H.O.U.N.D

Cast : Kim Namjoon a.k.a RM; Kim Seokjin a.k.a Jin; and many others

Rate : T

Length : Parts

H.O.U.N.D

Melihat bagaimana lelaki itu bersikap, tentu saja membuat Seokjin ketakutan. Namjoon seolah kembali seperti sebelumnya; dingin, penuh rahasia. Tepat seperti ketika lelaki itu datang ke kehidupannya enam bulan lalu. Dan ketika Ia bangun saat subuh untuk berdoa di hadapan lilin, Ia melupakan doa yang biasa Ia ucapkan. Ia tak terlalu peduli dengan kebahagiaan dan kesehatan semua orang di sekitarnya.

"Tuhan, bisikkan ke dalam hatiku apa yang harus kulakukan saat ini, sekalipun aku tahu hatiku dipenuhi keburukan dan dosa. Aku berharap kau melindungi kami yang bagaikan gembala bodoh, memberi kami keselamatan, dan jangan biarkan darah orang-orang di sekitarku untuk tumpah."

Tanpa sadar Seokjin tidak lagi berbisik, Ia telah menyuarakan doanya, agar tidak hanya Tuhannya yang mendengar namun juga dirinya. Bagaimanapun doa selalu memberi efek magis tersendiri baginya, entah itu menguatkan atau menenangkan. Dan mendengar Ia melantunkan doa memberinya keyakinan lebih.

Ia menggumam di depan tangannya yang terkepal semakin erat, entah karena dingin atau karena ketakutannya. "Jika kau biarkan ada darah yang tumpah, biarkan itu darahku, jika ada yang harus menangis, biarkan itu aku. Jadikanlah aku sebagai penebus dosa yang terlanjur mengerikan ini. Selamatkan seluruh keluargaku dan lindungi mereka dalam pelukanmu." Suaranya terdengar bergetar.

"Amin." Suara lelaki di sebelahnya membuat kepalan tangan Seokjin terlepas dan tubuhnya berjingkat, matanya terbuka lebar dan awas. Pertama kalinya Ia bersikap awas setelah terakhir kali Ia bersikap demikian adalah saat pertama bertemu Namjoon.

Suara Namjoon terdengar mengerikan ketika mengamini doa Seokjin, dalam dan gelap. Dan entah kapan lelaki itu sudah berada di sebelah Seokjin, langkah kakinya tak bersuara.

"Maaf jika aku mengejutkanmu."

Seokjin berusaha menekan rasa takutnya, menutup lilinya dengan kaca dan membiarkan api di lilin terpantul oleh kaca penutup dan menerangi ruangan yang lampunya masih padam. Wajah mereka temaram, mendapat pancaran sinar lilin yang terbias dari kaca penutupnya. "Kau bangun?"

"Aku terbiasa mendengarmu bangun dan berdoa, kurasa secara otomatis tubuhku akan bangun ketika subuh."

Tapi Seokjin masih malas–dan takut–dengan sosok Namjoon yang saat ini, dengan cepat Ia berbalik dan berjalan ke kamarnya meninggalkan Namjoon.

"Kau menghindariku."

Bahu Seokjin berjengit. "Eh?" Tubuhnya terdiam, berhenti berjalan, namun tak berani berbalik dan menatap Namjoon.

"Kau takut padaku?"

Ya. "Untuk apa takut padamu?"

Suara langkah tenang Namjoon terdengar mendekat, sebisa mungkin Seokjin mengendurkan bahunya.

"Bukankah sifat alamiah seorang rusa takut dengan serigala?"

Benar, itu hukum alam di mana predator akan ditakuti. Dominan akan menekan. Yang kuat akan memakan yang lemah. Tapi siapa di antara mereka yang merupakan serigala dan siapa yang rusa?

Ya, aku saat ini benar-benar takut padamu, tak mengenalmu, dan ingin bersembunyi darimu. "Tidak ada yang menjadi serigala maupun rusa, Namjoon."

Ketika tubuh tinggi Namjoon berdiri di hadapannya dengan senyuman kecil, Seokjin bergidik. Baru kali ini Ia melihat wajah Namjoon yang berada di antara kegelapan dengan satu sisi wajahnya yang terkena sinar bulan dari luar.

"Lalu ada apa denganmu?"

Seokjin membasahi bibirnya. Jika Ia menjawab dengan jujur atas pertanyaan Namjoon, sudah jelas mereka akan beradu mulut, bahkan ketika matahari belum muncul. Dan Seokjin terlalu mengantuk untuk mengeluarkan tenaga dan emosinya. Ia menjawab singkat, "Tidak, aku baik. Kau baik?"

"Kau tidak cukup bodoh untuk mengetahui jika bukan itu yang kutanyakan."

Seokjin memaksa mata mereka bertemu, memandang ke dalam mata yang terlihat bersinar di antara gelapnya ruangan di rumahnya. Ia tidak percaya jika Namjoon tidak merasakan perasaan dalam dirinya, Ia masih percaya jika Namjoon itu masih seperti manusia normal lainnya.

Tapi satu sisi dirinya terlalu takut untuk percaya.

Sebisa mungkin Ia berucap dengan nada tenang dan pelan, "Namjoon, aku harus membuka klinikku pagi ini, sudah terlalu lama klinik tutup dan warga mengeluhkannya. Aku harus tidur sekarang."

Ada jeda beberapa detik keduanya terdiam. Namjoon tak bereaksi, bergerak, maupun bersuara. Keduanya masih mempertahankan tautan mata mereka, saling menyelami lawan bicaranya.

"Kau tahu jika setiap manusia memiliki tabir penutup, itu semacam pemberian yang Tuhan berikan pada setiap manusia yang lahir, Jinseok." Bisik Namjoon–Seokjin menahan nafas mendengar nama panggilan itu keluar dari mulut Namjoon sekali lagi. "Sebisa mungkin aku menjaga tabir itu tertutup, tapi kau berhasil membukanya. Bukankah giliranmu membuka milikmu untukku?" Lalu tubuh Namjoon bergerak satu langkah ke kanan, memberi akses bagi Seokjin untuk berjalan masuk ke kamarnya.

Dengan limbung Seokjin berjalan, menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidurnya dan membungkus tubuhnya di balik selimut.

Seharusnya Ia tidur cepat. Seharusnya Ia segera beristirahat agar bangun dalam keadaan segar dan siap mengoperasikan kliniknya sekali lagi. Tapi hingga matahari muncul di balik kelambu di kamarnya, mata Seokjin masih terbuka lebar. Otaknya tak mau beristirahat dan bersikap tenang, malah memikirkan arti ucapan Namjoon padanya.

.

.

.

Ponsel Seokjin bergetar sejak tadi. Yoora yang merasa lebih terganggu dibanding pemiliknya. "Oppa, kau tak mau menjawab telepon itu? Ponselmu bergetar sejak tadi."

Bukannya tak ingin menjawab, Seokjin bahkan tak sadar ponselnya bergetar. "Terimakasih,"

Itu nomor asing. Dalam keadaan ragu Ia mengangkatnya. "Halo?"

Tak ada jawaban, hening di ujung panggilan. Seokjin akan berucap 'halo' sekali lagi namun suara bergumam terdengar dari ujung panggilan. "Oh, sudah tersambung." Suara dehaman terdengar dilanjutkan suara berat yang Seokjin kenal, "Halo, hyung?"

Alisnya terangkat, "Aku tak mengenal nomor ponselmu, apakah ini Taehyung?"

"Benar, hyung, ini aku Taehyung."

"Ada apa, Taehyung?"

"Namjoon hyung masih di rumahmu?"

Seokjin sudah punya firasat tentang perihal Taehyung menelponnya. "Ya. Namjoon masih tak mau mengangkat teleponmu?"

Suara decakkan lidah terdengar. "Ponselnya sekarang mati. Kami masih belum memutuskan apakah seharusnya kami mengadakan upacara penghormatan atau tidak karena Namjoon hyung tak menjawabnya. Bahkan kremasi tak bisa dilakukan tanpa persetujuan keluarga yang masih hidup."

Seokjin paham bagaimana bingungnya Taehyung. Ia berada di posisi yang bertanggung jawab karena termasuk kepercayaan keluarga Kim dan mendiang Tuan Kim, namun tak bisa mengambil keputusan karena Namjoon yang masih memiliki hubungan darah yang harus memutuskan.

Tapi Seokjin sendiri tak bisa membantu Taehyung.

"Hyung, bisa kau bicara dengan Namjoon hyung?"

Seokjin mendengus, "Kau pikir aku bisa membujuknya?" tanpa sadar Ia tertawa mengingat bagaimana keras kepalanya Namjoon. "Kau yang sudah mengenalnya sejak lama dan menjadi orang kepercayaannya, masih tak bisa membujuknya. Lalu kau berharap aku bisa?"

"Tentu Ia lebih percaya padamu, hyung!"

Lidah Seokjin kelu, mendengar bagaimana yakinnya Taehyung menjawab.

Ketika Seokjin masih terdiam, masih dalam sambungan telepon dengan Taehyung, pintu klinik terbuka dengan cepat. Seokjin dan Yoora menoleh dengan cepat, menemukan Namjoon yang berdiri dengan wajah tak suka, memandang Seokjin dalam diam. Tak perlu dilihat dua kali, wajah kaku Namjoon dan matanya yang nyalang menjelaskan dengan jelas bagaimana terganggunya lelaki itu.

Seokjin gelagapan!

Tangan Namjoon bergerak cepat meraih ponsel yang masih menempel di telinga Seokjin, menempelkan di telinganya dan membentak, "Hei, sialan!" Seokjin dan Yoora berjengit takut mendengar nada bentakan Namjoon.

"Jangan coba lagi menghubungiku maupun Seokjin, atau siapapun, dengan harapan kau bisa membujukku! Tak akan bisa! Sekali lagi kau melakukannya, kupastikan seluruh kukumu lepas, Kim Taehyung!"

Lalu telepon ditutup. Namjoon meletakkan ponsel Seokjin di meja, dengan keras. Tanpa berucap maaf karena membuat keduanya ketakutan, lelaki itu berbalik dan membanting pintu. Tentu saja membuat Seokjin kesal.

Si dokter mengikuti dari belakang, ikut berjalan menghentak. "Oi, Tuan Kim Namjoon!"

Langkah Namjoon terhenti, begitu juga langkah Seokjin. Tubuhnya berbalik berhadapan dengan Seokjin yang kesal. Keduanya sama-sama sedang kesal, sama-sama keras kepala, sama-sama tak bisa berpikir jernih.

"Sudah kubilang, bukan, jangan perlihatkan amarahmu di hadapan yang lain! Termasuk Yoora!"

Namjoon tak bergerak, tak juga menjawab.

"Kau bisa sesuka hatimu membentak Taehyung dan anak buahmu, memaki mereka jika bekerja tak sesuai dengan keinginanmu, tapi tidak di depan yang lain, tidak di hadapan Yoora! Dia ketakutan!"

"Aku tak peduli."

"Aku yang peduli." Suara Seokjin meninggi, tanpa sadar wajahnya memerah kesal. "Aku tahu kau tak akan mempedulikan hal-hal kecil seperti menjaga perasaan orang lain, tapi aku selalu peduli. Aku peduli untukmu, agar tak ada yang takut padamu dan masih memandangmu seperti manusia normal."

"Kau tak perlu melakukannya untukku, Seokjin."

Ulu hati Seokjin serasa dipukul keras-keras, sebagaimana dadanya terasa diremas. "Woah, bukannya terimakasih yang kudapat malah kalimat menyakitkan yang keluar dari mulutmu. Aku selalu memperhatikan hal-hal kecil untukmu dan ini yang kudapatkan, hebat sekali Tuan Kim yang satu ini."

Namjoon memilih diam.

"Berapa kali kubilang, tidak ada salahnya memperhatikan perasaan orang lain, karena tidak semua orang berwatak seperti diri kita. Berapa kali kubilang untuk minta maaf jika salah, mengucapkan tolong ketika menyuruh, dan bilang terimakasih kepada orang lain. Itu pelajaran dasar dalam hidup dan kau tak peduli akan hal itu?"

"Namjoon-ah, dengarkan aku." Suara Seokjin melunak ketika lawan bicaranya masih saja diam, urat di lehernya juga mulai menghilang tak terlihat dari permukaan kulit. "Apa yang kau artikan menjadi manusia, yang memiliki perasaan dan merasakan perasaan, bukan hal yang buruk. Kita tak selamanya harus bersikap kuat dan terlihat superior, hal seperti itu hanya akan menghasilkan keburukan. Yang kita perlukan hanya mengendurkan bahu, merasakan sekitar kita dan berempati."

Mata mereka, sekali lagi, bertaut dalam jarak dekat. "Tak ada salahnya menunjukkan sisi terburuk diri kita, tak ada salahnya menunjukkan kelemahan dan sisi gelap kita yang paling dalam. Karena memang itu yang membuat kita semakin kuat."

Beberapa detik Namjoon masih tak paham, mencoba mencerna ucapan Seokjin.

"Papamu adalah orang hebat, Ia tak pantas menerima perlakuan seperti ini saat Ia telah meninggal. Pastinya Ia akan lebih senang ketika jasadnya segera diurus dan diadakan upacara penghormatan, 'kan?" Seokjin berucap yakin, lebih berusaha meyakinkan dirinya sendiri ketimbang meyakinkan Namjoon, "Aku akan datang ke Seoul sore nanti, entah usaha apa yang bisa kulakukan di sana, tapi aku akan tetap pergi. Kau bisa ikut jika kau mau, dan belajar menjadi manusia di sana."

"Jangan." Sahut Namjoon cepat. Wajah Namjoon kembali mengeras, "Kubilang jangan ke Seoul! Di sana terlalu berbahaya! Saat ini semua mengincar keluargamu, termasuk dirimu!"

"Kau pikir aku peduli? Kita berbeda, Namjoon, kau akan memilih terus berspekulasi dengan logikamu, memikirkan semua strategi dengan matang dan menolak kegagalan. Tapi aku tidak, aku lebih suka merasa gagal dan bodoh lalu belajar dari kesalahanku. Kurasa itu yang membuat kita berbeda."

.

.

.

Seokjin tak berbohong saat mengatakan akan pergi ke Seoul, sendiri atau bersama Namjoon. Ia berencana membantu Taehyung menyelesaikan urusan kremasi hingga upacara penghormatan. Dengan atau tanpa persetujuan Namjoon. Ia juga harus mendengar penjelasan Yoongi bagaimanapun juga.

Maka sekali lagi Seokjin menutup kliniknya lebih awal dan memberi tahu Yoora jika kliniknya akan tutup sekitar tiga hari, atau lebih. Lelaki itu sudah siap berangkat saat bertemu sosok Namjoon di ruang santai.

Namjoon duduk terdiam, menatap tautan tangannya. Seokjin bisa melihat kerapuhan di sana, sekaligus kepura-puraan untuk bersikap kuat. Sejauh ini, sekalipun Seokjin masih takut setengah mati, Ia masih percaya jika Namjoon hanya berpura-pura kuat. Yang Ia butuhkan hanyalah keyakinan untuk membuka diri.

"Aku akan pergi." Bisik Seokjin.

Namjoon beraksi atas bisikan Seokjin, pandangannya naik lalu menatap wajah Seokjin. Matanya datar, tak menunjukkan kesedihan maupun amarah. Sejujurnya Namjoon terlihat mengerikan jika memasang ekspresi datarnya.

"Kau yakin tak akan berangkat bersamaku?"

"Tidak." Jawabnya cepat. "Buat apa."

Seokjin menggigit bagian dalam pipinya, menahan dirinya untuk tidak marah ataupun menyulut perdebatan sekali lagi. "Baiklah," Seokjin mengangkat tas jinjing berisi pakaiannya dari lantai, "Akan kukabari jika upacara penghormatan Tuan Kim dimulai,"

Alis Namjoon naik dan dahinya berkerut tipis, namun tak ada sepatah kata yang keluar dari mulutnya. Seokjin memutuskan jika ini adalah akhir dari percakapan mereka sore ini.

Hingga mobilnya bergerak meninggalkan rumahnya, Seokjin tak mendapati Namjoon yang menyusulnya.

.

.

.

Seokjin memang tidak terbiasa berpergian jauh, bahkan jarak antara desa tempatnya tinggal dengan Seoul yang dapat ditempuh hanya dalam waktu empat jam terasa sangat melelahkan baginya. Namun akhir-akhir ini rasanya jarak rumahnya di desa dengan Seoul terasa dekat, mungkin karena intensitas perjalanan yang dilakukan Seokjin yang bertambah membuatnya terasa lebih dekat. Dan kali ini Seokjin terkejut pada kemampuan mengemudinya yang berhasil sampai di apartemen Yoongi lebih cepat dari biasanya.

Rencananya Ia akan menemui Yoongi terlebih dahulu. Bagaimanapun juga Ia harus memastikan dirinya memiliki back up selama di Seoul. Seokjin tidak bodoh dan polos, Ia tahu cara kerjanya, Ia paham sistem dimana Ia berada, dan apa yang harus dilakukannya ketika kakinya menyentuh Seoul.

Namun secara tiba-tiba kaca mobilnya di ketuk dengan keras.

Seokjin yang hendak menghubungi Yoongi secara spontan menjatuhkan ponselnya dan membuka dashboard mobilnya. Mengambil handgun.

"Seokjin, buka."

Itu Namjoon.

Telah berdiri di sebelah mobilnya, memakai kaus dan celana kain yang tadi Ia pakai ketika di rumah.

Dengan cepat Seokjin menurunkan kaca mobilnya. "Namjoon! Apa yang kau lakukan?" suara Seokjin tanpa sadar memekik, meneriaki Namjoon yang datang tiba-tiba.

"Buka pintumu, biarkan aku masuk." Namjoon menitah dengan yakin, lalu lelaki itu bergidik dan memeluk tubuhnya sendiri, "Cepat Seokjin. Aku tak memakai jaket dan bisa mati kedinginan jika kau biarkan terlalu lama di luar."

Seokjin menurut. Membuka pintu mobilnya dan membiarkan Namjoon duduk di sebelahnya. Mata lelaki itu melirik sandal rumahan yang Namjoon kenakan. "Bagaimana caramu kemari, Namjoon?"

Lelaki di sebelahnya masih bergidik kecil, "Aku meminta bantuan seseorang."

Ah, anak buahnya. Terkadang Seokjin lupa dengan siapa Ia berbicara. Seokjin masih sering melupakan fakta bahwa anak buah Namjoon selalu berada di sekitarnya. Fakta yang pada awalnya ingin Ia lupakan, namun pada akhirnya Seokjin sadar bahwa hidupnya akan terus berurusan dengan hal semacam ini.

"Lalu apa yang akan kau lakukan? Di sini?"

Namjoon tersenyum kecil, "Kau pikir aku akan membiarkanmu sendirian pergi ke Seoul, Jinseok?"

Setengah mati Seokjin tak suka dengan arah pembicaraan ini. "Sejujurnya aku berharap kau akan menjawab alasanmu pergi ke Seoul adalah untuk memimpin upacara penghormatan Papamu."

"Ya, dan tidak. Kau alasan utamaku untuk pergi ke Seoul. Keras kepalamu membuatku harus mengendurkan batasan. Dan, ya, aku akan memimpin upacara penghormatan terakhir Papa."

Rasa lega mengalir di kerongkongan Seokjin. "Baiklah–"

"Karena jika bukan aku yang memimpin, Hoseok sialan yang akan melakukannya."

Sial!

.

.

.

Rencana Seokjin berubah. Ia yang awalnya akan mendatangi kediaman Yoongi dan Jimin untuk mencari informasi dan meminta bantuan, berubah saat Namjoon telah ada di sisinya. Seokjin tahu alasan Namjoon datang ke Seoul, dan Ia percaya jika lelaki itu masih mampu melindunginya.

"Taehyung mengatakan ini alamatnya." Ucap Seokjin memecah keheningan begitu mobilnya tiba di gedung tempat mereka akan melaksanakan upacara penghormatan.

Namjoon yang masih duduk di sebelahnya terlihat tegang. Wajahnya datar, Seokjin paham jika lelaki itu menahan berbagai emosi dan menekannya agar tak terlihat.

Dalam kondisi seperti ini, Seokjin seribu kali kebingungan. Ia tak ingin memaksa Namjoon dan berakhir perdebatan, Ia juga tak ingin membiarkan Namjoon lemah karena Ia tahu lelaki itu tak suka menunjukkan kelemahannya.

"Hyung?"

Beruntung ada Taehyung. Buru-buru Seokjin menurunkan kaca mobilnya, menyapa Taehyung dengan wajah cerah.

"Namjoon hyung, aku sudah menyiapkan pakaian untukmu. Kau siap masuk?"

Baru setelahnya Namjoon bereaksi, Ia mengangguk pada Taehyung yang berada tepat di hadapannya dan keluar dari mobil.

Seokjin tak terlalu hafal tempat ini. Yang jelas Ia hanya mengikuti langkah Taehyung yang membawa mereka ke lantai dua. Berbeda dengan yang di lantai satu, dimana satu lantai dibagi menjadi beberapa ruang upacara, lantai dua hanya berisi satu ruangan besar. Tidak terbagi, hanya satu ruangan besar, lebih layak dibilang aula dengan sekat yang membentuk lorong sempit tempat perlengkapan disimpan. Bahkan Seokjin baru tahu jika ada tempat upacara seperti ini.

"Gedung ini milik Ketua, hyung. Ketua sendiri yang mendesain khusus lantai dua ini, hanya untuk dirinya dan keluarganya."

Seokjin mendengarkan dalam diam. Ruangan ini sudah cukup sepi. Hanya beberapa lelaki berpakaian serba hitam khas melayat yang langsung membungkukkan tubuhnya 90 derajat saat Namjoon memasuki ruangan.

Saat itu Seokjin dan Namjoon baru mengetahui jika jenasah Papa Namjoon telah dikremasi, "Ketua telah dikremasi terlebih dahulu, hyung, maaf kami tidak meminta persetujuanmu." Suara Taehyung datar dan lirih. Ia tak hanya menunjukkan kekhawatirannya pada Namjoon, namun juga kesedihan yang mendalam. "Seseorang melakukannya tanpa memberitahuku,"

"Taehyung, dimana Jungkook?" potong Seokjin.

"Dia pergi mengurus beberapa hal, hyung." jawab Taehyung sambil berbalik untuk menatap Seokjin singkat, lalu kembali menatap Namjoon di sebelahnya sambil menyerahkan pakaian untuk Namjoon, "Pakaianmu, hyung. Aku mengambilnya dari rumahmu."

Namjoon mendorongnya pelan, "Kurasa baju ini lebih nyaman."

Tangan Taehyung buru-buru menarik pakaian yang tadi Ia sodorkan pada Namjoon. Pastinya Taehyung menuruti setiap ucapan Namjoon, dan Seokjin paham akan hal ini.

Tapi bukan seperti ini seharusnya. "Tidak, Namjoon. Beri salam yang benar pada mendiang." Suara Seokjin tegas. Kedua Kim yang lain langsung berbalik, sama-sama terkejut saat mendengar titah Seokjin.

Baru saat itu Seokjin menyadari sesuatu; mata Namjoon basah.

"Namjoon," suara Seokjin tercekat sebagai satu-satunya reaksi. "Kau... baik?"

Dan untuk pertama kalinya Namjoon terlihat lemah. Ia menggeleng sambil memaksa senyumnya yang menyakitkan, "Tidak."

Mereka bertiga berada di tengah ruangan, dimana semua mata bisa memperhatikannya. Dan Seokjin tak suka jika kelemahan Namjoon terekspos. Tak ada yang menjamin semua yang berada di ruangan ini adalah orang yang berpihak pada Namjoon. Maka dengan persetujuan Taehyung, Seokjin menarik Namjoon dan mengikuti Taehyung yang membawa mereka menuju lorong di ujung ruangan. Lorong ini tak terlihat dengan jelas, tak ada pula orang di sana.

"Aku akan pergi, hyung," gumam Taehyung memberi waktu pada keduanya.

Dan ketika tinggal mereka berdua, tangan Seokjin meremas bahu Namjoon yang terlihat tegang. "Namjoon, kau baik?"

Lelaki itu menggeleng, lalu menunduk dalam diam.

Namjoon lelaki yang kuat. Ia terlatih untuk menekan amarah dan perasaannya, mengandalkan otak dan logika dalam setiap langkahnya. Berapa kali Namjoon kehilangan orang kepercayaannya, berapa kali Namjoon harus merelakan apa yang menjadi kesayangannya untuk hilang. Dan semua itu Ia lalui dengan tenang, seolah tak terjadi apapun. Dan Seokjin paham luar biasa dengan konsep itu. Berkali-kali Namjoon menjelaskan hal ini padanya, berkali-kali pula Namjoon menunjukkan sikap terlatihnya.

Maka saat melihat bagaimana pertahanan Namjoon runtuh di hadapannya, Seokjin tak tahan. Ia lebih sentimen, Ia lebih mudah menangis dan merasakan sesak. Matanya ikut basah ketika melihat bagaimana punggung kuat Namjoon bergetar di hadapannya, bahkan ketika lelaki itu berusaha tak mengeluarkan suara saat menangis. Namjoon membuka tabirnya, kelemahannya telah Ia tunjukkan pada Seokjin.

"Namjoon," bisik Seokjin.

Lelaki yang disebut namanya tidak menjawab beberapa saat, hingga panggilan kedua, akhirnya lelaki itu tak mampu menahan dirinya. Ia telalu lemah saat ini, dan bahu Seokjin ada untuk tempatnya bersandar. Ketika Seokjin merasakan bahunya basah dan hangat karena air mata, Seokjin menengadahkan wajahnya demi tak menangis.

Kali ini Ia harus menjadi yang lebih kuat.

Karena Namjoon membutuhkannya.

Lama Seokjin membiarkan Namjoon menangis di bahunya, lelaki itu akhirnya menepuk punggung Namjoon menenangkan. Posisinya hampir memeluk, namun Seokjin paham jika belum tentu Namjoon nyaman dengan pelukan. Maka Ia memberikan jarak pada tangannya yang melingkar agar tidak melampaui batas.

"Peluk aku, Seokjin." gumam Namjoon parau.

Tidak menunggu lama, bukan Seokjin yang memeluk Namjoon, melainkan lelaki itu yang mendekap tubuh Seokjin. Erat, hangat, tak ingin kehilangan. Beberapa kali lelaki itu meraih-raih tubuhnya bahkan ketika Seokjin masih ada di dalam dekapannya, mendekap lebih erat, menunjukkan gestur lemah yang takut kehilangan.

Seokjin membiarkannya.

Ia menyukai konsep dimana Namjoon membutuhkannya ketika lelaki itu ada di titik terendahnya.

Ketika nafas Namjoon lebih stabil dan punggungnya telah tenang, juga ketika lelaki itu tak banyak bergerak ketika memeluk tubuh Seokjin, Seokjin menepuk punggungnya pelan. "Apakah kau sudah baik?"

Tak ada jawaban. Tapi Seokjin jelas merasakan anggukan kepala Namjoon.

"Aku bisa menunggu hingga kau siap."

Pelukan mereka melonggar, rasa kecewa sedikit membuncah di dada Seokjin. "Aku siap." Namjoon mengatakannya dengan mata basah dan hidung memerah.

Seokjin meraih sapu tangan dari saku jasnya, memberikan pada Namjoon, "Usap air matamu dulu, Namjoon. Aku tak akan membiarkan mereka melihatmu seperti ini."

Tak ada reaksi dari Namjoon.

Tangan Seokjin terulur, menggapai tangan Namjoon dan menanamkan sapu tangannya di genggaman tangan Namjoon, "Aku tak akan membuat mereka melihat apa yang ingin mereka lihat darimu."

"Aku tak sanggup melakukan upacara ini, Jinseok."

"Maka kau harus lebih kuat. Tidak, kau harus menjadi sangat tegar dan kuat."

Wajah Namjoon tertunduk dalam, menatap sapu tangan yang ada di dalam tangannya.

"Reaksi seperti ini yang ingin mereka lihat darimu, kelemahanmu, kekalahanmu. Yang perlu kau lakukan untuk memenangkan perang adalah terlihat kuat bahkan saat pertahananmu runtuh. Jangan biarkan kekacauan ini membuat mereka senang karena melihatmu menangis. Jika kau terpuruk, perlihatkan itu hanya padaku, bukan pada mereka."

Wajah Namjoon menatap Seokjin, masih memerah namun lebih tenang. "Kau akan terus bersamaku, Jinseok?"

Tak perlu berpikir dua kali untuk Seokjin mengatakan, "Ya. Jika itu membuatmu lebih baik dan lebih kuat, ya, aku akan bersamamu."

.

.

.

Upacara penghormatan terakhir bagi Papa Namjoon telah selesai. Iringan pelayat memenuhi tempat upacara pelepasan ketika Namjoon membawa kotak penyimpan abu di tangannya, dengan wajah tenang. Di hadapan pelayat yang memenuhi aula–kemungkinan besar semuanya adalah anggota organisasi milik Tuan Kim–Namjoon terlihat begitu tenang. Tak ada tangis, tak ada kesedihan, tak ada kemarahan. Semuanya berjalan dengan tenang, berbeda dengan reaksi yang Ia perlihatkan pada Seokjin hari sebelumnya.

Di upacara pelepasan itu pula Seokjin bertemu dengan keluarganya; ada Papanya dan Kakak perempuannya, juga Hoseok. Tapi tidak ada di antara mereka yang bertegur sapa. Seokjin hanya beradu tatapan dari kejauhan dengan ketiga orang itu, tanpa niat untuk datang menyapa.

Selama upacara berlangsung, Seokjin selalu ditemani Taehyung, tanpa Jungkook. Berkali-kali Seokjin menanyakan keberadaan lelaki itu, kekasihnya selalu saja menjawab jika Jungkoo ada urusan. Baru saat Namjoon memasuki mobil pengantar, Jungkook muncul di sela-sela keramaian. Ia maju mendekat memecah barisan pelayat lainnya untuk berdiri di sebelah Seokjin dan Taehyung.

"Dari mana saja, Jungkook?" bisik Seokjin dengan nada tinggi.

Jungkook membungkukkan badannya pada abu ketua yang ada di pangkuan Namjoon di dalam mobil dengan khidmat, baru menyapa Seokjin dan Taehyung. Saat itu baru Seokjin melihat jelas luka sobek di ujung bibir Jungkook dan pelipisnya, juga darah yang mengering di lubang hidung Jungkook.

Sialan.

Dalam kondisi kehabisan kata-kata, Seokjin berbalik menatap Taehyung yang berada di sebelahnya, berusaha meminta penjelasan. Tapi ekspresi lelaki itu, yang jelas-jelas kekasih Jungkook, malah terlihat tenang dan santai. Seolah tak terjadi apa-apa dan tak melihat ada luka di wajah Jungkook.

"Hyung, aku tidak apa." bisik Jungkook menenangkan Seokjin.

Seokjin menahan segalanya, hingga upacara selesai dan Ia dibawa ke rumah Namjoon.

"Kita akan tinggal di sini selama kau berada di Seoul, hyung. Tidak apa, 'kan?"

"Apa yang terjadi padamu, Jungkook?" Seokjin berkacak pinggang. Keduanya berada di dalam kamar Seokjin, sedangkan Taehyung dan Namjoon tidak turun dari mobil dan langsung pergi setelah menurunkan mereka berdua.

"Maksudmu, hyung?" tanya Jungkook dengan mata melebar, persis seperti kelinci.

Kadang Seokjin kebingungan dengan lelaki di hadapannya ini. Ia begitu manis dengan wajah menggemaskan dan ekspresi yang tak kalah menggemaskannya, seluruh fitur pada dirinya menunjukkan kelembutan. Namun melihat bagaimana wajahnya penuh luka tadi pagi membuat Seokjin terasa tertampar dan kembali ke kesadaran,

Jungkook sama mengerikannya.

"Kau bisa jujur padaku, Jungkook."

"Aku sungguhan, hyung, aku tak paham maksudmu."

Seokjin menghela nafas, mencoba tetap waras saat dihujani wajah menggemaskan Jungkook di hadapannya. "Aku tidak buta hingga seolah tak melihat luka di sudut bibirmu dan pelipismu, juga darah kering di hidungmu."

"Ah," Jungkook bergerak cepat dan melihat wajahnya di cermin, mengamati wajahnya dan mengecek luka-luka yang disebutkan Seokjin. Tidak ada gunanya Ia berbohong, hidup Seokjin sama saja dengannya, "Aku harus mencari siapa yang memberikan ijin untuk mengkremasi jasad ketua, karena aku dan Taehyung mengatakan jika keputusan ada di tangan Namjoon hyung."

"Lalu siapa yang memberi ijin?"

Jungkook berbalik dengan ringan, "Tuan Kim yang lainnya, hyung," jawab anak itu ringan. "Papamu."

.

.

.

Sore itu Seokjin memutuskan untuk tidur, memaksa diri untuk terlelap lebih tepatnya. Setelah mendengar jawaban Jungkook tentang siapa yang lancang memberi ijin untuk mengkremasi jasad Papa Namjoon, dan bagaimana Jungkook secara ringan saat mengatakannya, kepala Seokjin rasanya berputar.

Kembali lagi ke benang merah. Keluarganya sangat kotor.

Lalu berbagai fakta berlarian di kepalanya, seolah tak memberinya celah untuk beristirahat dan berpikir tenang. Maka memaksa dirinya tidur adalah pilihan yang tepat, sekalipun susah.

Seingatnya Ia tertidur saat matahari masih di atas. Namun Ia terbangun saat langit di luar telah gelap, begitu pula kamarnya. Kepalanya masih sedikit berputar saat Seokjin mencari ponselnya di nakas di sebelah tempat tidurnya. Pukul delapan, Ia telah tertidur hampir lima jam.

Ia haus. Dan lapar.

Lelaki itu berjalan di dalam kamarnya yang gelap dengan bantuan cahaya dari ponselnya, meraih knop pintu, namun terhenti saat mendengar percakapan yang terdengar serius.

"Situasinya membahayakan, hyung, baik untuk Seokjin hyung maupun dirimu."

Seokjin mendengar namanya di sebut, saat itu juga Ia mengurungkan niatnya untuk keluar. Ia berdiri dalam gelap, tetap pada tempatnya di belakang pintu kamar, mendengarkan.

"Benar dugaanmu dan Taehyung, ketua dibunuh oleh lawanmu, hyung." Itu suara Jungkook. "Aku mencari CCTV di seluruh jalan akses menuju rumah ketua, hampir semuanya dirusak atau terhapus. Tapi aku tahu jika ketua menanam kamera kecil di beberapa sudut rumahnya yang tidak diketahui siapapun, dan aku mendapatkannya."

"Hoseok hanya umpan."

"Benar, hyung, Hoseok hyung hanya umpan agar kau pergi dari rumah ketua. Satu jam setelah kau pergi, beberapa penjaga rumah ketua pergi, hanya separuh yang tersisa. Lalu setengah jam kemudian beberapa mobil datang membawa lawan yang jumlahnya hampir dua kali lipat dengan penjaga rumah ketua."

Lama hening memenuhi ruang dengar, hingga suara bisikan Jungkook yang hampir tak terdengar. "Seseorang turun dari mobil sedan kemudian, Ia yang memaksa ketua membunuh dirinya sendiri dengan meminum racun."

"Apa seseorang itu adalah orang yang kupikirkan?" suara Namjoon terdengar dingin.

Beberapa saat antara tanya Namjoon dan jawaban yang akan di dengarnya, Seokjin merasakan kengerian. Tanpa sadar Ia merinding menunggu jawaban pertanyaan ini.

"Ya, Dokter Kim yang langsung turun tangan."

TBC