Jimin membenci hari libur kuliah.

Karena hari libur kuliah adalah hari di mana ia harus duduk menunggu sang kekasih di cafe yang sudah lama menjadi favoritnya, hanya untuk mendapatkan sebuah pesan singkat:

Kookie

Chims, bisakah kita putus? Aku rasa kita sudah tidak ada kecocokan lagi.


Coincidence? Why not?

Summary: Patah hati karena putus dari sang kekasih, Jimin mulai rutin menghabiskan waktunya di perpustakaan untuk membaca buku; memesan latte dari cafe di dalam sana; dan duduk di seberang seorang pemuda misterius yang diam-diam selalu memperhatikannya dan selalu berkebetulan duduk tidak jauh darinya. YoonMin AU. Past KookMin. Oneshot.

Author's note: Karena saya sebenarnya diam-diam menyukai KookMin tapi masih menganggap YoonMin sebagai OTP, lahirlah fanfic ini. Wahahaha? Hati-hati, typos are literally everywhere


Park Jimin awalnya tidak pernah mengira bahwa adik tingkatnya yang populer di universitas, mendatanginya pada suatu hari untuk meminta izin agar Jimin bersedia bertukar ID Kakako Talk.

Sebelumnya ia tidak pernah mengenal seorang Jeon Jungkook. Hanya tahu bahwa dirinya dikenal sebagai playboy, nyaris tidak pernah berlama-lama dalam menjalin hubungan dengan seseorang. Jungkook juga memiliki tubuh atletis dan wajah tampan dengan senyuman manis seperti kelinci yang membuat pria maupun wanita akan tergila-gila padanya. Ia juga dikenal sebagai sosok yang ramah dan memiliki banyak teman, meski juga dikenal suka mempermainkan pria ataupun wanita yang pernah didekatinya.

Jimin awalnya tidak peduli dengan Jeon Jungkook, terkesan jengkel dengan reputasi Jungkook sebagai seorang playboy. Tapi namja tampan itu membuat hatinya takluk hanya dengan mengajaknya pergi jalan-jalan ke Seoul Land, merekam semua perjalanan dan petualangan mereka di sana, lalu meminta Jimin untuk menjadi kekasihnya beberapa hari kemudian dengan membuatkannya sebuah video petualangan mereka di Seoul Land.

Hubungannya dengan Jungkook berjalan dengan mulus. Ia menyukai sifat Jungkook yang apa adanya, yang selalu membuatnya tertawa lepas. Ia juga menyukai Jungkook yang selalu memiliki ide untuk mengajaknya pergi ke tempat-tempat yang tidak pernah disangkanya. Tapi ia juga membenci sifat Jungkook yang terkadang terlalu kekanakan di matanya. Namja yang lebih tinggi itu terkadang akan marah jika Jimin menegurnya.

Ia juga tidak menyangka, bahwa pertengkaran hebatnya dengan Jungkook beberapa hari lalu hanya karena hal sepele, berujung pada sebuah pesan singkat yang menyatakan bahwa mereka sudah tidak memiliki kecocokan satu sama lain.

Jimin menangis habis-habisan di dalam kamarnya, tidak mempedulikan panggilan ayah dan ibunya yang menanyakan keadaannya. Ia masih mencintai Jungkook, tetapi namja itu dengan mudahnya melepaskan hubungan mereka hanya karena masalah sekecil itu.

"Lupakan saja dia. Dia memang tidak pantas untukmu."

Itu yang diucapkan Sungwoon, sahabatnya, saat Jimin mengadu pada sahabatnya tentang hubungan mereka melalui telepon.

Setelah berkali-kali ia mengirimi pesan pada Jungkook, meminta maaf, dan berkali-kali pula Jungkook mengacuhkan dan menghidarinya di kampus, Jimin akhirnya memutuskan untuk menyerah dan merelakan Jungkook sebagai kekasihnya.

Toh Jimin sendiri tidak kalah menarik dari Jungkook. Ia memiliki bibir ranum, tubuh mungil tetapi berbentuk bagus, senyuman manis yang membuat banyak pria tidak bisa untuk menolak pesonanya pada pandangan pertama.

Maka atas saran temannya yang lain—yang sekaligus adalah teman sekelasnya, Taehyung, Jimin pergi ke perpustakaan untuk melepaskan segala ingatan buruk tentang Jungkook dengan membaca buku. Membosankan pada awalnya, tetapi Jimin menguatkan dirinya untuk melupakan sosok Jungkook. Lagipula banyak buku bacaan yang bisa dipilih untuk dibaca di sana. Dan ada juga cafe yang menyediakan kopi tidak kalah enak dengan cafe favoritnya dulu.

Jimin memilih sebuah buku tentang seni tari kontemporer, hal yang saat ini juga sedang ditekuninya, lalu membawa buku itu ke atas meja untuk dibaca setelah ia memesan sebuah latte panas.

"Untuk melupakan Jungkook, sebaiknya kau mulai dengan kegiatan rutin baru."

"Tapi apa, Tae?"

"Membaca buku, mungkin? Buat kepalamu jadi teralihkan oleh hal lain, jika menari tidak membantumu melupakannya."

Jimin menghela napasnya mengingat ucapan Sungwoon. Karena setelah tiga kali ia datang ke perpustakaan dalam waktu dua minggu, ia mulai melupakan hubungannya dengan Jungkook. Setidaknya kini pikirannya dipenuhi oleh hal-hal baru yang dibacanya lewat buku.

Cangkirnya hampir kosong saat sepasang mata menangkap perhatiannya. Jimin menoleh ke arah seorang pemuda, dengan mata kecil yang terlihat mengantuk—menimbulkan kesan malas di wajahnya dan berkulit pucat, menatap Jimin sekilas sebelum akhirnya mengalihkan wajahnya ke laptop saat ia menyadari Jimin menangkap basah dirinya sedang mencuri-curi pandangan pada Jimin.

Jimin memesan satu cangkir latte lagi setelah mengembalikan cangkir kosong ke barista, dan kembali menoleh saat pria itu kembali menatapnya.

Kenapa dia terus-terusan melihat ke arahku, eo?

Ia berusaha untuk tidak peduli dan melanjutkan buku bacaannya. Tetapi Jimin selalu merasakan sepasang mata itu terus menatap ke arahnya. Merasa tidak nyaman, Jimin meminta baristanya untuk membungkuskan kopinya dan menaruh buku yang dibacanya ke tempat semula.

Jimin menoleh untuk terakhir kalinya ke arah namja tersebut pada hari itu. Sepasang mata milik namja misterius itu masih menatapnya. Tapi ia tetap memasang tampang stoik saat Jimin balas menatapnya. Namja misterius itu terus melihat ke arah Jimin sampai menghilang di sudut matanya.


"Bagaimana dengan perpustakaan yang aku bilang beberapa hari lalu? Tempatnya nyaman seperti yang aku katakan, kan?"

"Bagus dan suasananya nyaman. Mungkin aku akan sering ke sana."

Taehyung tersenyum bangga. "Siapa tahu kau akan bertemu dengan tambatan hati baru di sana."

Jimin meringis mendengar ucapan Taehyung. "Tidak. Aku tidak akan berpindah hati secepat hati."

"Ne, ne. Tentu saja. Pikirkan saja terus playboy yang mungkin membuangmu untuk pria atau wanita lain."


Jimin kembali lagi ke perpustakaan beberapa hari kemudian. Ia memilih tempat duduk yang dekat dengan bukaan jendela—menunjukkan pemandangan Seoul di sore hari. Jimin membiarkan sebuah jendela terbuka, sehingga angin akan berhembus ke wajahnya.

Tidak lupa ia memesan secangkir latte, kali ini dengan membaca buku yang dibacanya beberapa hari lalu. Sebelum mulai membaca buku, Jimin membuka-buka pesan lama yang dikirimkan oleh Jungkook selama mereka masih menjalin hubungan. Membaca satu persatu pesan Jungkook yang selalu mengatakan bahwa ia merindukan Jimin, memuja-muja Jimin seperti dialah satu-satunya orang terindah di hidupnya, dan hal-hal lain yang menyenangkan hatinya.

Sudah 2 minggu yang lalu sejak Jungkook mengiriminya pesan singkat yang berisi bahwa mereka sudah berakhir.

Jimin hendak menghapus pesan-pesan dari Jungkook dengan perasaan gamang. Tapi kemudian ia memutuskan untuk tidak menghapus pesan tersebut dan beralih pada buku yang diambilnya.

Jimin baru membaca lanjutan isi buku yang pernah ia baca sebelumnya, ketika matanya menangkap namja misterius itu duduk tidak begitu jauh darinya. Namja itu tampak tidak menyadari kehadiran Jimin dan tampak asyik dengan apa yang ada di laptopnya. Kepalanya bergoyang-goyang dan kakinya menghentak-hentak seperti mengikuti ritmik musik. Jimin baru menyadari bahwa namja berambut hitam itu sedang menonton video klip musik saat ia melihat sepasang headset tergantung di telinganya.

Jimin berusaha untuk berpura-pura tidak tahu dan melanjutkan bacaannya. Ia hampir selesai membaca bab 2 saat ia melirik cangkir kopinya telah kosong. Jimin hendak mengangkat cangkir kosongnya saat matanya bertemu dengan mata namja misterius itu. Awalnya namja itu terlihat biasa saja ketika matanya bertatapan dengan Jimin, tapi kemudian ia mengalihkan wajahnya ke layar laptop seperti yang dilakukannya beberapa hari lalu.

Jimin mengernyitkan dahi dan langsung berlari melewati meja namja misterius itu sambil membawa cangkir kopi.

Ia lanjut membaca sampai perpustakaan nyaris tutup pada pukul 9 malam.

Jimin memasukkan barang-barangnya yang masih tergeletak di atas meja baca ke dalam tas dan beranjak dari tempatnya. Ia memperhatikan bahwa sang namja misterius dengan rambut hitam dan mata kecil itu juga membereskan laptopnya dan memasukkannya ke dalam backpack. Dengan gerakan agak terburu-buru, Jimin berjalan melewati meja sang namja.

Ia mempercepat langkahnya sampai ke stasiun subway terdekat, menoleh sedikit saat ia mendapati namja itu berlari mengikutinya. Dengan panik, Jimin berusaha menghilangkan diri di antara kerumunan orang yang baru saja pulang kerja. Ketika mendapati bahwa namja itu sudah menghilang, Jimin baru menaiki kereta yang membawanya pulang ke rumah.


"Kau tidak akan percaya ini, Tae. Ada orang aneh yang terus-terusan duduk di dekatku selama 2 kali berturut-turut di perpustakaan. Semalam dia juga mengejarku sampai stasiun kereta! Kau bisa bayangkan itu?!" omel Jimin pada suatu sore setelah ia menyelesaikan jadwal kuliahnya hari itu. Di sebelahnya Taehyung sedang mendengarkan ceritanya dengan wajah yang sedikit acuh tak acuh.

"Baru dua kali, Jimin-ssi. Bisa saja hanya sebuah kebetulan."

"Kalau ternyata dia memang orang aneh yang punya maksud jahat padaku, bagaimana?"

Sahabatnya berpikir keras, lalu bertanya, "Apa orangnya tampan?"

"Umm, dia punya wajah yang sedikit unik, tapi—"

"Kau mau aku temani membaca di sana?" Taehyung menawarkan dirinya sambil tersenyum simpul. "Aku punya waktu luang minggu ini, kalau kau mau."

Jimin menggigit kukunya—kebiasan buruknya ketika ia sedang merasa gamang, "Apa mungkin aku berhenti datang ke perpustakaan?"

"Hanya karena ada orang yang kebetulan duduk di dekatmu, jangan langsung memutuskan untuk berhenti pergi ke tempat yang kau senangi tanpa pikir panjang, babo."

"Lalu bagaimana?" Jimin menjatuhkan dirinya ke atas kursi panjang yang sengaja disediakan di taman tempat mereka berkuliah.

"Aku akan menemanimu ke perpusatakaan. Siapa tahu justru dia akan menjauhkan diri saat aku bersamamu," ujar Taehyung.

Jimin berpikir selama beberapa detik, "Baiklah. Aku akan mentraktirmu sekalian karena sudah menemaniku Sabtu ini."


Taehyung duduk di sebelahnya, di dekat meja yang biasa ia duduki. Di sekitar mereka, kursi-kursi masih kosong belum terisi.

"Baru jam 10 pagi," kata Taehyung pada Jimin.

Perpustakaan yang mereka datangi saat ini baru buka beberapa menit yang lalu, sehingga masih belum terlalu banyak orang yang mendatangi tempat itu. Jimin hanya membalas ucapan Taehyung dengan mengendikkan bahu dan pergi ke rak-rak berisi majalah-majalah tentang seni dan tari kontemporer. Pikirannya untuk sebentar melupakan sosok namja misterius yang selama 2 kali terus mengawasinya dengan tatapan tajam—entah apa alasannya.

Jimin baru saja menemukan majalah yang ia sukai saat sebuah tangan menepuk bahunya. Ia memekik kaget dan langsung memutar tubuh.

Ia melihat di belakangnya kini berdiri namja misterius yang mengisi pikirannya selama beberapa hari ini—dalam konteks yang tidak membuat merasa nyaman.

"A-apa maumu?" Jimin bertanya pada namja itu dengan takut-takut.

Namja itu—jika ia melihatnya dari dekat—tampak lumayan dengan rambut hitamnya terbungkus oleh topi dan seluruh tubuhnya yang dipasangi dengan setelan nyaman khusus musim semi. Ia menatap Jimin dengan dahi berkerut, merasa tersinggung dengan sikap Jimin yang mengandung kecurigaan padanya. "Aku hanya bermaksud mengembalikan barang milikmu."

Jimin menurunkan sorotan matanya ke barang yang berada di telapak kanan namja di depannya. Sebuah payung lipat berwarna kuning—payung yang dihadiahkan oleh Jungkook pada hari ulang tahunnya tahun lalu.

"Kau menjatuhkannya saat kau meninggalkan perpustakaan."

Ucapan namja itu membuat Jimin tertegun. Ia mengambil payung di tangan namja itu dengan agak ragu. Tetapi kemudian ia merasakan wajahnya panas karena sudah berasumsi yang tidak-tidak pada orang yang sama sekali tidak memiliki niatan buruk terhadapnya. "Ah, gamsahamnida."

Namja itu hanya menganggukkan kepalanya dan bergegas pergi untuk memilih sebuah kursi yang sekiranya mudah untuk dijangkau.

Setelah mengambil majalah yang diinginkannya, Jimin berlari menuju tempat duduknya dan berbisik pada Taehyung. "Itu orangnya," bisik Jimin ke telinga Taehyung, menunjuk sosok misterius yang sedang duduk sambil membuka layar laptopnya, "Dia orang yang selalu mengawasiku kalau aku ke sini."

"Kurasa dia orang baik-baik," kata Taehyung. Lalu mata sahabatnya menuju pada payung yang masih berada di genggaman tangannya, "Itu payungmu, kan? Kenapa kau membawa payungmu saat kau mencari buku?"

Jimin menundukkan kepalanya dengan malu, "Umm, orang itu, dia mengembalikan payung ini padaku. Rupanya aku meninggalkan payungku beberapa hari lalu di perpustakaan."

Taehyung menaikkan sebelah alisnya, menimbang-nimbang ekspresi Jimin, "Jadi—rupanya orang ini memang orang baik-baik? Dan kau salah menilainya?"

"Kuakui aku memang terlalu cepat menilai seseorang," ucap Jimin pelan.

Taehyung tetap menemaninya hingga waktu menjelang sore. Beberapa kali Jimin melirik ke arah namja itu. Dua tiga kali mata mereka saling bertemu, dan beberapa kali lainnya Jimin tidak menyadari bahwa namja tersebut mencuri pandang ke arahnya tanpa sepengetahuannya. Sementara Taehyung, tidak memperhatikan situasi sekitarnya, sibuk tenggelam dalam bacaan buku seni klasik yang sedang dibacanya sambil sesekali menyesap milkshake stroberi yang dibeli oleh Jimin sebagai balas budi karena Taehyung bersedia menemaninya.

Mereka kembali pulang ke tempat masing-masing saat waktu menunjukkan petang. Namja misterius itu tetap duduk di tempatnya, tetapi matanya masih menatap punggung Jimin—hingga Jimin menangkapnya sedang memandangi punggungnya sewaktu ia menoleh ke belakang.

Kali ini namja itu tersenyum samar dan Jimin buru-buru memutar kepalanya, salah tingkah.


Pada kali keempat ia kembali ke perpustakaan untuk memesan kopi, Jimin tidak sengaja bertubrukan dengan namja itu. Segelas kopi panas yang dibawa oleh namja itu hampir terjatuh dari pegangan tangan, dan Jimin buru-buru meminta maaf.

"Ah! Mianhaeyo, aku tidak sengaja—"

Namja itu hanya terkikik pelan sambil mengibaskan tangannya, "Tidak masalah. Kopiku sama sekali tidak jatuh."

Jimin hanya membungkukkan tubuhnya, meminta maaf sekali lagi, dan namja itu meninggalkannya untuk duduk di kursinya yang ternyata tidak berada jauh darinya.


Jimin memilih tempat duduk yang berbeda dari biasanya. Ia duduk sedikit berjauhan dari café yang biasa ia kunjungi untuk memesan secangkir latte hangat.

Tanpa disangka-sangkanya, orang itu ternyata duduk di belakangnya. Ia baru menyadarinya saat ia hendak merapikan tas pada kursinya, dan wajahnya bertemu dengan wajah namja itu—yang hingga saat ini namanya tidak ia ketahui.

Jimin dengan sikap canggung hanya tersenyum—yang lebih menyerupai ringisan, "Annyyeong, kita berjumpa lagi."

Namja itu hanya balas tersenyum—sangat tipis bahkan Jimin tidak yakin bahwa namja itu benar-benar membalas senyumannya. Masih canggung, Jimin memutuskan untuk duduk di kursinya dan berusaha memusatkan pikirannya pada buku bacaan di depannya.


Tanpa ia sadari, Jimin mencari-cari orang misterius yang selama ini selalu secara kebetulan duduk tidak jauh darinya ataupun tanpa sengaja bertatap muka dengannya. Jimin mengitari pelosok perpustakaan dengan rasa penasaran, karena biasanya pasti ia akan berpapasan dengan orang itu apabila mereka tidak duduk berdekatan.

Jimin meneruskan kegiatan membaca dengan rasa jenuh.

Ia menyalakan layar ponselnya, membuka pesan-pesan lama dan foto-foto bersama Jungkook sewaktu mereka masih berkencan dulu.

Cukup lama ia menelisik isi pesan Jungkook satu persatu, merasakan bahwa ia mulai mengacuhkan hubungannya yang pernah terjalin bersama mantannya yang telah mematahkan hatinya berminggu-minggu lamanya.

Ia merasakan buliran airmata mulai berjatuhan di pipinya.

Tangannya bergerak untuk menekan beberapa tombol, menghapus bekas-bekas luka yang pernah membuktikan hubungannya bersama dengan Jungkook.


Jimin membungkukkan tubuhnya sedikit untuk mencapai buku-buku yang berada di rak bawah. Ia berhasil mengambil buku dan kembali meluruskan badan, saat tanpa sengaja, ia menyenggol orang yang lewat di belakangnya. Jimin buru-buru menoleh untuk meminta maaf atas kecerobohannya.

"Mian—"

"Kau lagi rupanya," sebuah suara yang tidak begitu dikenalnya menyahutnya. Tetapi ia tidak butuh waktu untuk menyadari siapa yang barusan telah ia senggol.

"Oh," Jimin menunjuk ke namja misterius itu secara spontan, "Kau juga rupanya."

"Kurasa kita terlalu sering bertemu di sini," kata namja itu dengan sikap flegmatis seperti sewaktu mereka bertukar kata-kata pertama kali, "Dan kau sudah dua kali menyenggolku."

"Aku ceroboh, dan aku meminta maaf karena itu," Jimin menyisir rambutnya dengan agak malu-malu.

Mereka tidak bertukar kata-kata lagi karena pandangan Jimin teralihkan oleh sosok pria lain dari luar kaca perpustakaan—yang selama beberapa waktu lalu telah mengisi hatinya. Tetapi Jungkook—pria itu—kini sedang menggandeng seorang wanita cantik berambut pirang dan bertubuh semapai. Senyuman menghiasi wajah keduanya saat mereka berjalan melewati bangunan perpustakaan, tanpa perduli dengan dunia luar mereka.

Hati Jimin berdenyut nyeri, dan sepertinya namja misterius itu menyadari perubahan perasaannya saat ia menangkap wajah Jimin dengan sepasang manik-manik hitam miliknya.

Ia mengambil-ngambil sesuatu dari saku celananya dan menawarkan sebuah kacu—saputangan, "Kau baik-baik saja? Wajahmu terlihat seperti mau menangis—"

Merasa malu karena telah tertangkap menangis di depan orang yang sama sekali belum dikenalnya, Jimin melarikan diri menuju mejanya, mengambil tas dan barang-barangnya yang lain, lalu berlari meninggalkan perpustakaan.

Ia juga berlari meninggalkan namja misterius itu tanpa salam perpisahan.


Setelah dua minggu lebih berusaha kembali mengumpulkan perasaannya, berusaha merelakan dirinya membuang semua barang-barang peninggalan mantan kekasihnya yang sudah tidak bernilai di matanya, setelah ia menangis di pelukan sahabatnya selama lebih dari berjam-jam, Jimin memberanikan dirinya untuk menjejaki diri di perpustakaan. Ia memilih waktu pagi—di mana café yang sering didatanginya saat ia pergi ke perpustakaan—baru saja dibuka. Ia berharap tidak akan menemui namja misterius yang beberapa minggu lalu menangkapnya basah menangisi mantan kekasihnya.

Ia baru saja akan memesan secangkir latte, saat di sebelahnya berdiri pelanggan lain—dengan beanie berwarna abu-abu dan setelan kaus santai berdiri di sebelahnya. Diam-diam tanpa sepengetahuannya, pelanggan itu mencuri-curi pandang padanya.

Jimin mengernyitkan dahinya saat ia menyadari pelanggan lain yang sedang memandanginya tersebut, ternyata adalah namja misterius yang selalu ia temui di perpustakaan. Namja itu menyunggingkan senyuman—lebih tulus dari biasanya, "Annyeong. Apa boleh, jika aku mentraktirmu pagi ini?"

Jantungnya berdegung saat ia melihat ekspresi lain yang tidak pernah dilihatnya dari namja itu. Masih agak ragu-ragu, Jimin menjilat bibirnya dan menjawab, "Satu cangkir latte, kalau begitu."

Sang namja misterius di sebelahnya memesankan pesanan mereka pada barista.

"Selama ini aku penasaran," kata Jimin berterus terang saat suasana hening menyapu mereka, "Selama kita bertemu di sini, aku tidak pernah sekalipun tahu namamu."

Namja itu sedikit tertegun mendengar ucapannya. Ia mengulurkan tangannya pada Jimin, dengan sikap percaya diri, "Min Yoongi, mahasiswa jurusan seni musik Universitas Global Cyber. Tahun ini aku akan berada di tingkat akhir. Kau?"

Agak terperanjat, Jimin menerima uluran tangan Yoongi—namja misterius yang selama ini tidak ia ketahui namanya. "Park Jimin. Mahasiswa tingkat 3 jurusan seni tari. Aku juga berkuliah di Universitas Global Cyber. Kau seniorku rupanya, eh, hyung?"

Yoongi tersenyum, "Aku sudah sering melihatmu di kampus. Kau cukup terkenal, Jimin-ah."

"Benarkah? Aku belum pernah melihatmu."

"Mungkin kau terlalu sibuk dengan—yah, intinya kau tidak akan menyadari keberadaanku karena kau sedang bersama orang lain saat itu."

Jimin mengerti maksud dari ucapan Yoongi. Nampaknya namja itu sudah mengetahui berita tentang hubungannya dengan Jungkook. Tapi Jimin merasa tidak tersinggung sama sekali. Ia mulai mengetahui alasan Yoongi sering memandanginya saat ia mendatangi perpustakaan, dan justru merasa agak lega karena Yoongi sama sekali tidak menyebutkan nama Jungkook di hadapannya. Ataupun membahas tentang air mata yang ia tumpahkan secara tidak sengaja beberapa minggu lalu.

Beberapa menit kemudian, saat nama Yoongi disebutkan untuk mewakili pesanan mereka, Jimin menarik lembut lengan kaus panjang Yoongi, wajahnya memerah saat ia berkata, "Jika kau tidak keberatan, bolehkah kita duduk bersama?"

Jimin hampir tertawa saat ia melihat reaksi Yoongi, melihat namja itu membulatkan matanya dengan agak terkejut, tetapi kemudian ekspresinya melunak menjadi sebuah senyuman yang menampakkan barisan gusi dan gigi yang cemerlang, "Tentu saja. Kau mau duduk di mana?"


Jimin sama sekali tidak menyesali suatu kebetulan di mana ia bertemu dengan sosok misterius yang duduk tidak jauh darinya dan selalu memandanginya setiap kali ia pergi ke perpustakaan. Ia juga tidak menyesali dirinya menerima tawaran Yoongi untuk membelikannya latte, ataupun menyesali keputusannya untuk mengajak Yoongi duduk bersamanya.

Kini perpustakaan menjadi tempat favoritnya.

Secangkir latte menjadi minuman favoritnya.

Majalah seni tari kontemporer beredisi menjadi bacaan favoritnya.

Dan terlebih lagi, Min Yoongi menjadi pria idaman, dan tentunya orang terfavorit di dalam hidupnya (masa bodoh dengan Jungkook!).

Lucunya lagi adalah, semuanya terjadi karena kebetulan.

(As cheesy as it sounds, eh?)


end

author's note:

sudah lama tidak membuat oneshot, rasanya jadi aneh karena endingnya terlalu cepat. Ahaha?

Review akan membuat saya bahagia dan bersemangat untuk menulis tentunya.