© angstgoddess003
.
.
Chanyeol POV
Aku sudah bersembunyi di kamar sejak pulang sekolah kemarin. Sekarang akhir pekan, dan ini sangat disayangkan, karena akhir pekan kini terasa hampir tidak tertahankan lagi. Tapi, ada fakta lain yang membuat saat ini semakin runyam.
Hari ulang tahunku.
Aku benci hari ulang tahunku. Aku bahkan tidak ingat kenapa aku membencinya; aku hanya tahu kalau aku harus membencinya. Aku hanya ingin kenangan masa kecil yang penuh dengan gelak tawa memudar dari ingatanku.
Tubuhku terasa berat dan lamban akhir-akhir ini, tapi Amfetamin membuatku semakin gelisah. Efek obat itu membuatku melayang, tapi aku sama sekali tidak menikmatinya. Dan sekarang, aku berusaha keras untuk berbaring diam di tempat tidur agar efeknya lekas menghilang.
Dan saat aku mendengar suara ketukan pelan di pintu kamarku, aku hanya ingin melakukan dua hal: menyakiti siapa pun yang mengetuk pintuku atau langsung melompat keluar dari balkon. Apa mereka tidak bisa melihat kalau aku ingin sendiri?
Aku menggeram frustrasi dan membenamkan bantal ke wajah. Kris sialan. Aku sudah punya firasat dari dua malam sebelumnya, kalau omong kosong seperti ini akan terjadi. Kami sedikit berinteraksi dan sekarang dia tidak pernah meninggalkanku sendirian.
Semuanya dimulai pada Hari Kamis, sekitar tengah malam. Aku kelaparan, dan cukup yakin kalau Papi B. sudah pingsan di tempat tidurnya, jadi kupikir dapur sudah aman. Aku salah. Aku menatap tajam punggung Kris yang sedang mencari-cari sesuatu di dalam kulkas sampai dia berbalik dan melihatku.
Kris menggigit seplastik ham sandwich dan berusaha memeluk berbagai item untuk dibawa ke meja.
"Kau terlihat seperti sampah," ucapnya sambil menyebarkan item-item tersebut di hadapannya.
"Oh, ya?" tanyaku datar. "Kau juga," ucapku sembari beranjak dari dinding dan berjalan menuju kulkas.
Dia mengangkat bahu dan terus membuat sandwich dengan kebingungan.
"Datang untuk mencari camilan tengah malam? Ini memang tidak seperti empat buah makanan yang dibuat Baekhyun dan kau buang saat makan siang, tapi sandwhich buatanku masih bisa dimakan," dia terus bicara selagi aku membuka kulkas dan menatap kosong isinya.
Aku tidak tertarik lagi untuk mengisi perut setelah bajingan ini menyebut-nyebut makanan lezat.
Brengsek.
Dia masih terus berceloteh sambil membuat sandwich dan memunggungiku, aku iseng-iseng bertanya apa kami punya lakban di rumah.
"Maksudku, ada anak-anak kelaparan di Cina atau semacamnya, dan kau membuang makanan buatan Baekhyun begitu saja, seolah-olah tubuh kerempengmu tidak butuh makan. Dan, ada juga orang lain yang kurang beruntung—" dia berhenti sesaat untuk melemparkan senyum kecut ke arahku "—karena punya pacar yang tidak suka memasak. Seperti aku, contohnya. Ini," ucapnya sambil berbalik dan tiba-tiba menyodorkan sepiring sandwich padaku.
Aku berkedip kebingungan, dan hawa dingin dari kulkas membuatku kembali terfokus dengan apa yang dia tawarkan.
Dia memutar matanya dan kembali menyodorkan piring ke arahku.
"Makan," perintahnya. Hanya itu yang diucapkannya.
Dengan ragu-ragu, aku akhirnya mengambil piring dari tangan Kris dan melirik sandwich dengan hati-hati, seolah-olah sandwhich ini sudah dicampur dengan anthrax. Itu mungkin saja terjadi.
Dan kemudian dia kembali membuat sandwhich untuk dirinya sendiri... namun sayangnya, bicaranya juga semakin banyak.
"Jadi, aku punya rencana, setelah membuat makanan, aku akan bermain video game. Kau ikut?" tanyanya tidak biasa.
Aku masih memegang piring dan menatapnya kebingungan sambil menjawab pertanyaannya dengan "hah?" bodoh. Aku takut sedang berhalusinasi, karena kurang tidur. Dan kalau Kris adalah orang yang diputuskan oleh otakku untuk dihalusinasikan, maka aku harus mencari otak baru ke tempat sampah terdekat.
Dia menghela napas dan menggeleng. "Ayolah. Lagi pula, kau juga tidak akan tidur, kan?" sambungnya.
Dia kemudian berbalik dan mengangkat alisnya penuh harap. Kenapa aku harus menerima ajakan Kris untuk bermain video game selama berjam-jam?
Aku menutup kulkas dan memeriksa wajah Kris lekat-lekat untuk membongkar motifnya. Kenapa dia bertanya padaku? Apa dia menjebakku? Kenapa aku begitu enggan, padahal bermain video game bisa meringankan kebosananku melewati malam? Kenapa aku sangat benci berada di dekatnya? Ya, obrolannya memang sangat menjengkelkan. Tapi, ada lebih banyak hal dibalik obrolannya, kalau aku tidak mengabaikan keenggananku.
Ada suatu kebenaran dari Kris yang tidak bisa kuabaikan saat itu, dan aku berjuang melawan kejengkelanku padanya. Dia membuatku kesal, tapi penilaianku biasanya kabur dan samar-samar, karena kelelahan yang kualami.
Kami berbeda, tapi aku selalu menyalahkan latar belakangnya. Dia tidak tahu siapa orang tuanya atau rumahnya dulu, jadi dia tidak pernah punya kesempatan untuk merindukan mereka. Tidak ada peristiwa yang menyebabkan trauma di masa kecilnya atau perlakuan kasar dari panti asuhannya dulu. Hidupnya jauh lebih mudah daripada aku, tapi itu semua tidak bisa membenarkan kebencianku, dan sekarang aku baru menyadarinya.
Tidak sepertiku, dia bangkit dari masa lalunya, dia seperti dilahirkan kembali dan bersedia mengambil setiap kesempatan yang ada. Tapi, aku tidak tahan berurusan dengan pengampunan dan menentang setiap kemungkinan yang ada. Dan itulah hal yang paling kubenci dari Kris.
Itu kekuatannya. Dia tidak pernah terjebak di masa lalunya. Dia bisa saja bersikap sepertiku, bergumam tentang 'bagaimana kalau misalnya' sambil berjuang untuk hidup hari-demi-hari di bawah tekanan berat dari hal yang tidak akan pernah terjadi. Tapi, kalau memang Kris seperti itu, dia tidak pernah menunjukkannya, dan masa lalu tidak pernah membuatnya patah semangat.
Aku bisa mengaguminya karena ini. Aku bisa duduk dan menyaksikannya tumbuh dan mungkin... belajar dari ketahanan luar biasanya dalam menghadapi kesulitan. Tapi, aku tidak bisa melakukannya, karena setiap upaya untuk mendekatkan diri pada Kris membuat otakku nyeri.
Aku terpaksa harus melihat senyumnya dan memeriksa senyumku sendiri, karena meskipun kami tidak punya banyak kesamaan, tapi kami punya kemiripan dalam hal siapa yang berperan dalam hidup kami. Kami berdua punya orang tua yang tidak menginginkan kami. Kami berdua diadopsi oleh Park Bogum. Kami berdua menggunakan namanya dan hidup di rumahnya. Namun, nyatanya Kris jauh lebih baik.
Aku teringat dengan tiap detik yang kuhabiskan untuk beramah-tamah pada Kris. Aku melihat senyumnya dan semakin marah.
Lebih mudah untuk membenci Kris, jadi aku melakukan itu.
Tindakanku tidak benar, tapi... itu membuatku merasa lebih baik. Ini menjadi bukti bahwa jalan pikiranku benar-benar kacau, karena untuk pertama kalinya dalam lima tahun terakhir ini, aku tidak bisa lagi membenarkan sikapku.
Dan itulah sebabnya kenapa aku berakhir di ruang tengah, bermain video game yang paling tidak bermoral sepanjang sejarah... dengan Park Kris.
Keningku berkerut memerhatikan layar televisi sambil mencoba mencari tahu tombol mana untuk menabrak dan tombol mana untuk menembak pada saat yang bersamaan. Kris tidak senang.
"Apa-apaan kau ini, Chanyeol?" teriaknya dengan nada melengking seperti perempuan. Bibirku berkedut tanpa sadar. "Kau seharusnya mengumpulkan pelacur, membawa mereka ke mobilmu, tunggu sampai mereka memberimu blowjob..." dia terhenti bicara sesaat dan menyambar controller dari tanganku. "Dan kemudian bunuh mereka," sambungnya menggeleng saat salah seorang pelacur yang masih hidup masuk ke mobil curiannya.
Aku menggigit sandwich-ku yang terasa biasa-biasa saja dan melihatnya. "Jadi, biar aku jelaskan lagi apa yang kudapat darimu..." ucapku sambil mengunyah dan memiringkan kepalaku ke layar. "Kau tidak diizinkan untuk membunuh wanita-wanita itu sampai kau merendahkan mereka secara seksual tanpa kompensasi?" tanyaku datar, sebelah alisku terangkat.
Dia mengangguk antusias dan menunjukkan hal lain untuk mengoperasikan controller.
Aku memutar mata sembari melihat layar. "Dan kenapa aku yang dikenal luas sebagai orang yang disfungsional?" tanyaku—hampir—sungguh-sungguh selagi menyandarkan kepala ke sofa dengan lesu.
Dia tertawa dan menggelengkan kepala, lalu kembali menekan tombol dengan heboh. "Karena menembak pelacur dan mencuri mobil dalam video game bisa membuat anak-anak menjadi normal, Chanyeol," jelasnya.
Aku tidak tahu kenapa, tapi saat berpaling ke samping dan menatap ke arah Kris sambil memproses keabsurditasan pernyataannya... aku tertawa. Aku tidak bisa menahannya. Sebuah dengusan keras melarikan diri dan aku sedikit panik karena benar-benar menikmati momen ini. Menghabiskan waktu dengan seorang anak yatim—dan semua orang sangat kecewa, karena sikapku tidak mirip dengannya—dengan nyaman. Tapi, aku melihat matanya berkedip geli dan dia mulai tertawa bersamaku.
Aku menyadarinya sekarang, ternyata bersama Kris tidak semenyakitkan seperti yang kutakutkan. Ini tidak terasa aneh. Aku bahkan tidak mendapat hawa kalau dia lebih baik dariku, karena dia bisa beristirahat dengan sempurna dan tawanya bisa keluar secara alami, tidak seperti tawa kecilku yang lambat dan lelah. Rasanya seperti lima tahun permusuhan dan kebencianku padanya perlahan larut, karena ham sandwhich yang tidak enak dan pembunuhan pelacur.
Normal.
Jadi, mudah bagiku untuk mengasumsikan kalau Kris yang mengetuk pintu kamarku saat ini, mungkin dia datang untuk memberiku ucapan "Selamat Ulang Tahun" atau omong kosong yang menjengkelkan lainnya. Tapi, saat aku sampai di depan pintu dan membukanya dengan marah, orang yang berdiri di depanku hanya membuatku mendesah.
"Wow, mati aku," geramku. "Apa kita sekarang sudah harus saling mengetuk pintu kamar masing-masing?" tanyaku, berpura-pura kaget melihat Paman Bogum yang berdiri di lorong sambil memasukkan tangannya ke kantong celana. "Apa kunci Paman sudah hilang?" tanyaku, berpura-pura khawatir.
Dia memutar matanya mendengar sindiranku. Ini ucapan terpanjangku bersamanya dalam berminggu-minggu terakhir, jadi aku sama sekali tidak kaget melihat matanya menyala penuh harap.
Paman Bogum pasti menyadari kekesalanku. Dia langsung mengucapkan satu-satunya kata yang bisa menyelamatkannya dari serangan verbal brutal tanpa ampun dariku.
"Baekhyun," Paman Bogum mulai bicara, membuatku tiba-tiba tertarik luar biasa dengan apa yang akan dikatakan selanjutnya. "Sedang di ruang makan menunggumu," sambungnya, tanpa sadar memiringkan kepala ke arah tangga.
Aku buru-buru melewati Paman Bogum dan berjalan menuruni tangga. Aneh sekali bagaimana sensasi tarikan yang biasanya bersumber dari rumah sebelah, berpindah ke ruang makan di lantai satu, aku bahkan belum melihat gadisku.
Saat dia sudah berada dalam pandanganku, dia sedang bersandar ke meja dalam balutan sweater biru sambil menyeringai malas, jantungku berhenti berdetak. Aku langsung berlari ke tempatnya berdiri.
Aku memeluknya, menariknya lebih dekat. Aku disambut oleh tawa pelannya dan desahannya selagi dia membenamkan wajahnya di lekukan leherku. Aku hampir tidak bisa merasakan kehadiran Paman Bogum yang mengganggu di belakangku, tapi aku mendengarnya berdeham gugup, yang mengisyaratkan padaku untuk... kembali menjauh dari gadis tetangganya.
Aku tersenyum dan meremas tubuh gadisku, membenamkan hidungku ke dalam rambutnya yang mengkilap. Memangnya apa yang akan Paman Bogum lakukan? Menyentakkan Baekhyun dariku? Aku hampir mendengus di rambut gadisku saat memikirkan ini. Aku ragu Papi B. punya nyali untuk menyentuh gadisku. Dan kalau dia benar-benar melakukan, dia tidak akan bisa hidup lagi, karena melihat Guncangan Mental Aneh gadisku.
Jadi, aku terus memeluk gadisku erat-erat selagi wajahnya menempel di leherku, sebelum rasa penasaranku memuncak dan berharap agar bisa menutup mulut.
Aku menoleh ke telinganya dan berbisik sangat pelan, agar Paman Bogum tidak bisa mendengar suaraku. "Dibebaskan karena berperilaku baik?" tanyaku, aku tidak bisa menyembunyikan sengatan harapan dalam bisikanku.
Dia menghela napas dalam-dalam, dan dari caranya menghembuskan napas di dadaku, aku sudah langsung tahu jawabannya. Aku tidak bisa menekan rasa frustrasi yang membengkak dalam diriku saat dia menggeleng pelan di bahuku. Ini mengindikasikan kalau hukumannya masih berlaku penuh.
"Berapa lama?" tanyaku muram, dan aku tahu dia mengerti ucapanku.
Dia menarik diri dan tersenyum gugup, lalu melesatkan matanya ke arah Paman Bogum yang kemungkinan sedang berdiri di belakangku.
"Selama dr. Park mengizinkan," ucapnya cukup keras, agar Paman Bogum bisa mendengar.
Aku terus menatap matanya, dan aku sadar ada sesuatu yang tidak beres. Berbeda dari Hari Jumat lalu. Bahunya sangat kaku, dan matanya menampilkan ketegangan serupa yang kukenal baik. Dia sudah tidur baru-baru ini.
Paman Bogum menyaksikan Baekhyun yang membimbingku ke meja, dan aku bisa merasakan matanya meneliti dan mendokumentasikan setiap gerakan kami di dalam kepalanya. Diam-diam dia juga mengoreksi penggunaan nama depan formal yang digunakan gadisku. Papi B. ingin Baekhyun memanggilnya dengan sebutan Paman Bogum. Sejujurnya, aku punya beberapa saran nama panggilan yang bisa digunakan gadisku untuknya. Aku sudah selesai mendaftarnya di dalam kepalaku saat kami duduk di kursi makan. Akhirnya aku menyadari kalau gadisku sudah memasakkan makanan untukku.
Dan untuk sekali ini, aku benar-benar bisa memakannya.
Aku menyeringai saat dia menempatkan makanan di depanku, lengkap dengan peralatan makan dan tisue sambil menyeringai kecil dan... wanginya sangat lezat. Perutku keroncongan dan mataku terpejam mencium aromanya. Aku mulai makan dengan antusias sambil menatap gadisku.
Aku memblokir Paman Bogum keluar dari perhatianku, dia masih berdiri di ruang makan, dan meskipun aku sedikit kesal karena dia mengganggu momen intim ini, aku tetap meraih tangan gadisku dan tersenyum padanya. Seolah-olah kami sedang berada sendirian di kamarku dan sekarang pukul sepuluh malam.
Wajah gadisku tampak cerah melihat senyumku, dan dia menghela napas lega sambil meremas tanganku. Dia memerhatikanku makan, lalu membentangkan sebelah lengannya melintasi meja dan meletakkan kepalanya di atas sana sambil menatapku. Dan aku tidak peduli sekali pun Paman Bogum sedang menonton kami. Aku tetap memberi gadisku erangan dan gumaman saat makan, karena aku tahu gadisku sangat menyukainya.
Dia bicara dengan suara lembut, tenang, dan takut-takut selagi aku makan. Tidak ada bahasan bagaimana dia bisa lolos dari hukumannya. Aku sangat bersyukur, karena kami bisa terlepas dari drama dan ketegangan. Dia mengobrol tentang sekolah, Sehun, buku yang sedang dibacanya, Luhan, dan hal-hal sepele lainnya.
Setelah aku selesai makan, dia memotong kue dan aku menatapnya dengan skeptis. Aku sudah cukup kenyang.
Dia menyipitkan matanya saat melihat ekspresi raguku. "Oh, tidak, tidak. Kau masih punya ruang untuk sepotong kue, aku tahu itu," ucapnya sambil menempatkannya sepotong kue di hadapanku dengan galak.
Aku mencibir dan menggeleng, karena dia sangat mengemaskan ketika memerintah.
Aku akhirnya memakan kue, dan aku rasa aku harus menemukan kata pujian baru, karena lezat saja tidak cukup.
Setelah semuanya lenyap dan kancing celanaku mulai terasa tidak nyaman, aku menggeser piring kosong ke samping dan meniru posisi gadisku dengan meregangkan sebelah lenganku ke seberang meja dan meletakkan kepalaku di atasnya sambil menatap ke arah gadisku. Kami saling mendekat dan bicara berbisik-bisik. Aku mengusap tangannya dengan ibu jariku di bawah meja.
Perasaanku dibanjiri oleh senyum dan tawa lembutnya. Aku rasa dia berhasil menyelamatkan konsep hari ulang tahun untukku. Dia terus bicara tentang hal-hal yang tidak akan menarik minatku kalau ini tidak keluar dari mulutnya.
"Jadi, waktu itu kami sedang di pantai..." bisiknya sambil tertawa kecil dan semakin mendekat. "Dua anak gadis berumur tujuh tahun yang saling berusaha menjambak rambut dan berteriak. Luhan benar-benar mengalahkanku," sambungnya, lalu memutar mata sambil tersenyum.
Aku tertawa membayangkan liburan keluarga terburuknya.
"Maksudku, gadis itu punya keterampilan tingkat tinggi dalam berkelahi seperti kucing," matanya melebar dan mengejek.
Aku terus tersenyum dan mendekatkan wajahku.
"Kami menjerit-jerit dan tidak bisa dilarang, Chanyeol. Kami saling mencakar dan menggigit, dia bahkan sempat memanggilku murahan," ucapnya sembari mendengus menahan tawa, mengingat pertempuran pertamanya dengan Luhan. Kemudian, lengannya yang membentang di atas meja menekuk dan berpindah ke rambutku, lalu dia mulai mengelusnya.
Aku bergumam puas dan berusaha keras untuk tetap membuka mata. Dia masih tersenyum melihatku.
"Aku bisa membayangkan Luhan bersifat agresif, karena kau tidak sengaja merusak istana pasirnya," ejekku bermalas-malasan, lalu tanganku bergerak ke rambutnya dan membelainya sambil menghela napas.
Aku tersenyum dan beringsut lebih dekat, kening kami hampir bersentuhan dan ujung jariku menyeka rambut yang jatuh ke wajah gadisku ke telinganya. Dia mendekat, dan aku bisa merasakan napasnya di wajahku. Tidak pernah aku merasakan hasrat sebesar ini untuk menciumnya.
Sudah lama aku tidak menciumnya. Aku selalu menarik diri, meskipun aku menginginkannya.
Aku menjilati bibir tanpa sadar, dan dia menempelkan kening kami. Desahan puasnya memandikan wajahku dengan kehangatan.
Kemudian Paman Bogum merusak momen ini dengan berdeham dan menjadi orang brengsek. "Aku rasa sebaiknya Baekhyun pulang sekarang," ucapnya tiba-tiba.
Gadisku tersentak; terkejut mendengar Papi B., meskipun Papi B. hanya berbisik. Sepertinya Baekhyun juga sudah lupa kalau Papi B. berada di ruangan. Kemudian tatapannya melesat ke Paman Bogum, lalu kembali menatapku dengan muram. Aku mencengkeram erat tangannya, karena aku tidak ingin dia pergi.
Aku duduk tegak dan menatap marah Paman Bogum. "Kenapa? Kami tidak melakukan kesalahan," tanyaku frustrasi.
Paman Bogum menatap lantai dan menggaruk bagian belakang lehernya. "Aku mohon, Chanyeol. Jangan membuat keributan," ucapnya pelan, lalu menjatuhkan tangannya dan kembali menatapku.
Aku memang sedang bersiap-siap membuat keributan, namun Baekhyun tiba-tiba berdiri.
Dia membungkuk ke dekat telingaku, lalu menggenggam bahuku dengan hati-hati.
"Tidak apa-apa. Selamat ulang tahun, Chanyeol," ucapnya.
Dia mengecup pelipisku, lalu menggeser sekantong kue di atas meja. Ginger Snappy Birthday.
Kemudian dia mengemasi tasnya dan berbalik untuk pergi. Tapi, dia salah. Ini tidak benar.
Aku menyaksikannya dengan putus asa saat dia meringis melewati Paman Bogum. "Selamat tinggal, dr. Park," ucapnya singkat dan meninggalkan ruangan.
Paman Bogum membuka mulutnya untuk mengoreksi Baekhyun, karena menggunakan nama depannya, tapi gadisku sudah pergi. Sudah sangat jelas bagi kami berdua kalau Baekhyun menggunakan panggilan itu bukan hanya sebagai formalitas belaka. Dia marah pada Paman Bogum, tapi tidak semarah yang kurasakan.
Dan aku sudah tidak sabar untuk keluar dari rumah ini.
.
.
Baekhyun POV
Minggu setelah hari ulang tahun Chanyeol berjalan dengan sangat pelan. Aku terus-terusan memeriksa kalender untuk membuat pikiranku sinkron dengan hari dalam seminggu.
Aku sudah mulai sedikit bicara dengan Bibi Irene. Aku masih tidak senang dengan Bibi Irene, dan dia masih belum menunjukkan tanda-tanda untuk mundur, namun kami sudah melakukan gencatan senjata sejak percakapan kami beberapa hari lalu. Kami sepakat untuk tidak setuju, dan menghindari topik tentang Chanyeol, tapi aku masih belum lolos dari kondisi kurang tidur atau penolakan kerasku terhadap terapi.
Aku bersembunyi di bawah selimut bersama senter sambil membaca berbagai buku yang diberikan Chanyeol. Aku tahu ini terlihat konyol, karena melakukan hal yang tidak dewasa dan seperti anak-anak—membaca di bawah selimut. Tapi, ini menciptakan ruang baru untukku, di luar kegelapan yang membuatku sesak napas. Di sini masih ada kegelapan, tapi aku bisa menahannya. Kata-kata di lembar buku terlihat kabur, dan aku harus membaca berulang-ulang kali sebelum otakku bisa memproses jalan ceritanya. Membaca membuatku tetap terjaga.
Tidur saat makan siang mulai terasa lebih pendek dan semakin pendek, dan malam-malam panjang di tempat tidur, bersembunyi di bawah selimut dengan senter dan sebuah buku, semakin terasa gelap.
Aku memikirkan strategi untuk menjaga pikiranku tetap sibuk. Strategiku biasanya melibatkan tipu-daya agar Bibi Irene bisa melihatku dan Chanyeol bersama. Tidak seperti saat dr. Park melihat kami hari itu. Aku hanya tidak ingin bersembunyi atau menahan perasaan kami saat ada orang lain yang melihat.
Aku ingin Bibi Irene melihat bagaimana kami saat sendirian, walaupun hanya sebentar. Aku rasa itu bisa sedikit memberi pencerahan bagi Bibi Irene kalau dia salah, dan kami berdua bisa saling membantu. Mungkin hanya dengan melihat Chanyeol mengusap pipiku saat aku tegang, atau aku membelai rambutnya saat dia gelisah. Aku ingin memperlihatkan pada Bibi Irene bagaimana kami saling membuat rileks satu sama lain dengan kasih sayang. Inilah yang harus dlihat Bibi Irene.
Tentu saja, itu tidak mungkin, dan strategiku satu-per-satu mulai berjatuhan. Dan saat matahari terbenam setiap malam, aku hanya bisa menunggu sampai esok hari tiba untuk kehadiran Chanyeol.
Suasana hati Chanyeol semakin tidak menentu semenjak hari ulang tahunnya. Dia semakin mudah marah, dan aku sering melihatnya menatap ke kejauhan sambil berpikir keras. Dia terlihat frustrasi dan penuh perhitungan.
Aku ingin bertanya apa yang sedang dipikirkannya. Bayangan gelap apa yang membuatnya begitu jauh dan diam-diam menganalis sesuatu? Tapi, aku tidak ingin terlalu mendesaknya, aku tahu bagaimana sikapnya, dan kurang tidurnya juga membuatku khawatir. Aku takut dia merencanakan sesuatu, dan rencananya sama sekali tidak melibatkanku.
Kamis itu—atau mungkin Rabu, aku tidak ingat—dia menegaskan kecurigaanku selagi kami berjalan ke ruang makan siang.
Lengannya di bahuku dan aku memeluk pinggangnya seperti biasa. Lorong-lorong sekolah dipenuhi obrolan penuh semangat dan riuh tawa tentang acara sekolah. Mungkin ada festival dansa? Mungkin prom? Atau pertandingan bola basket? Aku tidak tahu, dan aku tidak mendapat kesempatan untuk mencuri dengar, karena aku sedang bicara dengan Chanyeol. Aku berbisik diam-diam padanya selagi kami berjalan mengitari murid lain.
Kemudian dia mengucapkan kata-kata yang telah menghantui pikirannya seminggu ini. "Segera setelah aku keluar dari sana—"
"Apa?" tanyaku kaget. Kepalaku langsung tersentak ke atas untuk menatapnya.
Dia memutar matanya sambil terus membimbingku mengitari murid-murid yang menghindari pelototannya.
"Umurku sudah delapan belas tahun sekarang. Aku tidak perlu lagi menghadapi omong kosong yang terjadi Hari Sabtu lalu," jawabnya.
Dia menjelaskan dengan tenang dan tiba-tiba jengkel melihat seseorang yang berlari melewati kami sambil berteriak keras ke ujung lorong.
Aku membuka mulut, lalu menutupnya lagi saat menyadari maksud Chanyeol. Ini tentang Paman Bogum, tapi ini juga tentangku, yang berada di antaranya dan Paman Bogum. Dan ini seharusnya tidak terjadi. Paman Bogum dan Bibi Irene seharusnya menyerah, dan mengizinkan kami untuk saling berhubungan. Kami semua akan gembira.
"Tidak," balasku sambil menggeleng marah. "Aku punya rencana. Aku bisa meyakinkan Bibi Irene untuk menyerah, dan kau tahu benar kalau Bibi Irene sudah menyerah, Paman Bogum juga akan ikut menyerah," ucapku cepat, sebelum kami sampai di kafetaria. "Ini memang butuh waktu dan kesabaran, dan..." aku berhenti bicara dan meringis. "Oke... Mungkin aku akan ikut terapi, tapi aku tidak peduli—"
Dia memotong ucapanku dan berhenti berjalan tiba-tiba, tangannya dengan tegas menyentak bahuku sampai langkahku ikut berhenti. Dengan bingung, aku menatapnya.
Matanya melebar, bibirnya sedikit terbuka saat menatapku. "Apa?" tanyanya, lalu menarik napas, keningnya sedikit berkerut.
Dia tidak menungguku untuk menjawabnya, dia kembali berjalan dengan cepat, tidak memedulikan kebingunganku selagi kami terus melewati kerumunan dan menyelinap ke area di antara dua bagunan sekolah. Aku mengikutinya dengan heran. Ini tempat yang sama ketika aku melarikan diri setelah menyentuh Kris.
Kami tidak berhenti sampai kami tiba di pojok. Dinding bata kelas Matematika menutupi area ini dengan sempurna, tapi suara AC bergemuruh di belakang kami. Area ini masih bisa dikategorikan dengan tenang dan menjanjikan privasi.
"Kau ingin ikut terapi?" tanyanya tidak percaya, lalu melepas bahuku dan berbalik menghadapku.
Aku masih bingung melihat reaksinya, tapi aku berhasil menggeleng.
"Tidak, tapi maksudku... kalau terapi satu-satunya cara agar Bibi Irene meninggalkan kita, aku akan melakukannya," suaraku semakin lama semakin pelan.
Aku sama sekali tidak ingin ikut terapi, tapi kalau hanya itu yang bisa kulakukan untuk bersama lagi dengan Chanyeol, aku akan menjalaninya.
Kerut keningnya semakin dalam dan dia berpaling dariku. Mulutnya terbuka. Tertutup. Terbuka. Tertutup.
Dia melakukan ini beberapa kali. Aku menunggunya dengan sabar, sambil melirik ke sekeliling area dan menggigit bibir.
Lokasi terpencil ini tiba-tiba terlihat bagus untuk tempat tidur siang. Tentu saja ini sering terjadi padaku. Pikiranku bisa menciptakan tempat tidur di mana saja saat aku selelah ini. Malam sebelumnya, aku menatap pojokan di dekat lemari es, dan area sempit itu terlihat nyaman untuk tidur. Seandainya saja tinggiku hanya satu inci dan kebal terhadap dingin.
Chanyeol akhirnya membuat lamunanku buyar. Wajahnya kembali tersentak ke arahku.
"Tidak," tukasnya tajam, matanya menyipit dan dia menarik rambutnya dengan marah. "Jangan konyol. Itulah yang mereka inginkan," sambungnya. Suaranya meninggi, dan aku kaget mendengar kemarahannya.
Apa kelelahan sudah membuatku melewatkan informasi penting selama lima menit terakhir? Kenapa terapi membuatnya marah? Bukan dia yang harus menjalaninya.
"Ya, tentu saja itu yang mereka inginkan, Chanyeol," ucapku sambil mendesah kesal, lalu mendorong tanganku masuk ke saku hoodie dan bersandar ke dinding dengan wajah masam. "Mereka pikir terapi akan berjalan seperti sihir yang penuh dengan pelangi, dan bisa menyembuhkanku, agar aku bisa menjadi seorang gadis yang sebenarnya," gerutuku pahit, lalu menendang rumput di kakiku.
Dia menggumamkan sesuatu yang tidak jelas, lalu matanya semakin marah.
"Apa kau tidak mengerti rencana mereka?" tanyanya, dan dia kembali gelisah, kemarahan dan frustrasi merembes dari tiap pori-porinya.
Aku sudah terbiasa melihatnya seperti ini, dan aku tahu umpatan-umpatan kasar akan meledak, jadi aku bersandar dengan rileks ke dinding dan menontonnya.
"Bibimu mendapat omong kosong itu dari Paman Bogum, aku tahu itu. Dan hari itu..." dia berhenti bicara, lalu menggeleng dan berpaling dariku sambil mendorong tangannya ke saku jaket. "Inilah yang Paman Bogum inginkan. Ini sangat sempurna. Dia menjebakmu agar kau ikut terapi dan membuat keadaanmu membaik, agar kau bisa memperluas horizonmu. Memperlebar area kencanmu, hingga kau menyadari betapa kau lebih baik saat bersama bajingan lain yang pikirannya tidak kacau sepertiku," ucap Chanyeol sambil mengetuk-ngetuk jari telunjuk ke pelipisnya, dan setelah omelannya selesai, dia mengusap wajahnya.
Aku melihatnya dengan tertegun. Jari-jarinya perlahan menarik rambutnya dan matanya terpejam.
"Dan itu pasti akan terjadi," lanjutnya pelan, lalu menarik napas.
Dia tidak ingin aku mendengar ucapannya barusan.
Aku mendengus gusar dan kesal, karena dia memikirkan hal yang sangat tidak masuk akal.
"Apa yang kau bicarakan?" tanyaku marah.
Aku bahkan tidak berusaha untuk menyembunyikan rasa frustrasiku saat menghadapi paranoia-nya yang tidak mendasar. Seolah-olah kalau aku ikut terapi, lalu sembuh dan tiba-tiba saja menemukan seseorang yang lebih baik.
Aku ingin menertawakan kebodohannya. Aku ikut terapi bukan untuk merusak hubungan kami. Terapi adalah sarana tawar-menawar bagiku.
Wajahnya kembali tersentak, dan dia terlihat begitu rentan, sampai-sampai membuatku khawatir. Aku tidak tahan melihatnya serentan ini. Dia seharusnya menjadi orang yang kuat dan menyadari hanya kekuatannyalah yang dapat menguatkanku.
"Pikirkan tentang itu, Baekhyun," desahnya, lalu kembali memasukkan tangannya ke saku jaket. "Maksudku, siapa aku sebenarnya, Baekhyun? Pada dasarnya, aku adalah laki-laki terakhir di bumi ini untukmu," ucapnya sambil mengangkat bahu dan memalingkan muka, menyembunyikan pahit di matanya selagi aku menatapnya tidak percaya.
"Kau pasti bercanda!" seruku.
Aku semakin gelisah, karena dia bisa berpikir seperti itu. Setelah semua yang kuucapkan dan kutunjukkan padanya... apa dia benar-benar berpikir semua ini tidak berarti bagiku? Apa dia benar-benar berpikir emosiku bisa berubah-ubah dan... dapat memberiku lebih banyak pilihan?
Dia masih menghindari tatapanku. Ini mengindikasikan kalau dia serius. Aku tersinggung.
"Itu sangat bodoh, Chanyeol," ucapku marah.
Aku benar-benar terhina. Aku sedang mempersiapkan diri untuk berpidato panjang lebar padanya, dan tiba-tiba saja matanya berkelebat melihatku dengan marah.
"Terima kasih banyak," ucapnya sinis, lalu menarik tangannya dari saku dan melemparkannya ke udara. "Itu bodoh!" sambungnya lagi sambil mengangkat alisnya tinggi-tinggi, lalu tersenyum lebar seperti orang gila. "Benar-benar bodoh," ucapnya lagi. Dia mengangguk dan tangannya menepuk-nepuk pahanya. "Kenapa aku tidak sampai berpikir seperti ini?" tanyanya, senyumnya langsung hilang dan membentuk seringaian jahat.
Aku menganga melihat perubahan suasana hatinya yang secepat kilat.
Kemudian dia menunjukku, suaranya penuh dengan tuduhan dan geraman.
"Setiap kali kau merasa rendah diri, aku berpikir keras memikirkan bagaimana caranya agar kau bisa merasa sebaliknya. Aku menghabiskan waktu berbulan-bulan, Baekhyun... berbulan-bulan... mencoba untuk..." dia menggeleng dan menurunkan jarinya.
Dia tidak sanggup menyelesaikan pernyataannya selagi aku masih menganga.
"Dan seharusnya aku langsung bilang kalau kau bodoh karena merasa rendah diri. Jadi, terima kasih," geramnya, lalu berbalik.
Dia menarik-narik rambutnya dan aku merasa ada seseorang yang menyelinap dan menikamku dari belakang.
Dia benar. Kegelisahanku mungkin terlihat konyol baginya, namun dia tidak pernah frustrasi untuk meyakinkanku. Dia selalu bersabar dengan perihal seks bodohku, menghabiskan malam-demi-malam dengan melakukan tekniknya padaku. Dia melakukan itu semua untukku. Tapi, aku langsung menembak jatuh kegelisahannya dengan cara yang paling tidak menyenangkan.
Bahuku merosot dan dadaku terasa sakit selagi menatap bagian belakang kepalanya. Perasaan bersalah dalam diriku kian membengkak. Aku harus menjernihkan pikiran dan berpikir keras. Aku harus menyeberang melalui kelelahan penuh lumpur dan menempatkan diriku di posisinya, lalu mencari cara untuk memperbaiki ketakutannya.
Apa ketakutanku bisa diperbaiki?
Jawabannya adalah tidak. Kami bahkan tidak pernah bercinta dan aku tidak tahu apa aku bisa melakukannya. Tapi, setidaknya dia mencoba, dan setidaknya dia membuatku merasa kalau dia memang menginginkanku.
Aku berdiri tegak dan berjalan ke sampingnya. Matanya terpejam dan bahunya kaku, tubuhnya memancarkan ketegangan dan kemarahan, tapi dia tidak bereaksi saat merasakan kehadiranku. Jadi, aku melangkah ke sekelilingnya, menghadap ke arahnya, dan berdiri semakin dekat. Dadaku menyentuh dadanya, merasakan napasnya di kulitku. Dia terus memejamkan matanya. Rambutnya kusut berantakan.
Aku menggenggam jaketnya, lalu meraih wajahnya sambil berjinjit dan berniat untuk mengecup bibirnya. Tapi, dia malah memalingkan wajahnya, membuat bibirku mengecup rahangnya yang terkatup rapat. Aku langsung frustrasi.
"Jangan lakukan ini lagi," geramku, lalu menarik wajahnya mendekat. "Kau tidak pernah menciumku lagi," aku bahkan tidak berusaha menghilangkan racun dalam suaraku.
Aku sudah sering membiarkan Chanyeol menarik wajahnya tanpa merasa kesal dan sakit hati, karena aku memberinya waktu. Tapi, sekarang dia munafik. Dia memintaku untuk meyakinkannya, sementara dia sendiri memupuk kegelisahanku dengan tindakannya.
Wajahnya tidak bergerak dan matanya tetap terpejam, jadi aku melepaskan jaket Chanyeol dan kembali meraih wajahnya. Aku meraihnya dengan kasar, lalu menempelkan bibirku ke bibirnya sambil menekan tubuhku lebih dekat dengannya. Dia masih tidak bereaksi. Aku menghisap bibir atasnya, dan kemudian mulutnya terbuka.
Lidahnya melesat keluar dan dia mendorong masuk ke antara bibirku, sementara tangannya berpindah ke pinggangku. Dia mencengkeram pinggulku dan dengan agresif menarikku, dia menggeram pelan saat lidah kami bertemu. Ini bukan ciuman manis, dan sangat jauh dari lembut. Gigi kami berbenturan saat aku mendorong lidahku lebih dalam.
Giginya kemudian menggigit bibirku dan cengkeramannya di pinggangku semakin kencang. Napasku terengah-engah ke dalam mulutnya, aku tidak bisa lagi mendekat, dan tiba-tiba saja dia memutar tubuhku, mendorongku mundur. Aku tersandung, bibirku masih menempel di bibirnya dan aku terpaksa mencengkeram rambutnya agar tidak jatuh. Aku tahu cengkeramanku menyakitinya, tapi suara dengusannya yang terdengar rendah dan serak, mengingatkan kalau dia senang seperti ini.
Dan kemudian tubuhku kembali bersandar ke dinding bata dan dia menekan tubuhku di antara dinding dan tubuhnya. Aku menarik rambutnya lebih kencang, berharap agar pertahanannya benar-benar luntur. Dia mendorong pinggulnya ke pinggulku, dia sudah terangsang dan kembali mendesah ke dalam mulutku.
Tapi, ini lebih dari sekedar nafsu. Itu lebih dari kasih sayang. Dan ini lebih, lebih dari cinta.
Ini adalah frustrasiku dan Chanyeol yang tidak terkendali. Kami menyalurkannya lewat ciuman. Gigi kami kembali berbenturan selagi lidah kami menari dengan agresif. Aku membalas ciumannya penuh semangat, untuk menunjukkan padanya kalau aku sangat menginginkannya. Tanganku mengepal di rambutnya dan aku berusaha menjauh dari dinding agar bisa lebih dekat, lebih dalam, dan lebih kasar padanya.
Tubuhnya tiba-tiba tersentak menjauh, lalu dia membanting kedua telapak tangannya di dinding bata, di sebelah kedua sisi kepalaku. Tubuhnya masih menempel dengan tubuhku, dan aku membuka mata untuk menatapnya.
Matanya semakin gelap seraya tubuhnya memerangkapku. Lengannya yang kaku memenjarakanku di antara dinding bata dan tubuhnya. Hembusan napasnya menerpa wajahku, dia menatapku, dan tanganku masih mencengkeram rambutnya. Kegelapan ini belum pernah kulihat di mata Chanyeol sebelumnya. Dia selalu berhati-hati untuk tidak menunjukkannya padaku, agar aku merasa nyaman dan rileks bersamanya.
Di waktu lain, aku mungkin akan meringkuk dan menggumamkan safe word. Aku bisa melihat dari pancaran matanya, kalau dia memang berharap agar aku mengucapkannya.
Tapi... aku menginginkannya.
Aku sedikit ngeri dengan kegembiraan yang kurasakan sekarang. Kegembiraan ini membuat lututku lemas dan pahaku seperti tergelitik dengan percikan tajam yang berlari hingga ke panggul dan dadaku. Aku merasa malu, karena menginginkan lebih. Aku tidak tahu kalau selama ini aku menginginkan Chanyeol untuk menatapku seperti ini. Aku seharusnya takut. Kalau aku membuka mulutku dan mengucapkan safe word, aku tahu dia akan menjauh, dan dia tidak akan pernah membenciku, karena tidak bisa memiliki hasratnya.
Meskipun dia sangat menginginkannya.
Tapi, sebaliknya, aku akan memberikan apa pun keinginannya. Bukan karena aku takut untuk melawannya, tapi karena aku juga menginginkannya. Jauh di dalam diriku, ada sesuatu yang memohon padaku, yang membuat perut dan kakiku bergejolak dan lemas penuh antisipasi.
Aku menghela napas dan menyandarkan kepalaku ke dinding. Aku menyerah dan melepaskan rambutnya. Aku bisa melihat bagaimana postur pasifku memperkuat secercah kegelapan di matanya, walaupun dia terbelalak kaget dan lengannya langsung memelukku.
Dia tidak berharap aku melakukan ini.
Matanya melesat ke bibirku dan dia menekan tubuhnya lebih dekat ke tubuhku, menguji reaksiku. Aku tidak bergerak, dan tetap tenang selagi dia ragu-ragu meraih pergelangan tanganku dan mengangkatnya ke dinding, di atas kepalaku.
Aku menggigit bibirku dan tetap pasif selagi kegembiraan yang memalukan ini semakin menjadi-jadi. Saat tubuhku tidak kaku atau membutuhkan safe word, matanya melebar dan dia mencengkeram pergelangan tanganku dengan erat, lalu melumat bibirku dengan kasar.
Ciuman ini sangat agresif, dan suara dengusannya membuat kakiku lemas. Kekuatannya yang melawan tubuhku yang lemah membuatku... semakin terangsang. Aku balas menciumnya sebanyak yang kubisa, dan pergelangan tanganku tetap tenang selagi dia masih menekannya ke dinding bata.
Secercah kegelapan yang sama tetap ada dan terpancar dari ciumannya. Kegelapan itu terasa di lidahnya. Di dalam suara geramannya dan tubuhnya yang memenjarakanku ke dinding.
Chanyeol mutlak mendominasi.
.
.
Chanyeol POV
Tubuhnya benar-benar menekan tubuhku. Dia terasa lembut dan hangat dan... milikku. Dia adalah gadisku. Mereka ingin membawanya pergi, tapi mereka tahu dia tidak akan mau pergi sendiri. Jadi, mereka menyusun strategi terbaik. Mereka menggunakanku untuk menyuruh Baekhyun ikut terapi, agar kondisinya bisa membaik dan akhirnya melihat betapa banyak pilihan di luar sana.
Dan itu akan terjadi. Gadisku akan menyadari kalau dia bisa melakukannya hal yang jauh lebih baik. Dia bisa bersama dengan seseorang yang baik, normal, dan bersih, dan bisa dibawa pulang untuk bertemu Bibi Bibi Irene tanpa terbawa emosi, karena pertanyaan sepele.
Baekhyun akhirnya akan menyadari kalau aku ini sampah.
Paman Bogum bicara hari itu di ruang kerjanya, hari yang sama saat dia menyelinap ke kamarku dan menemukan kami tidur bersama dan bahagia. Percakapan yang sama, yang telah menanam benih keraguan di dalam pikiranku. Dia bicara seolah-olah dia hanya memberiku peringatan. Seolah-olah dia peduli dan takut kalau aku menempatkan terlalu banyak kepercayaan dalam cinta gadisku untukku.
Dia menatap mataku dan mengucapkan kata-kata yang menjadi ketakutan terburukku. "Apa yang akan kau lakukan kalau, sepuluh tahun ke depan, dia akhirnya mampu melakukan kontak dengan laki-laki lain?"
Dia terus mengomel dan menegaskan kalau dia sebenarnya tidak menyerang Baekhyun saat aku meledak. Sikapku hanya menegaskan maksudnya; aku belum mempersiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan itu. Dia takut Baekhyun terlalu naif untuk mengetahui perbedaan perasaannya sendiri. Dan jauh dalam relung hatiku, aku tahu dia benar. Dan ini terus menghantuiku.
Baekhyun terus menyangkal hal itu, karena dia sangat dibutakan oleh fakta bahwa aku satu-satunya pilihan baginya. Sekarang, memang tidak ada bajingan lain yang akan datang dan membawanya pergi. Sekarang, dia hanya memilikiku. Tapi, hanya dia yang kupunya, dan oh, sial... aku memang punya pilihan. Tapi, aku tidak menginginkan mereka, aku hanya menginginkan Baekhyun.
Dia adalah gadisku.
Aku tidak pernah memiliki apa pun. Mobilku, kamarku, tempat tidurku, dan brengsek... bahkan pasta gigi dan sampoku. Itu semua milik Paman Bogum. Semua fasilitas dan sarana yang membuat hidupku layak dan stabil adalah miliknya. Tidak ada yang menjadi milikku. Kalau aku minggat dari rumahnya besok, yang kupunya hanyalah pakaian yang melekat di tubuhku ... dan Baekhyun. Apa Baekhyun tidak bisa mengerti itu? Aku tidak bisa mengambil kesempatan.
Dan aku bisa membayangkan mereka memang merencanakan ini. Mereka berencana untuk membuat kondisi Baekhyun membaik, agar dia bisa tahu lebih dari sentuhanku. Mereka ingin membawanya pergi dan memberikannya pada orang lain.
Bayangan ini membanjiri pikiranku. Ini memuakkan, aku sudah bisa membayangkan tangan gadisku digenggam oleh bajingan lain. Baekhyun menyentuh mereka seperti dia menyentuhku. Mencium mereka seperti dia menciumku, mencintai mereka seperti...
Aku melumat bibirnya, menekan tubuhku ke tubuhnya sambil mencengkeram pergelangan tangannya di atas kepalanya, dan jauh lebih terjaga dan terfokus daripada efek upper dan narkotika lainnya. Aku hidup. Darahku mendidih mendengar erangan lembutnya…
Ini salah.
Kenapa dia sangat menikmati ini? Kenapa matanya berkedip penuh kegembiraan saat aku bertingkah kasar dengan lidahnya, pergelangan tangannya, dan bibirnya? Ini tidak masuk akal. Dia seharusnya mengucapkan safe word untuk menghentikanku bertindak mengerikan. Tapi, dia pasrah, bersandar ke dinding, dan membuat dirinya benar-benar rentan terhadap amarah dan kebuasanku.
Melihatnya seperti ini hanya membuatku menunjukkan dominasiku. Walaupun malam-malam yang kulalui bersamanya sudah mengajarkan padaku kalau aku tidak boleh menunjukkan sisi ini padanya... Namun, reaksinya sekarang benar-benar memicuku untuk memilikinya.
Dia adalah gadisku.
Momen ini dipengaruhi banyak hal. Ini adalah kesempatan pertama bagiku untuk menciumnya dalam tiga minggu. Perasaanku padanya mengendalikan diriku, memintaku untuk tetap tinggal, dan aku tahu betul kalau aku tidak akan pernah bisa berkata tidak padanya. Perasaan ini membuatku tidak berdaya, dan perutku berpilin saat memikirkan dia akan berpindah ke lain hati.
Ini pertama kalinya aku merasa dalam kendali penuh. Aku membiarkan perasaan ini membumbung tinggi dan mengkonsumsi diriku saat aku mengambil tawarannya tanpa ragu.
Tapi, kau tidak boleh memperlakukan orang yang kau cintai seperti ini. Kau tidak boleh meraih pergelangan tangannya dan mendesaknya ke dinding. Kau tidak merasakan kenikmatan saat memenjarakan dan mengendalikannya. Kau tidak mendapatkan kenikmatan dalam memilikinya seperti ini. Dan kau tidak terangsang dengan ini.
Tapi, aku terangsang.
Ini membingungkan dan benar-benar menakutkan, karena meskipun aku tahu memperlakukannya seperti ini sangat salah dan bejat, namun aku tidak bisa berhenti mendorong nafsu binatang dalam diriku. Aku ingin... aku benar-benar ingin mencintainya dengan penuh kasih sayang dan lembut. Aku ingin memegang tangannya dan membawakan buku-bukunya seperti adegan di film romantis kacangan. Aku ingin menarik diri dan membawanya ke ruang makan, lalu memeluknya di dadaku saat dia tertidur.
Tapi, aku melakukan ini. Aku menggeram ke dalam mulutnya dan menggigit bibirnya dan mendorong tubuhnya ke dinding. Menjebaknya di bawah tubuhku, agar dia tidak bisa pergi dan tidak seorang pun bisa membawanya pergi.
Dia adalah gadisku.
Aku tidak bisa menyimpulkan siapa yang lebih kacau dalam situasi ini. Dia, karena sifat pasrahnya dan menyukai ini; atau aku, karena yang melakukan tindakan ini dan menyukainya.
Aku tidak bisa menghentikan tanganku yang terus bergerak mencapai ritsleting hoodie-nya dan sedikit menarik diri agar bisa membukanya.
Bibirku melepaskan bibirnya, sambil terengah-engah, aku mendesis dan mendorong hoodie-nya.
"Lepaskan," perintahku, aku membenci diriku sendiri karena melakukan ini, tapi aku ingin hambatan di antara kami hilang.
Dia memenuhi perintahku selagi aku juga membuka ritsleting jaketku dan kami berdua melepaskannya dengan terburu-buru. Pinggul kami masih saling menekan. Dan setelah jaket kami lepas, aku kembali melumat bibirnya, memaksa mulutnya untuk terbuka dan meraih pinggangnya dengan kasar.
Aku merasa jijik dengan diriku sendiri saat aku terus menciumnya. Aku ingin menarik diri dan muntah, membersihkan semua kejelekan dan kotoran dari tubuhku, agar aku bisa bersih seperti gadisku. Bersih seperti Paman Bogum, Kris, dan orang lain. Tapi, aku tidak bisa mengontrol diri, dan dia tidak ingin aku mengontrol diriku.
Dia seharusnya jijik dan takut dengan perilakuku. Tapi, wajahnya hanya bersemu merah, napasnya terengah-engah, dia terjaga, dan mengerang penuh kenikmatan selagi aku memegang kendali.
Dia adalah gadisku.
Paru-paruku terasa terbakar dan dadaku sakit, karena putus asa. Aku mencium rahangnya, mengecupnya dan menjilatnya selagi adrenalinku semakin bertambah.
Kemudian bibirnya menjalar ke leherku, aku merasakan giginya. Dia menggigit leherku dengan keras. Gigitannya terasa sakit dan aku mendengus di lehernya, mendorong pinggulku lebih keras ke pinggulnya, karena rasa sakit itu sangat nikmat.
Giginya tenggelam ke dalam kulitku, memenetrasi dan menandaiku. Aku ingin menandainya. Aku ingin menenggelamkan gigiku ke lehernya dan mendapatkan kesenangan saat semua orang melihatnya dan tahu kalau dia adalah milik seseorang.
Dia adalah gadisku.
"Jangan pergi," bisiknya terengah-engah setelah melepas gigitannya di leherku, tangannya naik ke rambutku, lalu mencengkeramnya, dan tiba-tiba saja dialah yang mengendalikanku. Dia menarik rambutku dengan kasar, mendongakan wajahku ke langit kelabu.
Aku mendesis dan memejamkan mataku saat merasakan sengatan. Sakit ini menembus fase mati rasaku, dan memberikan secercah cahaya dalam kepalaku. Aku mengerang dan mendorong pinggulku ke pinggulnya selagi dia menarik rambutku lebih keras.
Tapi, dia masih bicara dan bersikap egois dengan mengambil keuntungan dari kepatuhanku padanya. Aku akan mengabulkan setiap keinginannya. Dia tidak ingin aku pergi dari rumah Paman Bogum. Dia ingin aku tetap tinggal dan menerima semua omong kosong yang mereka berikan sehingga... aku bahkan tidak tahu apa yang dia inginkan. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hal itu bisa memberinya keuntungan.
Tapi, aku setuju dengan memberi anggukan mantap dan desisan, membuat kulit kepalaku semakin terasa terbakar. Aku patuh pada setiap keinginannya.
Dia terlihat lega, lalu melepaskan rambutku, dan kembali bersikap pasrah sambil bersandar ke dinding.
Dan sekarang giliranku.
Aku terengah-engah dan kembali meletakkan telapak tanganku ke dinding dengan tepukan keras, aku terpesona melihatnya menggigit bibir dan kembali menyandarkan kepalanya sambil sedikit menggeliat.
Aku tidak punya hak untuk bertanya—memerintah—agar dia tidak patuh pada ucapan Bibi Irene. Ini egois dan kejam, dan kejadian dua puluh menit terakhir ini mungkin sudah cukup untuk membukti semua yang dipikirkan orang-orang benar tentangku. Tapi, dia mendapatkan keinginannya, dan kami gayung bersambut, jadi kenapa tidak?
"Jangan ikut terapi," geramku beberapa inci dari bibirnya, aku kembali melihat bayangan yang sama, yang membuatku marah, karena dia akan mencintai orang lain. Seseorang yang jauh lebih baik dariku.
Dia setuju tanpa ragu. Ini membuatku kaget. Dia mengangguk patuh dan tunduk padaku, karena aku menjebaknya ke dinding.
Setelah aku yakin dia tidak akan menyerah dan mengikuti keinginan mereka, dorongan untuk mendominasinya dalam diriku menghilang. Aku masih menjebak tubuhnya di bawahku. Dan sekarang aku malu dengan tindakanku sendiri. Aku sangat muak dengan perilaku barbarku.
Aku sedikit menarik diri dan menurunkan tanganku ke pipinya, lalu aku mengusapnya dengan lembut sembari menatap matanya penuh penyesalan. Lalu, aku mencium gadisku seperti yang seharusnya. Lembut, lambat, dan penuh hormat. Aku terus mengusap pipinya dan meminta maaf dengan cara yang kubisa.
Bibir dan usapanku menyiratkan penyesalan dan maafku, karena sudah membiarkan kegelapan mengkonsumsiku seperti itu. Aku minta maaf karena tidak menarik diri, meskipun dia menginginkannya. Aku minta maaf, karena menyukai tindakanku, dan lebih dari apa pun juga, aku minta maaf karena berencana untuk membawanya kembali ke sini besok.
Kami berdiri di belakang kelas Matematika sampai jam istirahat makan siang berakhir. Kami berciuman, membelai, mengklaim, dan membuat janji tentang tidak seorang pun dari kami akan pergi. Dan saat bel berbunyi, kami tidak ingin beranjak ke kelas, atau pun ke tempat di mana tidak ada seorang pun yang mengerti kami. Kami ingin tinggal di antara dinding bata yang kotor dan bunyi bising AC, dan membiarkan kebutuhan kembali mengkonsumsi kami sedikit lagi.
Tapi, aku masih punya rumah untuk pulang. Aku masih punya bagian dalam hidupku untuk dimainkan. Aku masih harus memikirkan nilaiku. Dan meskipun aku membenci semua itu, tapi aku masih punya kewajiban.
Tapi, mereka tidak akan menang, karena aku masih punya gadisku.
You've been the only thing that's right
In all I've done.
- Run, Snow Patrol
.
tbc
.
Maaf udh nelantarin ff ini. Saya agak sibuk karena sekarang jarak kantor-kost lumayan jauh dan harus secepatnya cari kost lain. Setelah urusan selesai saya usahain update cepat lagi.
