disclaimer: karakter yang digunakan bukanlah kepunyaan saya. Dan Harry Potter kepunyaan J.K Rowling.
warning: GS atau BxB (saya tidak pernah menyebut gender Yixing secara eksplisit kok disini). Mpreg for BxB. Gaje. OOC. cursing.


.

.

Embrace The Unexpected

.

Joonmyeon Kim dan Yixing Zhang

.

GS atau Yaoi

It's up to you

.

.


.

.

Hogwarts, 2017—

.

"Alrene Darren Peerce-Zhang!"

.

Kim Joonmyeon terhenyak di kursinya, tubuhnya seketika mengkaku.

.

Peerce-Zhang...?

.

Zhang, apakah dia...?

.

Sepasang mata hitam bak jelaga miliknya berpendar, mengawasi bagai gagak yang mencari mangsa—tertuju penuh pada gadis cilik yang berada di ujung barisan murid murid baru Hogwarts. Gadis itu tersenyum lebar, pipinya mengukir lesung pipi kecil, kala ia menaiki podium untuk mendekati Professor McGonagall yang baru saja memanggil namanya keras-keras.

Joonmyeon berusaha menutupi kegugupannya dengan meraih gelas piala yang tersaji di meja, kemudian menegak isinya banyak-banyak. Meskipun begitu, kedua matanya tak bisa berbohong. Manik kembarnya sama sekali tak sudi melepas pandang dari gadis cilik berusia 11 tahun itu.

Gadis itu cantik, dengan surai brunette-nya yang bergelombang sepanjang punggung. Tidak terlalu tinggi, dan parasnya khas orang-orang asia—kulit seputih susu tanpa cela, dan nyaris menyerupai boneka. Sekilas pandang, Joonmyeon bisa melihat refleksi sosok itu di wajah sang gadis kecil—terutama matanya yang sepertinya berwarna cokelat—hazelnut, ekspresif dan cantik, seperti dia. Juga hidung dan bibirnya—oh Merlin, itu jelas berasal dari dirinya.

Tidak salah lagi.

Gadis itu, dia benar-benar mewarisi 90 persen gen ibunya ketimbang Ayahnya.

Joonmyeon tentunya tak akan alpha pada paras orang itu—ia hafal setiap inci, setiap detail hingga lekuk demi lekuknya.

Bagaimana ia bisa lupa kalau nyatanya dia selalu menari-nari di pikirannya, tak sekalipun letih berkunjung ke buah tidurnya, bahkan hingga detik ini. Dia—

Joonmyeon menggelengkan kepala, menolak untuk terbawa. Ia berusaha untuk tetap berpijak di realita—kembali mengamati Professor McGonagall yang tengah menginstruksikan gadis itu untuk duduk di sebuah kursi, kemudian meletakan topi seleksi yang telah usang dimakan waktu di atas kepalanya. Ini merupakan tradisi dari tahun ke tahun untuk murid-murid baru Hogwarts, mereka akan disambut di Aula Besar, lalu nama mereka akan dipanggil satu per satu sesuai abjad, sementara topi seleksi yang bisa bicara itu menentukan kemanakah 'takdir' murid-murid itu berlabuh hingga 7 tahun ke depan.

Topi seleksi bicara—yang ia tahu betul hanya bisa didengar oleh si pemakainya. Topi tua dan jelek itu sudah dimantrai oleh Legilimency agar ia bisa menentukan manakah dari keempat asrama yang tepat untuk ditinggali bocah bernama Arlene itu, sesuai dengan kepribadiannya. Si pemberani Gryffindor, Si Licik Slytherin, Si Jenius Ravenclaw, atau Si Loyal Hufflepuff.

Arlene.

Arlene Peerce-Zhang.

Sudut bibir Joonmyeon sedikit terangkat.

Jadi... dia benar-benar menggunakan nama itu untuk putrinya, eh?

Persis seperti apa yang pernah dikatakannya dulu.

.

"Jika anakku perempuan, maka aku akan memberinya nama Arlene,"

.

Begitu dia berkata.

.

Dia—dia Yixing.

Yixing Zhang.

.

Yixing Zhang yang tak bisa ia lupakan.

.

Bahkan walau takdir tak mengikat mereka dengan benang merah, walau Merlin telah bertitah untuk memisahkan kedua raga dan membiarkan Yixing Zhang-nya bersatu bersama orang lain, berbahagia, mengucap janji sehidup semati dan akhirnya memiliki seorang keturunan. Muggle-born.

Seorang anak, seorang gadis jelita yang kini terduduk di podium, mendengarkan topi seleksi berceramah, hingga akhirnya topi jelek itu menyeru lantang, "Hufflepuff!" kepada seisi Aula besar.

Sorak-sorai meriah langsung terdengar dari meja paling ujung, mengiringi langkah Arlene turun dari kursi seleksi menuju meja Hufflepuff. Hufflepuff—dengan emblem luwak mereka, panji-panji kebanggaan berdominasi warna hitam dan kuning. Mereka yang menghargai kerja keras, dedikasi, kesabaran, loyalitas dan baik hati.

Bahkan asramanya pun juga Hufflepuff ya?

Sama. Persis.

Yixing, anakmu benar-benar seperti kloningan dirimu.

Kau itu...

...benar-benar ingin menyiksaku, eh?

Bagaimana caranya aku bisa melanjutkan hidupku, alih-alih melupakanmu—kalau eksistensimu akan selalu diingatkan oleh kehadirannya?

Kehadiran anakmu disini—Arlene Darren Peerce-Zhang—yang membawa darahmu, yang membawa mata, hidung, dan bibirmu, bahkan hingga detail terkecil seperti lesung pipimu—yang kesemuanya nyaris sama sepertimu.

Yixing Zhang.

.

Kau sungguhan ingin membuatku gila.

.

Kau memang kejam, Zhang.

.

.

Kau kejam karena sampai sekarang, kau tak pernah bisa membuatku berhenti untuk mencintaimu.

.

OooO

"Hari ini aku akan menunjukan pada kalian sebuah tanaman yang menarik,"

Joonmyeon mengatakan itu di depan anak-anak tahun pertama, esok harinya di ruang kaca kelas Herbologi. Joonmyeon mengayun kecil tongkat sihirnya, secara perlahan membuat pot bunga itu terangkat ke udara dan memiringkannya sepersekian derajat agar sekumpulan murid murid itu dapat melihatnya dengan jelas. Walau beberapa dari mereka ada saja yang kelewat antusias, saling dorong hingga jatuh terpelungkup ke tanah hanya untuk melihat tanaman sihir itu.

Antusiasme besar mereka membuat sang professor yang telah menginjak kepala tiga itu mengulum senyum. Tipikal murid tahun pertama—yang biasanya masih punya semangat menggebu untuk mengikuti pelajaran, bahkan anak-anak Slytherin yang biasanya tak pernah menaruh minat pada apapun selain diri mereka sendiri, tampak agak bersemangat untuk menyimak.

"Ada yang pernah lihat bunga ini atau mungkin pernah membacanya tentangnya?" Joonmyeon bertanya ke seisi kelas.

Tangan seseorang teracung ke udara, dan saat sang profressor herbologi itu menggeserkan pandangan, nafasnya tercekat seketika—oh dia.

Joonmyeon tergugu, tetapi secepat kilat juga ia kembali ke daratan. Ia harus tahu posisinya sekarang.

"Ya, Miss Peerce-Zhang?" Oh damn—apakah terlalu jelas? Apakah wajar jika ia sudah mengetahui nama seorang murid tanpa bahkan murid itu memperkenalkan diri?

Mungkin wajar, jika kau memang tertarik pada murid itu, sehingga kau sudah mengetahui seluk beluk dan segala informasi tentangnya. Seperti para pengajar lain di tahunnya yang langsung mengetahui siapa Harry Potter tanpa perlu bocah-yang-bertahan-hidup itu memperkenalkan dirinya ke seisi dunia.

"Ibuku pernah menunjukannya padaku,"—ah, ibumu ya? Bagaimana kabar ibumu sekarang?—"Ia pernah bilang bahwa bunga itu bernama Arlaune, dan bunga itu tumbuh banyak di Hutan Terlarang,"

"Benar sekali," Joonmyeon mengangguk, sedikit kaku. Hei, mana profesionalitasmu, Joonmyeon Kim?! "Bunga ini bernama Arlaune, dan ia hanya tumbuh di hutan terlarang. Sekarang aku akan bertanya lagi, apakah disini ada yang tahu apa fungsi bunga ini?"

Ada dua tangan yang teracung di udara—lagi-lagi Arlene dan seorang gadis berambut merah keriting dari Gryffindor. Joonmyeon mempersilahkan bocah Gryffindor yang lebih dulu mengacungkan tangan itu untuk menjawab,

Gadis itu mengangguk, "Bunga Arleune dapat menghasilkan serbuk emas yang dapat menjadi pupuk mujarab dan penawar racun tingkat rendah, sir."

Joonmyeon tersenyum tipis, walau kali ini jauh lebih luwes dari sebelumnya, "Benar sekali Miss...?"

"Granger-Weasley," ucapnya tangkas.

Ah, Granger-Weasley. Putri Hermione Granger dan Ron Weasley yang terkenal ya? Bukan hal mengejutkan jika gadis itu mewarisi kejeniusan ibunya dan menempati asrama Gryffindor. Joonmyeon sungguh-sungguh berharap gadis itu lebih mewarisi gen brilian ibunya, ketimbang gen Weasley yang suka berbuat konyol.

Joonmyeon melanjutkan narasinya yang sempat tertunda kepada murid muridnya, "Di dalam kuncup bunga ini, hidup seorang wanita kecil, setinggi kelingkingmu, berambut merah panjang menyentuh kaki—dan ia juga telanjang," ia menyeringai miring saat ia melihat beberapa anak cowok seketika menyimak penjelasannya, "Makhluk kecil di dalam kuncup ini suka menari dan bernanyi. Ketika mereka melakukan itu—menari dan bernyanyi, ujung ujung rambut mereka akan mengeluarkan serbuk-serbuk emas. Seperti kata Miss Granger-Weasley tadi, serbuk serbuk itu bisa menjadi pupuk mujarab bagi tanaman yang kau tanam, sekaligus penawar racun,"

"Professor," panggil seorang lelaki dari Ravenclaw, "Bisakah Anda menunjukan makhluk kecil di dalam sana itu pada kami?"—tipikal Ravenclaw. Mereka dengan segala rasa ingin tahunya.

"Sayangnya belum bisa, kuncup Arlaune hanya akan membuka sendiri ketika musim semi saja. Jadi bersabarlah, kau akan mendapat momen yang tepat bagi mereka untuk mekar," ujar Joonmyeon, sembari ia meletakan pot bunga itu ke tempatnya semula dengan tongkat sihirnya. Ia menahan senyum ketika ia menangkap wajah-wajah kecewa beberapa anak yang mengelilinginya karena pernyataannya barusan, "Untuk sekarang, bukalah buku One Thousand Magical Herbs and Fungi halaman 101 dan pelajarilah, kemudian kita akan mempraktikan bagaimana cara menanam tumbuhan sihir yang baik, termasuk Arlaune, mengerti anak-anak?"

"Mengerti, Professor," Sekumpulan anak-anak di hadapannya itu kocar-kacir membubarkan diri untuk mengambil buku dari tas, kemudian bergegas menempatkan diri di tempatnya masing-masing.

.

Sementara sang professor di depan sana tak bisa menahan diri untuk tak melirik-lirik si cilik Peerce-Zhang, sekeras apapun ia mencoba.

.

OooO

Joonmyeon tengah memasukan buku-buku herbologinya ke dalam tas jinjing begitu kelas herbologi-nya telah ia resmi akhiri, saat ia mendengar suara langkah kaki mendekat. Dan saat ia mendongakan kepala, ia langsung beradu netra dengan sepasang manik cokelat hazelnut yang ekspresif dan indah—mata yang mampu menjebaknya dalam nostalgia untuk kesekian kalinya.

Matanya. Tapi bukan dia

"Miss Peerce-Zhang, ada yang bisa aku bantu?"

Gadis itu tampak malu-malu, kedua tangannya bersideku dan sesekali meremas jubah sekolah yang dikenakannya. "Ehm, maaf menganggu waktu Anda, Professor. Aku hanya masih penasaran saja dengan bunga Arlaune itu," mulainya, "Aku ingin sekali bisa melihat makhluk kecil di dalamnya,"

Joonmyeon tersenyum tipis, mengangkat bahunya kemudian. "Yang bisa kau lakukan sekarang hanya bersabar hingga musim semi datang," ulangnya sekali lagi.

"Apa Professor pernah melihatnya secara langsung?" Gadis itu bertanya spontan, tampak begitu bersemangat.

Joonmyeon mau tak mau tertawa kecil, singkat—tetapi tulus, "Pernah, bahkan aku melihatnya langsung di hutan terlarang,"

"Hutan terlarang? Hutan yang katanya tidak boleh dimasuki murid itu, Professor?" bola mata cokelat itu membesar, jelas kaget, "Kalau memang tidak boleh dimasuki, kenapa Anda bisa sampai kesana?"

Bibir sang professor mengulas seringai tipis—entah darimana ia bisa berlaku sesantai ini disekitar anak itu, padahal beberapa saat yang lalu ia nyaris dibuat mati rasa di beberapa kesempatan.

"Well Miss Peerce-Zhang, bukankah peraturan ada untuk dilanggar?" ia menambahkan, "Tapi jangan adukan apa yang kukatakan ini pada Professor McGonagall, aku tidak mau diubahnya menjadi kodok karena sudah menanamkan sikap rebel itu padamu,"

Arlene terkikik—dan Joonmyeon dibuat menghangat mendengar alunan merdu itu. "Tentu saja Professor, rahasia Anda aman di tangan saya," ia mengacungkan kedua ibu jarinya, "Tapi Professor..."

"Ya?" Ia mengulas senyum, secara non verbal mendorong gadis itu untuk melanjutkan kalimatnya.

"Jika sudah musim semi nanti..." ia menggeser pandangan ke tanah, untuk beberapa saat, Joonmyeon menduga bocah itu tengah gugup. Tetapi sepersekian detik kemudian ia kembali menatap sang professor dengan berani, meski bibirnya digigiti kecil, "Musim semi nanti, kalau Anda tidak keberatan, eum... apakah... eum, apakah saya bisa melihat bunga Arlaune itu bersama Anda di Hutan Terlarang? Mengingat murid tidak boleh masuk kesana, jadi saya pikir kalau ada Professor maka semua akan baik-baik saja. Saya ingin sekali bisa melihatnya, Professor, "

Permintaan gadis Hufflepuff itu membuat Joonmyeon membeliak, seperti kehilangan kata-kata.

Menyadari ekspresi sang guru, gadis cilik itu buru buru melarat, "M-maaf Professor sepertinya saya sudah terlalu lancang—"

"Tidak," Joonmyeon menukas cepat, "Aku tidak keberatan menemanimu untuk melihat bunga Arlaune," katanya, "Tapi jangan lama-lama,"

Janji itu bak sebuah mantra, raut gugup itu seketika sirna, dan langsung terganti oleh wajah bahagia yang memancar jelas, "Terima kasih banyak Professor! Anda memang yang terbaik!"

Joonmyeon membalik badan dan membiarkan sudut bibirnya terungkit. Sekaligus ia melanjutkan menata peralatan mengajarnya yang tadi sempat tertunda—walau sejujurnya ia bisa saja menggunakan mantra merapikan. "Kenapa kau ingin sekali melihatnya omong-omong?"

"Karena ibu saya mengatakan bahwa nama saya berasal dari bunga itu. Mom selalu berkata bahwa bunga itu sangatlah menakjubkan dan indah," ucapnya dengan helaan nafas, "Mom juga bilang bahwa bunga itu selalu mengingatkannya pada seseorang,"

Gerakan Joonmyeon yang tengah menutup tas seketika terhenti.

Mati rasa dan tiba-tiba mengkaku. Ia terbisu, lidahnya kelu.

Kerja otaknya, serta segala hal yang hendak keluar dari bibir tiba-tiba saja jadi beku.

Joonmyeon menegak ludah, tetapi rasanya susah sekali—seperti ada yang mengganjal. Lamat-lamat ia memutar tubuh untuk berhadapan dengan Arlene. Gadis kecil ia yang bagai pinang dibelah dua, miniatur seseorang itu.

"Ibumu... Ibumu Yixing Zhang, benar?"

Akhirnya.

Akhirnya nama itu terucap dari bibirnya setelah sekian lama.

Nama yang mampu meninggalkan rasa manis dan pahit bersamaan di lidah. Nama yang meninggalkan berjuta kenangan. Pedih.

Arlene tampak terkejut, tetapi masih dengan mempertahankan keramahan, ia bertanya, "Darimana Anda tahu, Professor? Anda mengenal ibu saya?"

"Ya..." Joonmyeon menghembuskan nafas yang ia tahan—bahkan ia tak sadar ia tengah menahan nafas, "Kami dulu satu sekolah... aku dan Ibumu, bersama dengan... Ayahmu juga," ia membiarkan rasa pahit itu terkecap di bibirnya, menunjukan keengganan yang sarat, "Ayahmu... Malcolm Peerce?"

"Benar Professor, mereka memang orangtua saya, saya tidak menyangka orangtua saya punya teman sehebat Anda," ujar Arlene dengan polosnya—yang membuat Joonmyeon hampir mengeluarkan dengusan tawa—hebat katanya, ck. Kau tidak tahu saja.

"Apa Ayah dan Ibumu—mereka masih tinggal di Birmingham?"

"Tidak Professor, sekarang Dad dan Mom sudah pindah ke Godric's Hollow,"

Ah, Godric's Hollow, pemukiman yang belasan tahun yang lalu masih menjadi mimpi buruk. Sebuah desa kalangan penyihir yang dulunya adalah tempat persembunyian terakhir James Potter dan Lily Potter, sebelum mereka dibunuh oleh Kau-Tahu-Sia—tidak, Voldemort.

Ya, Voldemort.

Dia tidak perlu ditakuti lagi. Sang pangeran kegelapan sudah musnah sekarang.

Sekarang pemukiman itu pasti sudah berubah menjadi lebih baik, lebih ramah, hingga menerima keluarga pasangan penyihir muggle-born seperti keluarga Peerce-Zhang. Semenjak Voldemort tiada, bersama kroni-kroninya yang 'gila' hilang dari muka bumi, dunia sihir menjadi tempat yang lebih baik.

"Ah maaf, saya harus segera mengikuti pelajaran berikutnya atau saya bisa mendapat detensi," Ia tampak panik seketika, dengan menundukan kepala berulang kali Arlene bertutur, "Terima kasih sekali lagi Professor, saya sangat menghargai kebaikan Anda. Sampai jumpa, Professor!" dengan melemparkan sebuah senyuman ia berjalan dengan langkah cepat ke arah pintu rumah kaca.

"Miss Peerce-Zhang, tunggu sebentar," cegah Joonmyeon sebelum murid tahun pertama Hufflepuff itu sempat menginjakan kaki keluar.

"Ya Professor Kim?" Arlene mau tak mau menghentikan langkah meski sebenarnya ia tengah terburu buru. Kini ia melihat tepat ke arahnya, dengan kepala sedikit dimiringkan menunggu jawaban.

Joonmyeon lagi-lagi terbisu. Ia tak ingat ia pernah bertingkah seperti orang bego sebanyak ini di seumur hidupnya. "Aku... tolong katakan padamu ibumu," –ada banyak hal yang ingin ia katakan. Apa saja. Bertanya bagaimana kabar orang itu, misalnya? Apa ia makan dengan baik? Apa ia tidur dengan cukup? Apakah... apakah mungkin ia masih mencintainya?

Sorot matanya yang biasanya setajam elang sempat goyah, tetapi Joonmyeon berusaha menjaga pertahanannya untuk tak runtuh detik itu juga,

"Eum... tidak, aku hanya..." Joonmyeon membasahi bibir, mengulas senyum seadanya, "tolong titipkan salamku pada ibumu..." gumamnya, lalu cepat cepat menambahkan, "... dan Ayahmu juga, tentu saja,"

Hanya itu yang bisa ia katakan. Untuk sekarang.

"Dengan senang hati Professor," Senyum pamungkas itu sempat tertuju untuknya, sebelum gadis itu benar-benar hilang dari pandangan,

.

... dan membiarkan Joonmyeon tenggelam dalam keping demi keping kenangan.

.

OooO

Hampir setengah hari Joonmyeon habiskan di meja kerjanya, terbuang sia-sia. Tidak biasanya ia suka membuang-buang waktu. Terlebih hanya untuk termenung tidak berguna di depan sebuah perkamen kosong, tinta, dan sebuah pena bulu tergenggam di tangan kanan.

Ia mengangkat pena bulunya, bersiap menggores perkamen, tetapi kemudian gerakannya terhenti lagi. Berulang kali hanya seperti itu. Berulang kali juga ia merutuk, menyumpah serapahi ia yang lagi-lagi bertingkah seperti orang bego.

Demi Merlin, apa sih maunya?

Joonmyeon melemparkan pena bulunya ke meja, kemudian melemparkan punggungnya ke sandaran kursi tingginya. Ia mengusap wajahnya dengan telapak tangan, kemudian mencoba untuk menutup kelopak matanya. Ia mengambil nafas banyak-banyak, kemudian mengeluarkan desah nafas itu secara perlahan . Mengaturnya secara ritmik, hingga ia bisa mendapatkan ketenangan sanubari dan menetralisir kegugupan yang melanda.

Setelah ia mendapatkan apa yang ia cari, pria berparas asia itu meraih pena bulunya kembali, mengenggamnya erat. Ia memasukan ujung pena bulunya ke genangan tinta, kemudian mulai menggoreskannya di atas perkamen yang sedari tadi masih berwarna putih bersih, belum tersentuh sedikit pun. Ia biarkan dirinya menuangkan segala hal yang sedari tadi membebani otaknya—persetan dengan semuanya!

.

.

Dear YXZ P.

.

Bagaimana kabarmu?

Baik, itu awal yang basi sebenarnya.

Tapi... memang sudah lama sekali, ya?

Aku tidak tahu kenapa aku menulis surat ini untukmu. Aku harap kau masih mengingatku.

Sekarang aku jadi guru di Hogwarts. Yippie, terdengar hebat bukan?

Seperti yang pernah kau katakan padaku dulu, kau berkata bahwa aku akan menjadi seorang staf pengajar Hogwarts, mengajar Herbologi menggantikan Professor Sprout. Dan tebakanmu benar. Bagaimana kau bisa tahu? Apa kau peramal?

Anyway, aku bertemu dengan... putrimu di seleksi penerimaan murid baru.

Arlene eh? Aku tak menyangka, kau sungguhan menamainya Arlene. Aku penasaran apakah kau akan menamai anak keduamu Junjie seperti yang kau katakan dulu, jika dia laki-laki.

Yixing, dia... putrimu adalah anak yang cantik. Seperti boneka.

Dan ia mirip sekali denganmu, aku diam-diam bersyukur ia lebih mewarisi fisikmu hampir sembilan puluh persen ketimbang Ayahnya, setidaknya aku tidak perlu merasakan kekesalan hingga ke ubun-ubun setiap aku harus melihat paras Peerce di wajah putrimu.

Tidak. Maaf, aku seharusnya tak mengatakan itu. Sungguh maafkan aku, kau tahu aku suka berkata tanpa berpikir bukan? Tapi sungguh, putrimu cantik. Kurasa ia akan jadi anak yang pintar juga, lagi-lagi ia mewarisi kepintaranmu, aku bersyukur. Daripada ia mewarisi gen Peerce yang bego dan lembek.

Maaf, lagi-lagi aku tak bermaksud menjelekan suamimu. Kau tahu itu.

Tadi, putrimu... dia menemuiku seusai pelajaran herbologi. Dia memintaku untuk menemaninya melihat Arlaune di hutan terlarang musim semi nanti, dan tebak apa? Aku mengiyakan. Dia bilang dia sangat ingin melihat bunga itu karena Mom-nya menceritakan banyak hal tentangnya.

Bodohkah aku? Maafkan aku, tapi tenang saja, aku berjanji aku akan menjaganya dan tak akan membiarkannya di serang Centaurus di Hutan Terlarang. Dia aman bersamaku. Kau bisa percaya padaku.

Best Wishes,

J K.

.

.

Joonmyeon menghela nafas, membaca lagi dan lagi setiap kalimat yang tertera disana. Ada beberapa kalimat yang ingin ia hilangkan saja sebenarnya, tetapi sesuatu yang lain menahannya. Ia merasa bahwa apa yang ia tulis disini memang apa yang tengah ia rasakan, dan menguranginya sama saja ia tidak jujur.

Baiklah.

Dengan helaan nafas sekali lagi, Joonmyeon bangkit dari kursi lalu menggulung perkamennya. Ia berjalan menuju sangkar burung hantunya— burung hantu yang ia beri nama Byul sejak ia masuk Hogwarts—dan Byul ini juga salah satu pejuang perang kedua dunia sihir. Ia sempat berpikir burung hantunya sudah mati, tetapi ternyata dugaannya salah. Byul bersembunyi di Hogwarts, bersama beberapa burung hantu lainnya yang selamat.

Joonmyeon mengeluarkan Byul yang memiliki bulu-bulu halus berwarna putih bersih itu dari sangkar, kemudian membiarkan burung itu berdiri dengan bersangga di lengan kirinya, sementara tangan kanannya ia gunakan untuk mengenggam perkamen. Ia mendekatkan perkamen itu kepada Byul, dan burung pintar itu dengan cekatan menjepitnya dengan paruhnya erat-erat. Joonmyeon membuka jendela dan secepat kilat, Byul terbang mengarungi angkasa luas, menuju ke kediaman Peerce-Zhang, salah satu rumah pasangan penyihir di Godric's Hollow.

Burung hantu dunia sihir sudah tahu kemana mereka harus membawa surat sang pengirim secara tepat ke tujuan, tanpa harus diberikan alamat secara jelas, lagipula.

.

Dan disini, dengan menatap langit yang bagaikan cendawan kelabu, Joonmyeon pun menunggu.

.

OooO

Diagon Alley,

1991

Bocah kecil dengan mata hitam jelaganya itu memandang lurus-lurus, matanya terkesima betul ke arah etalase toko yang memamerkan beberapa deret pot. Salah satunya tertanam sebuah pohon kecil. Pohon kecil itu punya kepala, dua tangan, dan kakinya tertanam di tanah. Ia bergerak kesana kemari, seperti mengulet—mirip bayi, dan ketika kedua mata pohon mungil perlahan demi perlahan membuka—oh betapa menggemaskannya dia.

Bocah keturunan daratan Asia itu menarik wajahnya dari etalase, kemudian menolehkan kepala, memperhatikan toko demi toko yang berdiri di Diagon Alley—tempat dimana para penyihir biasa berdagang, bertransaksi, dan membeli peralatan yang diperlukan, atau dalam kasusnya—peralatan sekolah untuk calon murid tahun pertama Hogwarts.

Diantara lalu lalang para penyihir yang mengunjungi tempat perbelanjaan ini, ia menengok sekeliling, matanya hitamnya yang setajam elang mengabsen, berusaha untuk menemukan keberadaan Dad-nya yang sekarang—entah kemana perginya. Mungkin ia terlalu keasyikan berkeliling dan terlalu antusias mendatangi toko tanaman ini.

Situasinya sekarang cukup gawat, meskipun ia penyihir, tetapi ia masih kecil. Bagaimana nanti kalau ia tak bisa menemukan Dad? Dan ia yakin, Dad pasti akan marah-marah karena ia sudah keluyuran tanpa ijin.

Maka kaki kecil itu ia bawa melangkah, berusaha menerobos kerumunan penyihir, walau jelas itu bukan pekerjaan mudah. Selain ramai sesak, ukuran tubuhnya dan tenaganya yang tak seberapa dibanding para orang dewasa di kerumunan membuat hal ini jadi begitu sulit. Ia memilih untuk menyerah dan mengambil jalan mundur yang tak seramai jalan utama, dan saat ia akan berbalik, sesuatu menabraknya, membuat bocah lelaki itu tersungkur ke tanah bersama keranjangnya yang berisi peralatan wajib sekolah Hogwarts, buku-buku untuk tahun pertama, jubah-jubah dan sarung tangan. Semua barangnya jatuh berserakan.

"Oh astaga!"

Orang yang menabraknya—dia juga anak kecil, mungkin usia mereka sama—segera bangkit, memunguti semua barangnya yang tadi tumpah ke jalanan. Begitu ia telah berhasil memasukan barang-barangnya kembali ke keranjang, sebuah tangan terjulur di hadapannya.

"Thanks," ujar bocah itu secara refleks, meski masih dipenuhi keterkejutan. Tanpa ragu ia terima uluran tangan itu untuk membantunya berdiri. "Sori aku menabrakmu,"

"Aku yang seharusnya mengatakan sori, aku yang menabrakmu hingga terjatuh," ujar bocah itu, "Apakah kau baik baik saja?" tanyanya dengan nada sedikit cemas.

Si pemilik mata hitam mengangguk dan membalas singkat, "Ya," dengan posisi berdiri berhadap-hadapan, ia bisa melihat lebih jelas siapa orang yang menabraknya tadi. Dan sepertinya mereka memang seumuran, tinggi mereka hampir sama, well, mereka bahkan berasal dari ras yang sama, ia kira. Enggan mengakuinya, tetapi secara fisik sebenarnya bocah itu memang lebih tinggi beberapa senti dari dirinya. Dua hal yang paling ia sadari dari bocah itu adalah—matanya cokelat, dan pakaiannya aneh.

"Apa yang kau kenakan itu?" Alisnya terkenyit mengamati fabrik yang membungkus tubuhnya.

Si bocah bermata cokelat mengedip, bingung. "Aku mengenakan baju, tentu saja"

Dia balas mendengus, melipat tangan di depan dada, "Tapi pakaianmu aneh,"

"Aneh?" alis anak itu turut terkernyit tidak terima, "Yang aneh itu justru pakaianmu, ini normal kok. Aku memakai jeans,"

"Aku memakai jubah, dan para penyihir memang memakai jubah," tukasnya agak sengit, "Jeans, apa itu jeans? Kami tidak mengenal jeans,"

"Oh, kau penyihir asli?" wajah kesal anak itu berubah ceria sedetik kemudian. "Well, senang bertemu denganmu, penyihir asli! Aku manusia dan aku bukan penyihir,"ia mengatakannya dengan bisikan.

"Bukan penyihir?" alis yang sejak awal tadi menekuk curam, semakin menjadi-jadi karena perkataannya barusan, "Oh maksudmu kau muggle?"

"Muggle?" Ia memiringkan kepalanya, tampak bingung."Apa itu?"

"Sebutanmu," jawabnya, "Disini jika kau bukan penyihir maka kami menyebutmu muggle,"

"Oh begitu," Bocah itu tampak menerima penjelasannya, mengangguk-anggukan kepala, "Jujur saja, aku sampai sekarang masih belum percaya kalau dunia sihir itu benar-benar ada. Tetapi tiba-tiba aku dibawa kesini, orang yang membawaku punya tongkat sihir, mengetuknya ke sebuah dinding lalu batu bata saling bergetar, bergeser dan—boom! Disinilah aku. Benar-benar menakjubkan," ujarnya dengan penuh dramatis.

"Kau..." lawan bicaranya menyipitkan mata, "Norak..."

—kata itu terlontar begitu saja. Dan memang itulah kesan pertama yang ia dapat dari bocah itu.

Si pemilik iris cokelat mengercutkan bibir, tetapi ia tak mempermasalahkannya terlalu lama. Seolah ia hanya menganggapnya sekedar angin lalu, dan ia kembali bercerita dengan menggebu-gebu, "Oh iya, dan aku juga tak menyangka saat tadi pagi ada seorang lelaki besar, dia juga yang membawaku kesini dan dia tinggi sekaliiiii," Ia merentangkan tangannya lebar-lebar, "Berbulu dan sedikit bau—namanya Hagrid, jangan bilang dia ya—katanya dia berasal dari sekolah sihir terbesar di Inggris. Ia bilang aku anak terpilih, dan aku telah diterima bersekolah di Horwag—"

"Hogwarts," koreksi sang bocah bermata hitam.

"Benar, Hogwarts, maksudku," ia mengangguk-angguk, sampai realisasi lantas menghantamnya, "Hei!" serunya, membuat lawan bicaranya terlonjak kaget, "Bagaimana kau tahu soal Hogwarts? Apakah kau sekolah disana juga?"

"Tentu saja, aku akan sekolah disana, anak anak penyihir di Inggris yang berpotensial akan bersekolah disana,"

"Berarti kita akan satu sekolah?" dia meloncat-loncat kecil, "Yey! Aku akan punya teman!" pekiknya senang.

Dia mendengus untuk menutupi kikikan geli yang ingin mendesak keluar melihat polah aneh bocah itu, "Kita tidak akan menjadi teman kalau aku bahkan tak tahu namamu,"

"Oh iya," bocah itu mengedip, lalu mengulurkan telapak tangannya dan tersenyum lebar lebar,. Gigirnya ompong satu ternyata. "Aku Yixing Zhang!"

Setelah diliputi keraguan untuk beberapa saat-Dad selalu mewejanginya untuk waspada pada orang asing-ia putuskan untuk menyambut uluran tangan itu, "Aku Joonmyeon Kim—"

"Joonmyeon."

Ia sedikit terlonjak saat sebuah suara berat memanggilnya, tetapi tubuhnya yang awalnya mengkaku itu berubah rileks mengetahui bahwa si pemilik suara adalah sesosok figur yang dikenalnya dengan baik, "Dad?"

"Dad mencarimu kemana-mana, kenapa kau keluyuran seenaknya?" Nah kan benar, Dad menggerutu—"Dan siapa ini? Bukankah Dad bilang jangan bicara pada orang asing." nadanya tegas, tak terbantah.

"Ini Yixing Zhang, Dad. Dia bukan orang asing, dia juga akan menjadi murid tahun pertama di Hogwarts sepertiku. Dia muggle,"

"Muggle?" Dad mengerutkan kening, mengarahkan pandangan pada bocah itu, menelurusinya dari atas ke bawah dengan pandangan mengkritisi, bahkan terkesan mencela. Seperti tengah menatap bocah Zhang itu dengan tatapan yang seolah berkata, "maaf, kid. Tapi aku memandangmu rendah". Tatapan itu biasa Dad-nya berikan kepada para keluarga penyihir miskin, tapi Joonmyeon rasa... tatapan Dad yang kali ini bahkan lebih buruk.

Ia tampak begitu benci.

"Muggle... jadi kau seorang darah lumpur, begitu?"

Alis Joonmyeon terangkat bingung, begitupula dengan Yixing. Darah lumpur? Apa maksudnya?

"Joonmyeon sebaiknya kita pergi dari sini, Mom pasti sudah menunggu," Dad mencengkram lengan kecilnya dengan paksa, kemudian tanpa aba-aba menariknya pergi dari sana, bahkan sebelum ia bisa mengutarakan satu kata pun pada teman barunya itu.

Sementara tubuh kecilnya sedikit diseret oleh Dad diantara kerumunan, Joonmyeon sempatkan menoleh, melihat Yixing melambai-lambai dan berteriak lantang dari kejauhan.

"Sampai jumpa di Hogwarts, Joonmyeon Kim!"

Joonmyeon kecil menganggukan kepala. Matanya yang hitam tak melepaskan pandangan dari Yixing, begitu pula dengan bocah itu— ia juga melihat bagaimana Yixing lantas didatangi oleh seorang pria besar, gemuk, dan berbulu.

Oh, mungkinkah itu yang ia maksud dengan pria bernama... Hargid Hugrid, uh... Hagrid?

Entahlah.

Tapi sepertinya Yixing bernasib sama sepertinya, ia tengah kena omel pria besar itu.

.

Joonmyeon tak tahu apa yang terjadi pada Yixing dan si pria besar berbulu selanjutnya, karena detik itu juga, tubuhnya dan Ayahnya ber-disaparatte dari Diagon Alley.

.

OooO

"Jangan berdekatan dengan bocah itu, Joonmyeon,"

"Memang kenapa Dad?"

"Karena kita adalah darah murni, sedangkan dia adalah darah lumpur,"

"Kau juga mengatakannya tadi di Diagon Alley, apa itu darah lumpur, Dad?"

"Kau tak mengerti? Darahnya Joonmeon, darahnya kotor..."

"Kenapa darahnya kotor? Bukankah ia sama? Bukankah juga akan menjadi penyihir seperti kita?"

"Dia dan para darah lumpur tak sama seperti kita, anakku. Mereka berbeda. Mereka rendahan. Para darah lumpur tidak pantas berada di dunia kita. Mereka mengotori dunia sihir, mereka menodainya. Dunia sihir hanyalah untuk para penyihir berdarah murni, berdarah asli penyihir, seperti darah kita. Dan kita bersama Dark Lord akan membersihkan darah-darah bernoda itu dari sini,"

"Bagaimana cara membersihkannya?"

"Kau akan tahu saat dewasa nanti,"

"Dad..."

"Ingat selalu ucapanku. Jangan pernah berdekatan dengan darah lumpur,"

"..."

"Joonmyeon, camkan itu."

"Baik, Dad."

"Jangan. Jangan pernah mengecewakanku."

"...Baik, Dad."

.

OooO

.

Joonmyeon baru saja kembali ke kantor pribadinya, setelah ia selesai mengajar tahun kelima. Ia berjalan ke arah lemari pribadinya dan mengambil salah satu botol whiskey dari sana. Tenggorokannya terasa kering, dan ia butuh sesuatu yang 'membakar' untuk menenangkan saraf-sarafnya yang menegang setelah seharian beraktivitas. Joonmyeon baru saja hendak menuangkan cairan berwarna keemasan itu ke dalam gelas piala kecilnya, tepat saat saat matanya tak sengaja menangkap sebuah amplop cokelat di dekat jendela. Joonmyeon menoleh, dan benar saja, Byul telah kembali ke sarangnya. Itu berarti...

Sebuah surat balasan.

Dari Yixing...

Mendadak dahaga yang dirasakan Joonmyeon pun sirna. Ia meletakan gelas pialanya, dan meraih tongkat sihirnya yang diletakan tak jauh dari sana, kemudian merapal mantra, "Accio surat" –dan amplop berwarna cokelat tua itu pun secara otomatis melayang ke arahnya.

Joonmyeon mengenggam surat itu erat-erat. Bahkan ia bisa merasakan kedua tangannya sedikit gemetar—tremor, entah karena takut, cemas, atau justru bahagia yang sarat. Joonmyeon membuka amplop di tangannya, perlahan dan penuh kehati-hatian—seolah itu adalah salah satu benda berharga dalam hidupnya. Tanpa terburu ia menarik secarik perkamen itu dari sana.

Menegak ludah, dan ia pun mulai membaca.

.

Dear J.K,

Kau memang tidak cocok dengan basa basi seperti itu, kuberitahu. Tapi well, aku baik baik saja kalau kau mau tahu. Yeah... sebaik yang aku bisa.

Aku sekarang bekerja sebagai seorang healer di St. Mungo, dan Malcolm berhasil menjadi seorang Auror di departemen Muggle.

Joonmyeon... aku sungguh bahagia kau akhirnya bisa mencapai impianmu. Dari kita bersekolah dulu, Herbologi adalah passion-mu bukan? Aku bangga padamu, kau akhirnya memilih jalanmu. Kau adalah seseorang yang berani, kau seorang pejuang sejati. Kau mampu bangkit kembali setelah kau mengalami keterpurukan. Tidak semua orang bisa melakukannya, dan sekali lagi aku katakan, aku bangga padamu. Sungguh bangga.

Oh, dan aku sangat merindukanmu.

Apakah aku terlalu cepat mengatakannya?

Dan bicara soal Arlene, kau benar. Aku benar benar melakukannya. Arlene adalah nama yang cantik bukan? Ya kan?

Aku juga setuju dengan pendapatmu. Well, mungkin karena aku ibunya, tapi dia memang benar benar cantik. Dia memang mirip denganku, tapi sungguh, dia seribu kali lipat lebih baik dibandingkan diriku. Saat pertama kali aku menimangnya, mendekapnya ke dalam pelukanku. Saat aku melihat ke dalam matanya... aku merasa begitu damai, Joonmyeon. Segala rasa sakit yang kurasakan untuk membawanya ke dunia, it's totally worth it.

Aku sebenarnya tidak masalah juga dia masuk ke asrama mana, bahkan aku awalnya sempat mengira ia akan ditempatkan di Ravenclaw (Merlin, anak itu lebih memilih bermain dengan buku-buku daripada mainan mainan muggle yang dimilikinya) atau Slytherin mungkin, kau harus tahu terkadang gadis itu bisa jadi begitu cerdik dan licik untuk mendapatkan segala keinginannya.

Anyway, aku tak menyangka ia akan memintamu menemaninya melihat Arlaune di Hutan Terlarang, astaga bocah itu. Maaf karena merepotkanmu Joon, tapi sejak dulu dia memang tampak begitu bersemangat dan ingib tahu saat aku menceritakan bahwa namanya diambil dari bunga Arlaune dan bunga itu selalu mengingatkanku pada seseorang.

Kau tahu jelas siapa seseorang itu.

Aku titipkan Arlene padamu, dan aku percaya kau akan menjaga putriku itu dengan baik, termasuk menjaganya dari serangan Centaurus. Kalau sampai ia tergores bahkan sedikit saja Joonmyeon Kim, aku bersumpah aku akan memantraimu.

Best Wishes,

YXZ.

.

.

OooO

1991,

Harry Potter and The Sorcerer of Stone

Sepasang mata hitam itu beredar, mengamati dengan seksama orang orang yang berdiri di peron 9 ¾ stasiun King Cross, tepat di sisi gerbong gerbong Hogwarts Express. Orang orang yang kebanyakan berusia dewasa itu melambai, bahkan beberapa diantara mereka ada yang meneteskan air mata haru. Haru karena harus melepas putra putri mereka yang hendak bertolak menuju sekolah sihir kenamaan Inggris, Hogwarts. Tak terkecuali otangtuanya, berdiri tegak diantara para orangtua yang lain. Walau tentu saja, orangtuanya tidak menangis di tengah keramaian.

Seorang Kim tidak diajarkan untuk menjadi lemah. Mereka keluarga darah murni, tehormat, dan menteskan air mata bukanlah hal yang dengan mudahnya dilakukan.

Orangtuanya—mereka tampak mencolok, selain karena mereka memiliki paras Asia khas yang tak banyak ditemui di kawasan Inggris, pakaian, perhiasan hingga sepatu yang mereka kenakan tampak mahal dan terpoles sempurna—nyaris mengkilat.

Ia mengangkat tangannya, mengulas senyum kecil sambil melambai sekali lagi sebagai ucapan selamat tinggal pamungkas, sebelum ia berbalik untuk menyeret koper dan menyusuri lorong gerbong.

Matanya yang tajam melirik kanan-kiri, berharap ia bisa menemukan kompartemen kosong. Ia sedang tidak terlalu ingin bersosialisasi dengan siapapun—alih alih basa basi, ia selalu payah dalam hal itu, lagipula. Setelah berjalan beberapa lama, akhirnya ia menemukannya. Diiringi helaan nafas lega, tangannya bergerak untuk menggeser pintu kompartemen dan membawa tubuh kecilnya ke dalam.

Menutup pintu, dan ia pun menaikan kopernya ke bagasi yang menempel di langit langit gerbong—tidak sebelum ia memutuskan untuk menarik sebuah buku dari sana, barulah ia melemparkan tubuhnya ke kursi. Sembari menyita waktu, ia membuka buka buku yang ditulis oleh Newt Scamander—Fantastic Beast And Where to Find Them. Sebenarnya ia lebih suka membaca baca buku mengenai Herbologi, tetapi ia sudah terlanjur melahapnya habis. Ia belum membeli koleksi baru. Ia membelinya dengan uangnya sendiri, omong-omong. Bukan uang Dad. Dad bisa membakar habis koleksi buku buku Herbaloginya kalau ia sampai tahu.

Dad menginginkan pewarisnya menjadi seorang penyihir hitam yang handal. Bukan seorang ahli herbologi yang payah.

Ketika ia baru sampai di halaman kelima, ia mendengar suara kompartemen yang digeser membuka. Kepalanya terdongak, dan matanya sedikit menyipit kala ia menemukan tiga orang lelaki, satu bertubuh kurus dan dua lainnya bertubuh tambun dengan membawa setumpuk penuh makanan di lengan kanan kiri. Ketiga orang itu sudah membawa diri mereka masuk, tanpa tedeng aling, tanpa mengucap permisi-dan bahkan dengan lancang mendudukan diri di kursi samping dan depannya.

"Malfoy," desisnya pada si tubuh kurus dengan rambut pirang platina.

"Kim," balas Malfoy tak kalah sengit.

Bocah pemilik nama Kim—Joonmyeon Kim, melirik tak suka dua bocah lainnya, Crabbe dan Goyle. Mereka pasti sudah direkrut jadi lapdogs Malfoy, anak buah yang akan diperalat Draco Malfoy untuk mendapatkan yang diinginkannya. Seperti peliharaan yang mengikuti Tuannya kesana kemari.

"Apa yang kau lakukan disini?" tanyanya, tanpa berusaha menutupi rasa tidak sukanya pada bocah itu.

"Duduk tentu saja, Kim, kecuali kalau penglihatanmu terganggu," bocah itu menyeringai licik. Tipikal Malfoy.

Joonmyeon sudah terlalu hafal, keluarga darah murni sering melakukan kunjungan ke manor satu sama lain secara berkala. Pesta pemberkatan, perayaan, hingga pesta minum teh untuk para wanita, dan pesta pesta lainnya yang melibatkan keluarga darah murni. Keluarga Malfoy, Kim, Parkinson, Greengrass, Nott, dan lainnya. Orang dewasa akan terlibat pembicaraan yang membosankan dan rahasia di sebuah ruangan yang tertutup, sedangkan anak anak ditempatkan dalam satu ruangan untuk bermain bersama. Dan Draco Malfoy tentu saja menjadi yang paling suka menggembar gemborkan kekuasaan keluarganya. Joonmyeon tidak terlalu menyukai bocah itu, ia tak punya alasan untuk bersikap baik dengannya.

Alis Joonmyeon terangkat, skeptis. "Kenapa kau tidak duduk di kompartemen Potter? Bukankah kemarin kau berkata bahwa Anak Yang Bertahan Hidup itu akan menjadi temanmu?"

"Potter tidak mau berteman dengannya—"

"Diamlah, Crabbe!" Draco memukul kepala bocah gemuk yang tadi bicara itu dengan agak keras. Dagunya didongakkan tinggi tinggi, sembari berkelakar, "Lihat saja nanti, Harry Potter... aku bersumpah aku akan membuatnya menyesal karena telah menolakku!"

"Jadi kau ditolak,eh?" Joonmyeon tertawa kecil, penuh kegelian, "Poor Malfoy," ejeknya.

Draco mendelik, "Hentikan sikap permusuhanmu itu Kim, kau tahu kita sesama darah murni seharusnya saling mengerti. Dasar idiot," ia sepertinya masih ingin melontakan balasan sengit yang lainnya—tapi diurungkan karena kemudian mata abu abunya justru bergeser ke pangkuan Joonmyeon, "Apa yang kau lakukan dengan buku menggelikan itu?" tanyanya dengan sebuah kernyitan jijik.

Joonmyeon memutar mata, "Membacanya, tentu saja."

"Untuk apa kau membacanya?"

"Karena sebagian dari kita pergi ke Hogwarts untuk belajar dan bukan hanya untuk pamer sepertimu," balas Joonmyeon enteng.

Draco menggertakan giginya, jelas kesal. "Kau-"

"Permisi," potong sebuah suara hingga keempat anak itu menoleh bersamaan—membuat Joonmyeon tertegun di tempat sedetik kemudian. "Boleh aku duduk di sini? Kompartemen lainnya sudah penuh."

"Siapa kau?" Draco berkata dari kursinya, menyilangkan tangan arogan. Memicingkan mata mengamati seorang bocah yang berdiri di ambang pintu kompartemen dengan menenteng sebuah koper.

Anak itu tersenyum merekah, "Aku Yixing Zhang, salam kenal!" ucapnya dengan nada kelewat ceria, "Dan senang bertemu denganmu lagi Joonmyeon! Aku lega aku melihatmu disini karena aku tak mengenal siapa siapa,"

"Kau mengenal bocah ini, Kim?" tanya Draco pada Joonmyeon—tapi ia memilih untuk menutup mulutnya rapat-rapat, berpura-pura tak melihatnya dan lebih memilih membuang pandangan ke lantai kompartemen.

"Anyway, Zhang?" suara Draco mengudara, "Aku tak pernah dengar ada nama keluarga penyihir Zhang sebelumnya,"

"Oh tidak tidak," Yixing mengkoreksi, kepalanya yang bermahkotakan surai cokelat bergerak seiring ia menggeleng-geleng, "Aku bukan dari keluarga penyihir, sebutannya... hmm, apa sih kalian menyebutnya..." ia menepuk nepuk dagu, "Oh iya, muggle!" serunya antusias, yang membuat Joonmyeon makin ingin meleburkan tubuhnya ke kursi saja dan menghilang dari sana selamanya. Yixing bodoh. Kenapa juga ia harus mengakui dirinya muggle di hadapan Malfoy? Yah memang dia tidak tahu sih siapa Malfoy... tapi kan...

"Muggle, huh?" suara Draco berubah menjadi lebih dingin, ditemani oleh seringai jahat yang biasanya sering ia pamerkan pada orang orang. Ia memandang Joonmyeon dengan pandangan mengejek, "Aku tidak tahu kau punya teman seorang Muggle. Kalian pasti akrab sekali ya?"

Yixing mengagguk angguk antusias, "Kami memang baru bertemu kemarin, tapi aku yakin kami akan berteman baik," ia tersenyum ke arah Joonmyeon, "Ya kan Joon?"

Joonmyeon menoleh ke jendela, memilih mengabaikan Yixing yang kini memandangnya terheran heran.

Draco mendengus tawa, " Wow menakjubkan. Apa yang akan dikatakan Ayahmu dan keluarga darah murni lain kalau kau ternyata berteman dengan seorang darah lumpur, Kim?" desisnya, diringi oleh suara kekehan penuh mengejek Crabbe dan Goyle.

"Darah lumpur?" Yixing mengerjap, polos. "Apa itu darah lumpur—"

"Dia bukan temanku," potong Joonmyeon dengan nada sedingin es yang tak kalah beda dengan Draco tadi. "Aku tidak mengenalnya,"

Barulah ia sudi untuk menatap ke arah Yixing, mata hitamnya menyipit tajam, tak gentar meski Yixing tampak terkejut karenanya. Masih dengan nada dingin yang sama, dan jelas ebrbeda dengan yang digunakannya saat di Diagon Alley, Joonmyeon mengultimatum,

"Aku tidak berteman dengan darah lumpur, jadi enyahlah dari sini dan cari kompartemen lain,"

Yixing terdiam. Ia hanya bisa mengerjapkan mata, bingung sekaligus... terluka. Ia seperti tidak mengenal Joonmyeon di depannya ini. Ia tidak sedingin dan sejahat ini kemarin, ia berani bersumpah. Apa yang dilakukannya? Apa ia berbuat kesalahan?

Meski ia tak tahu apa arti darah lumpur yang diucapkan dua bocah lelaki di depannya ini, ia yakin sebutan itu tidak bermakna baik.

Dan entah kenapa mendengar kata kata itu membuat hatinya sakit, entahlah—rasanya seperti dihancurkan dari dalam. Terlebih melihat tatapan aneh itu di mata Joonmyeon. Benar-benar berbeda.

Seolah Yixing adalah kotoran dan ia begitu jijik melihat keberadaannya disini.

"Joonmyeon kau—"

"Apa kau tidak dengar perkataan Kim barusan?" Draco bangkit dari tempat duduknya untuk mendekati Yixing—sementara Joonmyeon tetap terduduk di kursi, was was. "Pergi dari sini, dan jangan pernah menunjukan batang hidungmu di depan kami lagi," ia mendesis penuh benci, "Ketahuilah dimana tempatmu seharusnya...

.

"Dasar darah lumpur..."

.

Hal terakhir yang sempat ditangkap Joonmyeon saat itu adalah wajah sakit hati Yixing—sebelum Draco menutup pintu kompartemen tepat di depan wajahnya dengan keras.

.

OooO

Joonmyeon menggulung perkamen-perkamennya yang terbuka di meja dan memasukannya ke dalam tas. Setelah menatanya dengan rapi, berikut dilanjutkan dengan mengembalikan buku-buku ke seksi yang sesuai, ia bangkit dari kursi untuk menuju pintu besar perpustakaan Hogwarts. Dengan jubah Slytherin-nya yang berkibar seiring ia melangkah, ia menyusuri koridor menuju asramanya—ruang rekreasi Slytherin yang terletak di bawah danau.

Slytherin. Asrama yang telah dipilihkan topi seleksi untuknya.

Well, sebenarnya tidak juga.

Joonmyeon yang memohon pada topi seleksi untuk menempatkannya di Slytherin saja. Topi seleksi sempat hendak menempatkannya ke Gryffindor bahkan, karena Joonmyeon sebenarnya "tidak terlalu licik" seperti Slytherin kebanyakan. Yang benar saja.

Topi jelek itu memang kebanyakan bicara. Tapi akhirnya topi seleksi memutuskan untuk meneriakan asrama "Slytherin" keras-keras setelahnya.

Dadnya pasti akan terkena serangan jantung kalau ia tahu pewaris kebanggaannya masuk ke Gryffindor, asrama rivalnya dulu. Ia jelas masuk ke Slytherin. Ia harus masuk ke Slytherin. Dad-nya pasti akan bangga padanya—oh, ia memang bangga kok. Dad sudah mengiriminya surat pagi tadi.

Slytherin. Ular. Licik. Ambisus.

Sementara dia ada di Hufflepuff.

Dia—yeah, Yixing Zhang.

Jelas mereka saling bertolak belakang.

Dad benar.

Mereka terlalu berbeda, jadi mereka tidak boleh berteman.

Joonmyeon memilih membuang muka saat ia tak sengaja menangkap Yixing menoleh ke arahnya. Ia tak mau membalas pandangannya, tak akan mau. Di Aula besar saat seleksi, di kelas, di koridor, dimanapun mereka harus berpapasan. Terlebih setiap Yixing selalu menampakkan ekspresi sedih dan memelasnya yang... ugh. Apa ya? Menjijikan, ia pikir. Iya, menjijikan kok.

Dan Joonmyeon tak merasakan perasaan kasihan atau perasaan bersalah. Sedikit pun tidak.

Yeah. Tentu saja.

...Tapi kenapa ia merasakan hatinya seperti ikut dicubit keras melihat tatapan menyedihkan itu? Itu tidak masuk akal kan?

Merlin, ini membingungkan.

Yixing kan bukan temannya. Ya kan?

Dia baru saja hendak berbelok ke koridor berikutnya, hampir sampai ke ruang rekreasi Slytherin—saat ada sesuatu yang keras menabraknya, terlalu keras sampai beberapa perkamen yang berisi PR Herbologi itu pun terjatuh ke tanah.

"Perhatikan jalanmu, Freaky Kim."

Joonmyeon mendongak, menatap sengit Draco dan kroni-kroninya. "Kau yang menabrakku duluan, Malfoy."

"Kau berani ya?" Bocah berambut pirang itu mendekatinya, hingga mereka kini berdiri berhadap-hadapan dengan jarak dekat. Joonmyeon tak sedikit pun gentar. "Aku tahu sejak dulu kau tak menyukaiku, dan asal kau tahu saja, the feeling is mutual, Kim. Semua orang menghormatiku disini, jadi jaga bicaramu padaku,"

Merlin. Bocah ini benar-benar menyebalkan. Ia paham kenapa Harry Potter menolak berteman dengannya, dan justru lebih memilih si rambut merah bodoh Ron Weasley. Joonmyeon memutar mata, memunguti perkamennya yang jatuh dan hendak melanjutkan perjalannya. Ia tidak suka buang-buang nafas hanya untuk sesuatu yang tidak berguna seperti berdebat dengan Malfoy.

Ia mengambil langkah, tetapi tangan Draco di dadanya menghentikannya. Joonmyeon mendengus gusar, "Apa, Malfoy?"

"Perkamen itu adalah PR Herbologi kan? Berikan padaku agar aku bisa menconteknya,"

Joonmyeon menyeringai kecil, mendekati Malfoy dan menjulurkan lidahnya dengan kekanak-kanakan, "Mimpi saja, anak manja,"

Draco masih saja menghalanginya, "Berikan padaku!"

"Tidak akan,"

"Berikan!"

"Tidak mau!" pekik Joonmyeon keras kepala.

Mata abu abu Draco memicing berbahaya "Kau ini—"

"Apa?" tantang Joonmyeon. Mereka sesama Slytherin, Draco Malfoy bisa keras kepala, maka ia juga bisa. Malfoy bisa licik, maka ia pun juga bisa. "Atau kau akan melaporkanku pada Ayahmu, menangis merengek rengek padanya dan mengadukanku, begitu blondie?"

Draco menggeram, meraih kerah seragam Slytherin Joonmyeon kemudian menghempaskannya ke dinding koridor. Joonmyeon mengaduh keras-keras, mengernyit sakit. Bahkan barang-barangnya sampai terjatuh ke lantai, termasuk tongkat sihirnya karena dorongan keras Draco barusan. Ia hendak meneriaki Draco saat tak sengaja telinganya menangkap suara seseorang yang terkesiap kaget.

Keempat bocah disana menoleh, mendapati seorang murid Hufflepuff—yang kelewat familiar di mata Joonmyeon, Yixing. Ia tampak terkaget dengan pemandangan di depannya—Draco yang tengah menekan Joonmyeon ke dinding batu koridor sekolah.

Mata Draco menyipit galak, "Apa yang kau lihat, darah lumpur? Mau menolongnya?"

Yixing sempat berbalas pandang dengannya, tetapi kemudian bocah itu mundur perlahan, dan berbalik pergi untuk berlari.

Joonmyeon kecil tersenyum kecut.

Tentu saja. Mana mungkin Yixing akan berbaik hati menolongnya? Ia sudah menyakiti hatinya saat di kereta kemarin, lagipula.

"Nah kuberikan kesempatan terakhir, Kim. Berikan PR-mu padaku!" perintah Draco dengan nada otoriter.

Joonmyeon menggeleng, kekeuh. "Tidak akan pernah, Malfoy. Enak saja, sana kerjakan sendiri."

Sekali lagi Draco menggeram, Joonmyeon sudah terlalu membuatnya kesal sampai ke ubun-ubun. Bocah ini benar-benar harus diberi pelajaran!

Ia meraih tongkat sihir dari kantong jubahnya dan Joomyeon menutup mata—bersiap mendapatkan hex apapun dari Draco. Ia tak berdaya, tongkat sihirnya jatuh dan ia tak tahu harus bagaimana—

"Draco Malfoy, letakan tongkat sihirmu sekarang atau potong 50 poin untuk Slytherin!"

Lagi-lagi bocah bocah disana menoleh ke asal suara, mendapati seorang Prefek Huffplepuff dan... Yixing? Huh? Apa yang ia lakukan?

Untuk apa dia kembali lagi? Apa dia sedang... menolongnya? Begitu?

"Draco Malfoy, aku bicara padamu. Jauhkan tongkatmu dan lepaskan Kim sekarang,"

Prefek itu mengulangi dengan nada mengancam, penuh otoritas. Ia bahkan membuat gerakan meraih tongkat sihirnya dari jubah agar Draco tak menganggapnya main-main. Sang bocah pirang mendesis, melepaskan genggamannya dari kerah Joonmyeon,

"Akan aku laporkan ini pada Ayahku!" ia mengancam setiap kepala yang ada disana, kemudian kabur dari sana bersama kroninya—Crabbe dan Goyle.

Prefek itu terdengar menghela nafas lelah, lalu bersama Yixing mendekati Joonmyeon yang tengah membereskan barang-barangnya. "Aku benci Slytherin sih, tapi apa kau baik baik saja, kid?"

Joonmyeon tak menjawab apapun, ia lebih terfokus memasukan gulungan perkamennya ke tas.

Yixing menyentuh bahunya, "Kau tidak apa apa?"

Joonmyeon menepisnya, bangkit berdiri dan mendesis, "Jangan sentuh aku, darah lumpur,"

–menyusul Draco, dan ia pun pergi dari sana. Meninggalkan Yixing dan si prefek Hufflepuff yang kini mendengus kesal, "Kurangajar. Bahkan ia tak mengatakan terima kasih. Tipikal slytherin, itulah kenapa aku membenci mereka" ia menoleh pada Yixing, "Zhang, kau baik-baik saja?"

Yixing menggumam kecil, masih dengan pandangan yang menyorot nanar.

.

"Ya, aku baik-baik saja."

.

Bersambung.


Glosarium

Merlin: Semacam sebutan Dewa/Tuhan di dunia sihir.

Hogwarts: Sekolah penyihir di inggris, biasanya anak tahun pertama berusia 11 tahun.

Topi Seleksi: topi untuk menyeleksi siswa masuk ke salah satu asrama sesuai dengan sifatnya

4 Asrama Hogwarts: Slytherin (lambang ular, warna hijau, licik dan ambisius), hufflepuff ( lambang luwak, kuning-hitam, terkenal loyal), Ravenclaw (lambang raven, warna biru-silver, biasanya diisi oleh anak anak yang cerdas), Gryffinfor (lambang singa, warna emas-merah, pemberani)

Legilimency: mantra pembaca pikiran

Herbologi: pelajaran tentang tanaman ajaib

Arlaune: (ini bikinan saya sendiri sih wkwk) bunga bentuknya kuncup, yang didalamnya ada wanita kecil telanjang.

Diagon Alley: area tempat berbelanja para penyihir. Letaknya di London, belakang pub Leaky Couldron. Biasanya masuk dengan cara mengetuk tongkat sihir ke dinding

Muggle: bukan keturunan penyihir.

Darah murni: keturunan asli penyihir, kebanyakan masuk Slytherin. Meskipun ga semua ya.

(P.S: Dan ga semua darah murni "sebrengsek" Slytherin. Slytherin terkenal sama image mereka yang "jelek dan jahat", kebanyakan dari mereka setelah dewasa jadi pengikut Voldemort (namanya Pelahap Maut) jadi ya gitu deh. Anak-anak darah murni SLytherin biasanya dididik buat membenci muggle dan menyebut mereka sebagai sesuatu yang mengotori dunia sihir, "darah lumpur". Voldemort ngebrainwash para pengikutnya dan berjanji kalau dia sudah mencapai tujuannya, dia bakal "memusnahkan" darah-darah yang lain kecuali darah murni).

Kompartemen: semacam tempat duduk yang bentuknya seperti bilik di dalam gerbong.

Stasiun King Cross: Stasiun pemberhentian Hogwart Express yang mengangkut siswa siswi Hogwarts.

Dissaparette: menghilang dari sebuah tempat

Apparate: muncul ke sebuah tempat

*Dissaparatte/Apparate tidak bisa digunakan di kawasan Hogwarts.

Accio: mantra pemanggil benda-benda. Misalnya: Accio Surat, maka digunakan untuk memanggil surat.

.


A/N: Iseng iseng bikin Sulay HP!AU. Jadi ceritanya Yixing dan Joonmyeon ini juga temen seangkatannya Harry Potter. Saya ngikutin filmnya, tetapi ada beberapa scene juga yang tentunya saya modifikasi untuk kepentingan cerita. Mungkin bagi yang baca bakal lebih mudah kalau udah nonton filmnya.

Yang jelas Universe ini punya J.K Rowling, dan saya cuman pinjem nama Joonmyeon dan Yixing.

Bolehkah meminta reviewnya untuk kritik dan saran? ^^ Terima kasih sudah membaa. Fic ini sudah setengah jadi, jadi mungkin updatenya akan rutin.

Sampai jumpa.