Pretend
Naruto by Masashi Khisimoto
Pairing : SasuSaku
.
.
Lemparan terakhir bola yang dilontarkan Naruto berhasil membobol ring nya. Bocah pirang itu berteriak bangga ketika lawannya dengan wajah lemas terduduk tak berdaya di lapangan basket sekolah yang mulai sepi.
"Lihat, kau tidak bisa meremehkanku kan?" Dengan senyum persegi yang kelewat percaya diri, Naruto menunjuk dirinya.
Sasuke hanya memutar bola matanya, mulai berdiri dan menepi. Lagi pula ini sudah terlalu sore, dan bodohnya ia menerima tawaran Naruto untuk bermain basket hanya berdua.
"Jadi... kau tak lupa dengan taruhan kita kan?" Ada nada memancing dari kalimatnya barusan.
Sasuke merasa sesuatu tengah membuat jantungnya berpacu sedikit lebih cepat. Oh sial, taruhannya itu... benar-benar memuakkan. Ia yakin sekali akan menang tadi, maka dengan senang hati mengiyakan tanpa berpikir dua kali.
"Kau tidak lupa kan?" Si pirang mengulang.
"Bisa diganti dengan yang lain?" Pemuda Uchiha itu akhirnya menoleh ke arah lawan bicaranya, mengerutkan kening ragu-ragu. "Lagi pula permintaanmu itu aneh, kau menyuruhku nembak Sakura jika kau menang, sementara aku hanya mengajukan traktiran ramen selama seminggu jika aku yang menang, itu tidak adil."
"Salahmu sendiri yang mengiyakan." Naruto meniup poni rambutnya yang mengenai dahi. "Ah... pengecut sekali kau ini. Plin-plan juga, kau tadi kan sudah mengiyakan taruhan ini, dan sekarang minta diganti-"
"Oke, oke, oke." Tak tahan dengan celoteh Naruto yang membuat kepalanya mendadak pening, ia tak lagi mau berdebat. Taruhannya bisa difikirkan nanti. Yang jelas saat ini, ia ingin pulang, rasa lelah seolah menggerogoti pesendian kakinya dan membuat nya nyaris goyah.
Naruto menahan tawa, sementara teman dekatnya itu sudah menjauh, nyaris hilang dari pandangannya.
.
.
Sasuke menghela nafas panjang, melangkah ragu-ragu memasuki perpustakaan sekolah. Ia berhenti sejenak di dekat sebuah lemari paling ujung, nyaris memutar tubuh untuk kembali keluar jika saja Naruto tak berdiri tepat di belakangnya.
"Ayo lakukan!" Senyum jahilnya mengembang lantaran melihat si gadis Haruno tengah duduk di salah satu bangku, sementara itu ekspresi Sasuke begitu menggelikan. "Kenapa? Kau takut? Dasar pengecut."
Sesuatu rasanya menggumpal di dadanya, benci sekali ketika Naruto menyebutnya pengecut. Dan kenapa bocah pirang itu mengikutinya sampai kesini? Dengan begitu kan ia tidak bisa mengajak Sakura untuk bersengkokol dan membodohi Naruto.
"Ayo..."
"Kau bisa diam tidak sih?" Uchiha mendengus. "Baik, akan ku lakukan." Berpura-pura terlihat biasa saja ternyata sulit. Nyatanya jantungnya tak bisa berhenti berdetak ketakutan ketika langkah-langkah kakinya membawanya untuk semakin mendekati si gadis Haruno.
Naruto hanya bisa tersenyum puas, setengahnya ia malah ingin tertawa lepas.
Saat Sasuke sampai di dekat si gadis, ia seolah tak dihiraukan, atau gadis itu memang terlalu sibuk membaca buku di tangannya. Ya Tuhan... ini akan menjadi hal yang paling buruk, apalagi Sakura kan mantan pacarnya. Malu sekali rasanya jika hari ini ia dihadapkan dengan kenyataan untuk berhubungan lagi dengan gadis ini.
"Mmm... kau sedang membaca." Kikuk sekali ternyata memulai pembicaraan. Ia seolah memulai segalanya dari awal. Dan... apa yang ia katakan barusan? Oh yang benar saja, Sakura jelas-jelas sedang membaca, tidak sedang mencuci piring, bodoh.
Yang ditanya mendongakkan kepala, mengerutkan kening ketika orang yang sudah lebih dari setahun tak pernah lagi bicara dengannya mendadak muncul di sini dengan senyum yang seolah tak ada habisnya. "Y-ya."
"Oh... novel? Novel apa itu?" Tak tahan rasanya, ia ingin melarikan diri dari tempat itu.
"Bukan, ini buku biologi. Aku ada ulangan harian sebentar lagi."
"Oh..." kakinya terasa gemetaran, apa iya indera yang satu itu tak akan kuat menahanbya barang 5 menit lagi?
"Kau sedang apa di sini?"
"Oh? Aku..." ia memandang berkeliling, dan tak lagi mendapati Naruto di tempatnya yang tadi. "Tentu saja... membaca buku, kalau tidak begitu, apalagi?" Kacau... ia bahkan tak bisa menata kata-katanya dengan baik.
"Kau suka novel?" Gadis itu mulai mengalihkan perhatian padanya.
Suka novel? Itu pasti terdengar aneh, karena jelas-jelas Sakura juga tahu jika seorang Uchiha Sasuke paling anti membaca hal-hal yang berbau fiksi. "Oh...ti-tidak." Kenapa ia jadi gagap begini sih.
"Lalu?"
Kenapa banyak sekali sih pertanyaan yang dilontarkan gadis ini? Ribet kan jadinya. "Oh... aku... mmm... hanya mencoba mencari bacaan yang bagus."
Sakura manggut-manggut. "Kusarankan baca saja buku sejarah, itu bagus untuk pengetahuan."
"Oh..." terus saja ber-oh, seolah tak ada kata lain yang lebih baik dari 'oh'. Demi Tuhan, otaknya seolah kehilangan kata-kata, dan kenyataannya tak semudah yang ia fikirkan sejak menerima taruhan dari Naruto kemarin.
Tak ada yang mulai bicara lagi, mereka berdua diam dengan kecanggungan yang seolah menggerogoti tenggorokan. Dan beruntungnya, bel tanda masuk berbunyi tepat waktu. Baru kali ini Sasuke bernafas lega ketika mendengar bel tersebut.
"Sudah waktunya masuk, aku harus pergi." Sakura mulai bangkit dari kursinya, menutup buku dan berjalan meninggalkan si pemuda.
"Hei... Sakura." Sasuke sendiri tak mengerti soal keberaniannya melontarkan nama si gadis, tapi... sepertinya ia tak punya cara lain.
Haruno muda itu menghentikan langkahnya, menoleh pada pemilik suara yang memanggilnya. "Ya?"
"Usai sekolah kau tidak ada acara kan?" Apa-apaan ini? Ya Tuhan... kenapa ia benar-benar menyanggupi permintaan Naruto yang super sialan itu.
"Tidak, ada apa?" Dahi Sakura yang lebar tampak mengerut karena heran, dan itu terlihat... imut.
Ah... kenapa juga fikiran aneh itu merasuk ke dalam otaknya yang sudah hampir lelah dengan drama kacangan ini. "Aku... mmm... kau mau pulang bersama ku."
Gadis itu tersenyum, dan Sasuke bahkan tak yakin mendapat anggukan atau gelengan. Yang ia tahu, Haruno Sakura sudah berjalan meninggalkannya dari 2 menit yang lalu, sementara dirinya berdiri dengan rasa bodoh yang seolah sudah dalam tahap akut.
"Ini bukan mimpi kan?" Ia menatap ke sekeliling. Mengetahui fakta bahwa sejak tadi, ada banyak anak yang memperhatikan ulahnya. "Astaga... apa yang baru saja ku lakukan?"
.
.
Dan... di sinilah dirinya.
Berjalan bersama Sakura melewati jalanan setapak. Daun-daun maple berserakan, nyaris memenuhi tiap inci dari paving yang mereka lewati. Sebagiannya lagi meliuk-liuk tertiup angin musim gugur.
"Kenapa tiba-tiba mengajakku pulang bersama?" Sejujurnya Sakura sendiri bingung, setan apa yang tengah merasuki pemuda yang biasanya selalu bersikap dingin itu. Sasuke kan tidak pernah seperti ini, waktu mereka menjalin hubungan setahun yang lalu saja pemuda itu bahkan nyaris tak pernah tersenyum.
Pertanyaannya selalu saja membuatnya bingung, dan tidak ada cara lain kecuali berbohong. "Ingin saja." Ia mengalihkan pandangan ke arah mobil-mobil dan angkutan umum yang tak jauh dari jalanan yang dilaluinya. Katakan sekarang tidak ya?
"Sasuke..."
Ia mengurungkan niat awalnya, mengalihkan pandangan pada Sakura dan berharap agar gadis itu tak terus-terusan menatap bingung ke arahnya. "Ada apa?"
Sakura mendadak diam, menatap ujung sepatunya dengan perasaan aneh yang ia sendiri tak paham. "Mmm... tidak jadi." Ia tidak pernah berfikir bahwa hari ini akan terulang lagi.
Aneh sekali sih si Sakura ini? Tapi... gadis ini tampaknya tak secanggung dulu. Ia malas melakukan kegiatan tak berguna ini, harusnya ia pergi bersama Kiba dan Gaara untuk bermain basket, tidak terjebak dalam konsekuensi gila yang diciptakan si otak udang itu. Beberapa kali menghela nafas, berpura-pura tengah berjalan sendirian, sementara menata mentalnya untuk mengambil tindakan selanjutnya. Bagaimana jika Sakura menolaknya? Bukankah itu akan memalukan sekali?
Kaki mereka tetap menapak, hingga tanpa sadar sudah sampai di depan kediaman keluarga Haruno.
"Sudah sampai." Sasuke berucap pelan, jantungnya berdegup lebih cepat karena gugup. Bukannya ia masih menyimpan rasa pada Sakura atau bagaimana, ia hanya tak siap. Dan rasanya lebih menakutkan daripada harus berpidato di depan seluruh murid di sekolah.
"Ya." Sakura tersenyum. "Mau mampir dulu?"
"Tidak." Ya... seharusnya kan memang begitu, tapi entah kenapa ia sedikit merasa bersalah ketika lawan bicaranya agak tak nyaman dengan jawabannya. "Mmm... Sakura."
"Ya?"
"Mmm...itu, maksudku..." seolah ada sepotong daging yang menyumpal tenggorokannya, ditambah rasa panas karena gugup yang melanda sekujur tubuhnya, membuatnya sulit untuk berfikir dengan jernih.
"Kenapa?"
"Mau jadi... pacarku?" Ia memberanikan diri menatap wajah si gadis Haruno. Mendapati lawan bicaranya tampak begitu terkejut dengan pernyataannya barusan, ya sama... ia sendiri juga terkejut dengan kalimat itu.
Yang Sasuke rasakan saat itu hanyalah rasa malu yang bercampur dengan kekonyolan. Ketika awal nembak Sakura dulu ia memiliki keberanian yang lebih baik, tapi kenapa sekarang ia malah terlihat sangat menyedihkan. Kakinya sudah gemetaran, ingin lari dari tempat itu secepat yang bisa ia lakukan.
Dalam hati ada banyak hal yang ia takutkan, dan salah satunya adalah mendapat penolakan dari Sakura. Oh ayolah... selama ini ia bahkan tak pernah ditolak oleh siapapun, hanya saja semenjak Karin, mantan terakhirnya meninggalkannya tanpa sebab, ia mulai malas untuk menjalin hubungan dengan gadis manapun.
Dan... ketika gadis di hadapannya mulai mengangguk, belenggu mendebarkan yang semula melilit tulang rusuknya perlahan mulai menghilang.
Pemuda itu tanpa sadar tersenyum, puas sekali. Setelah ini Naruto pasti akan menanyakan apakah ia berhasil atau tidak. Karena mungkin saja Naruto memberikan taruhan tersebut karena ingin mempermalukannya, sebab berfikir bahwa Sakura pasti akan menolak Sasuke. Tapi... kenyataannya inilah yang terjadi. Good job Sasuke, dia memuji dirinya sendiri.
Setelah mengucapkan sampai jumpa singkat, Sasuke melangkah meninggalkan Sakura. Setengah bangga dengan hasilnya, meskipun ya... masalah hubungan ini bisa diakhiri kapan saja.
.
.
Entah siapa yang mulai menyebarkannya, tahu-tahu pagi berikutnya, kabar balikannya dengan Sakura sudah menyebar ke seantero sekolah. Seolah-olah tiap dinding sekolahnya memiliki telinga dan mampu menyebarkan gosip terkecil sekalipun.
"Jadi benar ya? Kau nembak Sakura?" Sai menghentikan kunyahan ramennya hanya untuk bertanya demikian.
Sasuke malas untuk menanggapi, sudah cukup kesialan yang disebabkan Naruto, dan ia tak ingin terlibat masalah apapun.
Sementara itu, Kiba dan Gaara hanya menyimpan tanya tak terucap yang terekspose jelas dari gurat-gurat halus otot wajah mereka.
Suasana kantin cukup ramai siang itu, dan Sasuke hanya ingin teman-temannya berpura-pura menutup telinga seolah tak ada apapun yang terjadi.
"Lalu... kenapa dulu kau meninggalkannya demi si jalang Karin itu?" Gaara tak bisa lagi menahan rasa herannya.
Sasuke menghentikan acara makannya, padahal beberapa menit lalu perutnya begitu keroncongan minta diisi, dan ramen yang kelihatan lezat itu membuatnya tergoda. Namun entah kenapa lambungnya mendadak terasa penuh, kenyang dengan pertanyaan mengerikan teman-temannya. Iris sehitam eboni itu menatap ke bangku paling ujung, di mana si Uzumaki duduk dengan mati-matian menahan tawa. "Si brengsek itu yang memulai masalah ini."
"Ada apa dengan Naruto?" Kiba sendiri tak mengerti kenapa ekspresi dua temannya itu begitu berlawanan.
"Kau tanya sendiri padanya." Uchiha memutar bola matanya sebal, dan menyeret kursinya agar bisa melangkah meninggalkan tempat itu.
Terserah saja apa yang akan dijelaskan Naruto pada yang lainnya, ia muak dengan tingkah menyebalkannya. Lagi pula... kenapa malah Naruto yang senang ia jadian dengan Sakura? Harusnya kan pemuda itu merasa malu sendiri karena tak berhasil mempermalukannya?
Apapun itu... ia tak peduli, jalan fikiran Naruto memang aneh.
.
.
Di saat-saat seperti ini rasanya ia ingin memiliki 2 tubuh, atau setidaknya memiliki kekuatan super untuk bisa berpindah tempat dalam satu kedipan. Tapi nyatanya, berkali-kali ia berharap itu menjadi nyata, faktanya ia masih duduk di jajaran bangku bioskop, dan di sampingnya, Sakura menangis heboh hingga menghabiskan satu kotak tisu hanya untuk mengelap air matanya. Oh ayolah... berlebihan sekali sih.
Sasuke hanya diam, berpura-pura menghayati jalan cerita dalam film membosankan yang sama sekali tak ia fahami itu. Pasti menyenangkan sekali pergi ke lapangan basket dan bermain bersama Gaara dan Kiba, tapi entah bagaimana ia malah mengiyakan ajakan Sakura yang menyebalkan ini, akhir-akhir ini otaknya seolah tengah dikuasai makhluk aneh, dan makhluk itu terus saja membuatnya menuruti permintaan orang lain tanpa peduli keinginannya sendiri.
Tangisan Sakura semakin menjadi, suaranya bahkan seperti mimpi buruk yang tak pernah ingin ia dengar.
"Ya Tuhan... sudahlah... kenapa harus menangis sih?" Sasuke setengah kesal.
"Mereka... mereka akhirnya tidak bersama kan?" Wajahnya merah, dan air matanya begitu menyedihkan.
"Itu cuma fiksi tahu."
"Tetap saja, itu akhir yang mengerikan."
Sasuke hampir tertawa lepas, hebat benar sih tokoh dalam film itu. Aktingnya benar-benar luar biasa hingga bisa membuat gadis disampingnya menangis, bahkan jauh lebih keras dari yang terakhir kali ia tahu. "Lagi pula, jika itu nyata... Tuhan pasti punya alasan kenapa mereka tidak disatukan."
Seorang penonton yang duduk di depan mereka, menoleh ke belakang dengan lototan mata mengerikan. Sasuke langsung diam tak berkutik, andai saja orang itu tidak lebih tua darinya ia pasti akan menghabisinya.
"Dan asal kau tahu... masih ada banyak laki-laki di luar sana, wanita dalam film itu hanya harus mencari lagi yang lebih baik kan?" Ia berbisik pelan.
Sakura mengerutkan kening heran, tidak begitu faham apa yang dikatakan pemuda itu. "Tapi... tidak diperlihatkan laki-laki lain dalam film itu, Sasu."
Persetan, mana ia peduli soal itu. Tapi entah bagaimana, Sakura malah tertawa pelan. Apanya yang lucu? "Sekarang kenapa kau malah tertawa?"
"Kau lucu sekali."
Pria itu terdiam, mengoreksi tiap kalimat yang baru saja ia lontarkan. Sembari menatap wajah lawan bicaranya dengan kebingungan yang mengunci tiap sel otaknya. Sepertinya... bukan kalimatnya yang lucu, tapi wajah gadis itu ketika tertawa. Tawanya begitu alami, wajah putihnya sampai kemerahan. Tanpa sadar ia tersenyum. Ya Tuhan... apa-apaan ini? Ya... dia pasti hanya terlalu lama tak memperhatikan bagaimana wajah seorang gadis tengah tertawa, hingga merasa itu cukup lucu. Pasti hanya itu alasannya.
Tak ada yang dikatakannya lagi, membiarkan Sakura tetap sibuk dengan film yang terputar di layar. Sementara ia mengalihkan perhatian pada game di ponselnya.
.
.
Sasuke melempar buku tugas matematikanya ke arah wajah Naruto, bosan mendengar pemuda Uzumaki itu terus berceloteh, seperti beo gila saja.
"Apa-apaan sih kau ini?" Meski wajahnya bagai ditampar dengan keras, toh ia tak melakukan pembalasan.
"Aku sedang sibuk dengan tugas-tugas sekolahku, dan mulut bodohmu itu benar-benar mengganggu." Yang ia tidak mengerti adalah kenapa Naruto malah memilih datang ke rumahnya dan berbicara panjang kali lebar tanpa ada habisnya, sementara tugasnya sendiri juga banyak.
Naruto mendengus. "Lagi pula lamban sekali kau ini, biasanya kau kan rajin. Apalagi kalau soal matematika."
"Memang kau sudah menyelesaikannya?"
"Sudah."
"Kapan?" Rekor baru untuk Naruto yang biasanya begitu malas dengan kegiatan seperti itu. Atau... pemuda itu hanya berusaha membohonginya?
"Aku mengerjakannya usai sekolah tadi, kebetulan Kiba dan Sai mengajakku mengerjakan bersama." Ia membolak-balik soal matematika milik Sasuke yang baru diselesaikan sebagian.
"Pantas." Padahal awalnya ia kira Naruto belum mengerjakan apapun, ternyata ia ketinggalan satu langkah.
"Lagi pula kau kemana tadi?"
"Terjebak dalam konsekuensi gilamu." Sasuke berdiri dari kursi belajarnya, mendekat ke arah Naruto untuk merebut buku tugas matematikanya.
"Maksudmu?" Ada sejuta tanya di benak bocah pirang itu yang mendesak ingin dituntaskan.
Beberapa saat Uchiha hanya mengerjap, duduk kembali ke kursi belajar dengan perasaan tak nyaman. "Kau pura-pura tidak mengerti, atau... bagaimana sih."
Naruto mendengus. "Soal Sakura?"
Entahlah, Sasuke agak sebal saja tiap kali Naruto menyebut nama itu. Bukannya apa-apa, tapi suasana hatinya memang sering berubah-ubah akhir-akhir ini. "Harusnya aku datang ke latihan basket sore tadi, dan gadis itu merampas waktuku hanya untuk pergi menonton film sialan yang terlalu mendramatisir."
"Jadi kenapa kau mau?"
Tidak tahu juga, kenapa ia mau, tapi Sasuke tak berani mengatakan itu. "Dan kau tahu? Dia terlalu banyak omong." Berusaha mengabaikan pertanyaan Naruto, lagipula Naruto itu biasanya mudah lupa, dia tidak akan mengulang pertanyaan untuk ke dua Kali. "Aku lebih menyukai gadis yang pintar tapi pendiam."
"Demi Tuhan Sasuke, Sakura itu pintar. Kalau kau ingin pacarmu pendiam, pacaran saja sana sama tembok."
Sasuke heran kenapa Naruto sesensitif itu mendengar tipe gadis idealnya, lagi pula hubungannya dengan Sakura juga cuma sandiwara. "Masa bodoh." Ia kembali membuka buku tugas matematikanya. "Besok aku akan memutuskan gadis itu."
"Apa?"
Lagi-lagi reaksi hiperbolis Naruto membuatnya tak faham, seolah pemuda itu begitu mendukung hubungannya yang terjalin atas dasar keterpaksaan itu. Tapi... apa pedulinya sih?
TBC
Anggap aja sifatnya si Sasuke itu terlalu labil, awalnya ini mau pakai pairing Naruhina, tapi kayaknya Hinata kurang cocok jadi si cewek, jadi... ya aku pakai SasuSaku
Maaf untuk typo yang bertebaran dan diksi yang mungkin kurang nyaman. akhir kata, makasih buat yang udah mau baca.
lanjut?
