Bikin ff BST asal asalan karna dari 2016 sampe sekarang penasaran sama teori BST yang belom ngeh semuanya. Teori banyak yang kuubah, kupas pasin sesuai plot ffku, jangan dipercaya:)

MAIN CAST: Mainly Jungkook/tapi yang lain juga banyak scene

SHIP: Taekook/Jikook/Yoonmin/Namjin/Hopekook/maybe Yoonkook

RATE: M

Warning: Contain mature content, adegan dewasa

Happy Reading!

BLOOD, SWEAT, AND TEARS

'For I do not do the good I want, but the evil I do not want is what I keep on doing'

The Royal Museum of Fine Arts of Belgium.

Kim Seokjin memperhatikan struktur bangunan bersejarah dengan kilat penasaran dalam matanya. Museum itu didominasi dengan warna putih gading dan emas yang menghiasi sudut bangunan, seperti kekayaan akan ilmu dan sejarah yang tidak berujung, tidak akan pernah habis.

Pilar marmer menyokong atap museum yang berbentuk kubah, terbuat dari kaca dengan sinar mentari menerobos masuk seperti gemerlap bintang. Seokjin meremas tangan adik lelakinya dengan kuat, berusaha menerobos para pengunjung yang berkerumun pada sebuah lukisan.

Lukisan yang menangkap perhatian Seokjin sejak ia melangkah masuk.

The painting of 'The Fall of The Rebel Angels' by Pieter Bruegel.

Lukisan itu menceritakan tentang para malaikat yang jatuh dari surga karena menentang Tuhan, memihak raja kejahatan, Lucifer. Pemegang kekuasaan di neraka, The Lord of Pride. Lucifer merusak kesucian para malaikat dengan godaan yang melimpah akan banyak dosa.

Para malaikat tersebut dilalap oleh api pembalasan, anak panah berlintasan di angkasa yang membara, menghunjam jantung para pengkhianat yang menentang penguasa alam semesta. Perang antara Tuhan dan Iblis.

Pembalasan Sang Lucifer yang diusir dari surga.

Seokjin mengernyitkan dahinya ketika tawa kecil mengisi telinga pria itu, bertolak belakang dengan melankoli yang disajikan lukisan 'The Fallen Angels'. "Siapa yang tidak akan memihaknya? Dia penguasa segala hal", Jungkook kembali tertawa, mengangguk kepada Lucifer yang berdiri di atas semua malaikat pembelot, penuh dengan kekuasaan‒kebanggan diri yang terpancar dari wajahnya, meskipun para malaikat pemihaknya telah terbakar seperti bintang jatuh, hangus menjadi abu.

Seokjin mendengus, mengangkat alis kepada adik lelakinya yang sedang mengapresiasi lukisan Pieter Bruegel. "Yang benar saja? Menjadi budaknya? Kau yakin?". Jungkook mengangkat bahu tidak acuh, "Siapa yang bisa menolak godaan, hyung?", tepat setelah ia mengatakannya, seseorang merangkul Jungkook dengan sensual.

"Hey, sayang. Apa yang kukatakan kepadamu?", Park Jimin berbisik dengan desisan kecil. "Jangan pernah pergi tanpaku, Jungkook". Seokjin menatap penuh kejengkelan ketika Jimin menciumi rahang adiknya yang menolak kecil. Tidakkah Jimin sadar bahwa mereka ada di tempat umum?

"Lihatlah, Jim", Jungkook mengelak ketika Jimin berusaha melumat lehernya. Jungkook menuding lukisan 'The Fallen Angels' yang penuh dengan emosi akan kebencian, pengkhianatan, kemurkaan Tuhan. "Lukisan ini benar benar menarik perhatianku", ujar Jungkook ketika Jimin tertawa mengejek.

"Ada apa? Apa setan narsistik itu mengingatkan pada dirimu sendiri?". "Tidak", Jungkook mendengus ketika Jimin menarik wajahnya mendekat, mengusap batang hidungnya pada milik Jungkook yang sedikit tidak nyaman dengan tingkah laku Jimin.

"Tidak masalah jika kekasihku menjadi penguasa kejahatan, ne? You can be my Lucifer". Jimin melumat bibir Jungkook sekali, dua kali, tiga kali hingga Jungkook mendorongya mundur. Seokjin mendelik kepada pria yang berusaha menerkam adiknya, terus menciuminya meskipun Jungkook sudah menolak keras.

"Hentikan", meskipun Jimin tidak peduli dengan perhatian publik maupun gertakan tajam Seokjin.

"Hentikan sekarang!", Seokjin mendorong Jimin dengan kasar, meremas tangan Jungkook yang tersengal karena ciuman panas Jimin. Seokjin tidak pernah melepas jemari Jungkook ketika mereka bergilir ke lukisan berikutnya. Siapa yang tahu apa yang akan Jimin lakukan kepada adiknya kali ini?

Seokjin menghentikan langkah ketika ia melihat sebuah patung yang terpajang di depan sebuah lorong dengan pintu melengkung sebagai akses masuk. Patung wanita itu membawa piring pada kedua tangan, seperti menimbang antara yang satu dengan yang lain.

The Statue of Good and Evil.

Kepala wanita itu tertarik ke bagian kiri, rasa sakit menghiasi wajahnya, seperti ia berusaha keras untuk tidak jatuh ke dalam kegelapan, memaksakan dirinya untuk berdiri teguh. Meraih sisa cahaya yang lenyap dari dunianya.

"Lihat ekspresi wanita itu", Jimin menarik tangan Jungkook hingga terlepas dari genggaman Seokjin.

"Apakah arti lukisan ini kita tidak akan terlepas dari kejahatan meskipun kita sudah berbuat baik?", tanya Jungkook dengan bola matanya yang lebar, penasaran, tidak berdosa. Seandainya ia tidak pernah mengenal Jimin, Jungkook tidak akan mengerti hawa dan napsu.

"Semua bergantung pada dirimu sendiri, Jungkook", Seokjin mengusap kepala adiknya lembut, menyindir keras bahwa Jimin adalah pembawa sial bagi Jungkook, merusak hidupnya dengan hal menjijikkan dan gairah yang tiada habis.

Jimin yang menyadari pendelikan Seokjin tertawa kecil, justru memeluk pinggang Jungkook dari belakang, meletakkan kepalanya pada pundak lelaki yang merasa terganggu. Seokjin mendesis marah, "Park Jimin, aku bersumpah!".

Jimin memekik ketika Seokjin memukul kepalanya. Hantaman itu bergema pada lorong museum yang sepi, sunyi, tanpa suara, bergema ke sepenjuru dinding.

Seokjin terengah, berpaling dan terkejut bukan main ketika menemukan lorong museum yang kosong. Tidak ada satu pengunjung pun terlihat, hanya menyisakan mereka bertiga. "Kemana semua orang?!", Seokjin hendak meraih tangan Jungkook ketika jemarinya disambut oleh udara kosong.

Seokjin berpaling panik, tidak melihat Jungkook dan Jimin yang berdiri tepat di belakangnya satu detik yang lalu. "Jungkook?!", Jin berlari dengan jantung yang berdebaran liar, memutari tiap patung di museum yang kosong. "Jungkook, jangan bercanda!".

"Ini tidak lucu!", Seokjin mulai merasakan takut ketika semuanya terlihat lebih gelap, atmosfir di sekelilingnya lebih mencekam, memerangkap Seokjin dan menyudutkannya dengan keresahan, rasa takut, dan ketidakberdayaan.

"J‒Jungkook? Kau dimana?", Seokjin menyipitkan matanya ketika melihat bayangan seorang pria yang melangkah dari kedalaman lorong. Pria itu bertubuh jangkung, dengan rambut pirang pudar dan perawakan yang berotot.

Pria itu tersenyum, menampilkan lesung pipit yang berkarisma. Ia menyodorkan gelas yang dipenuhi dengan cairan kehijauan‒Absinthe. Minuman beralkohol tinggi yang membuatmu mampu melihat menembus kedua dunia.

Seokjin memundurkan langkah ketika pria itu mendekat, melepas senyum misterius dengan pandangan mata yang memindai Seokjin dari bawah kaki sampai atas kepala. "Kemarilah, Kim Seokjin‒", ia menyodorkan gelas Absinthe kepada Seokjin yang merangsek mundur.

"Kemarilah. Raih tanganku dan aku akan memperlihatkanmu dunia yang baru".

Seokjin menggeleng ketika Namjoon tersenyum simpul, "Baby, it's okay to get drunk". Ia mendesah kecil ketika menjilat cairan hijau yang membasahi bibirnya. "Now I drink you. Deep into my throat".

Ia meraih leher Seokjin yang membeku takut, menjerit ketika Namjoon memaksa cairan Absinthe mengalir ke dalam tenggorokan Seokjin yang terbakar.

Namjoon tertawa rendah ketika Seokjin memejamkan mata penuh rasa sakit,

"The whiskey that is you".[]

'Your wings are the wings of the devil'

Jungkook terengah kaget ketika ia terbangun di sebuah ranjang putih. Ia mengerjap dengan panik, melihat sekeliling ruangan yang terlihat sangat asing. Kakak lelakinya menghilang, begitu juga Park Jimin yang tidak terlihat dimana pun. "H‒Hyung?!", Jungkook merayap turun dari ranjang, menciptakan bunyi 'tud' kecil ketika sepatunya menapak di karpet.

"Jin‒hyung? Jiminie?!", Jungkook melihat sebuah lukisan burung gagak di atas perapian yang meredup, hanya menyisakan abu dan asap yang mulai membaur di udara. Sebuah lilin terletak di tengah tengah ruangan, batangnya mulai meleleh dengan nyala api yang membara, meneteskan cairan hijau ke permukaan meja dengan bunyi mendesis.

Jungkook merasakan sesuatu dalam dirinya bergerak, bisikan melingkupi telinganya dari setiap sudut. Jungkook mendekat kepada nyala api yang menari nari dalam bola matanya. Jemarinya terulur, membiarkan cairan hijau itu menetes pada jari telunjuknya.

Jungkook tanpa sadar mengangkat jemarinya, mendekati bibirnya yang terbuka secara perlahan. Jungkook mendesah panjang ketika lidahnya merasakan Absinthe yang begitu memabukkan.

Jungkook terkesiap ketika ia mendengar suara burung yang berkaok di luar jendela museum. Jungkook berpaling, tidak melihat apa pun di langkan jendela. "H‒Hyung? D‒Dimana kau?", Jungkook berujar lirih kepada dirinya sendiri, menyadari entah cairan apa yang baru saja ia cicipi dalam mulut.

Jungkook segera melangkahkan kakinya keluar dari ruangan yang terasa memikat gairahnya, menariknya ke dalam hawa dan napsu. "Jin‒hyung! Jiminie!", Jungkook berteriak sembari berlari kecil di lorong museum, terengah engah ketika menyadari dirinya telah berkeliling seputar lantai dasar.

Seketika, semuanya terlihat seperti labirin yang tak berujung, tak berpola, memerangkap Jungkook dalam rasa takut dan godaan yang tidak berwujud. Jungkook menghentikan langkah di dalam sebuah ruangan dengan lukisan seorang pria bersayap yang jatuh dari langit.

The Fall of Icarus by Herbert James Drapper.

Icarus adalah seorang lelaki naif yang rasa penasaran dan kesombongannya merupakan titik jatuhnya. Dia diberi sepasang sayap yang dilekatkan dengan lilin oleh Daedalus. Daedalus memperingatkan Icarus agar tidak terbang di dekat matahari.

But Icarus flies too close to the sun.

Lilin yang melekatkan sayapnya pun meleleh dan membawanya jatuh dari langit, menghantam ombak di lautan yang gelap, menenggelamkannya dalam kematian.

Jungkook terenung, hendak menyentuh lukisan yang seperti menariknya mendekat ketika ia mendengar napas berat seseorang yang berdiri dibelakangnya. Jungkook terkesiap kecil ketika sepasang tangan kokoh memeluknya seperti sayap, memerangkap Jungkook di dalam kesengsaraan.

"Absinthe. You like it?".

Sepasang sayap dari seorang Iblis.

Jungkook berpaling kaget, tubuhnya membeku ketika ia menatap pria berambut pirang keperakan yang tersenyum lirih. Semua tentang dirinya menyatakan hawa napsu, hasrat seksual, dan gairah yang tidak dapat dikendalikan.

Pria tampan itu terlihat seperti dewa yunani, tubuh sempurnya dibalut dengan kimono hitam bergaris merah dan putih, menyisakan dada yang seperti membakar titik kewarasan Jungkook. Wajahnya yang rupawan seperti mahakarya Renaisans, tidak ada kecacatan sedikit pun, semuanya sangat sempurna dan tidak wajar.

Keindahan luar biasa.

"S‒Siapa kau?", Jungkook tersengal kecil ketika pria itu mendekatinya, bernapas lembut di wajah Jungkook dengan seringai yang terpatri pada bibirnya yang merah menggoda. Jungkook merasakan matanya mulai berair, menatap terlalu lama kepada wajah pria yang begitu rupawan.

"Kim Taehyung", ujarnya, menyiksa Jungkook dengan tatapan yang terpenuhi oleh napsu seksual, namun tidak menyentuhnya barang sedikit pun. Jungkook menelan ludah ketika deep voice Taehyung membuat pikirannya kepalangan. "Absinthe, kau ingin mencobanya lagi…Jungkook?", Taehyung bernapas berat pada leher pria yang menegang.

Jungkook melebarkan bola matanya ketika bibir Taehyung menyentuh kulitnya halus, menggelitiknya dengan hasrat yang membakar liar. Bahkan, tidak ada sedetik pun ia mengingat Park Jimin.

"Kemarilah, Jungkook", Taehyung menjulurkan jemarinya, menarik Jungkook yang terbawa dan mengikuti pria misterius itu di alam bawah sadar. "Aku bisa memberimu apa pun", Taehyung tersenyum kecil, "Jika kau bersedia memberiku semua yang kau miliki".

Taehyung menyentuh tali yang terjuntai dari langit langit, menatap Jungkook dengan bujukan yang membuat pria itu nyaris gila. "Kemarilah".

Before your sweetness, there is bitter, bitter.

Jungkook mendekati Taehyung yang menjulurkan tali kepadanya, sebelum mencekik leher Jungkook yang berteriak sakit. Jungkook meronta ronta liar, merasakan tali tambang yang menjerat lehernya seperti cengkerama besi.

"L‒Lepas!", Jungkook terbatuk pedih, berteriak ketika tali itu menjerat kedua tangan dan kakinya, mengangkatnya di udara seperti boneka kayu yang tidak bernyawa. Tidak berdaya dihadapan Taehyung yang menyeringai lebar.

"Berikan semuanya yang kau miliki, Jungkook", Taehyung berbisik rendah. "Dan aku akan memberimu segalanya".

Jungkook menjerit ketika tali temali itu meremukkan tubuhnya, mengikatnya dengan rasa sakit dan kepuasan luar biasa. Jungkook mengerang kecil ketika permukaan tali menggores kulitnya, meneteskan darah merah segar ke lantai.

My blood, sweat, and tears.

Taehyung melumat bibir pria yang terisak lirih, memberinya ciuman yang begitu panas dan menyakitkan, menyiksanya dengan remasan tali yang semakin erat.

My last dance.

Jungkook memejamkan matanya ketika Taehyung mencium makin dalam.

Take it all away.

'It doesn't matter if it hurts. Make it tighter so I can't escape'.

"Jungkook!", Jimin berteriak sembari menyebrangi lorong museum, bernapas dengan tidak stabil. Jimin terengah engah, meremas kedua lututnya dan membungkuk kelelahan. Ia tidak dapat menemukan Jungkook atau siapa pun di sekeliling bangunan. Semuanya kosong, tak berpenghuni.

Jimin bergidik ngeri ketika ia menyadari bahwa aura museum bertambah gelap, atmosfir menjadi mencekam. Seperti Jimin tersedot dari dunianya dan terdampar di dunia yang sama sekali berbeda. Dunia yang penuh dengan kegelapan.

The evil world I no longer want to deal with.

Jimin membuka sebuah pintu bergaris garis dengan cakaran liar, menelan ludah ketika asap kehijauan menguar masuk dari lubang ventilasi. Jimin merasakan dadanya sesak ketika ia menghirup Absinthe ke dalam lubang hidungnya.

Kepalanya berputar seketika, telingnya berdenging, semuanya terlihat bergetar dengan bercak dan spektrum warna yang bercampur menjadi satu. Jimin berusaha bernapas, menyadari kehadiran seorang pria yang berdiri di tengah lingkaran asap.

Ia mengenakan kemja biru tua dengan bordir keemasan, rambutnya yang kelam senada dengan obsidian dingin yang menguliti Jimin dengan keinginan untuk menyiksa, membunuhnya secara perlahan.

Jimin merangsek mundur namun pintu dibelakangnya membanting tertutup. Jimin berteriak kaget, menggedor gedor pintu dengan panik, jantungnya berdebaran liar ketika langkah kaki itu mendekatinya dari belakang.

"Tolong!", Jimin menjerit, mendengar tawa dingin yang makin mendekat kepadanya.

"K‒Kumohon, tolong!", tubuh Jimin bergetaran hebat ketika ia terpaksa berputar.

Min Yoongi menggenggam penutup mata di kedua tangan, menatap wajah ketakutan Jimin dengan kepuasan yang membuat bibirnya menyeringai lebar. "Kemarilah, Park Jimin", Jimin menggeleng liar ketika suara dingin Yoongi merasuki telinganya.

"Kemarilah dan aku akan memberikan semua yang kau inginkan. Semua hawa napsu dan gairah yang kau rasakan".

"T‒Tidak", Jimin mencengkeram gagang pintu dengan jemari yang kebas, berusaha menariknya tapi pintu itu bergeming beku. "T‒Tolong aku, k‒kumohon", suara Jimin berubah menjadi isakan lirih ketika Yoongi mengusap lehernya.

"Kau menginginkannya, ne, Jimin?", Yoongi berbisik rendah. "Kau menginginkan Jungkook menjadi milikmu sepenuhnya?". Jimin menggeleng kuat, terengah ketika Yoongi menutup kedua matanya dengan ikatan yang kencang.

Kegelapan pun menyambut.

Yoongi tertawa dingin. "Jeon Jungkook adalah milikmu. Kau harus merebut apa yang sudah menjadi hakmu". Jimin menjerit ketika tubuhnya terjatuh ke lantai, berlutut dengan asap Absinthe yang merasuki pikiran kacaunya.

Jimin memberontak liar, semuanya gelap, ia meraih raih namun hanya udara kosong yang dapat dicapainya. Jimin merintih ketakutan, bergetar pada kedua lututnya ketika langkah kaki itu mengelilingi Jimin dengan perlahan.

Jimin bangkit dengan kedua tungkai yang bergetar, ia meraih dan berlari sekuat tenaga, namun sesuatu kembali menariknya jatuh. Jimin terisak isak penuh dengan teror, tali penutup matanya terikat kencang pada gagang pintu, tidak membiarkan Jimin melarikan diri dari hasrat dan godaan yang mulai merasukinya.

"Kerahkanlah napsumu kepadanya, Jimin. Dapatkan apa yang kau inginkan".

Jimin tidak berdaya, tidak bisa melawan gairah dan pikiran menjijikkan yang mulai membuat tubuhnya lemas.

Min Yoongi mengusap bibir Jimin yang mengerang kecil, Jimin menggeleng takut, berusaha menolak. "J‒Jungkook", ia menangis ketika Yoongi meremas kedua tangannya. "J‒Jungkook, please!", Jimin berteriak keras hingga suaranya bergetar ke sepenjuru dinding.

Suara Yoongi mencekik Jimin, merusak benaknya, mencabik cabiknya dan nyaris membuatnya gila. Ia tidak akan bertahan, ia tidak akan bisa menolak penawaran yang begitu menggiurkan. Kalau memang ia mampu memiliki Jungkook untuk dirinya sendiri.

Mengapa ia perlu berkata 'tidak?'

I am addicted to the prison that is you.[]