yang lain untuk menunggu lampu penyebrangan berubah hijau.

"Ayah tidak bisa pulang malam ini, Ayah harus lembur. Pekerjaan sedang menumpuk dan harus selesai secepatnya. Kau tidak apa-apa, kan, sendirian di rumah?"

"Oh," jawab Naruto. Terselip rasa kecewa di sana, padahal dia akan memasak makanan kesukaan ayahnya. "Ya sudah kalau begitu, tidak apa-apa. Aku sudah besar, Ayah, aku tidak takut sendirian di rumah."

Minato tergelak, putrinya memang sudah besar. "Baiklah, putri Ayah yang paling cantik. Hati-hati di rumah, jangan lupa mengunci pintu dan jendela."

Naruto melangkahkan kakinya ketika lampu penyebrangan berubah hijau. "Baik, Ayah–" ucapan Naruto terhenti ketika mata biru gadis itu menatap sesosok anak perempuan sedang berdiri di tengah jalan, menghalanginya untuk menyeberang.

Anak perempuan itu berambut merah panjang, berkulit putih pucat dengan kimono putih yang panjangnya melebihi kakinya. Naruto tidak mendengarkan ucapan ayahnya di telepon. Atensinya terebut oleh sosok anak perempuan yang berdiri di depannya itu, kedua tangan gadis kecil itu memegang sebuah batu berlian berwarna merah gelap.

Sambil menatap mata biru Naruto, gadis kecil itu tersenyum manis lalu berkata, "Akhirnya, aku menemukanmu."

Naruto tak mengerti apa yang terjadi. Gadis itu melihat situasi di sekelilingnya bergerak dengan slow motion, termasuk truk yang saat ini melaju ke arahnya. Naruto memicingkan mata ketika lampu truk itu menyilaukan matanya.

'Apakah aku akan mati sekarang? Tidak! Aku tidak ingin mati!' gumam Naruto dalam hati. Dia ingin berlari dari posisinya untuk menghindari truk itu, tapi tubuhnya seolah tak bisa digerakkan.

Tepat ketika truk itu berjarak lima meter dari tubuhnya, pandangan Naruto mendadak gelap.

.

.

.

"Urgh …," Naruto mengerang sambil mengernyitkan keningnya. Kepalanya terasa pusing dan sedikit berat.

"Ck," sang gadis mendecakkan lidahnya, merasa silau dengan cahaya yang menerpa matanya yang masih terpejam. Siapa yang membuka tirai kamarnya?!

Ketika mata biru itu terbuka, Naruto mengerutkan keningnya bingung, karena di atas kepalanya adalah langit biru yang cerah, bukan langit-langit kamarnya. "Lho? Aku ada di mana?" gumam gadis itu. "Bukankah aku tertabrak truk … ah! Jangan-jangan aku ada di surga?"

Naruto mendudukkan dirinya. Dia baru sadar, dia sedang tidur di padang rumput yang hijau. Eh, tunggu.

Padang rumput?

Naruto menoleh ke sana kemari, lalu terkesiap. Ini kan tempat yang ada di mimpinya! Apa dia masih berada di dunia mimpi? Ia mencubit lengannya, lalu mengaduh kesakitan. Sial, bukan mimpi!

Naruto terdiam, berpikir. Kalau benar ini sesuai dengan mimpinya, seharusnya ketika ia menoleh ke kanan, dia akan menemukan tiga orang pria sedang menatap ke arahnya.

Kepala pirang itu menoleh pelan-pelan ke kanan, seperti tokoh film horror yang ingin mengecek keberadaan hantu.

Mata biru Naruto melebar. Pasalnya, di sebelah kanan, ada tiga orang pria sedang menatap ke arahnya dengan tatapan tajam. Bedanya, kali ini Naruto bisa melihat wajah mereka semua dengan jelas.

Wajah mereka hampir mirip, berambut hitam dan bermata hitam. Tubuh mereka besar dan kekar, tampak kuat dan berbahaya. Mereka bertelanjang dada, seolah memamerkan tubuh mereka yang terbentuk sempurna. Mereka hanya mengenakan celana kain selutut warna cokelat, dan tidak mengenakan alas kaki.

Sama seperti di mimpi, salah satu dari mereka menghampiri Naruto.

Gadis itu menahan napasnya. Dia tak sanggup mengalihkan tatapannya dari tatapan tajam pria yang berjalan menghampirinya. Pria itu masih muda, mungkin usianya pertengahan dua puluhan. Ia memiliki bentuk rahang yang tegas, rambut hitam yang panjangnya nyaris menyentuh bahu, mata hitam yang tajam, hidung mancung, dan bibir tipis berwarna merah jambu.

Oh my god! Siapa yang menyangka, dibalik wajah yang selalu terlihat blur di mimpi Naruto selama ini, ternyata pria itu memiliki wajah yang sangat tampan!

Pria yang menenteng busur panah di tangan kiri itu berjongkok di sebelah Naruto yang masih terduduk di atas tanah, kemudian suara beratnya terdengar. "Siapa kau, gadis kecil? Kau tampak asing, dari mana asalmu?"

Mata Naruto mengerjap lucu, ketika pria itu mengatakan sesuatu padanya. Pria tampan ini … berbicara dengan bahasa apa? Naruto sama sekali tidak mengerti!

.

.

TBC

.

.

Yak. Satu lagi fanfic gaje dari aku, yang terinspirasi dari mimpiku sendiri. Mimpi? Iya, mimpi.

Cowok yang di mimpiku itu perawakannya tinggi besar kekar, kulitnya kecoklatan. Sayang aku ga inget mukanya gimana. Tapi kayaknya ganteng sih, haha. Tbh aku sampe kesel pas kebangun, wkwk. Semoga bisa mimpiin abang ganteng itu lagi.

Apa fanfic ini layak untuk dilanjutkan? Kalo iya, sampai jumpa di chapter selanjutnya!

Adios!