"Mau minum apa?"

"Kuro Bogyu." Bakugo berkata mantap. Si pelayan cuma menyeringai jahil, lalu menoleh pada Todoroki.

"Gin straight, on the rocks." Shoto menjawab santai. "Kalau kau punya cemilan asin, boleh juga."

"Edamame?"

Shoto menggeleng, lalu menunjuk di buku menu sesuatu yang seperti keripik kentang berbubuh saus pedas dan keju. Pelayan itu mengangguk, mengulangi pesanan mereka dan pergi. Bakugo merengganggkan tubuhnya. Setelah didera ujian akhirnya libur semester dimulai esok hari. Orang-orang di nyan nyan kawaii club memintanya kerja penuh waktu namun Bakugo menolak. Lagipula, sekarang ia punya orang yang tepat untuk menghabiskan liburan semesterannya.

"Aku mau pulang minggu depan." Bakugo menggumam. "Kau mau ikut?"

"Ke Shizuoka?" tanya Shoto.

Bakugo mengangguk.

"Apa-apaan? Kalau ibumu tidak suka aku bagaimana?" Shoto mencelos.

"Tidak mungkin dia tidak suka padamu." Bakugo mencelos. Ia memainkan jari-jari si bungsu keluarga Todoroki. "Secara tampang kau pasti bisa memenangkan hatinya kuso baba. Dia kerja di agensi model dulu sebagai manager. Dia tuh suka cowok-cowok ikemen."

"Oho, jadi kau mengakui kalau aku ganteng?"

Bakugo mengembangkan lubang hidungnya dan memajukan giginya dengan maksud menghina. Shoto malah dibuat gemas, dan ia mencubit gemas kedua pipi kekasihnya.

"Seperti apa kampung halamanmu?"

Bakugo merenung. "Tergantung bagian mana yang ingin kau tahu."

"Apa yang bakal kau lakukan kalau pulang?"

"Makan. Tidur. Main game. Ke danau. Main skateboard. Naik gunung. Kalau punya uang lebih mau main pachinko."

"Bandel, ih. Diam-diam menjudi."

Bakugo yang sebal mendengar ucapan Shoto hanya melengos. Minuman keduanya terhidang, dan Shoto mengucap terima kasih pelan pada si pelayan. Bakugo menyeringai lebar melihat minumannya, yang datang dengan rupa sebuah teko kecil dan sekaleng minuman berenergi yang dingin, serta sebuah gelas kosong.

"Jadi itu apa, Katsuki?" tanya Shoto polos.

"Kuro kirishima ditambah red bull." Bakugo menaik-naikkan alisnya. "Aku meminumnya kalau disaat-saat ujian dan tidak punya tenaga lagi. Ini bisa membuatku terjaga dan fokus satu hari penuh."

"Kau sudah masuk masa liburan." Shoto membalas. "Buat apa begadang?"

"Aku punya pacar untuk diperhatikan, tahu." Bakugo menyergah. Ia menuang minuman berenergi tersebut ke dalam teko dan menggoyangnya beberapa saat. "Siapa tahu kau mau dimanja malam ini, kan, Todoroki?"

Shoto bersemu. Ia mengangkat gelasnya dan menyesap minumannya duluan. Rasa pahit gin membuatnya mengerenyit. Bakugo meminum miliknya dalam satu tegukan besar karena ia menuangnya sedikit-sedikit. Tak berapa lama, makanan yang mereka pesan dihidangkan. Klub yang mereka datangi kali ini adalah live music club, tempat yang paling Bakugo sukai karena ia bisa menonton orang sungguhan memainkan lagu-lagu easy listening. Karena ini malam sabtu, temanya acoustic night. Shoto tidak mengerti sama sekali tentang musik, tetapi tampaknya Bakugo senang. Ia juga sepertinya tahu beberapa lagu yang dimainkan di panggung. Kepalanya bergoyang sesuai tempo, dan suara seraknya melantunkan lagunya seirama dengan musik dan penyanyi yang bergaya.

"Apa judulnya?" bisik Shoto sambil menyodorkan ponselnya.

Bakugo melirik sebentar, lalu mengetik cepat judul lagu yang sedang dimainkan. Shoto tidak tahu lagu itu, tetapi ia berusaha meraba-raba melalui nada yang terlantun dan contekan lirik. Sebelum ia bisa menyanyikan reffrain-nya, lagunya keburu habis. Semua orang bertepuk tangan riuh. Bakugo bersemu, wajahnya cerah dan manik jasper indah itu cemerlang karen bahagia.

"Minna-sama, di malam yang cerah ini, kami strings and the others akan menghibur anda sekalian di Damien. Masih terlalu dini untuk mabuk, eh? Kami punya contra bassist yang baru pulang dari Australia. Tepuk tangan untuk Miyazaki-san..."

Bakugo kembali menyesap minumannya.

"Barangkali dari hadirin sekalian ada yang ingin berbagi suara dan ceritanya dengan Damien, sembari menunggu malam semakin naik..."

Bakugo mengangkat tangannya. Si penyanyi, yang merupakan wanita paruh baya dengan gaun berkilauan turun dari panggung dan menghampiri meja mereka.

"Hora, hora...ada anak manis yang ternyata sembunyi disini." Si penyanyi tertawa. Mikrofon didekatkan ke bibir Bakugo. "Siapa namamu?"

"Bakugo Katsuki." Katanya mantap. Suaranya bergema di mikrofon. "Aku calon dokter."

"Sughoi neee! Apa kau mau naik panggung dan menjadi anggota dadakan kami, Bakugo-sensei?"

Bakugo mengangguk mantap. Shoto, seperti yang lain, cuma memberikan tepuk tangan. Bakugo tampak agak bingung tentang apa yang harus dilakukannya. Ia duduk di salah satu bangku tinggi dan memangku sebuah gitar. Ah, ini dia. Bakugo biasanya akan ngambek kalau Shoto memintanya menyanyi sambil main gitar. Katanya itu bukan hobi yang suka ia pamerkan. Agak aneh, mengingat Bakugo itu masih ngeband secara aktif. Tapi sepertinya alasan mengapa Bakugo tidak mau bermain gitar dan menyanyi untuk Shoto karena ia masih belum sepenuhnya siap untuk terbuka. Bakugo merasa belum mahir, dan ia tidak ingin menunjukkan kegagalan di hadapan Shoto.

That Arizona sky burning in your eyes
You look at me and, babe, I wanna catch on fire

Petikan gitarnya terkesan hati-hati mengaluni suara baritone-nya yang retak. Namun saat suara itu melantunkan nada, kesan seraknya malah terdengar seksi. Bakugo mulai memainkan lagunya secara penuh. Pemain piano di ujung mengambil inisiatif dengan mengiringinya juga.

It's buried in my soul like California gold
You found the light in me that I couldn't find

So when I'm all choked up
But I can't find the words
Every time we say goodbye
Baby, it hurts

When the sun goes down
And the band won't play
I'll always remember us this way

Bakugo menghela nafas. Pandangannya sebersit tertuju pada tempat dimana dia dan Shoto duduk. Ia tetap bermain. Karena seperti ia menyukai musik, ia menyukai Shoto. Ada banyak hal yang dia pelajari, seberapa keras ia berusaha, namun segalanya tetap tidak bisa sempurna. Dan siapa yang mengira, bahwa ketidak-sempurnaan juga bisa berakhir dengan sangat indah?

We don't know how to rhyme
But, damn, we try
But all I really know
You're where I wanna go
The part of me that's you will never die

So when I'm all choked up
But I can't find the words
Every time we say goodbye
Baby, it hurts

When the sun goes down
And the band won't play
I'll always remember us this way

Oh, yeah
I don't wanna be just a memory, baby, yeah

Padahal mereka baru bertemu. Tidak ada gladiresik. Namun Bakugo, dengan suara dan gitarnya, dan alunan pianonya, berjalan dengan sangat harmonis. Shoto merasa sesak, dadanya penuh dengan kegembiraan dan kebanggaan. Bakugo tampak sangat keren di atas panggung. Entah kenapa dia memutuskan jadi dokter, karena menurut Shoto Bakugo sudah lebih dari siap untuk menjadi penyanyi professional.

So when I'm all choked up
But I can't find the words
Every time we say goodbye
Baby, it hurts

When the sun goes down
And the band won't play
I'll always remember us this way

Lagu ini adalah salah satu soundtrack dari film yang dibintangi Lady Gaga dan Bradley Cooper. Saat semua orang begitu tergila-gila dengan Shallow, ritme dan lirik lagu ini tidak sengaja didengarnya saat Bakugo masih mengubur dirinya sendiri di masa renggang hubungan cintanya. Setiap baitnya terdengar menyandung bagi Bakugo. Di hadpan Shoto, Ia tersedak dan tak bisa menemukan kata-kata yang tepat. Rasanya sangat menyakitkan saat berpisah, entah berapa kali, lagi dan lagi Bakugo menemukan dirinya terdampar bertemu Shoto. Pemuda asing itu meruntuhkan semua pertahanannya, membuatnya membuka sisi yang selalu disembunyikan dari balik sikap acuhnya yang tsundere. Kali ini hatinya berbisik lembut, bahwa Shoto pastilah orang yang tepat baginya untuk melabuhkan cinta.

Bakugo melambatkan permainannya. Petikan-petikan halus menari di jemarinya. Ia tersenyum, manis sekali sampai Shoto dibuat gemetar seperti meleleh. Dan dengan merdu, ia berbisik pada mikrofon.

When you look at me
And the whole world fades
I'll always remember us this way

Shoto berdiri, memberikan tepuk tangan. Beberapa orang menyuarakan encore, bersiul, meminta Bakugo menyanyi satu lagu lagi namun ia mengangguk sopan pada si penyanyi dan pemain band di panggung sebelum meletakkan gitarnya dengan hati-hati dan turun. Beberapa orang langsung bersikap sok akrab dan merangkulnya, memberikan kesan baik. Namun Bakugo Katsuki kembali ke dirinya sendiri seketika. Ia menggerutu, menepis semua orang dan kembali duduk bersama Shoto. Ia menegak beberapa gelas kuro bogyu dan mendengus kesal. Senyumnya merosot lagi. Dan kali ini Bakugo memilih minum dan makan seakan-akan ada orang yang baru saja membuatnya marah.

"Tadi itu keren sekali." Shoto mengomentari.

"Hmm."

"Kau tidak tampak senang."

"Aku senang."

"Mana coba lihat."

Shoto menggamit dagu Bakugo, dengan lembut memberikan ciuman di bibir. Bakugo terhenyak, lalu menjambak sisi wajah Shoto dan menjedukkan kening satu sama lain. Shoto meringis sakit. Bakugo kadang memukul, mencubit, menendang dan melakukan reaksi fisik lain dengan tenaga penuh. Ia tahu bahwa semua itu tidak berarti Bakugo ingin menyakitinya. Bakugo Katsuki itu tsundere kronis. Shoto harus tahan banting menghadapinya. Lagian, reaksi salah tingkah Bakugo gemasnya tidak masuk akal!

"Kau selalu ngambek kalau aku yang minta dinyanyiin sambil gitaran." Shoto merajuk.

"Suka-suka aku, dong. Salah sendiri nggak bisa nyanyi sambil main gitar." Bakugo menyeletuk ketus.

"Kalau judes kayak gitu kumakan nih hidup-hidup."

Shoto memajukan wajahnya, pura-pura hendak menggigit Bakugo. Pemuda itu beringsut panik dan hampir saja melayangkan tamparan ke wajah Shoto. Pemuda bernetra ganda itu tersenyum tipis, menyambar minuman dan menyesapnya pelan.

"Kusoroki, itu minumanku!"

"PFFTT!"

Shoto menyembur minuman yang tadi dikecapnya. Pahit sekali, lalu ada aksen manis kental yang membuatnya berat untuk diteguk. Shoto kalang kabut, dan Bakugo dengan wajah malas mengambil gelasnya dan mengisinya kembali. Ia memilih minum sambil menonton kekasihnya kelimpungan membenahi dirinya sendiri. Shoto mengelap mulutnya dan bekas tumpahan yang mengotori pakaiannya.

"Ahoshoto." Bisiknya.

Padahal ia tahu kalau Shoto tidak bodoh. Namun saat bersama Bakugo, Shoto lebih sering menunjukkan sisi cerobohnya yang terlihat dungu. Apa karena salah tingkah, atau memang aslinya Todoroki Shoto itu memang agak kikuk, entahlah. Sikap ini membuat pribadi Shoto tidak semembosankan yang Bakugo kira, mengingat pemuda merah putih itu tidak banyak bicara.

"Kenapa kau bisa minum minuman begitu?" gerutunya. "Rasanya bukan seperti minuman manusia."

"Jadi siapa yang minum kuro bogyu kalau bukan manusia?" tanya Shoto.

Bakugo tidak menanggapi. Shoto mendekat lagi, mencolek-colek ujung hidung Bakugo.

"Anak dajjal, kan?"

"Iya, anak dajjal. Terus aku mau ajak kau pulang kampung ke neraka, ketemu sama bapak ibu dajjal." Ketus Bakugo. "Sudah puas belum meledekku, hah?"

"Udahan, ah. Aku nggak mau tidur sendiri malam ini." Shoto mencebik.

"Kata siapa aku mau tidur denganmu malam ini?"

Shoto memberengut. "Dih, gitu. Emangnya nggak kangen apa, setelah sebulan kita nggak ketemu?"

"Nggak, tuh. Buktinya kau juga tidak menunjukkan kangenmu, kusoroki."

"Lagian mana pernah chat-ku dibalas, sih? Mendingan kayak gini: kutendang pintu kamarmu, terus pemiliknya kuculik ke villa ditengah gunung."

"Terus?"

"Begini begitu." Jawab Shoto gamblang.

"Begini begitu apanya, dasar sialan!" Bakugo memukul lengan Todoroki. "Kau malah terdengar seperti psikopat yang suka ngemil jari kaki dan usus halus, tahu."

"Aku sukanya lidah dan pipi. Tulang rawan dan urat juga enak."

"Hah?" Bakugo melongo.

"Itu, lho. Pernah makan barberkyu yang semua bagian sapinya dijual, nggak? Atau motsu-nabe? Jadi pancinya isi kuah, jeroan sama sayuran sedikit. Lidah sama pipi enak dipanggang."

"Kuahnya pasti berlemak banget." Bakugo mengerenyit.

"Tapi kalau lauknya tulang rawan dan urat nggak. Gurih-gurih legit gitu. Kayak minum collagen soup yang lagi ngetren di TV itu."

"Kalau ngomongin makanan sama seni, otakmu terpakai." Bakugo terkekeh. "Yah, ketahuan sih. Apa aku perlu minta uang belanja karena porsi makanmu nyaris dua kalinya aku, heh?"

"Ih, lucu. Nggak sekalian minta uang bayar sekolah anak dan hadir di pertemuan orangtua hari senin depan? Kasian, lho. Marumaru-kun bilang dia mau rapot sekolahnya diambil okaa-san. Biar okaa-san tahu, Marumaru-kun jadi anak baik semenjak masuk SD. Soalnya okaa-san sibuk membanggakan Burabura-chan yang selalu dapat cap bunga matahari di kelas mewarnai TK Kasukabe. Marumaru-chan jadi cemburu." balas Shoto dengan nada datarnya. Kalimat ngawurnya selalu meluncur secara natural seperti bersin.

"Mengkhayalmu kejauhan, dasar bajingan." Bakugo tersedak, bingung haruskah ia tertawa atau marah mendengar ucapan halu Shoto. "Lagian orangtua macam apa yang memberi nama anaknya sembarangan kayak gitu?!"

"Kalau mau ketawa, ketawa aja, sih." Shoto menegak habis sisa minumnya. "Nggak usah sungkan."

Bakugo bersidekap, berpaling. "Nggak lucu."

"Bohong." Shoto menyentak. "Hidungmu kembang kempis, tuh."

Bakugo bersidekap membenamkan wajahnya di meja. Bakugo menyerah dan memilih merendahkan suara tawanya. Semenjak mereka resmi pacaran, Shoto nampaknya mengemban misi serius untuk membuat Bakugo tertawa secara spontan. Masalahnya, pria dengan bekas luka di mata kirinya itu bukan pelawak berbakat dengan tingkah konyol. Kalau di acara stand up comedy, Shoto adalah psycho type comedian yang melontarkan lelucon dengan muka datar seakan-akan kalimat yang ia ucapkan itu tidak lucu baginya. Bakugo bukan orang yang mudah tertawa. Dan entah darimana, Shoto sepertinya senang memperdalam selera humornya yang receh dan penuh halusinasi tersebut. Kadangkala, Bakugo mendapati bahwa lelucon Shoto lucu juga. Jadi ia sering terperangkap dalam dilema setengah marah-setengah jengkel-setengah tertawa. Sama saja seperti warna mata dan warna rambut kekasihnya itu.

Semuanya setengah-setengah. Untungnya, cinta Shoto pada Bakugo tidak setengah-setengah.


Song Title: I'll Always Remember Us This Way - Lady Gaga


Hai hai semuanya!

Self-quarantine dan Social distancing membuat author sangat produktif dalam berfanfic dan berhalu ria. Setelah badai gonjang-ganjing author memutuskan memberikan happy ending untuk Todobaku. Mereka layak bahagia setelah jumpalitan, tentu saja. Ending singkat ini author persembahkan dengan penuh kehaluan, setelah browsing ratusan lagu di spotify. Udah cukup naenanya, ya. Ada momen dimana mereka harus fuwa-fuwa juga. Awalnya author mau bikin mereka duduk di stasiun terus dengerin lagu bareng tapi ide itu di scrapped karena ternyata kurang sesuai dengan karakter Bakugo di fic ini.

Kalau mau jujur, frost burning adalah fanfic tersulit yang author selesaikan. Nggak seperti Rekonsiliasi yang straight dan bertema domestic romance (secara character and emotional bridge-nya lebih mudah mainkan), di fanfic ini author berusaha mengangkat konflik tentang Bakugo yang orientasinya goyah. Yah kalau kalian baca dari awal emang diam-diam dia suka sama Shoto tapi galau karena dia punya pacar cewek sementara Bakugo dan Shoto sama-sama cowok. Tentang Shoto yang baru sekali ini jatuh cinta dan nggak tahu bagaimana cara memperlakukan pacarnya juga. Author sedang belajar bagaimana memainkan emotional conflics dan juga merangkai diksi sehingga cerita dengan intrik seberat ini tetap tidak bikin bosan untuk dibaca.

Anyway,

Yang sudah membaca frost burning dari awal dan sampai pada halaman ini, author mengucapkan terima kasih banyak. Review-review kalian membuatku terharu, walaupun aku bukan orang yang suka balesin review (mood moodan sih, maap ya authornya labil soalnya milenials). Semoga frost burning bisa menyegarkan dahaga kalian akan asupan todobaku/bakutodo, ya. Author sudahi keharkosan update fanfic ini dengan memberikan ending yang (semoga) berkenan~~

Sampai jumpa di fanfic selanjutnya.

Cheers,

Fajrikyoya.