Park Jimin pernah bertemu gadis itu, gadis yang bernama Bae Irene. Setelah ia ingat baik-baik, ia sempat melihat perempuan berparas ayu itu di festival kampus tahun lalu. Teman baik Kang Seulgi yang berusaha menyusup ke balik panggung. Jelas-jelas ia bukan panitia mau pun mahasiswa di sana. Jimin bisa tahu karena ia disuruh Taehyung untuk membawakan ponselnya yang tertinggal di rumah. Taehyung bahkan mengirimkan banyak pesan menggunakan ponsel milik kakak tingkat, hal itu membuat Jimin hampir jantungan di awal, karena Taehyung menyematkan namanya di pesan paling akhir.
"Hei, apa kau Park Jimin?" Jimin menolehkan kepalanya dan mendapati seorang kakak tingkat sedang berjalan cepat ke arahnya. Dia memakai tanda pengenal sebagai panitia.
Jimin mengangguk cepat. Ia tidak tahu siapa pria di hadapannya ini.
"Aku Park Bogum. Taehyung berkata kau akan ke sini untuk mengantar ponsel, apa itu benar?"
"Ah, iya!" Jimin segera mengambil ponsel Taehyung yang ia letakkan di saku celananya. Ia memberikan ponsel tersebut pada Bogum. "Ini, Sunbae. Apa Taehyung menitipkannya pada Sunbae?"
"Iya. Dia masih sibuk di sekitar panggung. Dia juga diminta menjadi MC untuk di awal acara. Jadi aku diberitahu kalau kau akan datang dan disuruh menunggumu di sekitar sini."
Jimin mengangguk mengerti. "Kalau begitu, ini. Terima kasih, Sunbae!" Ia pun segera berbalik dan melangkah pergi.
"Aku mohon biarkan aku masuuuuk! Aku ingin bertemu temanku di dalam!"
Jimin mengernyit, ia melirik ke arah suara. Di sana ada seseorang berbaju putih cantik, berusaha masuk meski tidak diizinkan.
"Biar kami panggilkan saja, kau ingin bertemu siapa?"
Wanita itu menggeleng. "Tidak mau! Aku mau langsung bertemu dengannya! Ini surprise!"
"BAE IRENE!" Jimin mendengar suara lain, tapi ia sudah tidak menoleh. Ia tidak ingin terlibat dengan itu semua. "Apa yang kau lakukan di sini, astaga!?"
Bae Irene.
.
.
PAPILLON
.
Kim Taehyung & Jeon Jungkook
.
CHAPTER 5
.
Will you stop time
If this moment passes
As though it hadn't happened
I'm scared I'll lose you
- Butterfly -
.
.
Tidak seperti Jimin yang lebih banyak merenung akhir-akhir ini, Jungkook malah merasa lebih tenang. Entah apakah perasaannya kini bisa dikatakan begitu atau itu hanya sugesti saja. Tapi Jungkook sama sekali tidak merasakan perasaan apapun yang membuatnya cemas, ia merasa biasa.
Mereka tetap latihan seperti biasa, malah makin intensif dari sebelumnya. Setelah hasil diskusi yang melibatkan Kang Seulgi, akhirnya Hoseok dan Jimin mendapatkan gerakan yang mereka inginkan. Beberapa kali mereka latihan dan setiap itu pula Jimin salah hitungan.
Malam ini, Jungkook sendirian. Namjoon ada tugas di luar kota dan Seokjin memilih ikut. Dia bilang ingin liburan.
Jungkook menghabiskan malamnya dengan duduk merenung, menatap televisi yang menayangkan pertandingan sepak bola. Tapi ia sama sekali tidak tertarik, ingin rasanya membuka folder kameranya. Mencari foto Taehyung yang berhasil dicurinya, meski buram, tapi Jungkook merasa ingin melihatnya lagi.
Ponselnya berdering. Tepat ketika Jungkook bangkit hendak mengambil kamera.
"Siapa orang aneh yang menelepon di hampir tengah malam seperti ini?" Jungkook menggerutu. Akan sangat mengesalkan kalau ternyata yang menelepon adalah Yugyeom, atau Mingyu, apalagi Bambam. Biasanya tidak penting.
Dan nama Kim Taehyung tertera di sana.
"Hyung?"
"Jungkook. Katakan padaku."
Alangkah terkejutnya Jungkook, mendengar nada suara Hyung tersayangnya kini bergetar. Seperti hilang tanpa arah. Jungkook tidak tahu apa maksudnya, ia tidak tahu Taehyung ingin dirinya berjanji apa padanya. "Apa yang bisa aku lakukan untukmu, Hyung?"
Jeda sejenak, hanya terdengar suara napas. Karena malam begitu hening.
"Apa kau juga akan pergi, Jungkook-ah? Apa kau juga akan berjanji untuk tidak akan meninggalkanku?"
Jungkook tidak tahu apa yang terjadi pada Taehyung sekarang. Dia tidak tahu harus memberi respon apa, takut-takut apabila salah bicara malah membuat Taehyung semakin kacau. Maka dari itu Jungkook menanggapinya dengan sebuah pertanyaan lain, "Hyung ada dimana sekarang? Aku akan ke sana."
"...Daegu."
Daegu. Sangat mustahil bagi Jungkook untuk berangkat ke sana, di tengah malam, dari Seoul. Ya Tuhan.
Jungkook tidak punya alasan lain untuk menghindari pertanyaan sebelumnya. Meski ia tidak paham apa maksud dari pertanyaan itu. Apakah ini ada hubungannya lagi dengan Irene yang disebut Seulgi? Meski sudah beberapa kali bertemu, mereka tidak pernah lagi membahas masalah itu.
"Aku tidak tahu jawabannya, Hyung. Aku juga tidak bisa menjanjikan apa pun. Tapi aku akan berusaha untuk ada di sisi Hyung, selama Hyung membutuhkanku," jawab Jungkook. "Taehyung-hyung tahu, bukan? Aku sudah menyukaimu, Hyung."
Lalu Taehyung terdiam. Ia tidak begitu yakin apakah memang itu jawaban yang diinginkannya dari Jungkook. Tapi Taehyung merasa jauh lebih tenang dari sebelumnya. Sejak pertama kali ia mendengar suara Jungkook, rasanya segalanya akan menjadi baik-baik saja.
"Omong-omong, apa yang kau lakukan di Daegu, Hyung?" tanya Jungkook, ia merebahkan dirinya di ranjang dan menatap langit-langit kamar. Ia harap malam ini bisa tidur dengan ditemani suara Taehyung dari sambungan telepon.
"Nenekku sakit, Jungkook," jawab Taehyung. Sejujurnya ini pertama kali baginya untuk bercerita tentang keadaan neneknya beberapa hari ini. Bahkan ia tidak berkata apapun pada Jimin. "Dan nenekku berjanji tidak akan meninggalkanku… aku takut."
"Hyung…"
"Aku takut janji itu akan dilanggar lagi."
Jungkook terdiam. Ingin rasanya bertanya tentang bagaimana Taehyung di masa lalu. Tentang siapa Taehyung yang belum pernah dikenal semua orang. Tentang sisi lain Taehyung yang kesepian.
"Hyung, aku tidak tahu apa yang bisa aku lakukan untuk membuatmu lebih baik. Tapi… aku bisa bernyanyi."
"Nyanyianmu pasti akan sangat membantu, Kookie-ah."
Jungkook tersenyum, ia menegakkan dirinya dan mulai bernyanyi.
Lost Star milik Adam Levine pun mengudara, mengisi kesunyian malam. Mengduara dari Seoul sampai ke Daegu.
Yang tidak Jungkook ketahui malam itu adalah, sosok Kim Taehyung yang masih menggenggam ponselnya erat setelah panggilan terputus. Sosok Kim Taehyung yang berbisik lirih, "Bertahanlah sedikit lagi untukku, Jungkook-ah."
.
.
Pagi itu, Park Jimin nampak kacau. Ia menggedor pintu apartemen Seokjin dengan membawa Min Yoongi di belakangnya. Wajahnya kusut dengan air mata, membuat seisi apartemen kebingungan.
"Mana Jeon Jungkook?"
Jungkook yang—syukurnya—baru selesai mandi pun dibuat terkejut. Ia disuruh segera berkemas dan dipaksa ikut pasangan mini itu tanpa banyak tanya. Seokjin dan Namjoon yang lebih dulu bertanya pada keduanya, namun nihil. Jimin dan Yoongi pun tidak menjawab apapun ketika Jungkook melempar tatapan tanya. Akhirnya, Namjoon dan Seokjin hanya berpesan untuk hati-hati di jalan.
Maka, Jungkook hanya bias memilih diam.
Mereka berkendara menggunakan mobil Yoongi. Jungkook duduk di kursi belakang sendirian. Sedikit aneh karena suasana yang tidak mengenakkan. Berulang kali Jimin mengusapkan tisu di wajahnya dan membuat ingus, ia terlihat seperti orang sakit flu, andaikan saja air matanya tidak terus-terusan menetes.
Sedangkan Yoongi duduk di kursi kemudi dengan wajah yang tegang. Bahkan tangannya mencengkram stir mobil kuat. Jungkook bias merasakan rasa takut dan cemas menjadi satu, bahkan ia melihat mata pria itu merah. Pasti Yoongi juga menangis sebelum menjemputnya tadi.
"Kemana kita akan pergi?" Jungkook bertanya pelan. Ia merasa pertanyaan itu tidak akan terlalu memperburuk keadaan. Ia juga merasa bahwa ia perlu tahu setidaknya satu informasi agar bisa menerka-nerka apa yang sedang terjadi.
"Daegu."
Dan jawaban yang diberikan Min Yoongi, berhasil membuat dirinya tidak tenang.
.
.
Destinasi mereka adalah, tempat yang paling enggan Jungkook kunjungi hari ini, kediaman Kim. Di sana ramai dengan orang-orang, dan Jungkook seketika sadar bahwa semuanya—termasuk Jimin dan Yoongi—mengenakan pakaian serba hitam. Jungkook sendiri, yang terlampau terbiasa mengenakan pakaian gelap pun, seakan menyesuaikan. Meski pakaiannya tidak serapi yang lain, ia mengenakan kaus, jaket, dan celana jeans, semuanya hitam.
Mereka disambut oleh beberapa orang, karena memang mereka mengenal baik Jimin maupun Yoongi. Jimin dikenal oleh keluarga Taehyung sementara Yoongi dikenal oleh beberapa tetangga. Ternyata Yoongi dan Taehyung bertetangga dulu, meski rumah mereka beda blok dan Yoongi sangat amat jarang keluar rumah, tetap saja.
Tapi itu bukanlah hal yang penting.
Mereka bertiga masuk dengan langkah lebar, tujuannya hanya satu…
…Kim Taehyung.
Mereka melangkah, melewati ruang tamu, ruang keluarga, dan berjalan mengikuti lorong. Jungkook tidak bias berpikir lagi, ia tidak membutuhkan informasi selain jawaban di dalam kepalanya, dimana Taehyung? Tapi sepertinya Jimin lebih mengerti, pria itu berjalan di depan sendiri, kakinya yang kecil menapak dengan terburu-buru. Yoongi di belakangnya, mengawasi Jimin dengan penuh kehati-hatian.
"Tae!" Jimin membuka satu ruangan, yang diyakini Jungkook merupakan kamar Taehyung—namun ternyata bukan.
Ruangan itu kosong, tidak ada barang apapun selain piano tua di sudut dan rak buku yang dipenuhi buku-buku lapuk. Di sana Taehyung berdiri, menatap ke luar jendela yang berhadapan langsung dengan taman rumah keluarga Kim.
Taehyung nampak tidak terkejut sama sekali dengan kehadiran Jimin di sana, ia hanya menoleh sekilas lalu menghela napas pendek. Jungkook tidak ikut masuk, ia membiarkan Jimin berlari menabrak tubuh Taehyung dan bergumam tentang hal-hal yang mungkin bias menenangkan pria itu.
Namun, Taehyung sama sekali tidak seperti orang yang harus ditenangkan. Ia bahkan sudah sangat tenang.
"Kau tidak apa-apa, Tae?" Jimin mengeratkan pelukannya, menyadari bahwa Taehyung tidak melakukan apapun. Benar-benar tidak melakukan apapun. Bahkan untuk menjawab atau menyapanya, atau sekedar mengangkat tangan untuk membalas pelukannya, atau menolaknya. Yang mana saja. Jimin tidak peduli apa yang dilakukan Taehyung padanya asalkan pria itu tidak diam seperti ini.
"Jimin-ie?" Taehyung berujar, matanya memandang kosong, ke arah luar. "Kenapa kau bisa ada di sini?"
Jimin melepas pelukan mereka. Ia tatap kedua mata Taehyung secara bergantian, dan napasnya tertahan. Entah mengapa, Jimin merasa ia sudah kehilangan Taehyung yang selama ini dikenalnya. Maka, tanpa sadar, bibirnya terbuka untuk mengucapkan sebuah pertanyaan yang salah.
"Kau siapa?"
Taehyung—ia tidak pernah merasa lebih hancur daripada ini.
"Jimin." Jimin tersentak, ia mendapati Yoongi berdiri di pintu dengan tatapan mata yang tidak bias diartikan. "Kemari, biarkan Taehyung memiliki waktu untuk dirinya sendiri."
"Tapi—"
Di saat itu Jungkook melangkahkan kakinya masuk, tangannya menepuk bahu Yoongi sekilas untuk meminta persetujuan. Dan ketika ia mendapat anggukan dari Yoongi, barulah Jungkook benar-benar mendekat.
Jimin menggigit bibirnya lalu menghela napas, ada perasaan sesak yang tidak bias didefinisikan. Ia menepuk lengan sahabatnya sekilas lalu bergumam, "Maafkan aku. Kalau kau butuh aku, kau tahu aku ada dimana."
Lalu Jimin benar-benar pergi, ia menarik diri dari hadapan Taehyung dan keluar dari ruangan itu bersama Yoongi.
Untuk beberapa saat, Jungkook sama sekali tidak bicara. Ia berdiri di belakang Taehyung—jauh di belakangnya. Hanya untuk melihat bagaimana punggung itu terasa begitu rapuh, Jungkook bertanya-tanya, apa yang bisa dia lakukan untuk sekarang?
Taehyung tidak sadar. Ia tidak tahu kalau Jeon Jungkook ada di sana. Yang ia jelas tahu adalah keluarganya pasti mengabari Park Jimin, jadi ia jelas amat terkejut ketika mendengar suara Jungkook ada di sana, begitu dekat dengannya.
"Taehyung-hyung."
Dan dunia Taehyung seakan hancur seketika.
"Jungkook?" Taehyung bertanya lirih, suaranya terdengar ragu. "Jungkook. Jungkookie. Kookie."
Jugkook merengkuh bahu itu. Ia membiarkan kedua tubuh mereka bertabrakan dan wajah masing-masing terbenam di bahu berbeda. "Aku di sini, Hyung. Aku di sini."
"Kook—" Taehyung seperti ingin mengatakan sesuatu. Namun suaranya tercekat. Aksaranya hilang entah kemana. Bahkan napasnya mulai tidak beraturan seakan dikejar oleh sesuatu. "Aku… aku…"
"Sssh—" Jungkook memotong. "Aku paham, Hyung."
Begitu ia tahu, ternyata suara Jungkook sama pecahnya.
Tidak hanya Taehyung yang hancur di sini.
Karena Jungkook pun akan ikut hancur setiap ia melihat Taehyung hancur.
.
.
"Namanya Bae Irene." Begitu kata Taehyung, setelah mereka telah selesai melakukan upacara pemakaman untuk memberikan penghormatan terakhir kepada nenek Taehyung. Jungkook dan Taehyung tidak langsung kembali ke rumah, mereka mampir ke taman bermain untuk anak-anak dan duduk di sana.
Mereka memandang anak kecil yang kebetulan main ayunan di sana. Sendirian, namun ia terlihat menikmati kesendiriannya.
Taehyung menghela napas kecil, ia bingung harus menjelaskan mulai darimana setelah menyebut nama perempuan tadi. "Aku tidak pernah berpikir bahwa diriku ini adalah tokoh utama, baik dalam hidupku atau hidup orang lain. Aku tidak memiliki tujuan, aku mengikuti semua perintah yang diajukan orang tuaku. Mereka ingin aku bekerja sebagai ditektur, maka aku akan menurutinya. Mereka ingin aku jadi gelandangan, maka aku juga akan menurutinya. Aku tidak memiliki kendali dalam membuat keputusan dalam hidupku, ada beberapa yang bisa aku tentukan, tapi apabila ada orang lain yang tidak menyukai apa yang aku lakukan maka aku akan berhenti melakukannya."
Mendengarkan penjelasan Taehyung yang Panjang lebar membuat Jungkook bingung harus bersikap bagaimana. Sejujurnya, tokoh utama yang dimaksud oleh Taehyung itu—apa?
"Kau tahu, kan, rasanya Kook-ah? Ketika kau hidup tapi kau bingung sebenarnya tujuanmu itu apa? Apa yang harus kau lakukan, apa yang ingin kau lakukan? Rasanya hampa, Jungkook-ah." Suara Taehyung sedikit bergetar dan tatapan matanya mulai mengabur.
"Hyung—"
"Lalu aku bertemu dengan nya."
Jungkook menahan napasnya. Ia tahu, siapa yang disebut Taehyung. Nama yang pertama kali disebutkan oleh lelaki itu ketika mulai bercerita, dialah orang itu.
"Dia—" Taehyung sedikit menjeda, seperti mencari-cari kata yang bisa menggambarkan dengan tepat bagaimana sosok itu membekas di ingatannya, di hatinya. "—dia membuatku hidup. Dia membuatku memiliki tujuan. Lalu, aku pun menjadikannya tokoh utama."
Jungkook mengerti. Dan ia hampir saja mundur. Ia hampir saja menyerah karena sadar betul bahwa bagi Taehyung, perempuan itu sangatlah berharga. Posisinya tidak bisa tergantikan. Bae Irene, apa saja yang sudah kau lakukan hingga membuat Taehyung-hyung menjadi sedemikian hancur?
"Tapi dia hilang, Kook." Taehyung menghela napas berat. Terdengar sirat yang mengatakan bahwa ia tidak menyukai kenyataan itu. "Ia pergi meninggalkanku."
Jungkook terdiam. Dalam pikirannya berkecamuk pertanyaan yang sama frustasinya. Ia benci melihat Taehyung demikian. Ia benci kenyataan bahwa ada seorang lain yang amat sangat berharga bagi Taehyung. Namun ia enggan egois, ia ingin membebaskan Taehyung dan memahami lelaki itu. Tapi sekarang—ia harus apa?
"Sama seperti Nenek. Kenapa semua orang berjanji untuk tetap tinggal tapi tidak ada yang menepatinya?" Taehyung mengadahkan kepalanya dan menatap langit. "Apa kau akan melakukan hal yang sama, Kook? Apa kau juga akan meninggalkanku?"
Jungkook tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Ia meraih lengan Taehyung dan merematnya pelan. "Hyung, jangan begini."
Taehyung tidak paham.
"Aku tahu Hyung bisa melewati ini. Aku tahu Taehyung-hyung adalah orang yang kuat. Mereka bahagia, Hyung, kau yang paling tahu itu," jelas Jungkook. "Jika mereka tetap ada di sini, itu sama dengan menyakiti mereka."
Taehyung merasa sakit. Ia tahu Jungkook benar. Tapi ia tidak menyangka bahwa mendengar kenyataannya langsung bisa akan sesakit ini. Tanpa sadar air mata mengalir, melewati pipi dan menetes begitu saja ke atas tanah.
"Kook." Taehyung memanggil.
Dan Jungkook amat terkejut ketika tubuhnya ditarik begitu cepat, hingga kepala Taehyung terbenam di pundaknya lagi.
"Aku mencintainya."
Jungkook tersenyum. Meski dadanya sesak, ia merasa lega sekarang. Ia yakin, kalimat itulah yang menghalangi Taehyung selama ini. "Aku tahu, Hyung. Dan aku yakin, dia juga tahu."
Taehyung memilih untuk tidak membalas kalimat itu. Ia mengusakkan wajahnya di bahu Jungkook dan menyesap aromanya yang—entah mengapa—sangat menenangkan. Ia merasak bahwa berada di pelukan Jungkook seperti—pulang?
"Hyung, apabila kamu menjadikan dia sebagai tokoh utama… maka, tolong izinkan aku untuk menjadikanmu sebagai tokoh utama dalam hidupku.
.
.
End.
Author's :
Hi! Apa kabar? Akhirnya saya punya waktu untuk bisa melanjutkan ini, hehe. Alurnya memang seperti ini dan akan saya tambahkan beberapa bonus chapter, tapi saya tidak bisa memastikan kapan jadinya.
Ini sebenarnya TaeKook, tapi saya sekarang seringnya baca KookTae, jadi mungkin feel-nya kaya bolak-balik gitu, maaf ya.
Oh, selamat tahun baru juga! Harapan saya untuk tahun depan adalah, semoga kalian bisa melakukan hal yang kalian suka. Saya termasuk orang yang memiliki banyak keinginan. Jadi saya ingin sekali bisa mewujudkannya, baik di tahun depan atau di tahun-tahun berikutnya.
Terima kasih sudah membaca sampai sini.
PS; Selamat ulang tahun juga, Taehyung.
PSS; Suka sama lagu Promise-nya Jimin, tidak? Saya belum berani dengar, takut baper berkepanjangan.