The Demon in His Heart

Disclaimer :

Naruto adalah karya dari Masashi Kishimoto

.

..

...

...

...

..

.

WARNING :

AU/OOC/NTR/LIME/LEMON/INCEST/

FIC INI MENGANDUNG KONTEN DEWASA DENGAN TEMA NTR

Note : Lo again guys ! Chapter 07 akhirnya terbit juga (koran kali). Ada beberapa pm dan review yang tanya apakah fic ini akan diselesaikan ? Yah, saya harap bisa, plot utamanya udh saya buat sampe tamat, endingnya ada beberapa versi sdh saya bayangkan, jadi saya harap fic ini akan selesai. Biar santai a/n tambahan saya tulis di akhir cerita jadi gk terlalu bertele-tele disini, cuma saya mau kasih gambaran aja chapter 07 ini adalah bridging menuju second arc, jadi arc 1 sudah selesai. Mungkin chp 7 ini gak terlalu klimaks karena klimaksnya lebih di chapter kemaren2 (ini mungkin chapter plg boring), kalo kalian kecewa saya cuma bisa mohon di maklumi karena sekali lagi chp ini hanya mempertegas akhir dari arc pertama. Saya ucapkan Terima kasih sebesar-besarnya atas support kalian berupa review, flame dan rekomendasi, u guys rhawk ! Seperti biasa saya kasih warning bagi para readers agar bisa menikmati fic ini dengan lebih santai, ini adalah sebuah fanfic semata, saya mohon maaf bila karakterisasi tokoh yang saya gunakan terkesan merusak image di mata kalian para readers. Relax guys, do not I repeat do not take things too seriously.

Main pairing : [Naruto x Mikoto] [Naruto x Kushina]

Other pairing : Read it urself...

.

..

...

...

...

..

.

Chapter -07-

C'est la vie

Naruto memandangi sosok sang ibu yang nampak terbaring di sofa kesayangannya dengan hati yang terluka. Sambil tersenyum penuh kesedihan, perlahan sebelah tangan pemuda itu mengusap wajah cantik ibunya, menghapus sisa air mata yang terasa lembab di permukaan kulitnya, merekam setiap lekuk wajahnya, mulai dari keningnya, lentik matanya, lengkung di hidungnya serta rona merah bibirnya.

Sempurna, kecantikannya benar-benar sempurna, sehingga menyaksikannya saja pun kadang Naruto merasa sesak. Namun sayang baginya, kecantikan yang kini tersaji di hadapan kedua matanya ini bukanlah sesuatu yang bisa ia miliki. Naruto tidak bisa memilikinya. Entah mungkin memang ibunya benar-benar memiliki rasa pada Kiba atau tidak, tapi jika memang benar, maka ia akan mengalah. Naruto setidaknya berhuntang untuk itu, setelah apa yang dikorbankan oleh sang ibu membesarkannya. Karena dari itu jika memang benar sang ibu bisa merasakan hal tersebut dari Kiba, maka ia akan mundur, ia harus mundur.

Lagipula, siapa dirinya sampai berhak melarang atau menentukan dengan siapa sang ibu harus memadu kasih ? Jika memang ia mencintai Kiba lantas kenapa ? Dia sendiri yang pernah berkata bahwa ketika hati sudah memilih maka hati akan memilih. Bukan tempat Naruto untuk mengatur dengan siapa hati sang ibu boleh terjatuh, karena dengan begitu, sama saja berarti dia adalah seorang munafik.

Dan Naruto bukanlah seorang munafik.

Kiba. Mengingat namanya saja, darah dalam nadi Naruto terasa mendidih. Memang seharusnya ia tidak merasakan hal seperti itu, tapi masa bodoh dengan mana yang harus dan mana yang tidak. Naruto membencinya, dan akan selalu membencinya.

Bukan hanya Kiba telah merenggut sang ibu darinya, tapi ia juga menghancurkan seluruh kenangan-kenangan indahnya tentang wanita itu, bahkan sekarang ketika ia memandangi dan mengagumi kecantikan ibunya seperti ini, ia teringat kembali dengan sosok seorang Kiba. Lalu seolah itu saja belum cukup menghancurkan perasaan seorang Naruto, imajinasi kotornya juga akan memutar berbagai adegan erotis diantara mereka berdua yang semakin membuatnya merasa sesak dan mual. Kami, jangankan membayangkan ibunya melakukan hal seperti itu dengan Kiba, ketika Naruto melihat foto bagaimana sang ibu dan Kiba saat mereka sedang makan malam, atau bergandengan dan berbisik kecil saja Naruto ketika itu rasanya sudah seperti mau mati.

Apa lagi ketika ia mendengar rekaman suara terkutuk itu.

Saat Naruto mendengarkan rekaman tersebut, untuk pertama kali dalam hidupnya, Naruto merasa sebaiknya ia tidak pernah dilahirkan saja. Begitu mungkin lebih baik, karena bilamana hal itu benar terjadi, maka perasaan Naruto tidak akan menjadi seperti sekarang ini, atau mungkin akan lebih baik jika ia dilahirkan di keluarga yang lain, dengan begitu maka Naruto tidak akan pernah mengenal wanita berambut merah yang sekarang sedang terlelap layaknya seorang putri dalam cerita roman dihadapannya ini. Bukan berarti Naruto menyesali masa lalunya atau membenci kehidupannya, ia hanya ingin menghindari ini semua. Lagpipula, tidak pernah Naruto meminta untuk jatuh hati kepada sang ibu, demi Kami, jika ia bisa menghilangkan perasaan itu maka tidak akan segan lagi hal itu dilakukannya.

Yah, tapi memang hidup siapa di dunia ini yang benar-benar adil ? Seolah takdir mempermainkan hati dan persaannya, sekarang justru orang yang paling dibencinyalah yang sekarang mendapatkan tubuh dan hati sang ibu secara utuh.

Naruto tentu saja tidak menyukainya, dan dalam keegoisannya juga, ia telah melampiaskan gumpalan amarah yang tertuju pada sosok pemuda tersebut. Memang betul Naruto telah mengotori tangannya sendiri, mematikan api amarah yang menyala di hatinya dengan darah. Lantas, apakah dengan melakukan hal itu maka masalahnya kemudian selesai begitu saja ?

Tentu tidak, karena tetap saja pada akhirnya Naruto telah merasakan sakit, hatinya sudah terluka, dan sebuah luka tidak mungkin bisa hilang begitu saja. Sedangkan Kiba ? Kiba mendapatkan semuanya, ia mendapatkan Kushina, ia bisa membelai rambut merahnya yang menyala, mengecup bibirnya yang merona, menikmati tubuhnya yang menggoda, dan terutama ia bisa mendapatkan cinta yang selama ini Naruto inginkan, bukan cinta seorang ibu, tapi cinta seorang wanita seutuhnya.

Jika memang sudah begitu, Apa lagi yang bisa diperbuatnya sekarang ? Mungkin ini akan kedengaran konyol, tapi sampai detik ini juga, Naruto tetap tidak kehilangan rasa cintanya terhadap sang ibu. Entahlah, mungkin jiwanya sudah agak sakit, tapi untuk mengatakan sebaliknya, maka itu adalah suatu kebohongan besar. Mungkin itu juga yang menjadi alasan kenapa ia tidak mau melakukan apa-apa terhadap Kiba, atau membalas rasa sakit hatinya pada sang ibu. Karena ia sadar bahwa jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, cinta yang ia rasakan pada wanita berambut merah itu tidak akan pernah mencapai akhir. Dan jika ibunya bisa mendapatkan kebahagiaan dengan cara seperti ini, tentu sebagai seseorang yang benar-benar mencintainya, Naruto akan memberikannya.

Sekarang satu-satunya jalan yang tersisa bagi Naruto adalah pergi dari tempat ini. Mungkin terkesan pengecut, namun memang pada kenyataannya tidak ada lagi yang tersisa baginya di tempat ini selain kenangan-kenangan indah yang telah dikotori oleh penghianatan. Naruto tidak bodoh, ia sudah tahu bahwa ia sudah tidak memiliki tempat lagi di rumah ini. Sudah terlambat jika ia tiba-tiba mengurungkan niatnya untuk pergi, dan demi Kami atau para dewa manapun yang berkuasa dilangit sana, keputusannya untuk pergi sudah benar-benar bulat.

Tapi, disaat yang bersamaan juga ia merasa sangat berat untuk melakukan hal tersebut. Tidak peduli sejauh apapun ia melangkah masuk menuju kegelapan, sebesar apapun rasa benci dalam dirinya yang tumbuh, tetap saja pada akhirnya hanyalah seorang manusia biasa. Dan setiap manusia tentunya tidak akan bisa dengan begitu mudah meninggalkan masa lalunya begitu saja, meninggalkan orang yang ia cintai dengan seluruh perasaannya begitu saja.

Sekali lagi Naruto memandangi sosok ibunya, merasakan daya tarik seksual dari kecantikan dan keindahan yang terjamah oleh kedua matanya. Pakaian yang dikenakan ibunya kelihatan lusuh, penuh oleh lipatan dan basah oleh keringat. Mungkin sejak pulang tadi memang sang ibu belum sempat mengganti pakaiannya, sebuah kemeja ketat yang menunjukkan bentuk tubuhnya, dan rok pendek yang memperlihatkan keindahan kaki panjangnya. Brengsek, dia benar-benar pemuda brengsek, anak tidak tahu diri. Bahkan dalam keadaan seperti ini saja ia masih bisa merasakan ketertarikan seksualnya pada sang ibu. Suara nafasnya, aroma serta kilau tubuhnya, dan bentuk pakaian dalamnya yang nampak samar dari balik kemeja karena dibasahi oleh keringat membuat insting pejantannya semakin memuncak.

Semakin hatinya merasakan cemburu, semakin jelas juga ketertarikan seksualnya.

Sadar jika ia berada disini lebih lama lagi sesuatu yang tidak diinginkan bisa terjadi, Naruto kemudian bangkit dari posisi berlututnya, sambil untuk yang terakhir kalinya menatap kearah sang ibu, mataharinya, rembulannya, separuh jiwanya. Kemudian, Naruto mengucapkannya, satu kata pendek saja, satu kata yang mungkin kedengaran remeh bagi kebanyakan orang, tapi bagi Naruto adalah sesuatu yang sangat sakral. Sebuah kata yang selalu ia ucapkan pada ibunya tepat sebelum ia beranjak pergi dari rumah.

"Ittekimasu..." ia menahan air matanya tumpah dengan sebuah senyuman lebar di mulutnya. Untuk beberapa saat Naruto terdiam, membiarkan keheningan di sekitarnya berkuasa, membiarkan memori-memori indahnya dulu melintas sejenak, sambil berharap ibunya mendengar salam tersebut dan memberikan balasan untuknya seperti biasa.

"Itterashai..."

Entah imajinasi atau memori yang menjelma, tapi Naruto seolah dapat mendengar ibunya mengucapkan kata itu. Kali ini air matanya tumpah, hanya satu tetes saja, tapi cukup untuk menerjemahkan kesedihan yang tercurah keluar dari sudut hatinya yang paling dalam.

Dan seperti biasanya, kata itu selalu menambah keberanian Naruto untuk kemudian berangkat pergi meninggalkan rumah, walau keberangkatannya kali ini bersifat abadi.

Dengan keberanian tersebut, Naruto kemudian memulai langkahnya. Berat, langkah ini terasa sangat berat, tapi Naruto tidak lantas gentar, walau tubuhnya sulit untuk bergerak, hatinya tetap meneriakkan perlawanan. Keputusan pemuda berambut pirang itu untuk pergi sudah tidak dapat lagi ditentang bahkan oleh surga sekalipun. Jika para dewa mencegahnya untuk meninggalkan tempat ini, maka biar saja dia menjadi iblis.

Naruto yang sekarang bukan lagi Naruto yang dulu, tangannya kini sudah terlanjur dibasahi oleh darah, hatinya sudah terlanjur ditutupi oleh kegelapan. Tempat ini tidak lebih dari sebuah kuburan bagi masa lalunya, bagi dirinya yang lama, yang kini telah mati, dan terlahir kembali.

Naruto memejamkan kedua matanya, ia masih merasakan berat pada kedua kakinya, seolah ada sesuatu yang mengikatnya di tempat ini. Lalu, dengan seluruh tenaga yang masih tersisa, otot-otot tubuhnya mengejang kuat, dipaksa untuk bekerja melebih kapasitasnya, terus, terus dan terus, sampai pada akhirnya sebelah kaki Naruto menghentak menyentuh permukaan lantai didepannya, melahirkan sebuah langkah kecil.

Langkah itu adalah langkah pertama yang ia pijak di kehidupannya yang baru.

Sedikit aneh rasanya, Naruto sendiri tidak tahu kenapa, tapi seketika itu juga ia merasa lega, beban di pundaknya seakan hilang, rantai yang tadi seolah mengikat jiwa dan tubuhnya di tempat ini seakan putus, kenangan yang tadi seolah membuatnya merasa berat untuk pergi, seolah sirna begitu saja.

Ketika Naruto melangkah keluar dari rumahnya, ia mendapati keadaan halaman yang tanpa diterangi oleh lampu, kelihatan sedikit gelap. Namun, ia masih bisa merasakan aroma khas lavender dari bunga yang tumbuh disana, dulu ia sengaja menanamnya karena menurut Naruto, bunga lavender melambangkan cahaya dari sinar mata sang ibu. Agak puitis bagi seorang bocah yang ketika itu masih berusia sembilan tahun, tapi yah begitulah dia.

"Konyol..." ia bergumam pada dirinya sendiri sambil terus melangkah menuju gerbang.

Udara malam membuat permukaan gerbang terasa begitu dingin di telapak tangannya, setiap kali Naruto membuka dan menutup kembali pintu gerbang tersebut, ia juga bisa mendengar suara khas besi yang bergesek, lalu setelah berjalan beberapa langkah keluar, Naruto tiba-tiba berhenti. Perlahan ia memutar tubuhnya ke belakang, sambil untuk yang terakhir kali, ia memandangi tempat yang dulu pernah menjadi istananya.

Angin malam berhembus membasuh tubuh Naruto, suaranya terdengar seperti sebuah siulan di telinga pemuda berambut pirang tersebut, mereka melantunkan sebuah lagu tentang petualangannya dari utara, tentang tawa dan tangis, tentang kelahiran dan kematian, tentang pertemuan dan perpisahan.

Dengan kondisi tubuh yang terluka, tiupan angin yang menerpa tubuhnya membuat Naruto merasakan sakit. Namun, seolah tak peduli akan hal itu, ia tetap berdiri disana, ia tetap memaksakan tubuhnya untuk berdiri disana, membiarkan luka pada tubuhnya menutupi luka yang ia rasakan di hati.

Tiba-tiba, tanpa sengaja telinganya mendengar suara bisikan dari daun-daun pohon sakura yang melambai karena tertiup oleh sang angin. Naruto menoleh kearahnya, kearah pohon dahulu ditanam tepat di hari kelahiran Naruto atas permintaan ibunya, pohon yang juga dapat dikatakan sebagai simbol kehidupan seorang Naruto.

Sebuah senyuman tersirat diwajah Naruto, jika memang ini adalah kesempatan terakhirnya, maka biar ia mengingat sekali lagi kenangan indah tentang sang ibu dihadapan pohon sakura ini. Bukankah pohon tersebut merefleksikan kasih sayang sang ibu padanya ? Jika memang benar, maka biar untuk yang terakhir kalinya ia merasakan kasih sayang tersebut. Dengan senyuman di wajahnya, Naruto menerima kehangatan yang seolah terpancar dari sana.

"Selamat datang sochi, bagaimana sekolahmu ?"

"Sochi ramen kesukaanmu sudah jadi !"

"Selamat tidur sochi, jangan lupa memimpikan kaa-chan."

"Selamat pagi sochi, mandi dulu sana, biar kaa-chan buatkan sarapan untukmu."

"Kau mau memaafkan kaa-chan kan sochi ?"

"Sochi, kau tahu aku mencintaimu kan ?"

Dengan kedua matanya yang terpejam, memori-memori indah tentang ibunya sekali lagi terbayang dalam ingatan Naruto. Seandainya ia bisa merasa seperti ini selamanya, maka mungkin senyum diwajahnya tidak akan pernah surut, tapi tidak ada tempat untuk kata 'selamanya' dalam hidup, mimpi terindah sekalipun memiliki akhir, sama seperti cerita cintanya.

Kemudian secara perlahan Naruto membuka kembali kedua matanya, memperlihatkan sepasang bola mata biru yang bersembunyi didalam sana. "Sayonara..." ia kemudian berbisik pelan sambil berputar membelakangi rumahnya. Masa lalunya.

Dan seketika itu juga, ia melangkah pergi.


...

Dari kejauhan, Gaara memperhatikan sosok Naruto sambil bersender di pintu kendaraannya. Perasaannya sedikit gusar, ada sebuah kekecewaan di hatinya, dan semua itu mengarah pada sosok seorang pemuda berambut pirang yang sudah dianggap oleh Gaara sebagai saudaranya sendiri.

Sebatang rokok filter mengganjal di bibirnya, mengepulkan asap tipis dengan aroma tembakau yang khas. Gaara membutuhkannya, untuk mengalihkan pikiran-pikiran paranodinya, ia mengizinkan zat nikotin yang meresap masuk dalam aliran darahnya menumpulkan perasaan frustasi yang meledak-ledak di kepalanya, walaupun tentu saja rokok tidak serta merta membuat perasaan gusarnya hilang atau secara langsung menghapus rasa kekecewaan dalam hatinya, tapi setidaknya ia bisa menjadi sedikit lebih tenang.

Ini semua gara-gara sahabat pirangnya yang bodoh itu. Memang Gaara mengerti perasaannya, bahkan ia sangat mengerti tentang apa yang kini sedang dialami oleh Naruto. Tapi, itu bukan berarti Gaara dapat bersikap biasa-biasa saja, menunggu atau membiarkan Naruto kelak menemukan kembali cahayanya. Sebaliknya ia justru merasa frustasi, apalagi ketika ia mengetahui bahwa sahabatnya tersebut sudah mulai kehilangan rasa percaya terhadap dirinya. Kehilangan rasa percaya !

Kami !

Mungkin nanti, ketika situasi sudah sedikit lebih reda, Gaara akan menghajarnya satu atau dua kali saja.

Ya, satu atau dua kali kedengaran cukup baginya.

"Sialan kau Naruto..." ia bergumam pada dirinya sendiri sambil menghembuskan asap rokok dari mulutnya dan kemudian melempar jauh sisa filternya ke sembarang arah.

"Siapa yang sialan ?" Naruto tiba-tiba muncul di belakangnya, entah dari mana hanya Kami yang tahu.

Tubuh Gaara seketika itu juga terhentak, terkejut dengan kedatangan sahabatnya yang sangat tiba-tiba. "Brengsek ! Jangan mengagetkanku seperti itu !" ia mendesis kesal sambil menghadap kearah Naruto.

Melihat Naruto tidak memberikan reaksi apa-apa , Gaara hanya menghela nafasnya, ia lalu bangkit dari posisi bersendernya dan berkata. "Tck, sudahlah ayo kita berangkat."

Naruto hanya mengangguk, dan setelah itu masuk kedalam sedan hitam yang terparkir didekatnya. "Langsung ke tempat Orochimaru ?" pemuda berambut pirang itu bertanya sembari mengunci sabuk pengaman yang menyilang di tubuh.

"Sebaiknya begitu, sebelum polisi mengetahui identitasmu." Balas Gaara, juga sambil mengunci sabuk pengaman yang ia kenakan.

"Mereka mungkin sudah tahu, aku tidak melakukannya secara diam-diam." Ujar Naruto datar.

Mendengar ini, Gaara yang tadinya hendak menyalakan mesin kendaraan tiba-tiba menghentikan sejenak gerakan tangannya. Sebelumnya ia tidak pernah mendengar Naruto berbicara tentang hal-hal seperti pembunuhan atau semacamnya, dan walau ia dulu pernah terlibat di dunia seperti ini, melihat bagaimana reaksi sahabatnya begitu tenang bahkan setelah ia menghabisi nyawa seseorang, Gaara tidak bisa menyembunyikan perasaan frustasinya.

Tapi apa yang bisa ia lakukan sekarang ?

"Kenapa ?" tanya Naruto heran.

"Tidak, tidak apa-apa..." pertanyaan singkat tersebut menyadarkan Gaara, tanpa membuang waktu lebih lama lagi pemuda itu kemudian melanjutkan gerakannya yang tadi sempat terhenti dan segera menyalakan kendaraan yang ia kemudikan.

Seketika itu juga kendaraan yang ditumpangi Naruto dan Gaara menyala, sorot cahaya lampu putih halogen menembus kegelapan dihadapan mereka berdua, suara mesin khas mobil sport yang meraung ditengah kegelapan malam bahkan terdengar sampai kedalam. Dan seketika itu juga, mereka berangkat menuju pelabuhan Konoha. Menuju Orochimaru.


The Demon in His Heart


Sudut pelabuhan Konoha, salah satu markas rahasia Orochimaru...

"Orochimatsu !" Mikoto menggebrak pintu ruang kerja milik pria pemilik bangunan tempatnya berada kini sambil meneriakkan namanya.

"Tunggu ! Hei nona !" Kankuro yang berada tepat dibelakangnya juga tiba-tiba muncul, ia langsung memegangi sebelah tangan Mikoto, mencegah wanita berkulit salju itu untuk bertindak gegabah.

Tapi Mikoto tidak selemah wanita biasa, sambil memutar tubuhnya untuk menghadap kearah Kankuro, ia menarik sebelah tangannya hingga genggaman Kankuro terlepas. "Kau jangan ikut campur dulu !" desisnya.

"Tck, baiklah... tapi namanya Orochimaru, bukan Orochimatsu." Gumam Kankuro.

"A-aku tidak peduli !" Mikoto terdengar tegas tapi tidak bisa menyembunyikan rona merah diwajahnya.

"Ah, Mikoto-sama, Kankuro-san, bagaimana ? Apakah kalian menikmati makan malamnya ?" Orochimaru kelihatan begitu santai, dengan sebelah kaki yang terlipat, tubuh tinggi pria berwajah pucat itu kelihatan elegan dengan balutan jas dan kemeja sutra yang ia kenakan.

"Sekarang sudah hampir jam sebelas malam !" hardik Mikoto, sejak tadi memang wanita berambut hitam ini terus menerus gelisah menunggu kedatangan Naruto.

Orochimaru mengangkat alisnya, ia kemudian menjulurkan lengan kirinya untuk menarik lengan jasnya keatas dan memperlihatkan jam tangan emas di pergelangannya, lalu dengan seksama mengarahkan pandangan matanya kearah jam tersebut. "Hmmm, ah, ya kau benar, sebentar lagi jam sebelas." Ujarnya sambil tersenyum.

"Orochimaru !" hardik Mikoto.

"Setidaknya kali ini dia mengucapkannya dengan benar." Komentar Kankuro yang dengan sangat cepat langsung menutup mulutnya ketika ia menyadari bahwa dirinya telah salah bicara.

Tapi malang bagi Kankuro, suasana ruangan tersebut kebetulan sedang agak hening, suaranya terdengar oleh Mikoto yang seketika itu juga menggeram kesal sambil mengangkat sebelah tangannya lengkap dengan kelima jari yang semuanya mengacung tinggi.

Kankuro tahu bahwa sesuatu yang buruk akan menimpanya, ia mengutuk dirinya sendiri ketika tadi secara tidak sengaja lidahnya seolah terpeleset dan mengatakan hal tersebut. "Ng... maaf ?"

Terlambat, biasanya memang kata maaf sering datang terlambat. Telapak tangan kanan Mikoto sudah terlebih dahulu melayang kearah dahi Kankuro ketika pemuda itu menyatakan permintaan maafnya, dan ketika kemudian membentur keras kesana, sebuah suara nyaring tiba-tiba terdengar diikuti oleh teriakan kesakitan yang keluar dari mulut Kankuro.

"AH ! Apa yang kau lakukan ! Kau ini wanita atau bukan sebenarnya ! Kami !" Kankuro memegangi kening kepalanya sambil merunduk kesakitan.

"Kau ! Kau diam dulu !" Mikoto menunjuk kearah Kankuro, lalu kembali menghadap kearah informan terbesar di Konoha yang sejak tadi hanya memperhatikannya sambil tersenyum. "Dan kau Orochimaru ! Katakan padaku dimana Naruto !"

Orochimaru kesulitan menahan dirinya untuk tidak tertawa tertawa kecil melihat apa yang terjadi tepat dihadapannya. "Hahaha... kau memiliki selera humor yang bagus Kankuro-san." Ujarnya kemudian.

"Orochimaru." geram Mikoto.

"Tenanglah Mikoto-sama, Gaara sudah menemui Naruto, mereka tidak langsung kemari, Gaara sebelumnya ada satu tempat dahulu yang harus dikunjungi Naruto. Jika tidak terjadi apa-apa, seharusnya dalam satu jam, atau paling lama dua jam kedepan mereka sudah sampai disini." Jelas Orochimaru yang sebelum sekali lagi ia menumpahkan teh panas kesukaannya masuk kedalam mulut. "Ahh... teh yang sangat luar biasa, kau mau ? Mikoto-sama ? Kankuro-san ?"

"Suatu tempat ?" Mikoto mengerutkan kening.

"Ah, ya. Menurut pesan dari Gaara, mereka kini sedang mengunjungi Kushina-sama." Jawab Orochimaru sambil tersenyum, sesuatu yang menurut Mikoto justru terlihat agak 'ngeri'.

"Buat apa Naruto pergi kesana ?" kalimat tersebut terdengar lebih seperti sebuah tuntutan daripada pertanyaan.

Orochimaru mengangkat sebelah alisnya, kali ini ia yang justru tidak mengerti dengan reaksi dari Mikoto karena jika ada orang yang tahu alasan kenapa Naruto memilih untuk menemui Kushina, maka seharusnya orang itu adalah Mikoto. "Anda benar-benar tidak tahu kenapa ?"

Mikoto terdiam untuk beberapa saat sebelum kemudian membiarkan emosinya menguasai diri. "Ta-tapi Kushina telah menghianatinya !"

"Anda harus mengerti Mikoto-sama, seburuk apapun hal yang dilakukan oleh Kushina-sama, Naruto tidak akan langsung berubah membencinya saat itu juga, ia memiliki perasaan yang sangat dalam terhadap ibunya, aku yakin anda mengerti." Ucap Orochimaru sambil melipat sebelah kakinya.

Suasana ruangan seketika itu juga menjadi hening. Entah apa yang ada terbesit dalam kepala Mikoto tadi, ia tentunya sangat mengerti jika Naruto memilih untuk menemui Kushina, mungkin untuk mengatakan selamat tinggal, mungkin untuk menuntut penjelasan darinya, entah apa pun alasannya tapi memang Naruto tidak akan begitu saja pergi meninggalkan Kushina. Namun memikirkan hal itu, Mikoto merasa tidak nyaman, seperti ada sesuatu yang membuat wanita Uchiha itu merasa tidak suka ketika Naruto memilih untuk melakukan hal tersebut.

"Err... ano, Orochimaru." Tiba-tiba Kankuro memotong pembicaraan mereka sambil mengangkat sebelah tangannya, membuat seluruh penghuni ruangan tersebut secara refleks melihat kearahnya dengan penuh tanya. "Errr... boleh aku menerima tawaran teh tadi ?"

Orochimaru tersenyum, kemudian menoleh kearah pemuda berkulit pucat yang berdiri disampingnya. "Kimimaro, bisa kau buatkan secangkir teh untuk Kankuro-san ?"

"Tentu saja Orochimaru-sama." Kimimaro membungkukan tubuhnya penuh hormat, tapi sebelum beranjak pergi, pemuda itu terlebih dahulu menolehkan kepalanya kearah Mikoto yang berdiri didekat meja kerja tuannya. "Bagaimana dengan anda Mikoto-sama ?"

"Terserah." Jawab wanita bermata onyx tersebut dengan sedikit ketus, tapi memang ketika itu Mikoto tidak peduli, ia tidak ingin minum, ia tidak ingin makan, ia tidak ingin melakukan apa-apa sebelum bisa memastikan bahwa Naruto baik-baik saja.

"Baik." Kimimaro sekali lagi membungkukan tubuhnya sebelum kemudian ia pergi meninggalkan ruangan.

"Asistenmu ?" tanya Kankuro tepat setelah Kimimaro menutup pintu ruangan dari luar, sedikit penasaran dengan identitas pemuda yang baru saja dilihatnya tersebut.

"Bisa dikatakan begitu." Jawab Orochimaru singkat.

"Tck, aku harus punya satu, kelihatannya menarik juga memiliki seseorang yang bisa diperintahkan semaunya begitu." komentar Kankuro sambil mengusap dagunya.

Orochimaru hanya tersenyum sambil mengangguk kecil mendengar komentar dari Kankuro, tapi perhatiannya lebih mengarah pada Mikoto yang kini terlihat sedang merasa gundah. Sadar bahwa Mikoto tidak akan kemana-mana sebelum berita tentang Naruto ia dapatkan, pria berjuluk ular dari Konoha itu memutuskan untuk bicara apa adanya.

"Baiklah Mikoto-sama... aku tidak akan menyimpan rahasia lagi darimu, jika mengetahui tentang keadaan ini akan membuatmu merasa lebih tenang, maka aku akan bicara. Sekarang silakan anda tanyakan apa saja yang berkaitan tentang Naruto padaku, aku akan sebisa mungkin menjawabnya selama tidak ada informasi yang menurutku dapat digunakan untuk balik menyerangku kelak."

"Buat apa aku menyerangmu." gerutu Mikoto.

"Ah, tentu saja, tapi aku adalah pebisnis, dan pebisnis yang baik selalu bertindak berdasarkan keselamatan bisnisnya." balas Orochimaru sambil mengusap dagunya.

"Tunggu, aku ada disini, apa kau yakin aku boleh mendengarnya juga ?" ujar Kankuro secepatnya sebelum Mikoto dan Orochimaru mulai saling berbicara.

"Aku tidak keberatan." Jawab Orochimaru sambil memegangi lutut kirinya yang terlipat keatas, "lagipula Kimimaro sudah membuatkan teh untuk kita semua, dan kebetulan juga urusanku yang lain hari ini sudah selesai."

Kankuro mengerutkan keningnya, Orochimaru, walaupun berkata seperti itu sambil tersenyum, tetap saja kelihatan mengerikan. "Kau yakin ? Kau tahu aku sama sepertimu kan ? Aku juga seorang informan di organisasiku ?"

Orochimaru hanya tertawa mendengar pertanyaan tersebut. "Aku yakin Kankuro-san, lagipula jika ini semua berjalan dengan lancar, Gaara dan aku akan menjalin kerja sama, dengan begitu sudah sewajarnya kita mulai saling percaya bukan ?"

"Maaf... tapi sulit rasanya bagiku untuk percaya begitu saja padamu." ujar Kankuro dengan wajah yang kelihatan menyesal.

Seringai di kedua bibir Orochimaru menampakkan dirinya setelah Kankuro selesai berbicara, pemuda ini mungkin akan berguna juga untuknya suatu saat nanti, begitu yang ada di kepala salah satu dari mantan tiga legenda Konoha tersebut. "Aku akan kecewa padamu jika kau percaya padaku begitu saja Kankuro-san."

Suasana ketika itu juga mendadak menjadi sedikit awkward. Orochimaru, bagaimana pun juga tetaplah seorang pria dengan reputasi yang lebih hitam dibanding dengan langit malam itu sendiri, Kankuro tidak melupakan hal tersebut, walaupun situasi yang terjadi sekarang membuatnya berada di pihak yang sama dengan Orochimaru, tetap saja ia tidak bisa melupakan fakta tersebut.

Kekakuan diantara mereka kemudian dipecahkan dengan kedatangan Kimimaro dari balik pintu utama ruangan tersebut. "Maaf menunggu lama." Ucap pemuda itu dengan santun sambil kemudian meletakkan dua cangkir teh panas diatas meja panjang tidak jauh dari tempat Mikoto dan Kankuro kini sedang duduk.

"Ayo, minumlah dulu, kita bisa bicara setelah kalian menikmati teh itu." Orochimaru.

Ketika teh yang hendak diminum oleh Mikoto menyentuh bibirnya, wanita berambut hitam panjang itu bisa merasakan kehangatan dan aromanya yang entah kenapa seketika itu juga membuatnya terasa tenang. Sebelumnya ia tidak terlalu memperhatikan teh jenis apa yang ia minum, tapi teh baginya adalah teh, namun kali ini, teh tersebut mengingatkannya pada masa lalu. Masa lalu ketika ia masih tinggal bersama keluarganya, dan ketika ia masih diperlakukan layaknya seorang putri. Putri Uchiha.

"Ah, kau menyadarinya ?" tanya Orochimaru yang melihat perubahan ekspresi di wajah Mikoto.

"Aku seperti mengenal aroma teh ini."

"Kau sepertinya menyadari bahwa teh itu adalah teh yang biasa digunakan oleh keluarga Uchiha, aku memang mendapatkannya dari Fugaku, dia tahu bahwa aku penikmat teh dan tidak pernah melewatkan kesempatan untuk memberikan teh jenis ini kepadaku." Orochimaru menjelaskan.

"Kau masih berhubungan dengan Fugaku ?" Mikoto kedengaran tidak menyukai hal tersebut.

"Ah, tentu saja, sudah kubilang aku adalah pebisnis, dan aku tidak akan pernah melewati kesempatan untuk berbisnis dengan siapa saja."

"Jadi kau adalah rekannya ?"

"Ah,kami tidak bisa disebut sebagai rekan karena memang pada prosesnya, kami berdua sering sekali berada di sisi yang saling berlawanan, tapi tentunya itu tidak mengurangi rasa hormat diantara kami berdua, entah itu sebagai kawan atau lawan sekalipun." Orochimaru menjelaskan.

"Menghormati." dengus Mikoto, "apa yang kau lihat dari orang seperti dia."

Orochimaru mengusap dagunya dan berpikir untuk beberapa saat. "Sejujurnya, secara pribadi aku tidak menyukai Fugaku. Dia... dia tidak memiliki batas, baginya, moral hanyalah sesuatu yang dapat mengurung potensi dan kemampuannya sendiri, karena itu Fugaku sering melakukan hal-hal yang... diluar batas."

"Moral ?" Mikoto tertawa sinis. "Apa yang orang-orang seperti kalian ketahui tentang moral ?"

"Harus kuakui tidak banyak Mikoto-sama." Jawab Orochimaru sambil tersenyum.

"Tidakkah hal itu terkesan munafik ? Berbicara moral sedangkan kau sendiri melakukan hal-hal diluar hukum setiap harinya."

"Ah, justru menurutku sebaliknya." ujar Orochimaru sambil menuangkan teh dari cawan kedalam cangkirnya sendiri.

Mikoto mengerutkan keningnya. "Sebaliknya ?"

Pria berjuluk ular dari Konoha tersebut mengangguk, ia menikmati dua teguk teh yang sudah terisi dalam cangkirnya, sebelum kemudian meletakkan kembali cangkir tersebut pada meja dan berkata. "Sebenarnya apa yang dimaksud moral ? Siapa yang bisa menentukan tentang mana yang memiliki moral dan mana yang tidak bermoral ? Hukum kah ? Agama kah ? Jasshin-sama, Kami-sama atau berbagai macam –sama lainnya ?"

"..."

"Para pengikut Jasshin memberikan pengorbanan berupa nyawa manusia terhadap Tuhan mereka, apakah menurutmu hal seperti itu bermoral ?"

"Semura orang tahu bahwa para pengikut Jasshin adalah kaum ekstrimis !"

"Ah, tapi hanya mereka yang bertentangan moral dengan para pengikut Jasshin sajalah yang mengatakan hal tersebut."

"Apa maksudmu sebenarnya ?"

"Ah, maksudku sederhana... aku hanya ingin mengatakan bahwa jika mereka dapat menentukan moral mereka sendiri maka aku pun dapat melakukannya. Aku tidak percaya pada Kami, Jasshin, atau hukum Konoha sekali pun. Tapi aku tetap memiliki batasan dalam melakukan sesuatu."

"Huh, bagiku kau terdengar seperti seseorang yang justru tidak memiliki moral."

"Jika moral yang kau bicarakan adalah moral yang kau percaya, maka mungkin itu benar. Tapi aku memiliki moral sendiri, moralku lahir dari rasa empatiku sebagai seorang manusia. Aku membunuh tapi aku hanya membunuh mereka yang mau membunuhku, aku mencuri tapi aku hanya mencuri dari para pencuri. Apa yang mencegahku untuk melakukan hal buruk pada kalian sekarang ini juga jika bukan moralku sendiri..."

"Mana kutahu, mungkin pekerjaanmu ?"

"Tepat, dan itulah dimana letak garis moralku membatasi, selain dari rasa empatiku sendiri tentunya dari uang." Seringai Orochimaru.

Mikoto kelihatan tidak puas dengan jawaban tersebut. "Aku tidak akan pernah bisa mengerti jalan pikiran orang-orang sepertimu."

"Ah, tapi kadang aku juga tidak mengerti dengan jalan pikiranku sendiri Mikoto-sama." Orochimaru tersenyum puas.

Kankuro mengusap rambut di kepalanya sambil berusaha menahan dirinya, hal-hal seperti ini sama sekali tidak menarik bagi pemuda tersebut, lagipula sekarang ada sesuatu yang memang sejak tadi ingin ia tanyakan pada Orochimaru. "Maaf... tapi diluar topik tentang moral ini, bolehkah aku bertanya sesuatu padamu Orochimaru ?"

"Ah, tentu saja Kankuro-san, kau tidak perlu sungkan." Orochimaru tersenyum sambil sekali lagi meneguk teh dalam cangkirnya.

"Aku hanya ingin tahu... sebenarnya dimana letak hubungan ini semua dengan Gaara, aku tahu dia dan Naruto berteman dekat, tapi kau sebenarnya tidak memiliki urusan langsung dengan Gaara kan ?"

Orochimaru menggulirkan bola mata emasnya kearah Kankuro, senyumannya terkesan semakin lebar, seolah ia memang menunggu pemuda tersebut untuk mengajukan pertanyaan tersebut. "Peluang... aku melihat peluang untuk berbisnis dengannya dalam situasi seperti ini."

"Peluang ?"

Orochimaru mengangguk. "Sebelumnya, mungkin Mikoto-sama sendiri belum tahu, tapi aku berniat untuk mengamankan Mikoto-sama dari kejaran Uchiha ke sebuah kota bernama Oto, apa kau pernah dengar tentang Oto ?"

Mikoto tidak pernah mendengar nama kota tersebut sebelumnya, ia kemudian menoleh kearah Kankuro seolah meminta dukungan atas ketidak tahuannya tentang kota yang memang sama sekali belum pernah ia dengar itu, tapi sebaliknya jawaban Kankuro justru membuatnya terkejut.

"Ya... kota baru yang mendeklarasikan pendiriannya kurang lebih lima tahun yang lalu."

"Aku tidak pernah mendengarnya !" potong Mikoto.

"Ah, tentu wajar jika tidak banyak orang yang tahu tentang kota Oto, benar kata Kankuro-san, bahwa Oto adalah sebuah kota baru, tepatnya masih didirikan delapan tahun yang lalu." Orochimaru berusaha meyakinkan Mikoto, "kota Oto didirikan oleh keluarga-keluarga besar yang sengaja bermigrasi dari tempat tinggal mereka sebelumnya. Masih tergolong sangat baru, dari luar mungkin tidak terlalu nampak menjanjikan bagi para investor, tapi aku sudah kesana sendiri dan harus kuakui Otokage disana mengerjakan pekerjaannya dengan sangat baik. Kota Oto selain luas dan besar juga sangat tertata rapih, anggap saja seperti distrik utama Konoha, tapi secara menyeluruh... Tidak ada daerah kumuh disana, mungkin karena penduduknya sendiri masih sedikit."

"Berapa jumlah penduduk disana ?" Tanya Mikoto penasaran.

"Sekitar dua ratus lima puluh ribu sampai tiga ratus ribu jiwa, jauh dengan Konoha yang memiliki lebih dari dua juta penduduk."

"Err... lalu apa hubungannya dengan Gaara ?"

Orochimaru tersenyum. "Kau tentunya mengenal Yashamaru bukan ?"

Mendengar nama tersebut, mendadak Kankuro meruncingkan matanya, mana mungkin bisa ia melupakan Yashamaru, orang itu adalah salah satu alasan kenapa dulu Gaara sempat kehilangan rasa kemanusiaannya. "Mana mungkin aku tidak kenal dengannya, setelah Gaara mengambil alih kekuasaan dari para tetua, Yashamaru dan sebagian petinggi organisasi yang tidak menyukai Gaara membelot dan menciptakan kelompok mereka sendiri."

Orochimaru menganggukan kepalanya. "Dan sekarang dia adalah satu-satunya organisasi lain yang bisa bersaing dengan Gaara di Suna, benar bukan ?"

"Ya... entah darimana kekuatannya datang." dengus Kankuro.

"Ah, itu mudah sekali, kekuatan finansial Yashamaru ia dapatkan dari investasinya di Oto."

"Apa !?" Kankuro terkejut.

"Oto memiliki sumber daya alam yang sangat luar biasa, di sana ada sebuah tambang emas yang oleh Otokage-nya sendiri dibuka secara umum bagi para investor luar. Mungkin agak aneh, tapi begitulah cara Otokage memperbesar wilayah dan menambah jumlah penduduknya. Bagi mereka yang tergiur dengan peluang tersebut, Otokage mengizinkan mereka untuk berinvestasi dengan syarat-syarat tertentu." Orochimaru menjelaskan.

"Tambang emas ?" Kankuro tidak bisa mencegah rahangnya jatuh lebih kebawah lagi.

"Aku memiliki izin investasi langsung dari Otokage, dan bermaksud untuk membagi lahan tambang yang kuperoleh disana bersama Gaara..."

"Tidakkah itu terkesan terlalu... baik ? Bukan maksudmu aku curiga, tapi kau bilang sendiri jika mempercayaimu begitu saja adalah tindakan bodoh."

Orochimaru tersenyum. "Aku tidak memiliki sumber daya sekuat kelompokmu, tapi aku memiliki izinnya, sedangkan Gaara tidak akan pernah bisa mendapatkan izin investasi dari Otokage dengan keberadaan Yashamaru disana... aku berniat untuk menggabungkan kekuatan, dan jika kelak keuntungan yang didapat sudah berlipat aku akan dengan senang hati memberikan seluruhnya pada Gaara, karena tujuanku yang utama disana bukan itu."

"Bukan itu ?" Kankuro tidak bisa menyembunyikan kecurigaannya.

"Aku berencana merebut posisi Otokage tentunya."

"Apa !? Kau mau melakukan kudeta !?"

"Ah, kudeta hanyalah sebuah kata... memang dari satu sisi benar, tapi aku akan menggunakan cara yang lebih 'lembut' daripada sekedar melakukan pemberontakan." Orochimaru mengibas sebelah lengannya, sejak dulu, ia tidak pernah suka dengan kegiatan yang bersifat destruktif. Orochimaru lebih menyukai bermain di belakang layar, memanfaatkan celah-celah dan informasi vital untuk mendapatkan apa yang dia inginkan, dan itulah kenapa ia memiliki julukan ular dari Konoha.

"Bagaimana cara kau merebut posisi Otokage disana tanpa pemberontakan ? Kau pikir mereka akan mau menurutimu begitu saja ?" tanya Kankuro skeptis.

Orochimaru hanya tertawa mendengar hal tersebut. "Hal itu akan diketahui ketika waktunya datang kelak."

Kankuro menghela nafasnya sambil bersender di punggung kursi yang ketika itu juga entah kenapa terasa sangat empuk. "Tapi selama Yashamaru bisa dihancurkan... aku yakin kau bisa mengandalkan keikutsertaan Gaara dalam permainan kecilmu ini..."

Orochimaru mengangguk sambil sekali lagi mengangkat gagang cangkir teh dihadapannya. Satu hal yang ketika itu ia simpan untuk dirinya sendiri. Yashamaru sebenarnya mendapat izin investasi dari Otokage juga tidak lain adalah berkat Orochimaru, sejak semula ia sengaja memperkuat posisi Yashamaru baik di Oto dan Suna, agar kelak Gaara mau diajak bekerja sama oleh Orochimaru. "Kalau begitu mari kita bersulang untuk permainan kecil kita."


The Demon in His Heart


Suatu tempat di Konoha...

Dengan susah payah, Kiba berusaha membuka kedua matanya yang terasa sangat berat, apa yang terjadi dengannya ? Kenapa ia berada dalam keadaan seperti ini ? Begitu banyak pertanyaan tiba-tiba muncul di kepalanya, namun tepat ketika hendak sekali lagi memaksakan kedua matanya untuk terbuka, tiba-tiba Kiba merasa seperti isi didalam tengkoraknya ditusuk oleh sebuah benda yang sangat tajam.

"Ahk !" Pemuda Inuzuka itu mengerang kesakitan sambil secara refleks memegangi kepalanya dengan sebelah tangan.

"Bagus, kau sudah bangun." Sebuah suara tiba-tiba terdengar di telinga Kiba, seketika itu juga pandangannya yang buram perlahan kembali pada fokusnya, dan Kiba dapat melihat seorang pemuda berambut hitam, bermata tajam dan berkulit pucat sedang balik memandang kearah dirinya sambil berdiri.

"Sa-Sasuke ?"

"Bangunlah, kita memiliki banyak pekerjaan sekarang."

"Pekerjaan ?" Kiba mengerutkan kening sambil menunggu Sasuke untuk menjelaskan maksud perkataannya. Ketika pemuda dihadapannya itu hanya diam, barulah ia kemudian memperhatikan kearah sekitarnya untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya.

"Kau dapat mengingat sesuatu ?"

"Entahlah, kepalaku sakit sekali..." Pemuda itu berusaha untuk duduk di atas tempat ia sekarang sedang berbaring, namun setiap gerakan yang ia buat menambah rasa sakit di kepalanya, "Ahk ! Brengsek, sakit sekali kepalaku !" lanjutnya kesal.

"Ini minumlah..." ujar Sasuke sambil menyodorkan sebotol air mineral kearah teman Inuzuka-nya tersebut.

"Ah, ya..." Kiba tanpa menunda-nunda lagi, merenggut botol tersebut dari tangan Sasuke dan meneguk seluruh isinya dengan cepat. "Hahhh... whoa... tenggorokanku benar-benar kering, apa yang terjadi sebenarnya Sasuke ?"

Sasuke menatap kearah Kiba, ia tidak ingin membuat rekannya tersebut terlalu terkejut dalam kondisinya yang seperti ini. "Kau ada di salah satu penginapan."

"Hah ?"

"Kau tidak benar-benar tidak ingat ?"

Kiba terdiam untuk sesaat, pikirannya mencoba untuk mengingat-ingat kejadian yang telah dialaminya. "Entahlah aku..." keningnya berkerut, matanya terpejam, kepalanya menunduk, lalu setelah kira-kira lima atau sepuluh detik kemudian, Kiba menghentakkan lehernya kearah Sasuke.

"Na-Naruto !?"

Sasuke mengangguk pelan. "Dia sudah tahu."

"Hmm ? Oh, ini bukan hadiah tapi peringatan."

Kiba seolah mendengar suara Naruto seketika itu juga, tubuhnya bergetar, rasa takutnya mulai merambah ke seluruh tubuh pemuda berambut hitam itu, keringat dinginnya mengalir membasahi tubuhnya. "Na-Naruto... di-dia..." suara Kiba terdengar seperti orang yang baru saja melihat hantu, wajahnya kelihatan semakin pucat dan semakin terasa dingin, "Sa-Sasuke... di-dia..." sebelah tangan Kiba meraih jaket yang dikenakan oleh teman Uchiha-nya, ia menatap ke arah Sasuke dengan iba, seolah merengek, mengemis dan meminta pada pemuda tersebut bahwa apa yang dia alami tadi bukanlah sesuatu yang benar-benar nyata.

"Sudah kubilang Kiba... aku bermain adil. Kau merenggut ibuku, maka aku juga merenggut ibumu. Itu adalah jari manisnya, kupotong langsung setelah urat nadi dilehernya putus."

"Sasuke ! Katakan sesuatu !" Kiba menghardik, genggaman tangannya mencengram jaket Sasuke lebih keras lagi. "SASUKE ! KATAKAN SESUATU !"

Sasuke menundukkan kepala dengan mata yang terpejam. "Maafkan aku... Tsume-san... dia sudah..."

"BANGSAT !" Kiba seketika itu juga berusaha bangkit dan menerjang Sasuke, tapi gegar di kepalanya membuat pemuda Inuzuka tersebut seketika itu juga kehilangan tenaganya. "LAKUKAN SESUATU ! LAKUKAN SESUATU BRENGSEK !" sambil menumpu berat tubuhnya dengan genggaman tangan pada jaket yang dikenakan oleh Sasuke, Kiba terus menerus berteriak, air matanya mengalir deras, perasaannya bercampur, membuat Kiba semakin sulit untuk mengendalikan dirinya.

"Maafkan aku Kiba, ini benar-benar diluar dugaan..."

"Diluar dugaan !? DILUAR DUGAAN KATAMU ! ANJING ! DIA MEMBUNUH IBUKU !" Sekuat tenaga Kiba mendorong tubuh Sasuke, membuat pemuda Uchiha itu mundur beberapa langkah, sekaligus membuatnya kehilangan tumpuan sehingga kini tubuh Kiba tergeletak di lantai kayu hotel tempatnya berada.

"Ini ulah Naruto Kiba, jika kau ingin marah maka arahkan kemarahanmu padanya."

"Tidak... maksudku, tentu saja, tapi aku harus kembali, aku harus kembali ke rumah terlebih dahulu..." Kiba, sambil bergumam pada dirinya sendiri, menjambaki rambut di kepalanya. Sekarang ini ia harus pulang, ia harus melihatnya sendiri, ia harus mencari tahu tentang ibunya, lalu ketika kembali teringat akan sosok Tsume, tiba-tiba tubuhnya bergetar semakin kuat lagi, "kaa-sama... kaa-sama... BANGSAT NARUTO !"

Pada dasarnya, Kiba mungkin memang seorang pemuda yang liar. Tidak pernah sebelumnya ia diperkenalkan dengan kebaikan dan keburukan, selama bertahun-tahun ia hidup di jalanan, mencari makan, tidur, dan bahkan mencari perlindungannya di tempat paling liar tersebut. Jika ada seseorang yang mengubah dirinya maka orang itu mungkin Kushina, tapi itu pun tidak lama, karena pada dasarnya perasaan sayang terhadap Kushina ditutupi oleh nafsu seksnya, memang ironis mengetahui bocah sekecil Kiba sudah tahu tentang seks, tapi ketika itu dia benar-benar hidup di jalan.

Lantas kepergian Kushina dan perhatiannya terhadap Naruto membuat Kiba melahirkan rasa benci dan rasa ketidak percayaan. Baginya Kushina telah menghianati dirinya, dan suatu saat nanti ia bersumpah bahwa ia akan membalas semuanya dengan menikmati tubuh wanita tersebut. Barulah setelah dua tahun kemudian seorang wanita lain bernama Tsume mengadopsi Kiba, pemuda itu kemudian belajar tentang kesetiaan dan keluarga.

Inuzuka memang bukan sebuah keluarga yang bersih, oh tidak. Mereka memiliki banyak bisnis gelap dimana-mana, bahkan Tsume sendiri walaupun terkesan ceria dan eksentrik sebenarnya terlibat dalam perdagangan manusia, dan merupakan pemilik rumah pelacuran terbesar di Konoha. Sejak awal Kiba diadopsi oleh Tsume, wanita itu tidak pernah mencoba menyembunyikan bisnisnya dari sang anak angkat. Memang sejak awal Tsume mengadopsi Kiba adalah dengan tujuan untuk mempertahankan harta Inuzuka agar tidak jatuh ke tangan saudara jauhnya, sepeninggal sang suami, tapi diluar semua itu, Tsume juga menjadi seorang ibu yang sangat baik bagi seorang Kiba.

Kesetiaan adalah salah satu pelajaran berharga yang diturunkan oleh Tsume pada Kiba, kesetiaan pada keluarga dan tentunya nama besar Inuzuka. Dari seorang Tsume juga Kiba mulai bisa merasakan kasih sayang seorang ibu yang murni, ketegasan, kekerasan, serta perhatian dari wanita Inuzuka tersebut, pada akhirnya melelehkan hati Kiba yang beku. Dan Kiba seumur hidupnya tidak pernah benar-benar merasakan perasaan bersyukur yang begitu besar seperti ketika Tsume meletakkan nama Inuzuka dibelakang namanya sendiri.

Tapi sekarang semuanya sudah hilang, semuanya direnggut dengan paksa oleh seseorang yang keberadaannya begitu dibenci oleh Kiba. Seseorang yang paling ia ingin sakiti dan ia hancurkan di dunia ini, seorang pemuda berambut pirang, bermata biru, bernama Uzumaki Naruto.

"Aku akan membunuhnya... aku harus membunuhnya... Sasuke katakan padaku dimana dia, dimana si bangsat itu, aku akan membunuhnya dengan tanganku sendiri ! SASUKE KATAKAN PADAKU !" Kiba berteriak dengan segenap kekuatan di tenggorokannya, namun pemuda Uchiha dihadapannya hanya menggeleng.

"Tidak semudah itu..."

"DIA BARU SAJA MENGHABISI IBUKU ! DIA MEMBERIKANKU... DI-DIA !" Kiba seketika itu juga melepas tangannya dari Sasuke dan merangkak ke sisi ruangan sebelum akhirnya ia memuntahkan seluruh isi perutnya disana. Masih teringat jelas di kepalanya, potongan jari sang ibu yang dilumuri oleh darah kering. "Dia membunuh kaa-sama... Sasuke... Kami... apa yang harus kulakukan..." tangisnya pecah, tubuhnya kini terbaring, ia sudah kehilangan kekuatannya, seluruh kekuatannya.

"Aku tidak mengetahui dia ada dimana, sejak siang tadi aku sudah memerintahkan orang untuk membuntutinya, tapi mereka kehilangan jejak Naruto... sejak... sejak kejadian Mikoto..."

"Ke-kenapa dengan sensei ?" Kiba masih menyebut Mikoto dengan sebutan sensei.

Sasuke menarik nafas dari hidungnya sambil menoleh ke samping. "Entahlah, kurasa si brengsek itu juga terlibat dengan hilangnya Mikoto."

"Hilang ?" Kiba berusaha bangkit, ia menumpu sebagian berat tubuhnya dengan sebelah tangan sebelum akhirnya menemukan posisi yang pas untuk duduk di permukaan lantai sambil menyenderkan tubuhnya pada dinding kamar.

"Ya, ada kelompok yang menyerang konvoi Uchiha tadi siang... mereka bersenjata, aku sebenarnya tidak tahu apakah si brengsek itu terlibat atau tidak, tapi dengan... apa yang terjadi pada Tsume-san... aku rasa ini saling berkaitan."

"Dia tidak sendiri, aku ingat ada seseorang yang membantunya... dia yang..." seketika itu juga tiba-tiba Kiba teringat akan Mizuki. "Bangsat ! Mizuki ! Dia menghabisi Mizuki di depan mataku !"

"Aku yang membawamu kesini dari bar milik Mizuki... apa yang sebenarnya terjadi disana ? Mizuki... aku melihat luka tembakan tepat di kepalanya."

"Ceritanya panjang..." jawab Kiba sambil memegangi keningnya dengan kedua tangan.

Sasuke menghela nafasnya. "Baiklah kalau begitu, sebaiknya kau jenguk dulu kakakmu di rumah sakit."

"Nee-san !?" Kedua mata Kiba terbuka lebar, sekali lagi tubuhnya bergetar hebat.

"Tenanglah, dari kabar yang kudapatkan Hana-san hanya mengalami sedikit luka."

Seketika itu juga Kiba berusaha berdiri, ia menggunakan tembok sebagai tumpuan agar tidak terjatuh sebelum akhirnya kedua kaki pemuda Inuzuka tersebut mendapatkan kembali kekuatannya. "Kami... jika sampai terjadi sesuatu pada nee-san..."

"Sekarang masalahmu hanya satu."

Kiba menggulirkan matanya kearah Sasuke dengan tanya.

"Polisi, mereka akan meminta keterangan darimu."

"Aku akan katakan pada polisi semuanya."

"Tidak semudah itu Kiba." Sasuke menggelengkan kepalanya.

Kiba mengerutkan kening. "Maksudmu ?"

"Hhhh... baiklah, kau dengarkan dulu kata-kataku..."


The Demon in His Heart


Sudut pelabuhan Konoha, salah satu markas rahasia Orochimaru...

Ketika waktu menginjak tepat tengah malam, keadaan di pelabuhan Konoha benar-benar sudah sangat sunyi. Naruto sudah lama sekali tidak berada di daerah ini, terakhir kali ia disini adalah ketika ia berurusan dengan Orochimaru, sedangkan situasi pelabuhan dalam dua tahun terakhiri ni sudah cukup berubah. Jika dulu daerah sudut pelabuhan tempat Naruto sekarang ini berada biasanya sangat gelap dan sepi, sekarang situasinya sudah sangat berbeda. Deretan lampu berbaris rapih di berbagai sudut, masing-masing mungkin hanya berjarak sepuluh sampai lima belas meter, dan jumlah mereka sangat banyak sehingga tidak ada ruang gelap sedikit pun yang nampak di hampir seluruh bagian pelabuhan.

Beberapa petugas keamanan sendiri terlihat sedang berpatroli, sebagian berjalan kaki, sebagian dengan kendaraan khusus mereka. Tapi tidak satu pun dari mereka yang mengganggu Naruto ketika itu, seluruh isi pelabuhan sudah tahu untuk tidak pernah berurusan dengan Orochimaru, dan tadi ketika Gaara masuk ke wilayah pelabuhan, salah satu penjaganya telah mengkonfirmasi pada seluruh petugas keamanan pelabuhan bahwa Gaara dan Naruto memang adalah tamu yang ditunggu oleh Orochimaru.

Namun tetntunya tidak semua yang ada di pelabuhan tersebut diperbaharui. Beberapa gudang tua, tepatnya di wilayah yang di diami oleh Orochimaru, masih terlihat dalam keadaan tidak terurus. Mereka sebenarnya dulu berfungsi sebagai gudang penyimpanan kontainer, tapi dengan diciptakannya kompleks gudang yang baru, wilayah ini sekarang hampir dalam keadaan terbengkalai.

Diantara gudang-gudang tersebut, tepatnya di sudut paling dalam dan paling sulit dijangkau, berdiri sebuah gudang usang yang secara fisik memang sudah tidak lagi kelihatan operasional. Ironisnya, justru gudang tersebutlah yang sejak dulu digunakan oleh Orochimaru untuk melakukan kegiatan-kegiatan ilegalnya.

"Sedikit mengingatkanmu pada masa lalu ?" dari balik kemudi kendaraannya Gaara melirik kearah Naruto, sejak tadi sahabat pirangnya itu seolah enggan untuk berbicara dan kadang juga terlihat waspada dengan keberadaannya, sesuatu yang benar-benar membuat Gaara merasa agak sakit hati, tapi tetap bisa memaklumi.

"Sedikit." jawab Naruto singkat. Dua tahun yang lalu hampir setiap dua hari dalam seminggu ia menghabiskan waktunya disini, entah untuk mengerjakan pekerjaan Orochimaru, atau untuk mengikuti pertarungan bawah tanah yang kadang diselenggarakan oleh pria seribu wajah tersebut.

Gaara hanya tersenyum, ia kemudian menghentikan kendaraannya tepat dihadapan gudang tua yang pintu utamanya ditunggui oleh dua orang pria dengan pakaian tradisional ala para pengikut Orochimaru. "Baiklah, kita sudah sampai." ujarnya sambil menekan gas kendaraannya yang ketika itu sedang berada dalam keadaan netral, kemudian mematikannya. "Hahh.. hari yang melelahkan..." lanjut Gaara sambil membuka sabuk pengaman yang melilit tubuhnya.

Ketika Naruto melangkah keluar, ia melihat salah satu dari pria yang menjaga pintu tadi mendekati mereka. Pria tersebut tersenyum kearah Gaara. "Ah, Gaara-san dan... Na-Naruto-san ?"

Naruto mengangguk sambil memaksa untuk tersenyum, ia tidak mengingat pria ini, tapi tetap berusaha untuk terlihat sopan, lagipula dulu reputasinya di kalangan tukang pukul Orochimaru cukup dikagumi sehingga banyak dari mereka yang begitu hormat pada pemuda tersebut.

"Orochimaru menunggu kami, bisa kau sampaikan bahwa aku sudah datang ?" Gaara meminta pada pria tersebut. "Dan kau tidak perlu menggiring kami kesana, aku sudah tahu ruang kerja Orochimaru, begitupula dengan dia." tambahnya sambil menunjuk kearah Naruto yang sedang berdiri tepat di belakangnya.

"Tentu saja Gaara-san, err.. Naruto-san, Orochimaru-sama sudah memerintahkanku untuk mempersilahkan kalian untuk langsung masuk." Ujar salah satu dari pria tersebut sambil membukakan membawa mereka ke dekat pintu. Beberapa kali pria tersebut mencuri pandang kearah Naruto, entah dengan alasan apa, tapi dari wajahnya nampak kekaguman setiap kali matanya mengarah pada sosok pemuda berambut pirang tersebut.

"Silahkan masuk, aku akan terlebih dahulu memberitakan kedatangan kalian pada Orochimaru-sama." Ujar pria itu sekali lagi sebelum akhirnya ia terlebih dahulu pergi meninggalkan Naruto dan Gaara berdua di depan pintu utama.

Gaara menoleh kearah Naruto. "Tunggu apa lagi, ayo masuk."

"Hn."

Ruangan didalam gudang bagi Naruto masih terlihat sama dengan apa yang dulu dilihatnya, setelah dua tahun tidak terlalu banyak perubahan yang terjadi di tempat ini. Lantai utama digunakan sebagai tempat penyimpanan barang, di hari-hari tertentu bagian tengah lantai utama ini juga kadang dijadikan tempat untuk bertaruh, pertarungan gelap antar manusia kerap diadakan oleh Orochimaru, dan Naruto sendiri tidak sedikit mendapat uang dari kemenangan-kemenangannya disana.

Langkah pemuda berambut pirang itu kemudian berhenti ketika ia mendekati tangga utama yang berada didekat tempat penyimpanan kendaraan. "Gaara..." sahutnya sambil memperhatikan deretan kendaraan tersebut, sebagian milik anak buah Orochimaru, sebagian milik Orochimaru sendiri dan sisanya biasa digunakan untuk pekerjaan operasional.

"Hmm ?" Gaara menolehkan kepalanya.

"Kenapa motorku ada disini ?"

Gaara mengikuti pandangan Naruto dan melihat motor sports-nya terparkir di salah satu sudut ruangan. "Bukankah kau sendiri yang minta agar motormu diantar tadi ? Aku menyuruh anak buahku untuk membawa kesini."

"Maksudku antar kerumahku..."

"Ke rumahmu ?" Gaara kedengaran tidak setuju, "lalu jika di rumahmu ada polisi anak buahku harus bilang apa ?"

"Tadi tidak ada polisi." ujar Naruto datar.

"Aku tidak mau ambil resiko... tadi kita beruntung karena tidak ada polisi, kau sendiri yang bilang bahwa identitasmu mungkin sudah diketahui kan ?"

Naruto menghela nafasnya, walaupun memang tadi tidak ada polisi di rumahnya, tapi tindakan Gaara untuk berjaga-jaga tidak dapat disalahkan. "Tck, ya sudahlah... nanti kupikirkan lagi." ia kemudian melanjutkan langkahnya.

Gaara hanya mengangkat bahunya, tidak tahu harus bereaksi seperti apa lagi. Setelah itu keduanya melanjutkan langkah mengikuti tangga yang menuntun mereka pada kubik raksasa yang menempel di salah satu dinding gudang. Kubik berlapis besi tersebut merupakan sebuah bangunan khusus yang didirikan untuk Orochimaru melakukan aktifitasnya. Bisa dikatakan seperti sebuah bangunan dalam bangunan.

Ketika sudah berada dekat dengan ruang kerja Orochimaru, Gaara dan Naruto dapat melihat penjaga pintu gudang tadi kini sedang berjalan ke arah mereka. "Gaara-san, Naruto-san, Orochimaru-sama sudah menunggu anda didalam, silahkan langsung masuk saja."

"Hmm, terima kasih." Gaara membalas kata-kata pria tersebut dengan senyuman di wajahnya, ia kemudian menggulirkan bola matanya kearah Naruto dan memperhatikan sosok sahabat pirangnya itu dengan seksama. sebelum sampai tadi, untuk mencegah Mikoto histeris dengan kondisi Naruto, Gaara berhasil memaksa pemuda berambut pirang itu untuk membersihkan darah kering di sekitar wajah dan tubuhnya. Yah, walaupun lebam dan sobeknya masih terlihat, tapi setidaknya, penampilan Naruto tidak seburuk yang ia lihat tadi... buruk memang, tapi tidak seburuk itu.

"Kenapa ?" Naruto yang merasa risih dengan pengamatan Gaara kemudian bertanya.

Gaara mengangkat kedua bahunya. "Tidak apa-apa... kau sudah siap ?"

Naruto mengerutkan keningnya. "Siap bagaimana maksudmu ?"

Gaara tersenyum. "Lihat saja sendiri." ujar pemuda itu sambil kemudian membuka pintu menuju ruang kerja milik Orochimaru.

Sesaat setelah daun pintu dihadapannya terbuka, pandangan Naruto seketika itu juga mengarah pada sesosok pria bertubuh jangkung yang nampak sedang duduk di balik sebuah meja kerja raksasa yang dipenuhi oleh tumpukan berkas dan dokumen. Naruto tidak bisa melupakan sosok tersebut, sosok seorang pria yang dikenalnya kurang lebih dua tahun yang lalu, Orochimaru.

Tidak ada banyak perubahan dari sosok tersebut, Orochimaru masih kelihatan sama seperti dulu, aura kengerian masih terpancar dari sosoknya, wajah yang pucat, surai hitam panjang yang bahkan mencapai ke pinggang, sorot matanya yang menyerupai seekor ular dan bahkan senyuman di bibir pria tersebut yang masih seolah menunjukkan bahwa semua berjalan sesuai dengan keinginannya.

"Ah, Naruto..." Suara Orochimaru masih terdengar sama, masih memiliki sedikit kesan serak yang entah kenapa justru menciptakan kesan misterius baginya. Jantung Naruto berdegup ketika ia melihat pria berwajah pucat itu kemudian menyorot kearahnya, hal seperti ini selalu terjadi, pria paruh baya itu sejak dulu selalu bisa membuat Naruto merasa tidak aman, seperti seolah ia tidak bisa bersembunyi darinya. Lalu ketika Orochimaru tersenyum lebar, menciptakan garis yang membelah wajahnya mejadi dua, Naruto secara refleks menahan nafasnya untuk sejenak. Sejak dulu ia mengenal senyuman tersebut, senyum kemenangan dari seekor binatang liar dihadapan mangsanya.

"Orochimaru." Naruto mengucapkan nama pria tersebut sambil menganggukan kepalanya, berusaha tetap terlihat tenang karena pria berwajah pucat dihadapannya ini dapat mencium ketakutan seperti seekor hiu di laut yang bisa menghirup aroma darah segar.

"Dan Gaara... kalian berdua akhirnya sampai, aku sudah menunggu kalian sejak tadi. Silahkan, duduklah..." Orochimaru kemudian menunjuk kearah dua kursi busa yang sudah disiapkan di hadapan meja kerjanya, sebelum akhirnya ia sendiri kembali duduk.

Naruto tidak membuang waktunya, diikuti oleh Gaara, pemuda berambut pirang itu kemudian berjalan ke salah satu kursi yang sudah disiapkan tersebut dan kemudian duduk disana, sedangkan Gaara yang berjalan satu langkah dibelakangnya tadi, kini duduk di kursi yang satu lagi. "Kenapa ?" Gaara yang melihat Naruto mengedipkan mata ketika ia sedang mengatur posisi duduknya bertanya.

"Tidak apa, bahuku... sedikit sakit." Balas Naruto sambil memijat bahu kirinya sejenak.

"Ah, kau baik-baik saja Naruto ?" Orochimaru memperhatikan kondisi pemuda dihadapannya, ekspresi wajahnya mengatakan bahwa ia peduli tapi Naruto tahu bahwa hal tersebut adalah bualan semata. Bukan karena kebetulan seorang Orochimaru memiliki julukan sebagai pria seribu wajah.

Naruto memandangi tubuhnya sendiri yang dipenuhi oleh luka lebam serta darah yang sudah mengering sebelum kembali menatap kearah Orochimaru, ia masih bisa merasakan sakit di beberapa titik pada tubuhnya, tapi secara keseluruhan, apa yang dirasakan pemuda berambut pirang itu tidaklah seburuk kelihatannya.

"Menurutmu ?"

Orochimaru tersenyum. "Ah, maaf. Tentu kau tidak baik-baik saja, tapi tenanglah aku sudah mempersiapkannya. Kimimaro beberapa waktu yang lalu sudah berangkat untuk menjemput Kabuto, dia bisa memeriksamu nanti ketika sudah datang." Ujar Orochimaru sambil menarik lengannya kembali.

Naruto masih ingat dengan Kimimaro, dulu ketika ia bekerja pada Orochimaru, Kimimaro mungkin adalah satu-satunya orang yang dianggap olehnya sebagai teman, walau agak pendiam, pemuda berkulit pucat itu selalu santun terhadap Naruto, sesuatu yang tentunya sangat langka dalam dunia yang ketika itu ia geluti bersama Orochimaru. Tapi untuk sekarang Naruto tidak membutuhkan perhatian dari siapapun, pemuda berambut pirang itu mengibas sebelah tangannya pada Orochimaru, hal terakhir yang ingin ia lakukan adalah memeriksa lukanya sendiri. "Tidak perlu, aku datang kesini bukan untuk itu."

"Ah, tapi aku memaksa Naruto." Orochimaru mengatakan hal tersebut sambil tersenyum, senyum yang sama sekali tidak menyisakan ruang untuk penolakan.

"Ayolah Naruto, tidak ada salahnya kau memeriksa keadaan tubuhmu." Ujar Gaara sambil menepuk bahu sahabatnya.

Naruto melirik kearah Gaara, merasa tidak nyaman dengan sentuhan pemuda tersebut yang tepat mengenai cederanya, tapi pemuda berambut pirang itu memlih untuk tidak begitu menghiraukan hal tersebut setelah ia melihat Gaara tersenyum kearahnya. "Hn, baiklah... tapi kita bisa bicara dulu sementara Kabuto belum kesini kan ?" ia kemudian mengembalikan pandangannya kearah Orochimaru.

"Tentu saja, kecuali jika kau ingin menyantap makan malam, aku bisa mengaturnya untukmu, untuk kalian berdua..."

"Orochimaru... aku tidak kesini untuk berbasa-basi, aku kesini untuk bicara denganmu." Ujar Naruto, nada bicaranya terdengar datar, tapi sorot mata yang terpancar darinya, mengisyaratkan bahwa pemuda tersebut sedang tidak ingin main-main.

"Baiklah... maafkan aku, aku hanya ingin membuatmu merasa nyaman Naruto." Orochimaru menganggukan kepalanya.

"Aku akan lebih merasa nyaman jika kita dapat menyelesaikan pemberbicaraan ini."

"Tentu saja, dan sejujurnya aku sendiri memang sudah sejak tadi menunggumu."

Naruto mengangkat sebelah alisnya. "Menungguku bicara ?"

"Bukan hanya itu, ada beberapa hal yang harus kusampaikan juga padamu... mengenai posisimu dan situasimu sekarang ini."

Gaara memutuskan untuk terlebih dahulu tidak ikut campur, Orochimaru memang mau atau tidak harus membuka semuanya dihadapan Naruto. Dan ada sedikit perasaan takut juga dalam dirinya ketika kelak Naruto mendengar hal-hal yang mungkin agak membuatnya merasa tidak nyaman. Beruntung saat ini Mikoto sedang tidak ada disini, Gaara tidak tahu dimana kakaknya dan wanita berambut hitam itu kini berada, tapi dimana pun mereka, itu lebih baik daripada disini.

Naruto menyenderkan tubuhnya pada punggung kursi, pandangannya masih mengunci kearah Orochimaru. "Kalau begitu bicaralah..." ujarnya pelan.

"Baiklah, pertama aku ingin mengatakan bahwa aku minta maaf atas hal yang terjadi padamu... tentang Kushina-sama dan Kiba. Aku mengetahui ada sesuatu yang terjadi diantara mereka sejak satu minggu lalu, sejak semuanya dimulai."

Naruto mengangkat alis matanya. "Satu minggu ?"

Orochimaru mengangguk. "Semuanya berawal sejak seminggu yang lalu. Naruto, katakan padaku... apa yang terjadi pada Kushina-sama seminggu yang lalu ?"

Naruto mengerutkan keningnya, mencoba mengingat lagi peristiwa yang terjadi padanya satu minggu yang lalu. Lalu seketika ia memejamkan matanya, ia mengingat peristiwa yang terjadi diantara dirinya dan sang ibu seminggu yang lalu, ketika sang ibu hampir mengajaknya bercinta dalam keadaan mabuk.

Mabuk ?

"Kaa-chan... dia pulang dalam keadaan mabuk..." ujar Naruto.

Sekali lagi Orochimaru menganggukan kepalanya. "Kau tahu kemana Kushina-sama pergi malam itu ?"

Nafas Naruto terasa semakin pendek, membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan ibunya membuat dada pemuda itu terasa sesak. "Mikoto... Miko-nee sengaja mengajak kaa-chan untuk pergi karena dalam beberapa bulan terakhir ini kaa-chan terlihat sedikit... entahlah, kelelahan, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya."

"Mikoto-sama ketika itu mengajak Kushina-sama ke klub malamku."

"..." Naruto memicingkan kedua matanya, namun ia memutuskan untuk diam dan mendengar penjelasan lebih lanjut dari Orochimaru.

Melihat reaksi Naruto, Orochimaru sudah bisa menebak bahwa pembicaraan ini tidak akan berjalan mulus. Rasa tidak suka pemuda bermata biru dihadapannya ini terhadap sang pewaris Uchiha memang bukanlah sesuatu yang ditutup-tutupi, dan pria paruh baya itu yakin bahwa keterlibatan Sasuke dalam hal ini kemungkinan besar akan memperburuk suasana hati seorang Naruto. Orochimaru kemudian menghirup udara di sekitarnya, mempersiapkan diri untuk hal terburuk yang akan terjadi selanjutnya. "Disanalah mereka bertemu dengan Kiba dan Sasuke."

"Sasuke ?" Naruto merasa heran, apa sangkut paut pemuda itu dengan sang ibu ? lalu jika ibunya memang bertemu dengan Kiba bersama Mikoto, apakah itu berarti Mikoto juga tahu tentang hubungan mereka berdua. Tidak terasa sebelah tangannya menggenggam sebuah benda yang ia simpan dibalik saku celananya. Sebuah patung rubah kecil yang sengaja ia bawa dari rumahnya, sebuah patung rubah yang bagi Naruto memiliki arti penting dan menyimpan banyak kenangan tentang seseorang.

Orochimaru mengangguk ringan sebelum kemudian bertanya. "Kau tentu tahu apa yang terjadi pada Mikoto-sama tadi siang bukan ?"

Seketika itu juga Naruto mengeraskan rahangnya. "Miko-nee... dia kembali pada keluarganya."

Seperti yang sudah diduga oleh Orochimaru, Naruto belum mendengar perkembangan berita tentang Mikoto. Tentu saja hal ini menjadi bagus, karena di lain sisi ia juga ingin melihat bagaimana reaksi Naruto ketika mengetahui bahwa wanita Uchiha itu sekarang ini berada dalam bangunan yang sama dengannya. "Tidak, kau tidak perlu khawatir... Mikoto-sama sekarang ada disini, untuk sementara waktu ini beliau aman dari kejaran Uchiha, aku bisa menjamin hal itu."

Mendengar bahwa Mikoto berada di tempat ini, Naruto secara refleks berdiri dari duduknya. "Apa !? Kau bilang Miko-nee ada disini !?"

Orochimaru tersenyum dalam hatinya, reaksi seperti ini adalah sesuatu yang memang benar-benar ia harapkan. Sambil mengangkat sebelah tangannya, memberikan sebuah gestur pada Naruto agar ia bisa menahan diri, pria berjuluk ular dari Konoha itu kemudian berkata."Tenanglah Naruto, dan tolong dengarkan dulu kata-kataku."

"Apa yang dia lakukan disini !?" Naruto tidak mempedulikan perkataan Orochimaru.

"Aku yang membawanya kemari." Gaara menjelaskan, membuat sahabat pirang yang berada di sebelahnya pada saat itu juga melempar pandangannya kearah pemuda Suna tersebut dan menatap tajam kearahnya.

"Apa yang kau lakukan pada Miko-nee !" Naruto mengucapkan kata tersebut dengan suara yang pelan, tapi di waktu yang bersamaan juga penuh dengan ancaman.

"Aku menyelamatkannya..."

Kening Naruto semakin berkerut, ia tidak puas dengan jawaban tersebut.

"Kami, percayalah Naruto, aku tidak bermaksud apa-apa selain menyelamatkannya !"

"Kau bahkan tidak mengenal Miko-nee !" hardik Naruto keras.

"Aku tidak perlu kenal padanya, yang kutahu adalah bagimu Mikoto-san adalah orang penting, dan alasan itu sudah cukup buatku untuk melakukan tindakan." Gaara menjelaskan.

Melihat situasi mendadak menjadi panas, Orochimaru lalu memutuskan untuk mengalihkan amarah Naruto dari Gaara pada dirinya sendiri. "Gaara mengatakan yang sebenarnya Naruto, akulah yang memintanya untuk melakukan hal tersebut... aku yang memberitahukan padanya tentang apa yang terjadi pada Mikoto-sama tadi siang, dan Gaara seketika itu juga menawarkan bantuannya untuk menyelamatkan Mikoto-sama." ujar pria tersebut, berharap agar Naruto tidak menekan Gaara lebih jauh lagi.

Namun tentunya tidak mudah untuk menenangkan perasaan Naruto, terutama ketika ada hal-hal yang berkaitan langsung dengan orang-orang disekitarnya. Pemuda berambut pirang itu lalu berpaling kearah Orochimaru, sorot matanya yang menusuk mengisyaratkan sebuah permusuhan diantara mereka. "Apa yang kau rencanakan pada Miko-nee ?"

Orochimaru menghela nafasnya, Naruto sejak dulu sudah mengetahui cara kerja pria tersebut, dan tentunya wajar jika tiba-tiba pemuda itu kemudian mempertanyakan maksud dari tindakannya menyelamatkan Mikoto. "Seseorang meminta padaku untuk menyelamatkan Mikoto... katakanlah klienku, aku dibayar untuk melakukan itu."

"Siapa ?"

Orochimaru memurungkan wajahnya, untuk hal yang satu ini ia tidak bisa mengatakan apa-apa. "Naruto, kau tahu aku tidak bisa membocorkannya padamu kan ?"

Naruto menggeram, ia tahu bahwa Orochimaru tidak bisa mengatakan identitas kliennya pada siapapun, hal tersebut adalah salah satu peraturan sakral yang selalu dijaga oleh pria berjuluk ular dari Konoha tersebut, namun di sisi lain, Naruto sendiri tidak bisa bersikap acuh ketika suatu hal yang memiliki potensi berbahaya seperti ini, kemudian berkaitan dengan seorang Mikoto. Kami, Mikoto adalah satu-satu orang yang tersisa di hatinya dan ia tidak akan membiarkan hal buruk apapun terjadi menimpa wanita tersebut.

Tapi sekuat apapun ia mencari alasan untuk membalas kata-kata Orochimaru, tetap Naruto merasa sulit untuk melakukannya. Kenapa ? Karena justru dialah yang merelakan kepergian Mikoto, justru ketidak berdayaannya lah yang membuat Naruto merasa bersalah dengan apa yang terjadi pada wanita tersebut. Tidak akan membiarkan hal buruk ? Jangan bercanda, apakah dengan membiarkan Mikoto pergi dengan Uchiha itu berarti Naruto melindunginya ? Justru bukankah itu membuatnya terlihat seperti seorang munafik ?

Karena itu Naruto hanya bisa melempar kembali tubuhnya ke atas kursi, sambil mengusap rambut pirangnya, ia berusaha untuk terus menahan rasa bersalahnya membanjir menguasai diri. "Katakan saja... tolong katakan padaku... apa yang sebenarnya terjadi pada Miko-nee..."

"Untuk sekarang Mikoto-sama baik-baik saja, kau bahkan bisa menemuinya setelah kita bicara nanti, jadi sekarang ini kau tidak perlu merasa cemas."

Perlahan bola mata biru Naruto bergulir kearah Orochimaru. "Lalu ? Kaitannya dengan masalah ini ?"

"Ah, mudah saja. Seminggu yang lalu di klub malamku, Mikoto-sama dan Kushina-sama bertemu dengan Sasuke dan Kiba... mereka yang sedang dalam keadaan mabuk, terlibat sebuah pembicaraan dengan kedua pemuda tersebut."

Perut Naruto terasa mual, membayangkan sang ibu dan Kiba bertemu di sebuah klub, ia tahu bahwa hal yang terjadi selanjutnya pastilah bukan sesuatu yang ia ingin ketahui. "Apa yang terjadi ?"

"Kiba dan Sasuke... mereka menggunakan obat perangsang pada Kushina-sama dan Mikoto-sama."

"..."

"Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi setelah itu memang dapat terlihat perubahan yang terjadi pada Mikoto-sama dan Kushina-sama, mereka seperti mabuk dan tenggelam dalam efek euforia yang dihasilkan oleh obat perangsang tersebut... setelah itu mereka... bersenang-senang, menari-nari layaknya tidak peduli dengan suasana di sekitar mereka."

Naruto masih membungkam mulutnya, tapi Orochimaru jelas sekali melihat perubahan pada ekspresi pemuda tersebut. Rahangnya semakin mengeras, sorot matanya semakin tajam, semakin dipenuhi oleh kebencian. "Jadi maksudmu mereka menari bersama karena keinginan mereka sendiri ?"

Mendengar pertanyaan seperti itu, Orochimaru hanya bisa menghela nafasnya sendiri. Memang mengatakan bahwa tindakan Mikoto dan Kushina ketika itu adalah sesuatu yang terjadi karena paksaan tentunya tidak benar, tapi mengatakan bahwa mereka melakukan itu dengan kesadaran mereka sendiri pun tidak sepenuhnya benar. Setelah terdiak untuk beberapa saat, pria berjuluk ular dari Konoha itu kemudian berkata. "Naruto, mereka ketika itu sedang berada dibawah pengaruh obat."

"Bangsat !" Gaara tidak bisa menahan emosinya mendengar apa yang dilakukan oleh kedua pemuda bejat tersebut, jika hal itu sampai menimpa ibunya sendiri entah apa yang akan dirasakan olehnya.

Naruto ketika itu sudah tidak peduli lagi jika ibunya bahkan melakukan hubungan seks dengan Kiba di tempat itu juga, tapi membayangkan Mikoto dan Sasuke adalah sesuatu yang lain baginya, entah kenapa tapi ketika Naruto membayangkan hal tersebut, emosinya yang sejak tadi sudah bisa ia kendalikan seketika itu juga kembali terasa menguasai diri pemuda tersebut.

Sambil terus berusaha mengatur kendali akan dirinya, Naruto kemudian berkata. "Lalu apa yang terjadi setelah itu ?"

"Tidak ada, mereka semua kembali ke rumah masing-masing..."

Naruto tidak bisa menahan tawanya ketika mendengar Orochimaru berbicara seperti itu, pulang ke rumahnya setelah menari-nari dibawah pengaruh alkohol dan obat perangsang rasanya terlalu mengada-ada. "Kau tidak perlu menjaga perasaanku, katakan saja yang sebenarnya." ujar Naruto sambil tersenyum sinis.

Orochimaru mengangkat sebelah tangannya kearah Naruto. "Aku bersumpah, aku sendiri yang mengutus orang untuk mengikuti mereka... aku tidak ingin terjadi sesuatu pada keduanya hanya karena aku lalai melakukan pemeriksaan pada Sasuke atau Kiba sebelum mereka masuk ke klub malamku, tapi kau benar... semua tidak berakhir di situ. Karena pada malam itu Kiba dan Sasuke secara diam-diam merekam tarian yang dilakukan oleh Kushina-sama dan Mikoto-sama dalam kondisi seperti itu."

Kedua telapak tangan Naruto mengepal kuat, ia tidak perlu bertanya lagi pada Orochimaru untuk mengetahui bahwa pasangan bejat itu kemudian melakukan sesuatu dengan rekaman yang mereka miliki. "Maksudmu... Kiba dan Sasuke kemudian menggunakan rekaman itu sebagai alat untuk pemerasan ?"

Orochimaru kemudian memiringkan sedikit kepalanya. "Kenapa kau pikir Mikoto-sama mau kembali pada keluarga Uchiha ?" pria berwajah pucat itu kemudian bertanya.

"Sasuke menggunakan rekaman itu untuk memerasnya ?"

Orochimaru mengangguk penuh keyakinan. "Kau benar."

Tapi Naruto tidak seketika itu juga percaya, karena menurutnya justru jadi terkesan aneh ketika Mikoto rela mengorbankan dirinya seperti itu, pemuda berambut pirang itu tahu bahwa Mikoto tidak mungkin mau menjadikan dirinya sendiri sebagai bahan pertukaran. "Aku tidak mempercayaimu..." ujar Naruto sambil menyilang kedua tangannya, "Sasuke atau Kiba mungkin bisa memeras Miko-nee dengan rekaman itu, tapi Miko-nee walau ia harus kehilangan pekerjaan dan reputasinya sekalipun, tetap ia tidak akan mengorbankan dirinya sampai harus kembali pada keluarga Uchiha... Kami, kau tahu apa yang akan mereka lakukan pada Miko-nee ? Kau tahu apa yang akan Sasuke lakukan padanya ?"

Orochimaru menarik nafasnya. "Kau... benar, Mikoto tidak peduli pada karir atau reputasinya, tapi ada sesuatu yang lebih penting dari kedua hal itu, sesuatu yang digunakan oleh Sasuke sehingga Mikoto-sama mau mengorbankan dirinya sendiri sampai ia dengan terpaksa tentunya, mau kembali pada keluarga Uchiha."

"Apa ?"

"Kau tentu saja."

Naruto mengerutkan keningnya lebih dalam lagi. "Aku ?"

Orochimaru menghela nafasnya sebelum kemudian berkata. "Sasuke bukan hanya memiliki rekaman Mikoto-sama dia juga memiliki rekaman Kushina-sama. Dan rekaman itu ia gunakan untuk mengancam Mikoto-sama, dia mengancam akan memberikanmu rekaman tersebut, rekaman ketika Kushina-sama menari-nari dihadapannya dan Kiba. Tentu saja karena Mikoto-sama peduli padamu, ia tidak ingin kau dibuat menderita dengan rekaman tersebut, karena itu kemudian Mikoto-sama melakukan perjanjian dengan Sasuke, rekaman itu akan dihapusnya jika beliau mau kembali pada keluarga Uchiha."

Untuk beberapa saat Naruto terdiam, kepalanya berusaha mencerna semua perkataan Orochimaru tentang Mikoto dan ibunya, lalu tiba-tiba pemuda berambut matahari itu menunduk, tubuhnya bergetar, bahunya bergerak naik turun, dan sebuah tawa yang nyaring pecah dari mulutnya. "Ahahahaha... ahahahah... apa maksudmu ? ahahahaha..."

Orochimaru dan Gaara tidak menemukan situasi yang dialami oleh Naruto lucu, tapi mereka dapat melihat ironi darinya. Karena ketika Mikoto sampai rela berkorban sejauh itu, Kushina dibelakang punggung putranya justru menjalin hubungan dengan Kiba.

"Lalu apa yang dilakukan oleh kaa-chan dan Kiba ? Ahahaha... kau jangan melawak Orochimaru, ini kedengaran konyol sekali !" ujar Naruto sambil berusaha menahan tawanya.

"Mikoto-sama tidak tahu tentang hubungan Kushina-sama dan Kiba." Orochimaru berusaha meyakinkan Naruto, tidak ingin sampai pemuda berambut pirang itu menyalahkannya sebagaimana ia menyalahkan ibunya yang terlibat suatu hubungan dengan Kiba.

"OMONG KOSONG !" Naruto kemudian menghardik keras sambil menghantam meja dihadapannya dengan kedua telapak tangannya. "Brengsek ! Sama saja... semua sama saja ! Kupikir Miko-nee berbeda... kupikir tadinya masih ada setidaknya satu orang saja yang peduli denganku... tapi bahkan Kami tidak mengizinkan hal itu terjadi padaku."

"Naruto..." Wajah Orochimaru berubah murung, seolah ia mengekspresikan perasaan simpati dalam dirinya terhadap Naruto.

"DIAM !" bentak pemuda berambut matahari tersebut. "Aku menitipkan kaa-chan pada Miko-nee bukan untuk bersenang-senang di tempat seperti itu !" lanjutnya penuh dengan emosi. "Dia menghancurkan kepercayaanku !"

"Naruto, kendalikan dulu emosimu, Mikoto-sama tidak pernah menduga hal seperti ini akan terjadi selanjutnya, kau tidak bisa menyalahkan dia."

"Kau pikir apa yang akan terjadi ? Dia mengajak ibuku ke klub malam ! Kau pikir mereka hanya akan mendengarkan lagu sambil menikmati lemonade dingin, dan setelah itu pulang ? Yang benar saja ! Seks, obat-obatan dan alkohol adalah sesuatu yang lumrah di tempat-tempat seperti itu ! Bangsat ! Aku tidak bisa menyalahkan Kiba dan Sasuke kalau memang begini adanya !"

Kata-kata tersebut mungkin terdengar agak frontal. Tapi ketika seseorang datang ke klub malam untuk mencari pasangan seks dan mabuk, tentu saja itu bukan sesuatu yang besar. Satu hal yang perlu diketahui tentang tempat-tempat seperti klub malam adalah bahwa hanya orang-orang yang mengincar kesenangan duniawi sajalah yang mendatangi tempat tersebut, hanya orang-orang yang tidak keberatan dengan alkhol, obat-obatan dan hubungan seks bebas sajalah yang kemudian akan memilih tempat seperti itu untuk bersenang-senang.

Lalu ketika Sasuke dan Kiba melihat sang ibu bersama Mikoto berada di tempat seperti itu, mungkin mereka berpikiran bahwa kedua wanita itu sengaja datang untuk hal-hal tersebut. Mungkin baik Mikoto atau sang ibu ketika itu memang benar-benar hanya berniat untuk melepaskan penat saja, tapi bodoh sekali jika mereka datang kesana lalu berharap bahwa tidak akan terjadi sesuatu yang mengarah pada seks menimpa mereka. Memang bukan hubungan seks secara langsung, tapi setidaknya ada daya tarik seks yang sangat besar diantara lawan jenis di tempat-tempat seperti itu. Lagipula klub malam mana yang hanya mengizinkan laki-laki saja didalamnya ? Tentu tidak ada, dan jika memang ada, pasti hanya sekelompok lelaki penyuka sesama jenis saja yang memenuhi tempat-tempat seperti itu.

Dengan pergi ke tempat seperti itu saja, Naruto benar-benar sangat kecewa pada Mikoto. Sama sekali ia tidak menyangka bahwa wanita yang dimatanya terlihat seperti dewi itu lantas dengan penuh kesadaran dirinya, mau pergi kesana, dan untuk memperburuk situasi, ia bahkan mengajak sang ibu untuk pergi kesana bersamanya.

Tapi mungkin ini yang terbaik baginya. Satu hal yang sekarang masih mengaitkan Naruto dengan Konoha adalah perasaann bersalahnya pada Mikoto. Kepergiannya siang tadi masih menyisakan rasa bersalah yang amat besar dalam diri seorang Naruto. Mengetahui bahwa ia tidak mampu melindungi wanita yang begitu disayanginya membuat pemuda itu membenci dirinya sendiri.

Tapi sekarang ? Sekarang ia sudah benar-benar sendiri, perasaan kecewanya terhadap Mikoto membuat Naruto semakin sadar bahwa ia memang sudah benar-benar sendiri. Dan itu berarti ia sudah tidak lagi terikat oleh rantai yang menghubungkan dirinya dengan kota terkutuk ini. Dengan begitu, tentunya semakin mudah bagi Naruto untuk meninggalkan tempat ini kan ?

Yah, inginnya mungkin begitu, tapi manusia tidak pernah bisa membohongi perasaannya sendiri tanpa menderita.

Sambil menghembuskan nafas keluar dari paru-parunya, Naruto menatap kearah Orochimaru, sebuah tatapan yang mengisyaratkan keteguhan, sebuah tatapan yang merefleksikan kesiapan dirinya. Masa bodoh dengan sakit di hatinya. jika memang ia harus merasakan sakit, maka ia sudah siap, jika ia harus melepaskan Mikoto untuk keluar dari masa lalunya, maka ia tidak akan segan untuk melakukannya.

Sekali lagi, masa bodoh dengan rasa sakit di hatinya.

"Sudahlah, aku tidak ingin membahas tentang kaa-chan atau Miko-nee..." ujar Naruto dengan suara yang terdengar sedikit pelan.

Terkejut mendengar hal tersebut, Orochimaru kemudian mengerutkan keningnya. "Apa yang akan kau lakukan pada Mikoto-sama ?"

"Tidak ada. Aku tidak peduli dengannya." Naruto berbohong.

Orochimaru terdiam, ia mengamati ekspresi wajah Naruto namun topeng datar yang dikenakan oleh pemuda tersebut begitu sempurna menutupi perasaannya. Mengenai kekecewaan Naruto memang sudah ia duga sebelumnya, namun ia tidak pernah berpikiran bahwa Naruto akan semudah itu melepaskan seorang Mikoto. Sekarang ketika justru hal seperti ini yang terjadi, itu berarti rencana untuk menitipkan wanita Uchiha itu pada Naruto akan sedikit terganggu.

"Tunggu dulu !" Gaara menghentikan perkataan Orochimaru, membuat pria berwajah pucat tersebut dan sahabat berambut pirangnya yang duduk di sebelah Gaara, seketika itu juga menoleh kearahnya.

Pemuda dari Suna ini masih sedikit tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Naruto mau begitu saja melepaskan Mikoto ? Sungguh sesuatu yang masuk akal tentunya, ia tidak pernah mengenal Mikoto sebelumnya tapi selama dua tahun ini ia juga selalu mendengar cerita tentang wanita tersebut dari Naruto. Dan tentu saja terdengar sangat jelas di telinga Gaara, bagaimana perasaan Naruto pada seorang Mikoto dari caranya bercerita tentang wanita tersebut. Sekarang ketika Naruto mengatakan bahwa ia tidak peduli, tentunya Gaara tidak bisa menerima hal itu dengan mudah. Kami, ia baru saja menghentikan serangkaian konvoi Uchiha demi menyelamatkan wanita tersebut !

Gaara lalu membersihkan tenggorokannya untuk beberapa sebelum akhirnya berkata. "Maksudmu usahaku tadi menyelamatkan Mikoto-san sia-sia ? Begitu ? Kau tidak peduli Naruto ?"

"Dia telah memilih jalannya, dan kau sendiri yang menyelamatkannya. Aku... aku tidak peduli." Ucap Naruto sambil menelan ludahnya sendiri.

"Jangan bercanda !" pemuda berambut maroon itu bangkit dari duduknya seraya mendorong jauh kursi yang berada di belakangnya. "Apa yang terjadi denganmu ? Siapa kau sebenarnya ?"

Naruto membalas tatapan dari Gaara, keduanya tidak bergeming, masing-masing menuangkan emosinya dari sorot mata mereka yang saling beradu. "Aku tidak mengerti maksudmu."

"Brengsek !" Sesaat setelah mendengar Naruto mengucapkan hal seperti itu, Gaara sambil mendengus penuh amarah lalu menarik kerah kemeja lawan bicaranya, memaksa pemuda bermata biru itu untuk berdiri dan saling berhadap-hadapan dengannya. "Naruto yang kukenal tidak akan mengabaikan orang-orang terpentingnya begitu saja !"

Tapi Naruto tidak sama sekali terintimidasi oleh pemuda dari Suna tersebut, dengan sorot matanya menusuk tajam tanpa mengisyaratkan perasaan takut, Naruto menggeram layaknya seekor serigala. "Naruto yang kau kenal sudah mati."

"Tenanglah, Gaara, Naruto..." Orochimaru yang kini sudah dalam keadaan berdiri berusaha untuk melerai keduanya, tapi sepasang sahabat ini sama sekali tidak menghiraukan keberadaan di sekitar mereka, dan hanya memusatkan perhatiannya pada satu sama lain.


The Demon in His Heart


Kediaman Uzumaki...

Mimpi buruk. Hari ini benar-benar terasa seperti mimpi buruk. Tidak ada kata yang bisa menjelaskan bagaimana buruknya hari yang dialami oleh Jiraiya sekarang ini, kecuali bahwa hari ini benar-benar terasa seperti mimpi buruk, mimpi yang terburuk. Kali ini ujian terbesarnya sebagai seorang polisi harus ia jalani, sumpahnya yang dahulu ia ucapkan ketika lencana berlambang daun hijau akhirnya bisa ia terima dengan penuh penghormatan dan kebanggaan, hari ini memberikan ujian terbesarnya.

Kesetiaan, sebuah kata yang terdengar sepele, tidak lebih dari sembilan huruf, tapi memiliki makna yang begitu dalam. Dan sekarang, kesetiaan seorang Jiraiya sedang diuji, dimanakah letak kesetiannya ? Apakah pada Konoha ? Atau pada orang-orang yang ia anggap sebagai keluarganya sendiri ?

Naruto, mengingat namanya Jiraiya seketika itu dibanjiri oleh perasaan frustasi. Detektif legendaris Konoha itu sadar bahwa apapun alasan Naruto untuk menghabisi Tsume, tetap saja pada akhirnya alasan tersebut tidak cukup untuk membuatnya selamat dari Jeratan hukum. Sedikit ironis memang, karena sejak tadi ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri, apa sebenarnya alasan Naruto melakukan hal tersebut ? Tapi sekali lagi, alasan apapun yang dimilikinya, tetap saja tidak akan bisa menyelamatkan pemuda berambut matahari tersebut.

"Kami... kenapa kau melakukan ini padaku." Jiraiya bergumam pada dirinya sendiri sambil menghentikan laju kendaraannya tepat di bawah pohon Sakura yang dulu ditanam di hari kelahiran Naruto.

Setelah turun dari kendaraan yang dipinjamkan oleh Kakashi sore tadi, ia kemudian memperhatikan keadaan rumah Naruto dari luar. Ada sesuatu yang berbeda dari biasanya, lampu di sekitar halaman yang seharusnya menyala sekarang dalam keadaan mati, seluruh jendela di lantai dua pun nampak gelap sekali, berbeda dengan jendela di lantai satu yang diterangi oleh lampu di dalamnya.

Refleks, Jiraiya mengeluarkan sepucuk senjata api kesayangannya dari balik jas yang ia kenakan. Dalam hatinya ia mengutuk diri sendiri, mana mungkin ia menggunakan senjata ini pada Naruto ! Tapi, instingnya sebagai seorang polisi tetap saja tidak mengizinkan Jiraiya untuk lengah. "Sialan ! Sialan kau Naruto !" ia menghardik pelan.

Jiraiya kemudian melangkah memasuki halaman utama rumah, selain keadaan halaman yang gelap, ia juga bisa melihat kendaraan Kushina terparkir di garasi luar, sesuatu yang sebelumnya sangat jarang terjadi. Setahu Jiraiya, memang Kushina sudah lama tidak memiliki aktifitas di luar setelah ia memutuskan untuk menitipkan perusahaannya pada Shizune, hal itu terjadi kurang lebih empat tahun yang lalu dengan alasan ia ingin meluangkan waktunya lebih banyak lagi untuk Naruto.

Sekarang ketika melihat kendaraan tersebut berada di garasi luar, tentunya secara tidak langsung Jiraiya dapat menyimpulkan bahwa Kushina memiliki sebuah aktifitas baru, hal itu juga terlihat dari kondisi kendaraan yang memperlihatkan bahwa siapapun pengendaranya, sudah menggunakan kendaraan tersebut secara rutin, setidaknya selama beberapa hari kebelakang ini. Tapi untuk sekarang itu tidak penting, sambil membuang pandangannya dari kendaraan tersebut, Jiraiya melanjutkan langkahnya menuju pintu masuk.

Mulanya, ketika Jiraiya berada di depan pintu masuk, ia tidak terlalu berharap bahwa keadaan pintu ketika itu tidak terkunci. Entah apa yang membuat pria paruh baya tersebut mencoba untuk membuka pintu tanpa terlebih dahulu mengetuk atau menekan tombol bel rumah. Betapa terkejutnya Jiraiya, ketika mendapati bahwa pintu tersebut terdorong masuk kedalam saat ia mencoba untuk membukanya.

"Apa-apaan ini..." Detektif legendaris tersebut mengerutkan keningnya, membiarkan pintu utama rumah dalam keadaan tidak terkunci di tengah malam seperti ini adalah sesuatu yang sangat berbahaya dan itu membuatnya merasa agak terganggu.

Tapi Jiraiya juga harus bersiap dengan kemungkinan-kemungkinan lain. Genggaman pria paruh bayat itu pada senjatanya semakin kuat, sementara kedua kakinya melangkah dengan lembut menyusuri lorong utama. Ke kiri dan ke kanan, bola matanya bergulir kearah sekitar lorong, melihat, memperhatikan, dan mencari sesuatu yang berbeda disana.

"Sochi..." sebuah suara tiba-tiba terdengar tidak jauh dari tempat Jiraiya berada.

"Kushina ?" Jiraiya memanggil, kesiagaannya seketika itu juga luntur digantikan oleh rasa cemas. Pria bersurai pucat itu kemudian tanpa membuang banyak waktu lagi, bergegas menuju ruang utama dimana suara tersebut terdengar semakin jelas.

"Sochi..."

Sekali lagi suara itu terdengar, pandangan Jiraiya sekilas mengitar ke seluruh ruangan untuk mencari si pemilik suara, sebelum akhirnya berhenti ketika secara samar warna merah yang khas, masuk dalam pengelihatannya.

"Kami ! Kushina ! Kushina !" Refleks, Jiraiya seketika itu juga memanggil nama wanita tersebut sambil dengan cekatan berjalan kearahnya, merasa cemas karena ia mendapati Kushina sedang terbaring di atas sofa dengan posisi sebelah tangannya jatuh ke lantai dalam posisi yang sedikit tidak lazim.

Perasaannya lalu menjadi lega ketika ia sadar bahwa Kushina hanya terlelap semata, mungkin karena kelelahan sehingga ia tidak sadar posisi tidurnya sampai seperti itu. Sambil menggelengkan kepala, ia mengusap keningnya sendiri yang basah oleh keringat dingin, sebelum akhirnya menghembuskan nafas panjang dari mulutnya. "Sialan Jiraiya... kau benar-benar terlalu mudah panik..." ia mengutuk dirinya sendiri.

"So... sochi..." Jiraiya mendengar lagi Kushina bergumam dalam tidurnya, ia hanya tersenyum kecil saja karena memang tahu bahwa wanita berambut merah ini begitu menyayangi Naruto bahkan mungkin lebih dari bagaimana dulu Minato menyayangi putranya. Tapi setelah beberapa saat memandangi istri sahabat lamanya tersebut, ia juga merasakan ada sesuatu yang tidak beres dengan Kushina. Wajah wanita itu terlihat sangat pucat, kedua matanya lebam seperti seseorang yang baru saja menangis keras, sedangkan pakaiannya sendiri dibasahi oleh keringat.

Tidak bisa disangkal lagi, sesuatu telah terjadi pada wanita tersebut.

Sadar bahwa ia tidak akan menemukan jawaban jika hanya berdiam diri, Jiraiya kemudian membungkukan tubuhnya dan memberikan tamparan kecil pada pipi Kushina sebagai usaha untuk membangunkan wanita tersebut. "Hei, Kushi-chan... bangunlah, Kushina..."

"So... sochi ?" Jiraya dapat melihat leher Kushina mulai bergerak perlahan.

"Kushi-chan, bangunlah, ini aku Jiraiya..." Ujar Jiraiya sambil sekali lagi menepuk sebelah wajah wanita tersebut dengan lembut.


The Demon in His Heart


Sudut pelabuhan Konoha, salah satu markas rahasia Orochimaru...

"Hei nona sabarlah sedikit !" Kankuro berusaha mengikuti langkah kaki Mikoto yang bergerak dengan cepat didepannya.

"Aku tidak punya waktu ! Kau tidak dengar ? Naru-chan sudah datang !" balas Mikoto tanpa menoleh kebelakang. Kedua kakinya terus menapak permukaan tangga yang terbuat dari logam.

"Well, dia tidak akan kemana-mana kan ? Lagipula kau mengenakan sepatu hak, kau bisa terjatuh nanti."

Mikoto tidak menghiraukan perkataan Kankuro, ia terus menaiki tangga tersebut sampai akhirnya mencapai lantai yang dituju. Tanpa membuang banyak waktu lagi, wanita berkulit salju itu kemudian melanjutkan langkahnya masuk kedalam kubik utama yang berfungsi sebagai ruang pribadi khusus Orochimaru. Di dalam kubik tersebut ada beberapa ruangan, yang terdiri dari ruang makan utama, ruang rapat, ruang istirahat utama, tiga ruang istirahat untuk tamu, serta ruang kerja utama milik Orochimaru.

Sekarang ini tentu saja Mikoto sedang bergegas menuju ruang kerja utama Orochimaru yang terletak di sudut lorong utama. Jantung wanita itu berdegup kencang, tidak bisa menahan rasa ingin berjumpanya dengan Naruto.

"Hei nona tunggu sebentar." Sekali lagi Kankuro memanggil dari belakang, ia sebenarnya merasa sedikit kesal karena sebenarnya tadi ia sedang menikmati pertandingan sepak bola bersama beberapa orang anak buah Orochimaru.

Kapan lagi ada pertandingan antar Konoha melawan Kumo ?

"Kenapa kau tidak kembali saja ke bawah untuk menyaksikan pertandingan tadi ?" Merasa risih, Mikoto akhirnya memutar tubuh dan menyorot tajam kearah Kankuro.

Rahang pemuda Suna itu terjatuh, ia kemudian mengeluarkan ekspresi wajah yang terlihat sangat konyol sambil mengucapkan. "Yang benar saja ! Kau sendiri yang tadi memaksaku ikut !"

"Kupikir tadinya kau mau menemui adikmu !" sanggah Mikoto.

Mendengar hal tersebut, Kankuro hanya bisa mengusap kepalanya. "Baiklah, baiklah, tapi setidaknya jangan berjalan terlalu cepat."

Mikoto memutar matanya, tidak bisa lagi menahan perasaan yang menggebu di dalam hati, ia kemudian melanjutkan langkahnya menyusuri lorong utama. Naruto, hanya itu yang sekarang ada di kepala seorang Mikoto. Ia ingin menatap wajahnya, ia ingin merasakan pandangan matanya yang seolah menusuk jiwa, ia ingin mendekap tubuhnya, ia ingin mengatakan padanya bahwa semua akan baik-baik saja, tidak peduli apa yang telah dilakukannya, tidak peduli apa yang dikatakan oleh dunia sekalipun, ia tidak akan pernah meninggalkannya.

Karena pada dasarnya Mikoto sendiri sadar, bahwa ini semua bermula dari ide bodohnya ketika ia mengajak Kushina untuk melepaskan penat di sebuah klub malam.

Memikirkan hal itu saja Mikoto merasa benar-benar marah pada dirinya sendiri. Apa yang ada di kepalanya waktu itu ? Apa yang diharapkannya dari tempat seperti itu ? Secara tidak langsung ia telah menghancurkan hidup seorang pemuda yang begitu disayangi olehnya. Keputusan bodohnya merenggut masa depan Naruto, melumuri tangannya dengan darah, mengotori hatinya dengan kegelapan.

"Nona ?" Sebuah suara tiba-tiba membuat Mikoto tersadar.

Perlahan ia menoleh kearah suara tersebut, dan mendapati Kankuro sedang memandang kearahnya penuh tanya. "Ka-kankuro ?"

"Ha ? Kau baik-baik saja ? Kita sudah sampai, kau dari tadi berdiri menghadap pintu." Jawab pemuda tersebut, wajahnya kelihatan agak khawatir.

Seketika itu juga Mikoto mengusap wajahnya dengan sebelah telapak tangan. "Ma-maaf... aku sedikit melamun." Ujar wanita tersebut.

Kankuro tersenyum. "Tenanglah, bukankah kau sendiri sudah tidak sabar ingin menemuinya ?"

"A-aku..." Mikoto hendak mengatakan sesuatu, tapi urung, pemuda yang berdiri di hadapannya ini mengerti tentang perasaannya terhadap Naruto, dan mengetahui hal tersebut, Mikoto hanya bisa mengangguk pelan dengan wajah yang sedikit merona.

"Kalau begitu tunggu apa lagi ? Kau tidak perlu khawatir, lagipula di dalam ada Orochimaru, Gaara dan tentunya ada aku juga."

Entah kenapa tapi mendengar hal tersebut membuat Mikoto menjadi sedikit lebih tenang. Bukan berarti ia butuh perlindungan dari orang lain atau ia ingin bersembunyi di balik punggung mereka, tapi setidaknya mengetahui bahwa ia akan menghadapi Naruto dengan sekelompok orang yang mendukungnya, setidak-tidaknya dapat membuat Mikoto merasa lebih nyaman.

"Baiklah..." Wanita berambut hitam itu menganggukan kepalanya sambil perlahan membuka pintu dan mendorongnya masuk kedalam.

Dia berada disana, Naruto berada disana. Mikoto seketika itu juga merasakan seluruh organ tubuhnya seolah berhenti ketika ia mendapati sosok Naruto sedang berdiri saling berhadapan dengan Gaara. Mulutnya terasa kaku, ia ingin memanggil pemuda itu, menyebut namanya, membuatnya sadar akan kehadiran Mikoto disana, tapi rasanya sangat sulit, tubuhnya sendiri bahkan terasa membatu.

Namun seluruh kebekuan tubuhnya leleh saat itu juga, ketika Naruto perlahan menghadap kearahnya. Wajah pemuda berambut matahari itu penuh luka lebam, sebelah matanya tertutup oleh luka yang menggaris dari kening sampai pipinya, bibirnya sobek, gurat luka yang membelah terlihat disana, lalu seolah itu belum cukup, tubuhnya yang ditutupi oleh sehelai kemeja yang tidak dikancing pun menunjukkan jejak-jejak luka.

"Na-Naru-chan !" Secara refleks, Mikoto bergegas mendekati sosok Naruto, tidak peduli lagi dengan perasaan-perasaan yang tadi menguasai dirinya.

"Jangan dekati aku !"

Jantung Mikoto seolah mendapat sebuah tusukan ketika ia mendengar suara Naruto. Suara yang sebelumnya sama sekali tidak pernah ia dengar dari sosok pemuda berambut pirang tersebut. Dingin, Mikoto dapat merasakan bagaimana ucapan tersebut diucapkan dengan sangat dingin, seolah membawa pesan permusuhan didalamnya.

Tapi kenapa Naruto berkata seperti itu padanya ?

"Na-Naru-chan ?" dengan rahang yang bergetar, Mikoto mencoba mengucapkan kata tersebut.

"Naruto, setidaknya berikan kesempatan bagi Mikoto-sama untuk menjelaskannya padamu." Mikoto mendengar Orochimaru mengatakan hal tersebut.

"Aku tidak ingin mendengar apa-apa lagi."

"Na-Naru-chan ? A-apa yang terjadi ?" Mikoto memaksa mulutnya untuk berbicara, sementara ia menahan rasa sakit di dadanya yang membuat wanita tersebut semakin sesak.

"Tidak ad-"

"Si brengsek ini pikir bahwa kau yang menyebabkan dirinya menjadi seperti ini !" Naruto belum sempat mengelak pertanyaan dari Mikoto ketika Gaara kemudian menimpa kata-kata yang akan keluar dari mulut pemuda berambut pirang tersebut.

Lemah, kedua kakinya tiba-tiba merasa sangat lemah, Mikoto seketika itu juga melangkah mundur dan hampir saja terjatuh ke belakang ketika Kankuro kemudian menahan berat badannya dari punggung. "Nona ? Kau baik-baik saja ?"

Baik-baik saja ? Konyol sekali, mana mungkin ia baik-baik saja. Air mata Mikoto tanpa ia sadari sendiri sudah membanjiri wajah pucatnya, kerongkongannya seperti diganjal oleh sebongkah batu yang membuatnya tersedak. Keringat dingin membasahi kepalanya, membuat rambut wanita tersebut perlahan semakin lengket.

"Na-Naru-chan...*hic*... Naruto...*hic*"

Pemuda yang namanya berulang kali ia ucapkan tersebut, membuang jauh-jauh pandangannya dari Mikoto, seolah bahkan melihat wajahnya saja pun ia merasa jijik. Dan ketika itu, untuk pertama kalinya dalam hidup, Mikoto benar-benar seperti ingin mati saja. Ia benar-benar merasa tidak berharga, hidupnya seolah tidak memiliki arti lagi, semuanya benar-benar nampak sangat sia-sia.

Dulu, ketika Mikoto harus kehilangan hak asuh atas putranya, ia sempat merasa seperti ini. Sosok seorang putra yang dikandungnya selama hampir sepuluh bulan, mimpinya untuk membesarkan seorang anak, membantunya meraih cita-cita dan membimbingnya dalam melewati setiap ujian hidup, semuanya sirna begitu saja ketika Fugaku dengan sangat mudahnya menepis setiap usaha Mikoto untuk mendapatkan Sasuke.

Ia sempat merasa hancur ketika itu, karena memang pernikahannya dengan Fugaku adalah sebuah kutukan, dan ketika itu Mikoto tidak memiliki alasan untuk terus hidup selain demi putranya sendiri. Tapi apakah ketika itu ia merasa bahwa kematian mungkin lebih baik daripada menruskan hidupnya sendiri ?

Tidak, Mikoto masih memiliki tujuan. Setidaknya ketika itu jika Sasuke tidak dapat ia besarkan, ia masih bisa menaruh harapan untuk suatu hari dapat bertemu dengan sang putra. Lalu bertahun-tahun kemudian, ketika mereka akhirnya bertemu dan justru Sasuke malah mencoba untuk menodainya, apakah Mikoto merasa hancur seperti sekarang ?

Tidak, Mikoto ketika merasa kecewa, ia merasa kehilangan sosok seorang anak, tapi ketika itu walaupun mungkin terkesan salah, kekosongan dalam hatinya yang ditinggalkan oleh Sasuke bertahun-tahun yang lalu sudah diisi secara penuh oleh orang lain. Seorang anak kecil yang senyumannya bahkan lebih hangat daripada matahari sekalipun, seorang anak kecil yang kemudian tumbuh menjadi pemuda tampan yang penuh akan kasih sayang.

Naruto.

Sekarang, Mikoto telah membunuhnya. Senyumannya direnggut oleh wanita tersebut, kehangatannya digantikan oleh perasaan yang sangat dingin, kasih sayangnya ditukar dengan dendam dan kebencian. Dan semua adalah kesalahannya, Mikoto yang memulainya, ia yang melumuri tangannya dengan darah. Dialah yang membunuh Naruto.

Dan untuk pertama kalinya Mikoto merasa pantas untuk mati.


The Demon in His Heart


Kediaman Uzumaki...

Perlahan Kushina mulai membuka matanya, entah kenapa tapi ia merasakan nyeri di seluruh tubuhnya. Otot-ototnya seolah membeku dan membuatnya kesulitan untuk bergerak, tenggorokannya terasa kering dan terutama kepalanya, Kushina merasa seperti ada sesuatu yang menusuk disana, setiap kali ia berusaha untuk membuka matanya, maka rasa sakit itu akan selalu mengikutinya.

Apa yang terjadi ? Ia tidak bisa mengingat apa-apa, pandangannya sendiri bahkan nampak buram, tapi di saat yang bersamaan, ia juga dapat melihat sosok seseorang di sana, entah siapa, yang jelas sosok tersebut kini berusaha untuk membuatnya sadar, menepuk sebelah wajahnya dengan lembut.

"Kushi-chan ?"

Kushina mengingat suara tersebut, tidak banyak orang yang memanggilnya dengan sebutan seperti itu. Sambil mengusap kedua matanya, ia berusaha untuk menggerakkan tubuhnya, pandangannya masih nampak sedikit kabur tapi sudah kembali menemukan fokusnya.

"Ji-Jiraiya ?" ujar Kushina lemah, pandangannya yang barusan terlihat agak kabur, kini sudah semakin jelas, menampakkan sosok seorang pria paruh baya bertubuh besar dengan surai pucatnya yang sangat khas.

"Ini aku Kushi-chan, kau baik-baik saja ?"

Kushina tidak segera menjawab pertanyaan tersebut, banyak hal yang ketika itu tiba-tiba melintas di kepalanya. Kenapa ia ada disini ? Kenapa tubuhnya terasa lemah seperti ini ? Entah kenapa, Kushina tidak ingat, tapi ada sesuatu dalam hatinya yang mengatakan bahwa ia tengah melupakan sebuah hal yang sangat penting.

"A-apa yang... kenapa aku ada disini ?" Kushina bertanya pada Jiraiya sambil menatap ke arah pria tersebut dengan penuh tanya.

"Aku tidak tahu Kushi-chan, aku baru saja datang dan menemukanmu tertidur di atas sofa."

Kushina mengerutkan keningnya, ia kemudian mencoba untuk bangkit dari posisinya yang ketika itu sedang terlentang diatas sofa utama. Memang agak sulit awalnya, kekuatan Kushina belum kembali terkumpul sepenuhnya dan ketika ia berusaha untuk menumpu berat badannya dengan tangan, seketika itu juga ia terjatuh kembali ke posisi semula.

"Sini biar kubantu." Jiraiya bergerak ke ujung sofa sambil merangkul leher Kushina dari belakang dan setelah itu memberikan bantuan dorongan pada tubuhnya yang sedang bergerak naik.

Kushina menarik nafasnya dalam-dalam sambil mengusap wajahnya yang terasa lembab, ia menoleh ke arah Jiraiya, lalu ke arah seisi ruangan seolah sedang mencari tahu tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi.

"Kushi-chan, coba lihat aku." Jiraiya yang ketika itu sedang berada dalam keadaan berlutut, meminta pada Kushina untuk melihat ke arahnya. "Kau bisa mengingat apa yang terjadi padamu ?"

"A-aku..." Kushina berusaha mengingat-ingat kejadian hari ini. Apa yang dilakukannya hari ini ? Tadi pagi ia berangkat pagi-pagi dan bertemu dengan Kiba. Kiba ? Seketika itu juga kedua matanya terbuka lebar, sekejap, sosok seorang pemuda berambut hitam dengan rambut yang terkesan berantakan dan wajah yang liar muncul di kepala Kushina. Lalu seketika itu juga, ingatannya menarik paksa wanita berambut merah tersebut untuk seolah masuk ke dalam masa lalunya.

Tidak begitu tepat sebenarnya jika dikatakan masa lalu, karena kejadian-kejadian yang selanjutnya kembali ia rasakan adalah kejadian yang terjadi dalam satu minggu terakhir ini. Ketika ia saling mengunci tangannya dengan pemuda berambut hitam tadi, ketika ia saling bertukar kata yang menggoda satu sama lainnya, ketika ia membiarkan pemuda tersebut untuk menyentuh sebagian kecil tubuhnya.

Ketika semua itu dilakukannya tanpa sepengetahuan Naruto.

Naruto ?

"Sochi !" Kushina meneriakkan kata tersebut seraya bangkit dari duduknya, membuat Jiraiya yang sedang berlutut dihadapannya terkejut.

"Kushina ? Apa yang terjadi ?"

Kushina tidak mendengarkan hal tersebut. Sekarang yang ada di dalam pikiran wanita tersebut adalah putranya, Sochinya. Tadi, tidak lama sebelum ia mendadak kesadarannya, ia masih bisa mengingat jelas bagaimana rasanya berada dalam dekapan seorang Naruto. Tubuh dan hatinya ketika itu merasakan kehangatan yang bersifat murni, sesuatu yang belum pernah ia rasakan selama ini.

Tapi bukan hanya itu saja rasakan tadi, tidak, semuanya tidak berakhir disitu. Semuanya diakhiri ketika sang putra tersenyum kearahnya dengan sorot mata yang dipenuhi oleh kesedihan, semuanya diakhiri ketika ia mengucapkan kalimat perpisahannya.

"Terima kasih telah melahirkanku ke dunia ini kaa-chan, tapi sudah saatnya kita berpisah, karena itu... selamat tinggal, semoga hidupmu bahagia."

"SOCHI !" refleks, Kushina berusaha untuk berlari keluar menyusul putranya. Entah kemana ia sendiri tidak tahu, tapi yang jelas tidak disini, jika ia terus menerus diam di rumah ini, maka putranya akan benar-benar pergi dari kehidupan Kushina.

Beruntung ketika itu terjadi, Jiraiya yang cekatan terlebih dahulu melingkarkan kedua tangannya ke tubuh Kushina, sehingga ia berhasil mencegah wanita tersebut untuk pergi."Kushina ! Kau tahu tentang Naruto ? Katakan padaku dimana dia sekarang ?" ujarnya sambil menahan Kushina yang ketika itu berontak.

"LEPASKAN ! LEPASKAN AKU ! JIRAIYA LEPASKAN AKU !" Sambil berusaha sekuat tenaganya melepaskan diri dari Jiraiya, Kushina berteriak keras, melampiaskan seluruh emosi yang ketika itu kembali merasuk dalam kesadarannya.

Jiraiya tentu saja merasa semakin curiga dengan kondisi Kushina yang seperti ini, tapi melihat reaksi wanita tersebut yang begitu histeris seperti sekarang, ia sudah bisa menduga bahwa mungkin Kushina memang sudah tahu tentang perbuatan Naruto. "Kushina ! Dengarkan aku, kau tidak bisa melindungi Naruto !"

"Kumohon ! Kumohon ! Sochi akan pergi, dia akan meninggalkanku !" Kushina menarik, mencakar, menampar kedua tangan Jiraiya yang mencegahnya untuk pergi, sementara kedua kakinya sendiri terus mendorong tubuh Kushina untuk maju.

"Kemana ? Naruto pergi kemana ? Katakan padaku Kushina ! Aku akan berusaha untuk membantunya !"

Kushina tidak mengerti dengan kata-kata Jiraiya, tapi ia tidak peduli, Kami, ia tidak peduli lagi dengan apapun, baginya sekarang yang terpenting adalah untuk mengejar Naruto. "Dia akan pergi meninggalkanku, semuanya salahku ! SEMUANYA SALAHKU ! SOCHI ! SOCHIII !

"Kushina tenanglah dulu !" Jiraiya sekuat tenaganya menarik tubuh Kushina sehingga ia terjatuh tepat di atas sofa, kemudian tanpa memberikan kesempatan bagi wanita itu untuk mencoba sesuatu, Jiraiya menekan kedua bahunya dan memaksa Kushina untuk terbaring disana. "Tenang dulu ! Aku tidak akan melepaskanmu jika kau tidak bisa tenang !"

Sadar usahanya untuk melepaskan diri sia-sia, tangis Kushina pecah. Wanita berambut merah itu meraung penuh kesedihan, sambil sekali-kali meneriakkan kata 'sochi' dari mulutnya. Hilang, separuh jiwanya telah meninggalkannya, Naruto telah meninggalkannya, semua perbuatan kotornya sudah diketahui oleh sang putra, dan kini ia hanya bisa menangisi ketololannya sendiri.

Apa yang diharapkan olehnya ? Semudah itukah Naruto bisa memaafkannya ? Naif, Kushina terlalu naif. Perbuatannya bukan hanya menghianati sang putra, tapi juga melecehkannya. Dan bahkan ketika Kushina tahu bahwa ia telah melakukannya, ia tetap mengemis permintaan maaf darinya ? Berani sekali dirinya melakukan hal itu ! Meminta kepada Naruto untuk memaafkan dan melupakan perbuatannya, berarti sama saja seperti Kushina meludahi wajah putranya.

"Aku tidak bisa... aku tidak bisa hidup tanpanya... kumohon maafkan aku..." Kushina berkata ditengah tangisnya, bukan pada Jiraiya, tapi pada dirinya sendiri.

Lantas kenapa kau melakukannya ?

"Maafkan akuuu... kumohon maafkan akuuu... kembalikan sochi padakuuu..."

Jiraiya tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi kesedihan yang dirasakan oleh Kushina, dapat juga dirasakan olehnya. Entah mungkin karena kesedihan tersebut begitu besar sehingga Jiraiya yang tidak tahu apa-apa pun sampai bisa merasakannya, atau mungkin karena pada dasarnya ia memang tidak tega melihat Kushina dalam keadaan seperti ini.

Tapi ada satu kata-kata Kushina yang membuat Jiraiya merasa sedikit terganggu.

"Apa maksudmu ? Apa maksudmu ini salahmu Kushina ?" tanya pria bersurai pucat itu sambil perlahan melepaskan pegangan tangannya dari bahu Kushina.

"Ini salahku... ini salahkuuu..." Kushina menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan, Jiraiya dapat melihat air matanya yang membanjir menetes keluar dari sela-sela jemarinya.

Jiraiya sebenarnya sudah kehabisan waktu, entah apa yang dilakukan Kakashi sekarang untuk mencegah informasi tentang Naruto bocor. Tapi sekarang ia juga tidak bisa meninggalkan Kushina begitu saja dalam keadaan seperti ini, mengetahui perangainya, Jiraiya khawatir Kushina akan melakukan tindakan-tindakan gegabah. Terlebih ia juga masih belum mengetahui apa yang sebenarnya dimaksud istri dari mendiang Minato itu mengatakan bahwa ini semua adalah salahnya.

"Kushina, katakan padaku apa yang terjadi pada putramu."

"Dia pergi... sochi pergi... sochiku meninggalkan aku..."

"Kushina, tolong bicara dengan jelas, aku takut Naruto terlebih dahulu jatuh ke tangan polisi lain."

Seketika itu juga Kushina menghentikan suara tangisnya, perlahan ia mengangkat kedua telapak tangannya yang menutupi wajah, lalu ia memandang ke arah Jiraiya dengan mata yang lebam dan kelihatan merah karena menangis. "A-apa maksudmu ?"

"Putramu... Naruto terlibat atas pembunuhan seorang wanita bernama Tsume Inuzuka."


The Demon in His Heart


Sudut pelabuhan Konoha, salah satu markas rahasia Orochimaru...

Suara pintu yang terbanting terdengar nyaring di telinga Naruto, sambil mengusap luka di tepi bibirnya yang lagi-lagi ketika itu sobek, pemuda berambut matahari tersebut hanya bisa berdiri memperhatikan sosok Gaara yang melangkah pergi meninggalkan ruangan setelah ia baru saja melampiaskan emosinya.

Pemuda berambut maroon itu kehabisan kesabaran, setelah melampiaskan kemarahannya, memaki Naruto dan memberikan satu pukulan telak di wajahnya, ia memutuskan untuk pergi meninggalkan ruangan dengan tujuan agar ia dapat mendinginkan kepalanya. Naruto sendiri merasa heran, kenapa sahabatnya bisa berlaku seperti itu ? Kenapa ia begitu peduli dengan dirinya ? Entahlah, aneh mungkin, tapi mungkin jika kejadian yang menimpa Naruto sekarang ini tidak pernah terjadi, maka ia juga tidak akan bisa merasa heran seperti ini.

Yah, tapi apa boleh buat ? Memang kepercayaannya sudah pudar, rasa sakit di hatinya secara alami melahirkan sebuah proteksi dalam alam bawah sadar Naruto untuk tidak pernah lagi percaya dengan orang-orang terdekatnya. Hal-hal seperti ini secara psikologis sangat ilmiah, mungkin semacam sindrom pasctrauma yang membuatnya menjadi seperti sekarang, tapi apapun itu, fakta tetaplah fakta, dan Naruto tidak bisa semudah itu mengubah dirinya kembali seperti dulu.

Lagipula ia tidak mau kembali seperti dulu.

Namun tetap saja seseorang tidak mungkin bisa membunuh perasaan dalam hatinya begitu saja. Dan itu juga yang sekarang terjadi pada Naruto, sebesar apapun keinginannya untuk benar-benar tidak peduli dengan orang-orang di masa lalunya tetap saja masih menyisakan satu ruang sempit dalam hatinya untuk seseorang, dan orang itu kini berdiri dihadapannya. Sambil dengan bersusah payah untuk menahan diri agar tidak menangis, membuat nafasnya sendiri tersedak, membuat kedua tangan yang secara bergantian mengusap wajahnya bergetar hebat.

Mikoto, melihatnya seperti itu membuat Naruto benar-benar ingin menggantung dirinya sendiri. Jika ini semua tidak terjadi maka sekarang juga ia akan menarik wanita itu kedalam pelukannya, mendekap kuat tubuhnya, memberikan kehangatan dan perlindungan yang sempurna pada wanita tersebut. Kami di atas sana yang menjadi saksi, Naruto sampai detik ini pun masih melihat Mikoto seperti ia melihat Mikoto yang dulu. Namun justru itu yang ditakutkan olehnya, ia takut jika kelak Mikoto juga akan menghianati dirinya, ia takut jika kelak Mikoto akan pergi dari sisinya, dan bagi Naruto, lebih baik ia sendiri yang membunuh perasaannya, daripada ia harus menderita karena sekali lagi ditinggalkan oleh seseorang yang baginya lebih penting dari hidup.

Mungkin ada benarnya jika mengatakan bahwa Naruto merasa kecewa pada apa yang dilakukan Mikoto, mengajak ibunya pergi ke klub malam untuk melepaskan penat. Tapi di sisi lain juga ia tidak bisa semudah itu menyalahkan Mikoto tentang apa yang dilakukan oleh sang ibu bersama Kiba. Jika semuanya dimulai sejak malam itu, maka yang terjadi selanjutnya adalah pilihan ibunya sendiri. Malah mungkin seharusnya ia berterima kasih pada Mikoto, karena dengan ini semua, ia akhirnya benar-benar sadar bahwa apa yang dimilikinya dengan sang ibu selama ini ternyata adalah sesuatu yang sangat rapuh.

Yah, tapi untuk sekarang ini buat apa Naruto berpikir terlalu jauh, pada akhirnya toh dia tetap akan memutuskan dirinya dengan seluruh masa lalu dan pergi jauh-jauh dari kota terkutuk ini.

Naruto memperhatikan bagaimana Orochimaru kini sedang terlihat memijat kening sambil duduk di balik meja kerjanya, ia tidak dapat menahan dirinya untuk tidak tersenyum kecil, mungkin baru pertama kali ini seorang Orochimaru memperlihatkan dirinya yang sedang pusing memikirkan sesuatu.

"Kau baik-baik saja ?" tanya Naruto.

Orochimaru menganggukan kepalanya, masih sambil sebelah tangannya memijat kening. "Aku hanya sedikit... pusing, seharusnya aku yang bertanya padamu, kau tidak apa-apa ?"

"Oh, ini ? Tidak apa-apa." ujar Naruto sembari mengusap bekas luka yang barusan diberikan oleh Gaara dengan telunjuk tangan kirinya.

Pria berjuluk ular dari Konoha itu kemudian menganggukan kepalanya. "Kalau begitu mari kita lanjutkan pembicaraan tadi, dan Mikoto-sama, duduklah disini, melihatmu berdiri seperti itu aku sendiri jadi merasa lelah."

Mikoto hendak menolak hal tersebut, tapi kakinya sendiri memang terasa lemah. Dengan perasaan agak ragu-ragu, ia melirik ke arah kursi kosong di sebelah tempat Naruto sedang duduk, sebagian dirinya merasa takut jika pemuda berambut matahari tersebut sedang tidak ingin berada didekatnya.

"N-Naru-chan ak-"

"Duduklah, aku tidak keberatan." Tanpa menghadap kearah wanita tersebut, Naruto berbicara.

Mikoto menundukkan kepalanya, sekali lagi ia mengusap air matanya yang membendung, sakit rasanya melihat Naruto bersikap dingin terhadap dirinya, tapi mau tidak mau ia harus menerima hal ini. Perlahan Mikoto kemudian melangkah mendekati kursi kosong tersebut, kepalanya menunduk kebawah, membuat rambut legam miliknya jatuh menutupi kedua sisi wajahnya.

Orochimaru tersenyum sambil menganggukan kepalanya kepada Mikoto sebelum ia mengembalikan pandangannya ke arah Naruto dan berbicara. "Naruto, sebelum kita bicara tentang hutangku padamu, boleh aku jelaskan kenapa kau, Gaara, dan Mikoto-sama semua bisa secara tidak sengaja berkumpul di tempat ini ?"

"Bicaralah." Jawab Naruto, sebenarnya ia tidak tertarik lagi mendengar hal semacam itu, tapi di sisi lain ia juga merasa sedikit penasaran dengan hal tersebut.

"Ah, baiklah." Orochimaru kemudian meneguk segelas air di dekat mejanya sebelum kemudian meletakkan kembali gelas tersebut dan berkata. "Pertama-tama, aku harus jujur bahwa yang menimpa Kushina-sama dan Mikoto-sama, bukanlah sesuatu yang kurencanakan sebelumnya. Mengenai Kiba dan Sasuke, dua orang itu melanggar peraturan di klub malamku dengan menggunakan obat perangsang yang tentunya terlarang, apalagi kemudian meracuni mereka berdua dengan obat itu. Memang, setelah itu terjadi, aku sudah tidak lagi berurusan dengan mereka, aku tidak berencana untuk mengikuti kegiatan apapun yang dilakukan oleh Kushina-sama atau bahkan berencana untuk mencari Mikoto-sama."

"Lalu bagaimana kau bisa sampai dapat rekaman foto kaa-chan dan Kiba ?" tanya Naruto.

"Di malam yang sama ketika Sasuke dan Kiba melakukan aksi mereka di klub, seseorang menghubungiku. Ia memintaku untuk melakukan sebuah pekerjaan padanya tanpa diketahui oleh pihak manapun di Konoha... singkatnya sesuatu yang bersifat rahasia."

"..." Naruto terdiam, ia memandang curiga ke arah pria berwajah pucat tersebut.

"Dia memintaku untuk membawa anda Mikoto-sana, keluar dari Konoha." Orochimaru memalingkan kepalanya kearah Mikoto, melihat reaksi wanita tersebut yang nampak terkejut begitu kalimat yang ia ucapkan keluar dari mulutnya.

"Kenapa ?"

Orochimaru tersenyum. "Ah, kau masih peduli sepertinya ?"

"Orochimaru !" Naruto menggeram, sedangkan Mikoto yang duduk disebelahnya berusaha untuk membaca ekspresi pemuda berambut pirang tersebut.

"Maaf, maaf." Ujar Orochimaru sambil tertawa kecil, "kenapa Mikoto-sama harus keluar dari Konoha ? Aku tidak bisa mengatakannya."

Naruto mendengus. "Kalau begitu kau tidak perlu bicara tentang hal ini !"

"Maksudku, aku tidak bisa mengatakannya jika kalian sebelumnya tidak bersumpah terlebih dahulu dihadapanku sekarang, bahwa kalian tidak akan membocorkan hal ini pada siapapun. Tidak pada Gaara, Kankuro, bahkan anak buahku yang lain. Ini hanya diantara kita bertiga saja."

Sekilas, Naruto dan Mikoto saling menatap, mereka berdua merasa heran dengan pernyataan dari Orochimaru, terutama Naruto. Dulu, selama ia bekerja pada pria dengan berbagai julukan gelap tersebut, sama sekali belum pernah Naruto mendengar seorang Orochimaru memintanya untuk berjanji atau bersumpah untuk alasan apapun. Sekarang mendengar Orochimaru berbicara seperti itu, tentu Naruto kemudian paham bahwa informasi yang akan diutarakan olehnya memang bukanlah sebuah informasi sepele saja.

Naruto merasa agak bimbang, sebagian dirinya tidak ingin tahu tentang hal tersebut, tapi sebagian lagi tidak bisa membiarkan Mikoto terlibat dalam hal yang kelihatannya memang memiliki dampak besar. "Baiklah, aku bersumpah tidak akan membocorkan apapun informasi yang akan kau berikan."

Sama seperti Naruto, Mikoto juga menganggukan kepalanya dan bersumpah untuk juga tidak membocorkan informasi yang akan diberikan oleh Orochimaru. Perasaannya ketika itu bercampur, belum selesai urusan hatinya dengan Naruto, sekarang ia sepertinya terlibat dengan sesuatu yang besar, sampai Orochimaru sendiri harus memintanya bersumpah untuk tidak pernah membocorkan apapun hal yang akan dikatakannya nanti pada orang lain.

Puas dengan jawaban keduanya, Orochimaru lalu menyenderkan tubuhnya pada punggung kursi sambil melipat sebelah kakinya. "Klienku meminta Mikoto-sama untuk keluar dari Konoha, karena dalam satu sampai dua tahun ke depan ini, dapat dipastikan, seluruh manusia dengan nama belakang Uchiha, akan mati."

"Apa !?" Naruto terkejut.

"K-kau tidak bercanda ?" Sama seperti Naruto, Mikoto juga tidak bisa menyembuiykan perasaan terkejutnya, walaupun ia sudah diusir oleh keluarganya sendiri dan diperlakukan semena-mena oleh mereka, tetap saja mendengar hal tersebut, hatinya menjadi gusar.

Melihat reaksi dari keduanya, Orochimaru tertawa pelan. Ternyata tidak hanya dirinya saja yang terkejut ketika mendengar hal tersebut. "Seperti yang kukatakan tadi, dalam satu atau dua tahun ke depan, keluarga Uchiha akan dimusnahkan."

"Si-siapa yang akan melakukannya ?" Mikoto yang seketika itu pucat, tidak bisa menyembunyikan rasa khawatir akan keselamatan keluarga Uchiha. Seburuk apapun mereka, tetap saja mereka adalah keluarganya kan ?

"Sebuah organisasi bernama Akatsuki, dan sebelum kalian juga bertanya siapa yang memintaku untuk mengeluarkanmu dari Konoha, aku katakan sekarang saja bahwa aku tidak bisa memberikan informasi tersebut pada siapapun."

Naruto berusaha merangkaikan kejadian-kejadian seminggu ini dengan informasi tersebut, jika memang karena kebetulan, maka ini benar-benar kebetulan yang seperti disengaja. "Jadi kau mau bilang bahwa, kau memanfaatkan kejadian ini agar aku mau membawa Mikoto pergi dari Konoha ?"

Mikoto memandang kearah Naruto, untuk pertama kalinya pemuda itu menyebut nama Mikoto seperti itu. Biasanya ia selalu memanggilnya dengan sebutan Miko-nee atau hanya nee-chan, dan mengetahui hal itu memang sengaja dilakukannya untuk menunjukkan bahwa ia sudah tidak lagi peduli pada dirinya, sedikit banyak, membuat Mikoto semakin merasakan sakit di dadanya.

Orochimaru di lain pihak hanya tersenyum sambil menganggukan kepalanya sebanyak dua kali. "Memang terdengar seperti kebetulan yang dibuat-buat, tapi biar aku yakinkan padamu bahwa hal ini benar-benar murni bukanlah sesuatu yang direncakan. Aku berhutang sebuah identitas dan tempat tinggal di luar Konoha untukmu dua tahun yang lalu, sekarang ketika ini terjadi aku hanya tinggal mengubah sedikit datamu dan menggabungkan Mikoto-sama denganmu agar kalian berdua bisa meninggalkan Konoha bersama-sama, kau di lain pihak Naruto, secara tidak langsung bisa sangat kuandalkan untuk menjaga Mikoto-sama, karena aku yakin bahwa kau masih menganggapnya sebagai orang penting dalam hidupmu."

"Kau memang benar-benar brengsek Orochimaru, kau dan akal licikmu itu." Naruto menggelengkan kepalanya, "kau sudah tahu apa yang terjadi pada ibuku sejak malam itu, dan sejak itu pula kau mengikuti aktifitasnya bersama Kiba, tapi baru setelah satu minggu ini kau akhirnya mau bergerak dan menunjukkan hal tersebut padaku."

Orochimaru mengangkat kedua bahunya, sebuah seringai nampak jelas tersirat di wajah pucat pria tersebut. "Aku tidak pernah mengaku sebagai orang suci Naruto, jika malam itu aku tidak mendapat permintaan mengenai Mikoto-sama, maka percayalah bahwa aku tidak peduli dengan apa yang terjadi pada Kushina-sama, atau apa yang terjadi denganmu... yah, mungkin aku merasa sedikit bersalah, tapi aku tidak akan membuang waktu dan tenagaku untuk menggali informasi tersebut sedalam yang kuberikan padamu."

Mendengar hal tersebut, Mikoto tentu saja tidak terima. Bagaimana mungkin Orochimaru bisa berlaku sedingin itu pada Naruto ? Mengetahui tentang apa yang terjadi pada Kushina tanpa merasa berkewajiban sama sekali untuk memberitahukannya pada pemuda berambut matahari tersebut. "Kau... kau tega sekali melakukan hal itu ! Kau benar-benar tidak peduli pada Na-Naru-Naru-chan ?"

"Maaf, tapi aku memang tidak peduli." Orochimaru berbohong.

Tentu saja Orochimaru berbohong, ia tidak mungkin menunjukkan ketertarikannya pada sosok Naruto yang diam-diam ingin direkrutnya masuk ke dalam organisasi kecil yang ia buat. Sejak awal memang Orochimaru berniat menggunakan informasi tersebut untuk menarik Naruto ke dalam jeratannya.

"Aku tidak terkejut, itu memang gayanya." Ujar Naruto datar, "lagipula itu sudah tidak penting. Aku menolak permintaanmu."

"..." Mendengar Naruto mengucapkan hal itu, Mikoto merasa seperti kehilangan suaranya sendiri, sepasang bola mata onyx-nya mengarah pada sosok pemuda yang duduk disebelahnya dengan penuh penyesalan.

"Naruto, kau sadar dengan begitu kau sama saja membiarkan Mikoto-sama... untuk mati ?"

Naruto terdiam sesaat, sekarang adalah waktunya untuk melepas Mikoto pergi, sekarang sudah saatnya ia menunjukkan bahwa dirinya benar-benar ingin memulai langkah yang baru. Memang ia sendiri mengakui bahwa menyakiti Mikoto sama seperti menyakiti dirinya sendiri, tapi jika itu setidaknya dapat memberikan ruang bagi Naruto untuk melangkah ke depan, maka sebesar apapun rasa sakit yang ia rasakan, ia harus siap menerimanya. Lagipula Naruto tidak bodoh, ia sudah tahu bahwa kata-kata Orochimaru hanyalah sebuah gertakan belaka. Tidak pernah sebelumnya Orochimaru gagal dalam menjalankan pekerjaan yang diberikan padanya, Jika kliennya memang menginginkan agar Mikoto selamat, maka ia akan menggunakan cara sekotor apapun untuk memastikan bahwa hal itu akan terjadi. Karena itu Naruto tidak begitu khawatir tentang keselamatan Mikoto.

"Itu bukan urusanku, Mikoto adalah urusanmu, kau yang diminta oleh klienmu untuk mengeluarkannya dari Konoha, jangan sangkut pautkan hal itu padaku." Naruto berbohong, ia sengaja mengucapkan hal tersebut pada Mikoto agar wanita itu bisa melupakannya, atau lebih bagus jika Mikoto berbalik jadi benci padanya.

Orochimaru menarik nafasnya dalam-dalam, permainan kata ini belum selesai dan tidak akan selesai sebelum ia berhasil memaksa Naruto membawa Mikoto pergi dari Konoha. Pemuda itu bisa berbohong dihadapan orang lain, tapi di mata Orochimaru, kelihatan jelas bagaimana Naruto masih merasakan konflik dalam batinnya mengenai sosok Mikoto.

"Mikoto-sama... kau mengerti dengan begini aku terpaksa meminta orang kerpecayaanku yang membawamu keluar dari Konoha ?"

"A-aku tidak tahu, aku tidak peduli... aku hanya ingin bicara padamu saja Naru-chan... setidaknya berikan aku kesempatan untuk bicara."

"Kau membuang waktumu kalau begitu." Ujar Naruto sinis.

Air mata Mikoto mengalir membasahi wajahnya lagi. "Ka-kalau begitu *hic* a-aku tidak pe-peduli *hic* a-aku tidak akan kemana-mana *hic* a-aku akan menunggumu disini *hic* Na-Naru-chan."

Orochimaru menghela nafasnya. "Hhhhh, aku tidak bisa memaksamu. Klienku sendiri yang menyatakan bahwa aku tidak bisa memaksamu pergi jika kau memang tidak ingin meninggalkan Konoha. Tapi tolong kau sadari resiko untuk tinggal disini, keselamatanmu terancam, keselamatan seluruh Uchiha yang ada di kota ini terancam."

"Ka-kalau memang benar begitu, biar saja aku mati !"

"Jangan bercanda !" Naruto mulai kehilangan kesabarannya. "Kau bisa memulai kehidupanmu yang baru diluar sana ! Gunakan kesempatan ini dan mulai sesuatu yang baru !"

"Aku ti-tidak *hic* mau itu se-semua *hic*, a-aku hanya ingin *hic* bi-bicara denganmu saja !" Mikoto tidak kalah keras kepalanya dengan Naruto, ia membalas sorotan mata pemuda tersebut, perasaan ia tumpahkan di sana, di sorot matanya yang menusuk tajam kearah Naruto.

Naruto mengeraskan rahangnya, perlahan pertahanan di sekitarnya mulai runtuh, sejak dulu selalu saja begitu, sepasang manik obsidian itu selalu saja bisa menembus perasaannya. "Apa yang sebenarnya kau inginkan ?" ucap pemuda tersebut dengan rahang yang mengatup. "Kau tahu ini salahmu kan ? Kau yang membawa kaa-chan kesana kan ? Ke klub malam terkutuk itu !"

Mendengar kalimat tersebut, air mata yang mengalir dari kedua mata Mikoto tumpah semakin deras, semakin membasahi pengelihatan serta wajahnya. Naruto sudah mengetahuinya, ia sudah mendengar semuanya, dan benar saja dugaan Mikoto bahwa ia sekarang menyalahkan dirinya atas semua yang terjadi. "A-aku *hic* me-memang salah."

Kedua telapak tangan Naruto bergetar, melihat Mikoto seperti ini benar-benar membunuhnya, tapi sekali lagi ia memang harus melakukan hal itu. "Kenapa ? Kenapa kau mengajak kaa-chan ke tempat seperti itu ? Kau tahu aku menitipkannya padamu kan ? Kau tahu aku mempercayaimu kan ?"

Setiap kata tanya yang keluar dari mulut Naruto seolah menampar Mikoto secara bergantian. Penghianat ! Ia telah menghianati kepercayaan yang diberikan oleh Naruto, oleh pemuda yang selama ini mengisi kekosongan dalam hatinya, oleh pemuda yang sudah ia anggap seperti bagian dari keluarganya sendiri, seperti putranya, seperti adik laki-lakinya, seperti sahabatnya, seperti apapun yang ia butuhkan.

Naruto kemudian bangkit dari duduknya sambil berkata. "Kau menghianatiku Mikoto !"

Seketika itu juga segala upaya Mikoto untuk menahan tangisnya gagal, sambil membiarkan tubuhnya terperosok jatuh ke lantai, wanita berambut hitam itu menangis kencang, menumpahkan seluruh perasaan yang tersimpan pada setiap ratapan yang keluar dari mulutnya, tapi di saat yang bersamaan, Mikoto masih menyimpan sisa tenaganya untuk merenggut kemeja yang dikenakan oleh Naruto.

Naruto memejamkan kedua matanya, tidak bisa, ia tidak bisa melihat langsung kearah Mikoto, jika ia melakukan hal itu maka seluruh resolusinya akan hancur ketika itu juga. "Lepaskan !" Naruto mendesis sambil menarik tubuhnya menjauhi Mikoto, tapi hal itu tidak berhasil dilakukannya karena wanita Uchiha itu ternyata menahannya dengan sangat kuat.

"Tidak !" sambil berlutut, Mikoto terus memegangi kemeja yang dikenakan oleh pemuda dihadapannya tersebut, kepalanya mendongak keatas, kedua matanya terkunci pada sosok Naruto.

"Naruto, kau tidak bisa semudah itu menyalahkan Mikoto-sama." Ujar Orochimaru, ia sendiri kini dalam keadaan berdiri, entah mungkin karena merasa tidak nyaman atau memang karena ada sedikit rasa empati dalam dirinya yang mengarah pada Mikoto.

"Jangan ikut campur !" hardik Naruto pada Orochimaru.

Tidak peduli dengan peringatan pemuda berambut pirang tersebut, Orochimaru melanjutkan kalimatnya. "Kau menyakiti perasaannya Naruto."

"Perasaan !" Naruto mendengus sinis, "kau tahu apa tentang perasaan ? Dan bagaimana dengan perasaanku ? Apa kau pikir aku sekarang ini sedang tertawa ? Kau pikir aku suka dengan ini semua ? BAGAIMANA MENURUTMU !?"

Mendengar hal tersebut, Mikoto kemudian melepas pegangannya pada Naruto, membiarkan kedua tangannya kini menumpu tubuh wanita tersebut di permukaan lantai. Sekali lagi, ia berusaha untuk menahan nafasnya, menekan kuat tenggorokannya, mencoba sekuat tenaganya untuk menghentikan tangis yang keluar dari mulut wanita tersebut. "A-aku *hic* memang salah, se-semua *hic* memang sa-salahku..."

"Kalau begitu jangan paksa aku untuk bicara denganmu !" hardik Naruto, suaranya terdengar sangat nyaring, jika ruangan ini tidak dilapisi oleh akustik, mungkin suara Naruto tadi sudah terdengar sampai keluar gudang.

"Naruto, tolong pikirkan ini baik-baik."

Naruto mengepal kedua telapak tangannya, semakin Orochimaru memperpanjang pembicaraan ini, semakin ia akan membuat Mikoto menderita, dan hal itu juga tanpa diketahui oleh Orochimaru dan Mikoto, semakin membuat Naruto merasa lebih menderita lagi.

"Sudah kubilang, aku tidak peduli." Ujar pemuda tersebut dingin.

"Kau sama saja dengan membunuhnya Naruto..."

"Lalu ? Aku sudah menghabisi nyawa seseorang tadi, tambah satu atau dua lagi tidak terlalu masalah bukan ?"

Orochimaru memejamkan kedua matanya sambil menggelengkan kepala, memang sepertinya ia harus bertindak sedikit ekstrim dalam situasi seperti ini. "Baiklah kalau begitu untuk mempermudah semuanya ambil ini." Pria berwajah pucat itu kemudian menarik laci meja kerjanya, dan memberikan sepucuk senjata api jenis tokalev pada Naruto. "Lakukanlah kalau begitu, kurasa Mikoto-sama sendiri tidak akan keberatan, bukan begitu Mikoto-sama ?" ujarnya sambil menoleh kearah Mikoto.

Mikoto membisu, ia tidak mengerti apa maksud perkataan Orochimaru dan hanya bisa memandanginya dengan perasaan yang bercampur. Tapi mungkin ada benarnya juga kata-kata pria bertubuh jangkung itu, mungkin lebih baik ia mati saja di tangan Naruto, bukankah dengan begitu setidaknya ia bisa membuat Naruto merasa sedikit lebih terpuaskan ? Tubuhnya bergetar, mati, mati, mati ? Apakah ia sudah siap untuk itu ? Lalu perlahan ia menggulirkan matanya kearah Naruto, pemuda yang dulu selalu menghiasi hidupnya dengan senyuman dan kehangatan. Sesaat ia memperhatikan dengan seksama sosoknya, enam belas tahun sudah ia mengenal Naruto, sejak dulu ketika bahkan Minato dan Kushina belum sempat memberikan nama padanya, ketika dulu ia masih berada dalam perut Kushina. Enam belas tahun sudah berlalu, dan kini berdiri seorang pemuda tampan dihadapan Mikoto, pemuda dengan segala kerendahan hati dan kehangatan yang bahkan dapat membuat sinar matahari di musim dingin merasa iri. Enam belas tahun Mikoto membagi kenangan indah bersamanya, seperti sebuah keluarga kecil yang sempurna, dimana hanya ada dirinya, Naruto dan Kushina saja disana, dimana ketika itu, seluruh keburukan di dunia seolah hilang.

Hanya dengan satu keputusan bodohnya, Mikoto menghancurkan enam belas tahun tersebut.

Mungkin memang ia layak untuk mati.

Sorot mata Naruto meruncing, layaknya seekor singa yang terancam oleh kawanan hyena, tapi Orochimaru tidak bergeming. Manik emas yang seolah terbelah oleh celah hitam ditengahnya itu membalas sorot biru sang lawan. "Kau bilang kau tidak peduli kan ?" ujaran yang keluar dari mulutnya terdengar seperti sebuah tantangan.

Brengsek, benar-benar brengsek, kenapa semuanya harus dipersulit seperti ini. Kenapa semua orang tiba-tiba seolah peduli dengannya sekarang ? Sedangkan justru disaat ia membutuhkan kehadiran orang lain dalam hidupnya, Naruto benar-benar merasa sendirian. Sambil menggeram layak seekor pemangsa liar, Naruto kemudian berkata. "Orochimaru, jika kau tidak mengembalikan senjatamu pada tempatnya, maka kau tidak akan suka dengan apa yang akan terjadi nanti."

Bukan Orochimaru namanya jika lantas ancaman tersebut membuatnya terintimidasi. Sambil mengangkat sebelah alisnya, pria berjuluk ular dari Konoha itu kemudian berkata. "Aku hanya ingin mempermudah semua ini, kenapa Naruto ? Bukankah kau sendiri yang mengatakan bahwa satu atau dua orang lagi sama saja ?"

Suasana di ruangan tersebut mendadak berubah mencekam, siapapun dapat merasakan perubaha atmosfir disana yang amat kental, siapapun kecuali Mikoto.

Seolah berada dalam dimensi yang berbeda, wanita bersurai hitam itu sama sekali tidak menyadari segala hal yang terjadi di sekitarnya, perhatian Mikoto hanya mengarah pada sepucuk senjata api laras pendek yang beradada di tangan Orochimaru. Begitu banyak hal ketika itu yang melintas di kepala seorang Mikoto, penyesalannya, rasa bersalahnya, penghianatannya, semua berproses dalam waktu yang bersamaan, membuat dadanya terasa semakin sesak. Seluruh indera di tubuhnya seperti kehilangan fungsinya, telinganya hanya dapat mendengar suara detak jantung dan nafasnya sendiri, kerongkongannya hanya dapat menyuarakan tangis, sedangkan pandangannya hanya terfokus pada kilau logam senjata di tangan Orochimaru.

Mikoto sudah mencapai batasnya, ia sudah tidak memiliki kekuatan lagi untuk meneruskan semua ini, penyesalannya tidak akan pernah terselsaikan, penghianatannya tidak akan pernah terbayar, hidupnya sudah kehilangan arti. Lantas jika benar begitu, buat apa lagi ia hidup ? Lebih baik ia mati saja kan ? Ya, mungkin lebih baik begitu.

Tidak Naruto atau Orochimaru yang ketika itu dapat menduga apa yang terjadi selanjutnya. Saat mereka berdua masih saling beradu pandang, tiba-tiba Mikoto bangkit dan berusaha untuk merenggut senjata api yang berada di tangan Orochimaru secara paksa.

Refleks, Naruto menggerakan tangannya untuk mencegah Mikoto melakukan tindakan gegabah. Namun, gerakannya terlambat, Mikoto dengan begitu cepat, meraih senjata tersebut dan mengarahkan moncongnya tepat di keningnya sendiri. "MIKO-NEE !"

"Hentikan !" Mikoto berteriak keras, membuat seluruh kehidupan di ruangan tersebut memusatkan perhatian mereka kepadanya. Sebelah tangan wanita berambut hitam itu terasa bergetar, bagaimana pun juga tetap Mikoto merasakan takut, tapi sadar bahwa hidupnya sudah kehilangan arti, wanita berkulit saljut itu enggan untuk mengurungkan niatnya. "Ja-jangan dekat-dekat !" lanjutnya sekali lagi.


The Demon in His Heart


Kediaman Uzumaki...

"Tck, kita tidak bisa terus menerus membiusnya seperti ini." Jiraiya kelihatan khawatir dengan keadaan Kushina yang terbaring tidak sadarkan diri diatas ranjangnya.

"Lalu apa maumu ? Kushina tidak akan berhenti untuk mencoba pergi jika kita tidak melakukan ini ! Apa menurutmu sebaiknya kita mengikat tubuhnya begitu ?" balas Tsunade yang kedengaran begitu penuh dengan emosi.

"Aku tidak mengatakan hal itu hime."

"Kami ! Jangan bercanda dalam situasi seperti ini !" hardik Tsunade, barusan saja ia mendengar informasi tentang Naruto dan saat itu juga emosinya meletup, membuat wajah Jiraiya setidaknya kini dihiasi oleh lebam di beberapa bagian.

"Aku tidak sedang main-main !" balas Jiraiya tidak kalah frustasi.

Tsunade tidak membalas kata-kata Jiraiya, ia hanya berjalan di sekitar ruangan sambil memijat-mijat keningnya sendiri. Kadang matanya melirik kearah Kushina yang terbaring di atas ranjang tidurnya, memikirkan bagaimana perasaan wanita tersebut setelah mengetahui perbuatan yang dilakukan oleh Naruto. "Kami, apa yang sebenarnya terjadi !"

Jiraiya menghela nafasnya sambil menggelengkan kepala. "Entahlah, tapi aku sudah tidak bisa melakukan apa-apa lagi, sebentar lagi mungkin seluruh Konoha akan tahu tentang Naruto."

"Apa maksudmu ?"

"Kakashi barusan menghubungiku, dia bilang rekaman video yang menangkap perbuatan Naruto sekarang sudah berada di tangan Danzo."

"Ki-kita harus melakukan sesuatu !"

Jiraiya memandangi wanita di hadapannya. "Apa ?"

"Sensei ! Kita harus meminta bantuan sensei !" ujar Tsunade yang tiba-tiba teringat akan sosok pembimbingnya ketika ia muda dulu.

"Kami ! Sensei adalah seorang Hokage, kau pikir apa yang bisa dilakukan olehnya ? Menyembunyikan kejahatan yang dilakukan oleh Naruto ?"

"Lalu menurutmu Naruto sengaja melakukannya !" bentak Tsunade.

"Aku tidak tahu !"

Keduanya saling beradu pandang, dari tiga tokoh legendaris Konoha yang dulu memiliki setumpuk jasa berlimpah pada kota ini, hanya Jiraiya dan Tsunade sajalah yang masih saling berhubungan. Mereka berdua sudah bersahabat sejak lama, jauh sebelum Jiraiya dan Tsunade bergabung di kemiliteran Konoha, bersama seorang sahabat lagi yang bernama Orochimaru, sebetulnya mereka bertiga adalah sosok jenius yang sangat diharapkan oleh Konoha.

Tapi setelah perang, Jiraiya memilih untuk mundur dari karir kemiliterannya dan bergabung dengan kepolisian, diikuti oleh Tsunade yang kemudian memilih untuk mengembangkan ilmu dan pengalaman yang ia miliki sebagai seorang ahli medis di Konoha. Berbeda dengan Orochimaru, tidak banyak yang tahu tentang dirinya setelah pria itu keluar dari kemiliteran selain bahwa ia mengorbankan karirnya untuk terjun ke dunia bisnis. Entah bisnis seperti apa, tapi menurut kabar dan cerita dari berbagai pihak, Orochimaru kerap melakukan bisnis dan kegiatan ilegal yang justru sangat bertentangan dengan prinsipnya dulu, yaitu untuk melindungi Konoha.

Tsunade sendiri sangat dihormati oleh seorang Kushina. Dia menganggap wanita berambut merah itu hampir sebagai bagian dari keluarganya sendiri, dan menganggap Naruto seperti putranya sendiri, walau memang kesibukannya sebagai seorang ahli medis tidak mengizinkan Tsunade untuk bisa sering berkomunikasi dengan mereka. Tapi setidaknya, bagi Tsunade yang kini hidup sendirian setelah seluruh keluarganya menjadi korban perang puluhan tahun yang lalu, keluarga kecil Kushina dapat mengisi kekosongan di dalam hatinya.

Perkenalan Tsunade dengan keluarga Kushina sendiri terjadi dulu ketika Hiruzen membawa wanita berambut merah tersebut ke Konoha saat usianya masih menginjak tiga belas tahun. Menurut Hiruzen, Kushina berasal dari keluarga Uzumaki yang merupakan bagian keluarga dari nenek Tsunade, dan itu secara tidak langsung menjadikan Tsunade dan Kushina sebagai kerabat. Tentu Tsunade ketika itu merasa sangat bahagia, bagaimanapun juga ia baru saja kehilangan anggota keluarganya dan tentu mendapatkan keluarga yang baru, setidaknya membuat Tsunade merasa gembira. Tapi hubungan mereka tidak langsung menjadi dekat karena ketika itu Tsunade sendiri masih sibuk dengan pekerjaannya sebagai seorang prajurit Konoha, sedangkan Kushina masih terlalu shock dengan lingkungan barunya di Konoha.

Setelah perang usai, hubungan antar Tsunade dan Kushina menjadi semakin dekat. Kesibukan wanita yang disebut-sebut sebagai jenius di bidang medis itu tidak lagi menyita waktunya untuk menjalin ikatan keluarga dengan Kushina, dan memang ketika itu, Kushina sendiri sudah bisa menerima keadaan lingkungan baru di sekitarnya. Jadilah untuk beberapa tahun ke depan, mereka sebagai sebuah keluarga kecil sampai suatu hari Kushina menerima lamaran dari seorang pemuda bernama Minato dan berencana untuk memulai keluarganya sendiri.

Tsunade tidak begitu menyukai Minato, ia tahu bahwa pernikahan antar Kushina dan pemuda pirang itu bukanlah sesuatu yang didasari oleh perasaan cinta. Ada unsur politik yang memaksa Kushina untuk menikahi Minato agar posisinya di Konoha aman, tapi setidaknya Tsunade bisa menghargai Minato yang memang merupakan seorang laki-laki dengan prinsip hidup serta hati yang sangat kuat.

Tidak lama setelah pernikahan keduanya, Kushina melahirkan seorang anak yang diberi nama Naruto. Masih jelas teringat di kepalanya bagaimana reaksi Tsunade ketika ia pertama kali melihat sosok bayi kecil bermata biru tersebut, sejak semula ia sudah bersumpah untuk selalu menjaganya dan membimbingnya, ada suatu daya tarik yang terkesan mistis dari bayi Naruto, bola mata birunya yang memandang polos melihat dunia seolah memiliki kekuatan untuk menghangatkan hati siapa saja yang melihatnya, tidak terkecuali Tsunade sendiri.

Yah, tapi hidup tidak pernah berjalan sesuai dengan apa yang direncakan. Semakin Naruto tumbuh besar, semakin jauh juga hubungan Tsunade dengan keluarga kecilnya. Kesibukan kerja, pertemuan-pertemuan penting, sampai penelitian yang memakan waktu begitu panjang menjadi seperti penghalang bagi Tsunade untuk membagi waktunya dengan Naruto kecil.

Memang itu tidak berarti hubungan diantara Tsunade, Naruto dan Kushina sendiri menjadi sirna, mereka masih saling berhubungan, tapi intensitasnya semakin hari semakin berkurang. Sekarang ini saja, sudah hampir setengah tahun Tsunade tidak pernah bertemu dengan Naruto atau Kushina, sesuatu yang sebenarnya disesali olehnya dalam hati.

Lalu beberapa saat yang lalu, tepat ketika Tsunade baru sampai di Konoha dari kunjungan profesinya di kota Iwa. Jiraiya tiba-tiba menghubunginya, mengatakan bahwa sesuatu yang buruk terjadi pada Kushina dan Naruto. Betapa terkejutnya Tsunade ketika ia sampai di kediaman Kushina dan menyaksikan bagaimana wanita tersebut meronta, mengamuk seperti seseorang yang kesetanan sambil berteriak memanggil-manggil putranya.

Karena itu Tsunade terpaksa membius wanita berambut merah tersebut agar situasi bisa menjadi lebih terkendali. Namun rupanya, itu saja tidak cukup, begitu Tsunade mendengar apa yang telah terjadi pada Kushina, pria bersurai pucat itu mengatakan semuanya. Semuanya. Ia menceritakan tentang kasus yang sekarang sedang ditanganinya, ia menceritakan tentang pembunuhan seorang anggota dewan Konoha yang terjadi sore tadi, ia menceritakan bahwa pelakunya tidak lain adalah Naruto.

Naruto.

Sekarang Tsunade sudah kehabisan akalnya, ia duduk di tepi ranjang Kushina sambil terus memijat kening, berusaha untuk mengurangi rasa sakit yang ketika itu terasa menusuk di kepalanya. "Apa rencanamu Jiraiya ?"

Jiraiya mengangkat kedua bahunya, sejujurnya ia sendiri tidak tahu dan masih berpikir keras tentang hal tersebut. "Untuk sekarang ini tidak ada, tidak sampai Kushina bicara."

"Jadi kau mau membiarkan Naruto ?" Tsunade mengarahkan pandangannya pada sang detektif lengendaris Konoha yang sekarang sedang bersender di salah satu tembok kamar tempatnya berada.

"Hime, aku tidak bisa melakukan apa-apa, tapi aku menemukan sesuatu yang janggal dari tingkah Kushina tadi." Ujar pria bertubuh besar itu lemah.

Tsunade mengangkat sebelah alisnya. "Maksudmu ?"

"Awal ketika Kushina mengamuk tadi, aku belum menceritakan tentang Naruto padanya."

"Dia tidak tahu ?" tanya wanita berambut pirang itu sambil mengerutkan keningnya.

"Awalnya tidak, aku yang ketika itu salah duga. Saat Kushina mengamuk memintaku untuk membiarkannya mencari Naruto, aku tadinya mengira bahwa ia memang sudah tahu tentang Naruto, entah mungkin karena Naruto sendiri yang bilang padanya atau entah dari mana, tapi aku menduga hal tersebut. Lalu ketika aku membahasnya, Kushina justru kelihatan kaget, ia semakin berontak, dan dari awal tadi seperti yang kau dengar sendiri ia selalu mengatakan 'maaf' atau 'ini salahku', aku masih tidak paham dengan hal tersebut."

Tsunade kemudian menghembuskan nafas panjang dari mulutnya. "Kalau begitu sebaiknya kita bawa Kushina ke rumah sakit."

Jiraiya mengerutkan kening, sedikit menunjukkan rasa tidak setuju lewat ekspresi yang terpancar dari wajahnya. "Kenapa ?"

"Karena disana aku memiliki orang-orang yang dapat kupercaya untuk menjaganya, dan setidaknya aku bisa melindungi Kushina dari... kepolisian."

Jiraiya mengusap rambutnya sekuat tenaga, sekarang ini ia terpaksa melawan sumpahnya sendiri. Ucapan Tsunade memang benar, dengan diketahuinya identitas Naruto sebagai pelaku pembunuhan Tsume, tentu saja kepolisian akan menjadikan Kushina sebagai saksi, mengorek informasi tentang Naruto secara detil darinya, dan dalam keadaan Kushina yang seperti sekarang, Jiraiya sangat mengerti bahwa hal itu justru akan memperburuk kondisinya.

"Sialan, tidak pernah terlintas di kepalaku hari ini akan datang." ia memaki entah pada siapa, merasa benar-benar dibuat frustasi dengan seluruh kejadian ini.

"Kau tidak sendirian dalam hal itu."

"Baiklah kalau begitu, Kushina sekarang adalah tanggung jawabmu. Aku akan mengawasi gerak-gerik yang akan dilakukan oleh Danzo untuk sementara, tapi kupikir dia akan mengeluarkanku dari kasus ini jika tahu bahwa Naruto terlibat."

"Dia tahu tentang hubunganmu dan keluarga Naruto ?"

Jiraiya mendengus seolah tidak percaya dengan pertanyaan konyol tersebut, setelah itu kemudian ia berkata. "Kau pikir dulu yang mengejar Kushina sampai ia harus menikah dengan Minato itu siapa ?"

"Ma-maksudmu !?"

"Danzo terobsesi dengan keluarga Uzumaki, atau lebih tepatnya dengan darah keluarga Uzumaki. Kau tahu sendiri dari sensei bagaimana seorang Uzumaki berbeda dengan orang biasa kan ?"


The Demon in His Heart


Sudut pelabuhan Konoha, salah satu markas rahasia Orochimaru...

Sebelumnya, Naruto tidak pernah merasakan takut yang sebesar ini dalam hidupnya. Mungkin terdengar berlebihan di telinga orang lain, tapi pada kenyataannya memang begitulah yang sekarang ini sedang terjadi. Dalam perjalanan hidupnya, Naruto tentu pernah merasakan takut, banyak hal yang dapat membuat seorang Naruto takut, tapi satu hal yang paling ia takuti dalam hidupnya adalah jika ia harus sekali lagi harus kehilangan bagian penting dalam kehidupannya, kehilangan seseorang yang memiliki arti begitu besar dalam kehidupannya.

Lalu kini ketika Mikoto berdiri hanya beberapa langkah saja darinya, menatap kearah pemuda berambut matahari tersebut dengan kedua mata yang dipenuhi oleh penyesalan sambil memegangi senjata api yang ia arahkan pada keningnya sendiri, seketika itu juga seluruh dunia terasa berputar. Kedua kaki Naruto seolah kehilangan keseimbangan, isi dalam perutnya berontak, setiap jengkal bagian tubuhnya bergetar hebat, ia tidak dapat mendengar apa-apa, ia tidak dapat merasakan apa-apa, hanya satu hal yang ketika itu menjadi pusat seluruh keberadaan dirinya, Mikoto.

"Mi-Miko-nee..." dengan suara yang bergetar Naruto berusaha memanggil wanita yang beridiri di hadapannya, tangannya bergerak maju, seolah ingin meraih kearahnya. "Mi-Miko-nee, kumohon berikan senjata itu padaku..."

Mikoto menggelengkan kepalanya sambil melangkah mundur, memberikan jarak diantara dirinya dan Naruto agar pemuda berambut matahari tersebut tidak dapat mencegahnya. "A-aku *hic* a-akan bertanggung ja-jawab *hic* de-dengan perbuatanku... a-aku *hic* akan me-menukarnya *hic* dengan nya-nyawaku se-sendiri." Naruto melihat genggaman tangan Mikoto pada senjata di telapak tangannya semakin kuat, telunjuknya yang bersentuhan langsung dengan pelatuk pistol tersebut, bergerak sedikit demi sedikit.

"MIKO-NEE !" Naruto meneriakkan namanya, jantungnya seolah berhenti ketika ia melihat telunjuknya tadi bergerak, oksigen dalam paru-parunya seolah terhisap keluar ketika ia membayangkan apa yang akan terjadi jika benar saja Mikoto menarik masuk pelatuk tersebut. "Mi-Miko-nee, kumohon, kumohon berikan benda itu padaku !" Pengelihatan Naruto mulai buram, dalam kondisi seperti ini, ia bahkan tidak bisa menyadari bahwa air matanya sudah terkumpul dan menunggu untuk ditumpahkan. Takut, hanya itu yang dapat ia rasakan, ketakutan yang begitu hebat, yang sebelumnya sama sekali tidak pernah ia rasakan.

"Ke-kenapa *hic* ka-kau me-mencegahku ? Bu-bukankah *hic* ka-kau tidak pe-peduli pa-padaku ?" ujar Mikoto dengan penuh tanya.

"Aku bohong ! Aku bohong Miko-nee ! Aku peduli padamu !" Rengek Naruto sambil diam-diam menggeser kakinya mendekat kearah Mikoto.

Diluar dugaan, Naruto menemukan sebuah senyuman yang terpancar di wajah Mikoto. "Ka-kau *hic* ti-tidak pe-perli *hic mengatakan itu... a-aku tahu *hic* ka-kau menyalahkan a-aku *hic*, dan a-aku *hic* se-sendiri pun *hic* a-akan te-terus me-menyesali *hic* ke-kebodohanku di-di alam sa-sana."

"Miko-nee !" Rahang Naruto mengeras, jantungnya berdegup kencang, entah bagaimana caranya menyiratkan perasaan yang sekarang ini menguasai pemuda berambut pirang tersebut. "Aku... aku memaafkanmu, Miko-nee, aku memaafkanmu, sekarang berikan pistol itu padaku." Ujar pemuda pirang tersebut.

Sekali lagi Mikoto menggelengkan kepalanya. "A-aku tidak *hic* i-ingin kau memaafkan aku se-seperti *hic* itu... a-aku *hic* memang salah... a-aku hanya *hic* ingin kau memberikan se-setidaknya *hic* ke-kesempatan bagiku u-untuk *hic* menunjukkan ba-bahwa a-aku *hic* menyesal..." Mikoto kemudian berusaha meneguk ludahnya sendiri sebelum kemudian melanjutkan kata-katanya. "Ta-tapi *hic* a-aku ta-tahu *hic* bahwa a-aku *hic su-sudah terlambat *hic* u-untuk itu."

Air mata Naruto menetes dari sebelah matanya. "Kau tidak perlu melakukannya, aku yang salah Miko-nee, aku yang takut, aku takut kehilangan dirimu seperti aku kehilangan kaa-chan... aku tidak menyalahkanmu, kau tidak bersalah, apa yang terjadi padamu bukanlah sesuatu yang kau rencanakan... kau tidak menghianatiku... aku bohong tadi, aku bohong."

"Ta-tapi *hic* ka-kau tadi *hic* me-membiarkanku be-begitu *hic* saja, ka-kau tadi bi-bilang *hic* bahwa kau tidak pe-peduli *hic* bahkan ji-jika aku mati *hic* se-sekalipun"

"Tidak akan terjadi apa-apa padamu Miko-nee, Orochimaru berbohong, aku sudah mengenalnya lama, aku tahu dia tidak mungkin membiarkan kau pergi begitu saja setelah mendapat permintaan dari seorang klien, aku tahu gayanya, aku tahu dia akan menjagamu."

"A-aku me-menghancurkan *hic* se-semuanya, hi-hidupmu, *hic* ma-masa depanmu *hic* SEMUANYA !"

Naruto menghembuskan nafas panjang dari mulut dan hidungnya, perlahan kedua bola mata birunya bergulir, mengunci kearah manik obsidian yang menghiasi wajah Mikoto, lalu ia tersenyum. "Tidak, kau tidak menghancurkan hidupku, tapi kau menghancurkan ilusi yang menyelubung kehidupanku, kau menunjukkan padaku kenyataan yang sebenarnya terjadi. Aku tidak suka itu, tapi kenyataan adalah kenyataan dan mau tidak mau aku harus menjalankannya..."

Telunjuk Mikoto yang menyentuh pelatuk pistol semakin kehilangan kekuatannya, perlahan kata-kata yang diucapkan oleh Naruto menyentuh hati terdalam wanita Uchiha tersebut, tapi belum cukup untuk membuatnya mengubah keputusan.

"Miko-nee, aku tidak membencimu, tidak pernah, sekarang kumohon... berikan itu padaku, dan jika kau merasa bersalah padaku, kemarilah, kemari dan perbaiki kesalahanmu..." ujar Naruto.

Mendengar ucapan tersebut, Mikoto mendadak kehilangan suaranya. Kami, sejak kapan Naruto bisa berbicara seperti ini, Naruto yang polos dan naif, yang selalu saja tersipu ketika ia menggodanya, sekarang mengucapkan kalimat yang benar-benar menyentuh jiwanya. Pengecut, Mikoto memang pengecut, bukan mencoba untuk memperbaiki situasi ini, dia justru memilih jalan keluar para pecundang. Memilih untuk mati dan membiarkan Naruto sendirian menantang kehidupan, kehidupan yang ia hancurkan oleh keputusan bodohnya kala itu. Tapi apakah itu benar ? Apakah Naruto tidak membencinya ? Bahkan ketika ia sendiri tadi mengatakan bahwa ini adalah salahnya.

"Na-Naru-chan ?"

Perlahan ia menurunkan tepi laras senjata api yang ia genggam dari keningnya sendiri, entah apa yang terjadi selanjutnya, Mikoto tidak begitu sadar, tapi ketika pistol yang digenggamnya mengarah ke lantai, ia merasakan dekapan yang sangat kuat di tubuhnya. "Janga pernah... takuti aku... seperti itu lagi..." suara bisikan terdengar lembut ditelinganya, suara itu tidak pernah bisa lepas dari ingatan seorang Mikoto, suara pemuda yang memiliki arti lebih besar daripada dirinya sendiri. Suara seorang Naruto.

"Na-Naru-chan ?" Mikoto menggerakan lehernya sedikit dan melihat kepala Naruto sedang beristirahat di sebelah pundaknya. Seketika itu juga seluruh perasaan yang terkurung dalam dirinya tumpah, Naruto mendekapnya, ia memeluk tubuhnya. "Naru-chan, Naru-chan, Naru-chan." Ujarnya berkali-kali sambil melingkarkan kedua tangannya di punggung pemuda berambut pirang tersebut.

Lalu untuk beberapa saat mereka saling menumpahkan perasaannya masing-masing dalam pelukan tersebut. Sambil tertawa, sambil menangis, sambil terus mempererat pelukannya. Mereka tidak sadar bahwa ketika itu mereka saling mendekap dalam keadaan berlutut, sepucuk tokalev hitam yang tadi dipegang oleh Mikoto kini tergeletak di lantai, baik itu Naruto atau Mikoto sekalipun sudah lupa dengan benda konyol tersebut. Ah, jangankan senjata, bahkan mereka berdua pun tidak menyadari bahwa di ruangan tersebut masih ada Orochimaru yang berseringai lebar karena telah berhasil menjalankan rencananya.

"Na-Naru-chan *hic* ka-kau ti-tidak *hic* me-menyalahkanku ?"

"Miko-nee..." Naruto berbisik pelan di telinga Mikoto yang sebagian tertutup oleh surai hitamnya. "Aku kecewa padamu, tapi aku tidak menyalahkanmu... jika memang kaa-chan menyayangiku sebagai putranya, dia tidak akan melakukan apa yang ia lakukan selama seminggu ini."

"Ta-tapi *hic* a-aku yang *hic* me-memulainya *hic* di klub ma-malam *hic* itu."

"Kau melakukan sesuatu yang bodoh Miko-nee, tapi kau tahu sendiri kan ? Kau ketika itu diracuni, sedangkan kaa-chan ? Apakah selama seminggu ini dia diracuni ? Apakah dia diracuni ketika setiap paginya berbohong padaku ketika mengatakan bahwa ia pergi bekerja, lalu ketika pulang terlalu malam berbohong lagi dengan mengatakan bahwa ada rapat penting ?"

"Na-Naru-chan *hic*... Naru-chan *hic*..." Mikoto mendekap tubuh Naruto semakin kuat lagi.

"Kau tidak membohongiku, kau bahkan bilang padaku bahwa kau akan kembali pada keluarga Uchiha. Aku tidak suka itu, tapi kau tidak membohongiku."

"Tidak akan... tidak akan pernah Naru-chan, aku tidak akan pernah berbohong padamu." Balas Mikoto, juga dengan bisikan lembut di telinga Naruto.

"Maafkan aku Miko-nee, aku tidak ingin membuatmu menangis seperti ini," ujar Naruto sambil mempererat pelukannya, "tapi aku tidak ingin kau membuang waktumu denganku, tanganku sudah dikotori oleh darah... aku bukan lagi Naruto yang dulu, aku adalah seorang pembunuh sekarang dan sebentar lagi aku juga akan menjadi seorang buron."

"A-aku tidak pe-peduli *hic* ka-kau tetap *hic* Naru-chanku, *hic* ka-kau te-teap *hic* ke-keluargaku *hic* sa-satu-satunya *hic*..."

Mikoto dapat merasakan anggukan kepala Naruto di sebelah bahunya, ia tersenyum, semuanya terasa lengkap sekarang. Apa pun yang terjadi tadi, kemarin, atau minggu lalu, semuanya seketika itu juga sudah tidak lagi penting. Mikoto sudah melupakan hal tersebut, baginya yang penting sekarang ini adalah untuk memulai semuanya dari awal lagi, bersama pemuda yang begitu ia sayangi, bersama Naruto, menjadi sebuah keluarga yang utuh.

"Ehem..." Orochimaru yang semakin lama merasa kehadirannya menjadi awkward, kemudian membersihkan tenggorokannya.

Terkejut mendengar suara Orochimaru, Naruto dan Mikoto seketika itu juga langsung saling melepas pelukan mereka.

"Ah, maaf... aku tidak bermaksud mengganggu kalian." ujar Orochimaru sambil tersenyum.

"..." Naruto tidak mengatakan apa-apa, ia membuang mukanya jauh-jauh kearah tembok, tidak ingin pria paruh baya itu melihat ekspresi malu di wajahnya.

Sedangkan Mikoto berbeda, ia kelihatan kesal karena momen indahnya diganggu oleh pria berwajah pucat tersebut. "Kenapa ?" ucapnya dengan nada tinggi.

"Ah, tidak." Ujar Orochimaru sambil tersenyum, ia lalu berjalan mendekati sepucuk tokalev yang tergeletak di permukaan lantai sambil kemudian mengangkat benda logam tersebut dari sana. "Kalian tahu apa yang menarik dari ini semua ?" ia tiba-tiba bertanya, membuat Mikoto dan Naruto memandang kearahnya dengan masing-masing kening mereka dalam keadaan berkerut.

Naruto tidak langsung menjawab pertanyaan tersebut, ia menyorot kesal terlebih dahulu kearah Orochimaru sampai sebelum akhirnya berkata. "Apa ?"

"Aku tidak pernah mengisi senjataku dengan peluru di ruangan ini." ucapnya sambil tertawa kecil.

"Kau benar-benar brengsek Orochimaru."


The Demon in His Heart


Keesokan harinya, di sudut pelabuhan Konoha, salah satu markas rahasia Orochimaru...

Naruto berdiri di tepi pelabuhan, memandangi terbitnya matahari dari balik lautan biru yang membentang luas di hadapannya. Dia merasa sedikit aneh, bohong jika mengatakan bahwa luka di hatinya sekarang ini sudah tidak lagi terasa, tapi entah kenapa justru luka yang dirasakannya tersebut kini seolah memperkuat perasaan-perasaannya yang lain. Bukan dendam, bukan kebencian, bukan amarah, tapi justru perasaan yang semula hendak dikubur olehnya dalam-dalam. Perasaan yang tadinya justru ia pikir tidak akan pernah lagi mekar dalam hatinya, rasa kasih, rasa sayang, rasa cinta.

Dan semua itu kini terpusat pada sosok seorang wanita bernama Mikoto. Entah bagaimana caranya mengungkapkan rasa yang tumbuh besar dalam hatinya ini pada wanita tersebut, ia bahkan tidak tahu perasaan sayang seperti apa yang berada disana. Jika mengatakan bahwa ia tidak merasakan sebuah ketertarikan pada sosok wanita cantik tersebut, maka sekali lagi ia berbohong, tapi perasaan yang tumbuh dalam hatinya ini bukanlah sesuatu yang dulu ia rasakan pada sang ibu. Ironis mungkin, tapi justru kasih sayangnya terhadap Mikoto adalah kasih sayang yang biasa dimiliki seorang anak pada bundanya. Apakah kelak perasaan itu akan berubah ? Naruto tidak tahu, tapi kali ini ia akan mencegah hal itu agar tidak terjadi. Kali ini ia tidak akan berlaku egois, ia akan selalu mendukung Mikoto dengan siapapun nanti wanita tersebut menemukan pasangannya.

Yang ia takutkan hanya satu, ia takut kehilangan Mikoto. Naruto takut dikhianati olehnya, entah jika itu terjadi lagi mungkin ia benar-benar akan menjadi gila, tapi ia bersumpah untuk tidak menodai perasaannya pada Mikoto hanya karena ia merasa bahwa wanita itu adalah miliknya. Apa yang terjadi pada Kushina, sang ibu, memang murni adalah sesuatu yang lahir dari perasaan cemburunya, dari keegoisannya yang menginginkan sosok wanita tersebut untuk menjadi miliknya seorang. Dan lihat apa yang terjadi ? Hancur separuh hatinya. Karena itu sekarang ia tidak ingin lagi memberikan batas-batas pada perasaan dalam hatinya, ia tidak akan lagi memberikan ruang bagi penghianatan dalam hidupnya. Jika sejak semula ia sudah memutuskan untuk tidak lagi menyikapi cintanya pada Mikoto dengan egois, maka kelak jika hal ini terjadi lagi, jika Mikoto tiba-tiba menemukan sosok laki-laki lain dalam hidupnya, maka Naruto tidak akan merasa dikhianati.

Atau mungkin memang pada dasarnya Naruto tidak pernah melihat Mikoto sebagai objek seks sebagaimana dulu ia dengan pikiran dan imajinasi kotornya melakukan hal tersebut pada sosok sang ibu. Entahlah, tapi yang dirasakan olehnya sekarang memang sepertinya lebih murni, lebih besar, dan tidak dikotori oleh apapun.

"Hei, kau tidak tidur semalaman ?" Suara Gaara tiba-tiba terdengar dari belakang, membuat Naruto seketika itu juga membalikkan tubuhnya dan memandang kearah pemuda berambut maroon tersebut.

Naruto tersenyum. Dalam hatinya ia masih merasa bersalah pada Gaara. "Tidak, luka-luka di tubuhku terasa sakit ketika Kabuto membalurinya dengan obat, aku tidak bisa tidur semalaman."

Gaara membalas senyum sahabatnya, situasi diantara mereka berdua menjadi sedikit awkward setelah peristiwa kemarin ketika Gaara menghantamkan tinjunya tepat di bibir Naruto. "Ng... ano, aku minta maaf... bibirmu, maksudku kemarin ketika aku memukulmu."

"Itu salahku, semalam aku bersikap seperti orang tolol." Naruto mengibas sebelah tangannya, memberikan gestur pada Gaara untuk tidak terlalu menghiraukan hal tersebut.

"Sangat tolol." Ralat Gaara.

"Hahaha... kau benar, sangat tolol." Ujar Naruto sambil tertawa kecil, "lagipula, seharusnya aku yang minta maaf." lanjut pemuda berambut pirang tersebut.

Gaara mengangkat kedua alisnya, tidak mengerti dengan maksud perkataan Naruto. "Kenapa ?"

"Karena aku bilang bahwa aku curiga padamu."

Mendengar penjelasan singkat dari Naruto, Gaara kemudian menghela nafas sambil melangkah mendekatinya, kepala serta pandangan pemuda Suna itu mengarah pada lautan di hadapannya. "Aku pernah berada di jurang yang sama denganmu... aku mengerti Naruto, dan aku sama sekali tidak keberatan dengan kecurigaanmu kemarin."

"Tapi kau memukulku ?" Naruto tersenyum.

"Hah ! Aku memukulmu karena aku tidak bisa menerima jika kau semudah itu menyalahkan Mikoto-san, aku tidak kenal baik dengannya, tapi aku bisa melihat bagaimana dia benar-benar menyayangimu, kau beruntung masih memilikinya Naruto."

"Aku tahu." Naruto mengangguk pelan.

"Kalau begitu apa yang mengganggu pikiranmu sekarang ?"

Naruto berpaling kearah Gaara, ia memandangi sahabat Suna-nya tersebut dengan kening yang berkerut sebelum akhirnya menggelengkan kepala dan berkata. "Kau punya indera keenam ya ?"

Gaara hanya tertawa kecil sambil mengangkat kedua bahunya ketika ia mendengar kata-kata tersebut. "Antara itu atau memang kau saja yang terlalu mudah ditebak."

Naruto kemudian menghembuskan nafas panjang dari mulut sembari memasukkan kedua telapak tangannya kedalam saku celana. "Entahlah, aku hanya takut..."

"Takut ?"

"Aku sekarang mendapat kesempatan kedua untuk memulai hidupku, tapi aku tetap masih saja membawa luka dari kehidupanku yang dulu. Luka itu, luka itu membuatku sadar bahwa ini semua, aku yang sekarang, kau, Mikoto, dan semua kesempatan baruku ini bisa hilang dalam sekejap sama seperti dulu."

"Bagus jika begitu kan ?"

"Bagus ?" Naruto mengertukan keningnya.

"Naruto, semua orang di dunia ini dapat kehilangan segala sesuatu yang penting bagi diri mereka dalam sekejap, bukan hanya kau, bahkan aku pun demikian. Kenapa aku bilang bagus ? Karena kau setidaknya sadar dengan hal itu, dan itu akan membuatmu lebih bisa menghargai apa yang kau miliki sekarang, dan tentunya juga untuk lebih kuat lagi menjaganya."

Naruto tersenyum, sorot matanya mengisyaratkan sedikit kesedihan, tapi senyum yang tersimpul di wajahnya terlihat tulus. Kata-kata memang benar, tidak pernah ada yang benar-benar pasti dalam kehidupan, tidak perasaan manusia, tidak bahkan hati mereka sekalipun. Semuanya dapat berubah dalam sekejap, entah karena suatu paksaan atau karena memang perubahan tersebut diinginkannya, mungkin terkesan tidak adil, tapi yah... begitulah hidup.

"Sudahlah, sekarang kau harus menemui Orochimaru dulu didalam, katanya ada sesuatu yang penting ingin ia bicarakan denganmu dan Mikoto-san." Ujar Gaara sambil menepuk bahu Naruto dan berjalan kembali ke arah gudang.

Naruto menganggukan kepalanya, Orochimaru kemungkinan besar baru saja selesai mempersiapkan identitas baru bagi Naruto dan Mikoto. Semalam setelah Naruto setuju untuk membawa Mikoto pergi, pria berwajah pucat itu kemudian meminta sedikit waktu tambahan untuk mengubah data identitas pada Naruto sekaligus mencocokannya dengan identitas baru untuk Mikoto.


...

Ruang kerja Orochimaru...

Ketika Naruto masuk ke dalam ruang kerja Orochimaru, ia sudah melihat pria paruh baya itu seperti biasanya menikmati secangkir teh sambil melakukan sebuah pembicaraan dengan Mikoto. Pagi ini Orochimaru tampak berbeda, jika kemarin ia mengenakan setelan jas, maka kini ia sudah kembali lagi dengan pakaian tradisional yang memang menjadi salah satu ciri khasnya, sedikit mengingatkan Naruto pada sosok Orochimaru yang ia kenal dua tahun lalu. Ketika Naruto pada saat itu setuju untuk bekerja padanya dengan alasan-alasan tertentu.

Mikoto sendiri masih kelihatan lelah, banyak hal yang terjadi pada wanita berambut legam tersebut kemarin, dan tentu saja hal itu membuat hati serta tubuhnya lelah. Kedua matanya terlihat sayu dan sedikit lebam, pakaiannya yang belum berganti nampak sedikit kusut, dan suaranya pun terdengar serak ketika ia mengucapkan 'selamat pagi' pada Naruto.

"Ah, Naruto, kebetulan sekali kau kesini sekarang, kau mau teh ?" Melihat kedatangan Naruto, Orochimaru kemudian menawarkan teh pada pemuda berambut pirang tersebut.

"Tidak." Jawab Naruto sambil berjalan menuju sofa tempat Mikoto sekarang sedang duduk, "Miko-nee, selamat pagi." ia kemudian berkata pada Mikoto yang entah kenapa menatap kearah Naruto dengan wajah murung.

"Naru-chan kau tidak tidur semalaman ?" Mikoto mengerutkan keningnya, jelas sekali ia kelihatan tidak suka dengan hal tersebut.

"Erh... aku tidak bisa tidur." Jawab Naruto sambil mengusap rambutnya.

"Kau kan sedang dalam keadaan seperti itu !" Mikoto mengucapkan kalimat tersebut dengan nada tinggi, memang insting guru seorang Mikoto bukanlah sesuatu yang dapat diremehkan. Kemarin Mikoto baru saja menangis dan meminta maaf padanya, sekarang ia sudah bisa memarahi Naruto seperti ini bahkan di hadapan Orochimaru. Tapi mungkin ia tidak bisa disalahkan sepenuhnya, jika Mikoto saja kelihatan begitu kelelahan sekarang, entah bagaimana keadaannya sendiri terlihat dihadapan wanita tersebut.

"Ya, maafkan aku sensei." Sindir Naruto sambil memutar matanya.

"Naruto !"

"Ah, sudahlah Mikoto-sama, Naruto mungkin tidak bisa tidur karena semalam obat yang diberikan oleh Kabuto padanya membuat ia merasa tidak nyaman."

"Tidak nyaman." dengus Naruto kesal, "Obat sialan itu membakar tubuhku !"

Orochimaru hanya tertawa saja mendengar kata-kata tersebut, sama seperti Naruto ia juga pernah dan bahkan cukup sering merasakan efek obat tersebut. "Ah, tapi percayalah obat itu akan mengembalikan tubuhmu seperti semula dalam waktu yang cepat, aku sendiri sudah mencobanya."

Naruto mengangguk ringan, tidak ingin membahas tentang obat sialan itu lebih lanjut lagi. "Jadi ? Gaara tadi mengatakan padaku bahwa kau sudah menyiapkan semuanya..."

"Ya, persiapan untuk kalian berdua sudah kuselesaikan."

"Kapan aku dan Miko-nee bisa berangkat ?"

"Pagi ini juga."

"Secepat itu ?" tanya Mikoto heran.

Orochimaru menganggukan kepalanya. "Ya, kalian berdua harus segera keluar dari Konoha sebelum identitas Naruto sebagai pelaku pembunuhan Tsume disebarkan ke seluruh jajaran kepolisian Konoha."

"Mereka sudah tahu ?" Naruto mengangkat alisnya.

"Sudah, kepala kepolisian Konoha yang bernama Danzo sendiri sudah mengetahuinya."

Naruto mengangkat sebelah alisnya, merasa heran dengan hal tersebut. "Lalu kenapa dia tidak segera menyebar identitasku ?"

Orochimaru mengangkat kedua telapak tangannya yang terbalik. "Aku sendiri tidak tahu alasannya, tapi aku punya dugaan bahwa ia sengaja menahan informasi tersebut agar pagi nanti ia sendiri bisa melakukannya di hadapan publik."

"A-apa yang harus kita lakukan ?" Mikoto kelihatan panik.

Orochimaru mengibas sebelah tangannya. "Tenanglah, aku sudah menyiapkan tempat untuk kalian."

"Maksudmu di kota Oto ?" tanya Mikoto.

"Kau tahu ?" Naruto bertanya heran.

Mikoto mengangguk kecil sambil menatap pemuda tersebut dengan perasaan agak bersalah. "A-aku tidak sempat memberitahukannya padamu, tapi kemarin Orochimaru bilang padaku."

"Aku tidak pernah dengar nama kota itu." Naruto mengerutkan keningnya sambil secara bergantian menatap kearah Mikoto dan Orochimaru.

"Tidak masalah, lagipula Oto adalah kota baru sehingga masih tidak banyak orang yang mengetahuinya." Orochimaru menjelaskan.

"Kenapa kau memilih kota itu ?" Naruto yang ketika itu merasa curiga, tidak bisa menghentikan dirinya untuk menanyakan hal tersebut, membuat Orochimaru berseringai lebar di hadapannya.

"Aku punya alasanku, tapi yang paling utama adalah karena Oto dan Konoha tidak memiliki relasi apapun, sehingga kelak jika jejakmu terendus oleh kepolisian Konoha, mereka tidak bisa melakukan apa-apa dan tidak bisa meminta pemerintahan Oto untuk melakukan ekstradisi."

Naruto mengangguk, jika benar Oto tidak memiliki relasi dengan Konoha, maka tempat itu memang sangat sempurna sebagai tujuan pelariannya, tapi mengetahui hal tersebut tidak berarti membuat Naruto melepaskan Orochimaru begitu saja. "Alasan lainnya ?"

Orochimaru tiba-tiba tertawa pelan ketika ia mendengar pertanyaan tersebut diajukan oleh Naruto. "Alasan lainnya adalah karena aku membutuhkan tenagamu."

"Tck, aku sudah bisa menebaknya." ujar Naruto sambil berdecak kesal.

"Ah, tapi ini berkaitan dengan identitas barumu." Orochimaru kemudian membuka laci mejanya, meraih dua lembar kartu identitas yang diikat dengan karet, lalu memberikan kedua kartu tersebut masing-masing pada Naruto dan Mikoto.

Tanpa membuang lebih banyak waktu, Naruto menerima kartu identitas tersebut dan langsung memeriksanya. "Hmmm..." ia bergumam pada dirinya sendiri sambil membaca informasi tentang identitas barunya dari kartu tersebut, memastikan bahwa tidak ada informasi dari identitas palsunya tersebut yang kelak dapat mencelakakannya.

Mikoto juga melakukan hal yang sama dengan Naruto, tapi tidak lama setelah ia memperhatikan kartu tersebut, konsentrasinya tiba-tiba pecah, keningnya berkerut. "Misae ?"

"Kau tidak keberatan dengan nama barumu kan ?" ujar Ocohimaru sambil menahan cangkir tehnya yang hampir saja ia tuangkan kedalam mulut.

Mikoto menggelengkan kepalanya, ia tidak keberatan dengan hal tersebut, tapi ada beberapa hal lain yang membuatnya sedikit heran. "Disini dikatakan bahwa aku masih berusia dua puluh satu tahun." Ujarnya.

Orochimaru mengangguk perlahan sambil menyuarakan bunyi 'hmm' dari mulutnya yang sedang meneguk teh. Baru setelah selesai menikmati teh tersebut, Orochimaru kemudian berkata. "Ah, kenapa Mikoto-sama ?"

"A-aku sudah berusia tiga puluh empat tahun !"

"Ah, tapi anda tentunya sadar bahwa penampilan anda sama sekali tidak menunjukkan bahwa anda sebenarnya sudah berusia tiga puluh tahun lebih."

Mikoto tidak tahu harus merasa tersanjung atau terhina, ia kemudian berpaling kearah Naruto, memandanginya dengan maksud meminta agar pemuda berambut pirang tersebut mengatakan sesuatu. Namun Naruto hanya mengangkat kedua bahunya dengan ringan sambil terus memperhatikan kartu identitas di tangannya.

"Katakan sesuatu Naru-chan !" protes Mikoto.

Naruto mengangkat sebelah alis matanya. "Aku harus berkata apa lagi ? Lagipula aku juga setuju dengan Orochimaru, justru jika kau menggunakan usiamu yang asli orang-orang akan curiga."

"Na-Naru-chan !?" Tanpa disadari olehnya sendiri, wajah Mikoto berubah merah. Apakah Naruto baru saja memuji kecantikannya dengan m engatakan bahwa dirinya masih kelihatan muda ? 'Kami ! apa yang kau pikirkan Mikoto ! Ini bukan waktunya berpikiran seperti itu !' Mikoto dapat merasakan permukaan kulit di wajahnya yang semakin panas, tidak perlu orang lain mengatakan padanya, ia sudah tahu bahwa kini mukanya pasti kelihatan sangat merah.

Tidak ingin mempermalukan dirinya lebih lanjut lagi, Mikoto kemudian mengalihkan pembicaraannya. "Ta-tapi ini, disini ditulis juga aku bekerja sebagai guru, apa maksudmu ?"

"Mengenai pekerjaanmu, aku sudah mengaturnya, kau akan mengajar di salah satu sekolah swasta di Oto, sebuah sekolah kecil yang sederhana tapi setidaknya cukup untuk membiayai hidupmu."

"Maksudmu ?"

"Naruto aku hanya memberikan identitas, tempat tinggal dan mungkin beberapa fasilitas lain yang dapat kau gunakan disana, tapi aku tidak akan terus menerus mengirimi kau uang untuk hidup. Kau bilang kau mau memulai hidupmu yang baru disana kan ? Jika betul begitu maka lakukan sesukamu."

"Aku mengerti, tapi disini kau menulis bahwa aku berusia sembilan belas tahun dan aku memiliki pekerjaan..."

"Lalu ?"

"Jangan bermain lidah denganku Orochimaru, kau memberikan Miko-nee pekerjaan dan itu berarti kau juga melakukan hal yang sama padaku, katakan sekarang, apakah ini maksud kata-katamu tadi ? saat kau bilang bahwa kau membutuhkan tenagaku ?"

"Luar biasa, kau luar biasa Naruto, kau bisa membaca jalan pikiranku." Ujar Orochimaru sambil tersenyum layaknya seorang ayah yang bangga terhadap kecerdasan putranya.

"Katakan padaku apa yang kau mau ?"

"Ah, mudah saja. Aku memiliki sebuah perusahaan kecil disana Naruto, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa, aku ingin kau mengepalai perusahaan tersebut sekaligus mengatur bisnisku yang lain disana. Jika kau mau, kau tidak usah memikirkan lagi soal uang, seluruh aliran keuangan di sana kuserahkan sepenuhnya padamu, tanpa perlu kau membaginya denganku."

Naruto mengerutkan keningnya. "Kau sama saja memberikan perusahaanmu padaku jika seperti itu."

"Ah, tapi itu memang niatku."

"Lalu jika justru perusahaanmu bangkrut ?"

Orochimaru tersenyum, memang baginya ini adalah sebuah perjudian, tapi demi mendapatkan Naruto dan demi menjalankan rencananya di Oto, mau atau tidak mau dia harus berani mengambil resiko. "Maka bangkrutlah..." ujar pria tersebut tanpa menunjukkan sedikit keberatan sama sekali.

"Orochi-" Naruto hendak mengajukan keberatannya, tapi Orochimaru memotong kata-kata dari pemuda tersebut.

"Kau tidak perlu khawatir, bisnisku disana legal, lagipula identitasmu itu bukan identitas sembarangan." ujar Orochimaru sambil mengibas sebelah lengannya.

"Bukan identitas sembarangan bagaimana maksudmu ?"

"Orang-orangku sudah menyebar latar belakang sosok identitas palsumu itu, seorang pengusaha muda kaya raya yang menganggap Oto adalah tempat terbaik baginya untuk melebarkan sayap, kehadiranmu disana akan menjadi bahan perbincangan di beberapa kalangan."

Mendengar hal tersebut, Naruto memutar matanya sambil berdecak kesal. "Oh, yang benar saja ! Aku tidak menginginkan hal itu !"

"Kau harus melakukannya Naruto, kau tidak bisa menjaga Mikoto-sama jika kau tidak memiliki kekuatan, jangan lupa bahwa walaupun kau lepas dari kejaran pihak kepolisian Konoha, tapi itu tidak berarti para Uchiha akan melepaskan Mikoto-sama begitu saja."

"Bukankah ada organisasi yang akan membereskan mereka ?"

"Mereka butuh setidaknya satu atau dua tahun untuk menghancurkan keluarga Uchiha... kau pikir dalam jangka waktu tersebut Sasuke tidak akan mengerahkan kekuatan keluarganya untuk mencari Mikoto-sama ?"

Naruto menghembuskan nafas panjang dari mulut sambil memijat keningnya, memang sepertinya keinginan pemuda berambut pirang itu untuk benar-benar lepas dari Konoha tidak akan berjalan mulus begitu saja. Dengan persetujuannya untuk menjaga Mikoto, tentunya ia juga menjadikan dirinya sendiri sebagai sasaran bagi para Uchiha, memang ia tidak keberatan dengan hal tersebut, tapi jika ada hal yang ia takutkan ketika itu maka hal itu adalah karena sekarang ibunya tidak lagi berada dalam jangkauan Naruto, sehingga keamanannya tidak bisa ia pastikan secara langsung.

"Baiklah... baiklah... aku akan melakukan permintaanmu, tapi sebagai gantinya kau harus melakukan juga permintaanku." ujar Naruto.

Orochimaru tersenyum lebar. "Ah, aku selalu bersedia melakukan bisnis denganmu Naruto... katakan padaku, apa permintaanmu ?"

"Jaga kaa-chan baik-baik... aku tidak ingin Sasuke menggunakannya sebagai alat untuk mengancam Miko-nee..."

"Dan kau tidak keberatan dengan identitasmu yang seperti itu jika aku melakukannya ?"

"Aku tidak keberatan."

"Setuju." Dengan cepat, Orochimaru menyetujui pertukaran tersebut.

Berbeda dengan Naruto, ia kelihatan terpaksa dengan hal tersebut walau pada akhirnya ia juga menyetujuinya. "Kalau begitu aku juga setuju."

Sekali lagi Mikoto merasa tidak suka ketika ia mendengar bagaimana Naruto ternyata masih ingin memastikan keselamatan Kushina. Buat apa lagi Naruto melakukan itu ? Kenapa ia harus sampai repot-repot meminta Orochimaru memastikan keamaan Kushina setelah apa yang dilakukannya terhadap Naruto ? Tidak, Mikoto tidak suka, Naru-chan sekarang bukan lagi putra sahabatnya, Naru-chan sekarang adalah Naru-channya, dan Kami, Mikoto tidak akan membiarkan jalang berambut merah itu menyakiti bahkan sehelai rambut pirangnya saja.

Naruto melihat perubahan ekspresi pada wajah Mikoto ketika ia mengucap kata 'kaa-chan'. Sejak kemarin malam memang Mikoto tidak menyembunyikan perasaan tidak sukanya pada sang ibu, entah kenapa, tapi Naruto dapat melihat hal tersebut dengan sangat jelas. Karena itu, melihat reaksinya sekarang, Naruto kemudian menjelaskan padanya. "Miko-nee... aku berhutang padanya, apapun yang terjadi dialah yang telah melahirkanku ke dunia ini..."

Mikoto mengangguk kecil. "Aku mengerti Naru-chan... tapi aku tetap tidak suka."

Sadar tidak banyak yang bisa ia lakukan, Naruto hanya bisa menghela nafasnya saja untuk yang satu ini sebelum kemudian ia kembali memusatkan perhatiannya pada Orochimaru. "Baiklah Orochimaru, kalau begitu sekarang katakan padaku dimana letak hubungan semua ini dengan Gaara."

"Ah, ak-

"Tu-tunggu sebentar !" Mikoto menimpa kalimat yang akan diucapkan oleh Orochimaru dengan kata-katanya sendiri.

"Mikoto-sama ?" Orochimaru berpaling kearah Mikoto sambil kemudian mengangkat alisnya.

"La-lalu aku ? Bagaimana denganku, apakah kau menyebar latar belakangku juga ?"

"Ah, tentu saja... maaf aku belum menyampaikannya padamu." Orochimaru yang teringat akan hal tersebut mengajukan permintaan maafnya, setelah itu barulah ia berusaha untuk menjelaskan peran dan identitas Mikoto dalam penyamaran ini. "Aku mendapatkan pekerjaan untukmu sebagai guru disana karena sebelumnya aku sendiri sudah menyebar beberapa informasi tentangmu. Seperti yang anda ketahui, nama baru adalah Misae, anda adalah seorang wanita muda yang memiliki cita-cita untuk menjadi seorang guru sejak lama. Aku sengaja untuk tidak terlalu mengubah latar belakang pendidikan anda, hanya saja sekarang karena anda berperan sebagai istri dari seorang peng-"

Mikoto tidak membiarkan Orochimaru menyelesaikan kalimatnya, ketika ia mendengar kata 'istri' tiba-tiba secara refleks ia langsung menghentikan ucapan pria paruh baya tersebut dan berteriak kearahnya. "TUNGGU SEBENTAR !"

"Ng... ya ?" Orochimaru mengangkat alisnya.

"A-apa maksudmu dengan istri!?"

"Ah, aku tidak mengerti Mikoto-sama, tidak ada maksud lain dari kata-kataku." jawab Orochimaru sambil mengusap dagu.

Jawaban tersebut tentu saja bukan hanya membuat Mikoto terkejut, tapi juga membuatnya histeris. Lagipula yang benar saja, istri ? Sejak kapan ia menjadi seorang istri ? Dan jika ini memang hanya identitas palsu saja, maka siapa yang akan menjadi suaminya ? Membayangkan orang lain menyandang status sebagi suaminya saja membuat Mikoto merasa mual, sejak Fugaku ia sudah bersumpah untuk tidak pernah lagi percaya pada pria manapun, ia sudah bisa menerima takdirnya yang memang seolah mengutuk Mikoto untuk tidak pernah merasakan cinta.

"Yang benar saja ! Aku tidak mau tinggal dengan orang lain dan berpura-pura menjadi istrinya !"

Orochimaru menghela nafasnya. "Mikoto-sama, ini semua demi penyamaran anda."

"TIDAK MAU !" hardik Mikoto nyaring, membuat Orochimaru dan Naruto seketika itu juga menutup telinga mereka. Belum puas, wanita berambut hitam itu kemudian berpaling kearah Naruto. "Naru-chan ! Katakan sesuatu padanya !"

Naruto memutar matanya, Mikoto memang kadang terlalu serius, seharusnya ia mengerti bahwa ini hanya sebatas identitas palsu saja, mana mungkin Orochimaru berani memintanya untuk hidup bersama laki-laki yang sebelumnya tidak ia kenal dan bahkan berpura-pura menjadi istrinya. "Ng... Ini hanya pura-pura saja kan ?" tanya pemuda berambut pirang pada Orochimaru.

"Ah, tentu saja. Aku sengaja melakukan ini agar Mikoto-sama tidak mendapat gangguan, kau tahu sendiri Naruto, apa yang akan terjadi pada seorang wanita seperti Mikoto-sama jika statusnya lajang ?"

Naruto mengangguk kecil. "Hmm... kau sengaja melakukan ini agar tidak ada laki-laki yang berusaha mendekatinya ?"

"Tepat sekali."

Naruto kemudian menoleh kearah Mikoto. "Bagaimana Miko-nee ? Kecuali jika kau memang ng... mencari pasangan, kurasa ide Orochimaru ini bagus juga."

Mendengar hal tersebut, Mikoto merasa bimbang. Memang pada satu sisi apa yang ditawarkan oleh Orochimaru adalah sesuatu yang bagus, Kami, buat apa dia mencari pasangan baru ? Hal seperti itu tidak pernah terpikir sama sekali olehnya. Namun di sisi lain, menyandang status sebagai istri dari seseorang yang bahkan tidak dikenalnya adalah sesuatu yang membuatnya sangat tidak nyaman, walau sebenarnya Mikoto tahu bahwa hal seperti itu hanyalah permainan belaka.

Merasa tidak yakin, Mikoto mendadak gelisah. "A-aku... aku..."

"Tenanglah Mikoto-sama, kau hanya akan menyandang status saja, kau tentunya tidak perlu melakukan apa-apa yang tidak kau inginkan, kau bahkan tidak perlu bicara dengan suami palsumu jika kau tidak menginginkannya."

Gugup, Mikoto menundukkan kepalanya sambil memainkan jemari. "Si-siapa ? Si-siapa yang akan berpura-pura menjadi suamiku ?"

Orochimaru mengerutkan keningnya. "Kalian belum saling memeriksa identitas ?"

"Memang kenapa ?" Tanya Naruto heran.

Sekali lagi Orochimaru menghela nafasnya. "Coba anda baca dengan lengkap siapa nama baru anda disana Mikoto-sama."

"Mi-Misae Nohara."

Orochimaru menganggukan kepalanya, setelah itu ia lalu menoleh kearah Naruto. "Dan kau Naruto ?"

"Hiroshi... Nohara."

Sebuah senyuman lebar seketika itu juga membelah wajah Orochimaru. "Ah, inilah orangnya Mikoto-sama, yang akan menjadi suami anda di Oto."


-TBC-


Thanks for reading this trash...

Reviews/Flame/Recommendations are welcomed with open arms...

~Salah sampah~

A/N : Yo guys, akhirnya selesai juga chapter 07. Gimana ? Sedikit membosankan ya ? Maapin ya, kemaren udah di gas nanjak, sekarang turunan dulu biar rada adem. Sebelum saya lanjut kemaren saya baca review ada yang tanya maksud arc itu apa, story arc dalam penulisan itu sebenernya punya arti yang cukup simple, yaitu bagian cerita atau potongan cerita dalam satu keseluruhan cerita (contohnya di anime ada Zabuza arc atau yang paling keren mnrt saya ada chunin-exam arc). Nah, sama di cerita ini juga ada arc pertama yg kebeneran baru kelar, yaitu betrayal arc yg menceritakan ttg bagaimana Naruto hrs menghadapi penghianatan dari Kushina dan diakhiri dengan klimaks ketika doi akhirnya keluar dari Konoha. Beres satu potongan cerita itu akhirnya nih, dan sekarang kita masuk ke arc yang kedua. Di arc kedua ini saya belon bisa bocorin plot utamanya, tapi yang jelas Naruto bakal berhadepan dengan Demon didalam dirinya yang semakin menjerumuskan pahlawan pirang kita ini dalam kegelapan. Beres arc 2 baru deh arc terakhir...

Mengenai pairing, sampe sekarang ini belom jadi loh pairingnya. Naruto belon jadian sama sapa2, dan dari awal seperti yang saya udh rencanakan pairing utamanya tetep Naruto x Kushina dan Naruto x Mikoto. Tapi ini bukan harem, pada akhirnya sih Naruto bakal harus pilih salah satu, siapa ? Saya juga belom tau (kira-kira enaknya siapa ya ?), endingnya sih udah nemu, tapi endingnya nanti sama siapa, nah itu saya masih harus tunggu perkembangan story. Yang mungkin bakal keliatan nonjol di arc dua ini sih kayaknya Naruto x Mikoto, karena mereka kan tinggal bareng. Yah, ngerti lah tinggal satu atap bakal ada accident menjurus ke ecchi dan lemon pastinya HAHAHAHA... Sementara Kushina harus tunggu tanggal mainnya dulu... sekarang dia harus menderita dulu karena ketololannya baru setelah itu ada kesempatan .evil smirk.

Apakah fic ini akan berlanjut ? YES, selama saya bisa dan mampu saya bakal beresin fic ini, rencananya arc 2 nggak akan makan byk chapter, mungkin separo lagi udah tamat (mungkin lho), karena saya jg lagi proses bikin outline fic baru... so buat yg nyimak fic ini kalian jgn khawatir, saya gak akan post fic apa2 lagi sebelom yg ini selesai, mohon dukungannya saja :)

Yawda deh, segitu dulu bacotan saya, bagi yg suka sama fic ini, tolong support terus ya hahaha, bikin cerita incest yang bukan pwp itu gak gampang (buat saya pribadi lho ya), harus mainin feeling, dan nulisnya tuh harus nunggu mood. Jadi maklumin aja kalo saya ngaret ya... :D

PS : Jangan browsing nama Hiroshi Nohara/Misae Nohara ya...