Hello, hello!

This is Yoon Soo Ji back with a whole new story!

Okay, kali ini aku membuat Taekook fanfiction, obviously. Setelah bereksperimen dengan berbagai macam ship, aku memutuskan untuk memberikan draft ini untuk Taekook, sebenarnya first draft-nya Yoonmin, but that's not important.

Aku takkan berlama-lama dalam memberikan author note tak penting ini, so,

Enjoy the story!

.

Minutiae – The small, precise detail that makes someone unique.

Pit.

Pat.

Pit.

Pat.

Jungkook menghela nafas, menggaruk tengkuknya dan menatap ke sekeliling ruang kelas heningnya. Hari ini hari hujan, membuat mereka terjebak tanpa bisa melakukan apapun. Petir dikhawatirkan menyebabkan kerusakan jika mereka memainkan barang elektronik, sementara guru mereka tak bisa mengajar karena suara yang teredam hujan deras.

Namun Jungkook tak pernah mempermasalahkannya.

Dia selalu menyukai hujan, membasahi mereka dan meninggalkan aroma menyegarkan di tanah, namun bukan itu yang paling utama. Warna cyan lembut terpancar dari setiap rintik gerimis hujan yang mulai reda, walaupun jernih air kemudian menyatu dengan lumpur di tanah basah.

Ini sudah satu jam lebih, dan Jungkook hanya melirik malas pada tulisan Where Rainbows End terpampang jelas di papan tulis. Demi mata pelajaran bahasa inggrisnya, Jungkook harus rela membaca buku tersebut, yang dengan separuh hati habis separuhnya. Dia hanya membutuhkan sedikit warna oranye sekarang karena–

Dering bel sekolah menginvasi telinga mereka, jeritan mikrofon yang menjadi musik di telinga para murid sekolahnya terdengar, mereka semua berhamburan keluar sementara guru mereka mengingatkan untuk segera menulis review buku tersebut. Sementara Jungkook melarikan diri ke lantai dua, membawa kakinya dengan kencang menuju ruang seni, dimana kanvas, cat, serta kuasnya menunggu untuk membuat sesuatu yang baru.

Aku adalah seorang synesthetes. Jika kalian mendengarkan suara-suara dengan telinga kalian, indera penglihatanku juga bekerja. Aku mampu melihat warna-warna yang bertebaran ketika musik dimulai, ketika bel sekolah nyaring terdengar, bahkan ketika kalian menjerit-jerit tak jelas. Aku melihat suara hujan, kicau burung, dan bahkan suara guru ketika marah.

Jungkook menghela nafasnya, membuka kain yang menutupi kanvasnya, melihat lukisan abstrak setengah jadi yang ingin dia selesaikan. Gradasi lembut violet dan ungu tua tertumpuk kuning di atasnya, aneh, tapi dia mulai menyalakan playlist lagunya setelah menancapkan earphone. Remaja delapan belas tahun itu mulai menyapukan kuasnya lagi, lagu Forever Young dari Alphaville menghiasi telinga dan matanya

Jadi ketika seniman lainnya melukis objek di depan mata mereka, aku membuat lukisan tentang lagu yang kudengarkan.

.

"Jungkook, kau tak pulang?" Remaja itu menoleh pada ketukan di pintu, melepas earphone-nya sebelum menggeleng. Sahabatnya itu menghela nafas, "Ini sudah hampir malam."

"Aku akan langsung ke rumah." Balasnya asal, merapikan sedikit cacat di lukisannya. "Kau pulanglah duluan, Lissie." Setelah beberapa saat, dia meliriknya lagi, yang masih mencebik di pintu. "Kau tak pulang?"

Lisa memutar matanya, kesal. "Aku menanyakan itu padamu barusan." Dia menyilangkan tangannya di dada. "Kau akan ke rumahmu atau ke rumah kakakmu?"

Jungkook menggaruk tengkuknya. Lalisa Manoban adalah anak pindahan di awal semester tahun keduanya di SMA, masuk ke kelasnya, dan keduanya langsung menjadi teman baik. Dia bahkan berani menceritakan synestheti-nya, sesuatu yang bahkan tak bisa dia ceritakan pada ibunya, tak peduli seberapa besar beliau menyayanginya.

Lisa juga tahu seberapa berantakan keluarganya.

Gadis itu menyibakkan rambut pirangnya, mengangguk. "Kau tak bisa menghindari ayah tirimu setiap hari, Jungkook, dan meninggalkan ibumu sendirian di rumah dengannya itu tak bijak." Dia melirik sahabatnya yang mulai meletakkan kuas. "Setidaknya temani ibumu makan malam, jangan biarkan si brengsek peminum itu merusak kesehatan ibumu."

Akhirnya Jungkook mengangguk, merapikan kuas dan catnya lalu menutup kembali kanvasnya, lantunan Forever Young selesai. Keduanya berpisah setelah mengendarai bus yang sama, saling melambaikan tangan lalu pulang ke rumah masing-masing.

Bagi seorang Jeon Jungkook, pulang ke neraka.

Dia dapat mendengar teriakan ibunya pada setiap langkahnya di lorong apartemen murah mereka, merah mendominasi. Ayah tirinya tak pernah bekerja dengan benar dan hanya bisa membayar apartemen kecil-kecilan dengan hanya dua kamar dan ruang makan yang bergabung dengan dapur, sudut kecil adalah kamar mandi.

Lisa, benar. Sang ibu tak pernah makan dengan benar sejak mereka menikah, entah makan dengan tangis menetes bercampur dengan kuahnya atau tak makan sama sekali sepanjang malam. Dia harus memastikan ibunya makan dengan benar, bukan meminum air putih lalu pergi tidur.

Ayah tirinya adalah tipe pria baik-baik ketika mereka berkenalan lalu menunjukkan warna aslinya empat puluh lima menit setelah pernikahan. Jungkook sudah pernah mencurigai warna hitam suaranya, namun sepertinya senyum palsu itu membuatnya baik-baik saja ketika sang ibu menjalin hubungan dengannya, hingga mereka berdua menyesal di detik pertama seluruh barangnya masuk ke lemari mereka.

Jungkook mengintip dari balik pintu, melihat sang ibu yang air matanya berderai, rambut terkepal di tangan suaminya. Dia mengetuk pintu, dan ayah tirinya melepas kepalannya, menatapnya tajam yang baru saja masuk ke dalam.

Remaja itu menelan ludah, "Apa birmu habis? Atau kau sudah lapar? Setidaknya biarkan ibuku memasak makanan jika kau ingin makan, jangan gunakan dia untuk–"

Jungkook tak dapat menyelesaikan kalimatnya, rasa sakit membuatnya terjatuh ke lantai dingin tanpa pemanas ketika tinju besar ayah tirinya bertemu perutnya, pria itu berdiri dengan angkuh di atasnya tanpa belas kasihan, sementara sang ibu menahan jeritannya.

"Itu," dia terbatuk, "Menjawab pertanyaanku, kan?" ada kaki yang menginjaknya seketika, dan Jungkook kembali terbatuk, darah muncul di ujung bibirnya ketika kakinya menendangnya tepat di wajah. Namun dia mencoba bicara, "Ada… Uang saku… Ambil untuk… Bir."

Ayah tirinya menendangnya sekali lagi, "Dimana itu, Berandal?!" sebelum tasnya diacak-acak lebih berantakan, dia meraih tasnya sendiri dan membuka resleting paling depan, tanpa pikir panjang menyerahkan lima ratus ribu won padanya. Dia terkekeh. "Kau mencuri, kan? Uang sebanyak ini."

Jungkook menahan rasa sakit ketika perutnya ditendang lagi, sang ibu berlari memapahnya ketika suaminya memutuskan untuk pergi, mendobrak pintu dengan keras. Dia berniat untuk memberikan uang itu pada ibunya, sebagai hasil lukisannya yang terjual beberapa hari yang lalu. My Love dari Westlife langsung terjual secepat dia meletakkannya di galeri lokal.

"Eomma," isaknya, "Itu uangmu."

Jungkook benar-benar ingin mengaku dosa. Dia tak pernah menceritakan pekerjaannya pada ibunya, juga tentang kelainan psikologisnya. Memang, tak ada yang salah tentang menjadi synesthetes, itu sebuah kelainan yang dia syukuri dan dia rengkuh bulat-bulat. Musik menjadi bagian dalam hidupnya di hari dia dengan bangga menjual lukisannya dan menyerahkan uangnya diam-diam pada sang ibu.

Hello, Hello dari Elton John.

Kombinasi kuning dan oranye yang menyegarkan memberinya sekitar dua ratus won.

Ibunya hanya tahu dia bekerja sebagai seorang pekerja paruh waktu di suatu tempat, bukan pelukis lagu di galeri seni lokal. Uang itu dia kumpulkan setelah beberapa gaji, bukan lewat kesepakatan antara seorang pembeli dan seniman. Setidaknya itu yang ibunya tahu.

Dia meraih tasnya dan mengeluarkan selingkar panjang kimbab, "Aku beli ini untuk Eomma tadi, hanya dua puluh lima won, aku masih punya uang saku."

Sang ibu mengelus rambutnya, "Aku akan membelahnya dan kita akan makan bersama-sama."

"Tidak," putranya menggeleng, "Aku akan makan di rumah Yoongi Hyung, Eomma, aku juga akan belajar disana setelah aku mandi. Eomma makanlah."

Jungkook tak punya ruang belajar disini.

Lampunya terlalu remang untuk membaca dan tak nyaman untuk belajar di atas kasur yang bergoyang setiap kali dia bergerak. Lagipula, teman sepupunya selalu datang setiap malam untuk membantunya dalam mata pelajaran secara sukarela. Jungkook, yang notabene ingin menjadi anak yang pintar, tak bisa menolak.

"Aku akan mandi dulu." Dia mengajak ibunya duduk di meja makan sebelum masuk ke kamarnya, melepas jas almameter dan meraih handuknya.

Tinju ayah tirinya terkenal cukup kuat untuk menyebabkan memar-memar di tubuhnya, juga luka di sudut bibirnya terasa perih dan membengkak. Dia meringis ketika air dingin menerpa punggungnya, ketika anak-anak lainnya berleha-leha di dalam kamar mandi dengan hangatnya air, Jungkook harus terjebak dengan air dingin setiap hari. Karena mereka tak bisa membayar pemanas yang cukup mahal.

Remaja itu melihat ibunya masih menghabiskan kimbabnya, dan Jungkook menghela nafas sembari mengisi tasnya dengan buku. Dia juga baru teringat bahwa catnya sudah hampir habis. Kenapa dia tak menyelundupkan beberapa won untuk membeli cat alih-alih menyerahkan semuanya?

Sekarang dia hanya berdoa Yoongi mau memberinya beberapa receh.

"Aku pergi dulu, Eomma." Pamitnya sebelum menutup pintu.

.

Rumah Yoongi hanya berjarak dua puluh menit dari rumahnya. Sebuah rumah sederhana yang memang tampak seperti kediaman seorang laki-laki. Dinding abu-abu membatasi sebagai pagar tinggi dengan satu pintu di ujung. Halamannya tampak seperti lapangan dengan sebuah ring basket mencuat di satu sisi, dan Jungkook mengetuk pintunya, sabar.

Dia menatap sekeliling, beberapa sepatu berjajar berantakan di depan, membuatnya menggelengkan kepala. Dia mengetuk lagi. Tak ada jawaban. Entah si tuan rumah telah tertidur atau– Pintu terbuka dengan cepat dan wajah mengantuk Yoongi menyapanya.

"Kau sudah makan?" tanyanya langsung dan dia menggeleng. "Telur gulung dan kimchi, mau?" Jungkook mengangguk. Dan sepupunya itu membuka pintu lebih lebar, membiarkannya masuk dan meletakkan tas. "Si Pemabuk itu memukulimu lagi?"

"Dia membawa pergi uangku juga." Adunya, dan Yoongi nyaris memecahkan telur ke lantai, menatapnya simpatik. "Aku akan menjual lukisanku lagi sepertinya, akan kupastikan uangnya sampai ke Eomma."

"Jungkook," tahannya, "Tak bisakah Imo menceraikannya?" Remaja itu menghela nafas, mengendikkan bahu. "Kau tahu, kau dan ibumu lebih baik hanya berdua saja, kalian bisa pindah kemari dan kita akan tinggal bertiga, atau mungkin aku akan mengajak Jennie ikut pindah kemari. Kita bisa bermain setiap akhir pekan dan kau tak perlu melukis lagi."

"Aku senang melukis, Hyung."

"Aku tahu." Ujarnya. "Tapi anak seumuranmu seharusnya tak melukis untuk bekerja. Kau seharusnya melukis di liburan musim panas lalu bermain dengan teman-teman sekolahmu sepuasnya, tidur di kabin tengah hutan atau semacamnya."

Jungkook terkekeh, membiarkan kakaknya mengoceh hingga akhirnya telur gulung dan kimchi tersedia di depannya dengan semangkuk nasi. Remaja itu tersenyum, "Aku akan makan dengan baik."

Yoongi tersenyum kecil pada adik sepupunya itu. Dibalik kehidupan rumahnya yang menyedihkan, dia masih sanggup tersenyum dan belajar, menjalankan hobinya dengan aktif bahkan menghasilkan uang dengan itu. Dia dapat melihatnya meringis setiap kali makanan mengenai sudut bibirnya yang terluka lalu lanjut makan lagi.

Rasa iba dan rasa sayang memiliki perbedaan yang amat sangat tipis di hidupnya. Jungkook telah hidup tanpa ayah sejak lahir, pria tak bertanggung jawab itu meninggalkan bibinya setelah mengetahui ada bibit yang bersemayam dalam tubuhnya. Yoongi tak memiliki adik untuk disayangi dan Jungkook tak memiliki ayah untuk menjaganya. Jadi Yoongi melakukan tugas itu.

Dia hanya berharap, suatu hari, belenggu besi kehidupan Jungkook akan terlepas.

.

Taehyung menghembuskan nafasnya pada alat musik yang dia genggam untuk bar terakhir, dan semua orang bertepuk tangan, mengagumi permainannya sebelum dia membungkuk dan turun dari panggung. Sang kakak mengangkat jempolnya sebelum beralih melakukan pekerjaannya yang lain.

Dia meletakkan saksofonnya di dalam hard case sebelum beralih ke meja bartender untuk mendapatkan beberapa asupan alkohol, Seokjin, sang kakak, mendatanginya setelah melayani beberapa pelanggan. Taehyung menangkap kaleng coke yang digeserkan padanya, tersenyum kecil.

"Permainan bagus tadi." Ucapnya, sebuah pujian yang selalu dianggap sepele oleh Taehyung karena kakaknya itu telah mengucapkannya lebih dari lima ratus kali sejak dia memasuki bar ini. Dia mengetuk meja, "Hei, coba berdirilah." Dan sang adik hanya memutar mata, namun menurutinya. "Kau ada di luar dan aku di dalam, jadi kau outstanding. Ha ha ha."

"Hyung," erang Taehyung, menggaruk kepala atas kelakuan memalukan Seokjin yang masih tertawa terpingkal-pingkal. Dia menatap sekeliling, meminum minumannya. Bar terasa sepi setelah orang-orang terpaku pada lantunan piano pekerja lain. Dia mendengar Seokjin mengetuk meja lagi, "Jika kau mau membuat lelucon konyol lain, aku tak mau."

"Bukan itu," ujar yang lebih tua, "Aku hanya ingin menanyakan dimana Jimin, biasanya dia akan berada disini."

Dia mengendikkan bahunya. "Dia bilang dia ada urusan di studio, dan jangan tanya apa, aku yakin itu hanya alasannya untuk bisa bersama Hoseok."

"Main di studio?"

"Bukan urusanku."

Seokjin berdecak pada jawaban adiknya. Jimin adalah sahabatnya sejak kecil, sidekick yang selalu ada di setiap senang dan susah, bahkan Jimin adalah orang terakhir yang tetap tinggal di rumah duka bersama mereka ketika orang tua mereka meninggal. Sementara sahabatnya telah menjadi seorang penari kontemporer, Taehyung telah menjadi seorang pemain saksofon.

"Minumku habis." Adunya, meminta yang lain. Dan Seokjin memberikannya lagi. Kakaknya membuka bar ini agar mereka bisa bekerja bersama-sama, dan Taehyung akan mendapat minuman gratis atau uang beberapa peser yang dia todong dari Jimin setiap kali temannya itu lupa membayar alkoholnya.

Tak lama kemudian, yang lebih muda merasa muak dengan sodanya dan menjilat bibir, "Aku akan pulang duluan."

Seokjin hanya mengangguk, membiarkan adiknya meraih jasnya dan beranjak pergi dengan hard case saksofonnya.

.

Taehyung tak pulang ke rumah.

Roda mobilnya berputar menuju tanjakan-tanjakan ke arah studio tari Jimin, dimana dia mungkin masih berada. Dia hanya ingin melihat apa yang dilakukan sahabatnya, bukannya dia tak tahu. Entah itu membuat tarian baru untuk kesenangannya atau 'urusan' dengan Hoseok.

Taehyung pertama kali mengenal Hoseok ketika mengunjungi studio Jimin, hanya sekadar menemaninya berlatih ketika koreografer itu datang dan mencium pipi sahabatnya. Penari itu lalu menjelaskan bahwa dia tak memiliki hubungan apapun dengan Hoseok, bukannya Taehyung peduli sebenarnya.

Tapi dia serius tentang benar-benar tak mau tahu tentang hubungan fuck-buddy mereka ketika membuka pintu ruang kaca dan melihat keduanya di sofa tanpa busana, perlu dia ulangi, tanpa busana. Dia seharusnya tahu ini akan terjadi jika dia mendobrak masuk, namun lagipula, siapa yang melakukan hal itu tanpa mengunci pintu terlebih dahulu?

Pria itu bergegas keluar, menutup pintu dengan keras dan mencoba menghilangkan ingatan tentang tubuh telanjang mereka yang terpantul di kaca. Astaga, itu menjijikkan. Akhirnya Jimin membuka pintu, menyeringai, dan Taehyung tak bisa menahan untuk memandangnya skeptis.

Rambut berantakan dan baju kusut, bau keringat terlalu kentara di hidungnya.

"Hai, Taehyung." Sapanya, seolah kepergok berhubungan badan oleh sahabatnya adalah hal biasa. "Aku tak tahu kau mau datang."

Yang disebut memutar bola matanya, "Tentu saja." Dia menoyor jidat Jimin sebelum masuk ke ruangan. "Lain kali kunci pintu." Hoseok tengah merapikan rambutnya di atas sofa, menganggukkan kepala padanya yang dibalas pelan oleh Taehyung.

Pemain saksofon itu melihat ke sekelilingnya, tak ada lagi tempat duduk yang tersedia kecuali sofa hitam tempat mereka melakukan itu, dan Taehyung lebih memilih menggantung dirinya daripada duduk di sana.

"Aku memesan makanan di restoran ayam, kau tak masalah dengan itu?" dia menggelengkan kepala, memutuskan untuk duduk di lantai. "Kau tak mau duduk di atas?" dia menatap sahabatnya dengan tajam, membuatnya tertawa.

Taehyung merinding ketika merasakan jemari Hoseok menggelitik lehernya, dia bukan pihak bawah, tapi rasa geli itu membuatnya menelan ludah. Dia balik menatapnya tajam, "Hentikan itu." Koreografer itu hanya menyeringai.

"Kenapa?"

"Hyung, kau menakutinya." Tegur Jimin, bersandar di bahu Taehyung seperti yang biasa mereka lakukan dulu, memainkan jemarinya di lengan sahabatnya. "Kau dari Rose Bud?"

"Menurutmu?"

Jimin hanya tertawa kecil. Rose Bud adalah nama bar yang dibuka oleh Seokjin. "Jadi kau membawakan lagu apa tadi?"

Dan begitulah kegiatan mereka berlanjut, mengobrolkan hal-hal tak penting bertiga, menunggu restoran yang mengantar makanan mereka.

.

"Dan jika yang diketahui itu kb, artinya dia basa, jadi kau harus mencari P[OH] dengan logaritma sebelum menguranginya dengan 14 agar mendapat hasil pH-nya."

Kim Namjoon dengan kacamata tebalnya dan Jeon Jungkook dengan buku-buku tebalnya.

Mulutnya terbuka lebar sambil memperhatikan uraian titrasi asam basa yang dijelaskan oleh tutornya. Gurunya itu sebenarnya adalah sahabat baik kakak sepupunya, seorang rapper terkenal yang dengan sukarela datang setiap malam sekolah untuk membantunya belajar. Jungkook mengagumi Namjoon, dia selalu suka warna-warni mixtape-nya dan kerendahan hatinya, serta kesabarannya dalam mengajarinya, terutama bahasa inggris. Yang dikuasai Namjoon namun sebaliknya oleh Jungkook.

Dering ponselnya membuatnya terlonjak dan tersenyum kecil pada tutornya, "Sebentar, Hyung." Jungkook dapat menebak bahwa sahabatnya telah menghubunginya, seperti yang biasa dia lakukan setiap malam untuk menanyakan tugas-tugas. Berbeda dengannya, Lisa sedikit berantakan dalam mengingat pekerjaan rumah dan jadwal ulangan membuatnya mengandalkan Jungkook untuk mengingatkannya.

"Tak ada tugas, belajar saja bab berikutnya."

"Jungkook?"

Remaja itu berdeham, memerah karena malu walau penelponnya tak dapat melihatnya. Dia dengan spontan mengatakan apa yang seharusnya dia katakan pada Lisa ke pemilik galeri tempat dia menjual lukisannya.

"Chaeyoung Noona," gagapnya, menggaruk tengkuk, Namjoon menaikkan alisnya di belakang, menunggu muridnya selesai. "Ada apa?"

"Kau ingat lukisanmu yang kemarin?"

"My Love?"

"Yang satu lagi, kau mengirim dua kemarin."

Jungkook memutar ingatannya sejenak, "Sleeping Child dari MLTR?"

Chaeyoung membenarkan, "Ada yang ingin membelinya."

Anak delapan belas tahun itu terlonjak, "Siapa?" dia sangat membutuhkan uang saat itu, ayah tirinya membawa pergi lima ratus ribu won terakhir yang dia miliki dan dia tak bisa membuat ibunya bekerja terus menerus.

"Seorang pria," ucapnya ragu, "Dia menyarankan untuk bertemu dengannya di bar miliknya, tapi ketika aku mengatakan bahwa kau masih dibawah umur–"

"Dia menolaknya?"

Jungkook dapat mendengar tawa wanita itu dari seberang, "Jungkook, kau terlalu bertalenta untuk ditolak," ujarnya, "Besok, jika kau tak ada urusan lain, kita akan bertemu sepulang sekolah. Kau bisa?"

Dia mengangguk, "Bisa, Noona. Aku juga akan mengirim satu lagi yang baru kuselesaikan."

"Jangan memaksakan dirimu."

"Tidak, kok."

Chaeyoung menghela nafas, "Baiklah, akan kututup. Belajar yang rajin, Jeon Jungkook."

"Sampai jumpa, Noona."

Jungkook meletakkan ponselnya di saku, berjalan ke arah meja dengan senyum sumringah, membuat yang lebih tua menaikkan alisnya lagi. "Dia pacarmu?"

Remaja itu mendengus, "Aku tak mau dengan noona-noona."

Namjoon bersiul, "Panggil aku Oppa."

"Lebih ke hubungi aku, Hyung."

"Jeon Jungkook." Ketika dia berbalik, Yoongi melempar satu bantal dari atas sofa, membuatnya mengaduh sakit. "Belajar yang benar." Yang lebih muda hanya menyeringai, melihat bukunya lagi. Namun kini adalah giliran sepupunya yang straight itu untuk penasaran. "Jadi itu siapa?"

"Noona Galeri." Jawabnya, "Lukisanku terjual lagi." Kedua kakaknya itu berteriak heboh seketika, menyelamati adik multitalenta mereka yang sekali lagi akan menghasilkan uang. "Aku akan memberikannya pada Eomma."

"Kali ini pastikan itu terjadi."

"Hei, Jungkook," panggil Namjoon, "Mau aku ke rumahmu dan menghajarnya?"

"Apa-apaan, Hyung." Protesnya, "Tinjunya lebih besar darimu."

"Dia hanya pemabuk, gerakannya takkan pernah akurat."

"Dia memukuliku dengan baik bahkan saat mabuk." Gumam Jungkook, menelusuri kertas HVS putih dengan pensil mekaniknya, merenung apakah ayah tirinya sudah pulang dan memukuli ibunya atau minum-minum di luar dan tak pulang.

Yoongi dapat melihat ini, mendecakkan lidahnya dan menepuk pundaknya. "Mau ayam dan bir?" tanyanya, dan mata Jungkook berbinar. Sepupunya menatapnya skeptis. "Bukan kau, tapi dia." Namjoon, "Aku tak peduli kau mau mabuk ayam atau tidak, tapi kau tak boleh minum bir. Dan jangan merengek, kau masih di bawah umur."

Yoongi takkan pernah menghiraukan rengekannya dan beranjak menghubungi pesan antar ayam.

.

Chaeyoung membuka galerinya, membalik tulisan tutup menjadi buka setelah membersihkan ruangan dari kotoran dan debu. Galerinya adalah galeri kecil dengan lantai kayu, nuansa vintage terlihat sangat kental dari tatanan ruangan. Wanita itu memang menatanya sedemikian rupa, sebuah tata ruang yang menunjukkan seniman dari kota kecil, seekor anak burung yang baru saja memasuki dunia yang kini digelutinya. Dunia seni. Lukisan-lukisan dan patung serta miniatur tersusun di sekitarnya.

Dia membuka galeri ini sendirian, yang kini menjadi sumber hidupnya bersama anak SMA yang dia temukan di jalanan. Chaeyoung pertama kali menemukan Jungkook ketika dia nyaris menutup galerinya hari itu, remaja tersebut membawa kanvasnya dan bertanya pelan apa dia mau membeli lukisannya. Dia masih begitu kecil, kelas satu SMP.

Judul lukisan itu tertera atas lagu dan penyanyinya, membuatnya heran. Ketika dia memberanikan diri bertanya, Jungkook menjelaskan kelainan psikologisnya. Jujur, Chaeyoung kagum. Selain seniman, kakaknya pernah mengajarinya satu atau dua not, membuatnya menyukai musik sebanyak dia menyukai seni rupa.

Pengertiannya tentang timbre sanggat jauh berbeda dari anak itu. Bagi Chaeyoung, timbre adalah istilah teori musik tentang perbedaan tipe suara yang dikeluarkan. Bagi Jungkook, timbre, secara harfiah dari namanya, adalah warna suara yang bisa dia lihat seberapa terang gelapnya.

Itu adalah awal dia menerima Jungkook sebagai salah seorang pengisi galerinya.

Suara bel di atas pintu mengejutkannya dan Chaeyoung tersenyum melihat tamunya. Hari sudah sore dan sebentar lagi bel sekolah Jungkook akan berdering. Pembelinya benar-benar tak mau menunggu.

Wanita itu berdiri, mengulurkan tangan sambil tersenyum. "Park Chaeyoung."

"Kim Seokjin." Balasnya, menatap sekeliling galeri mungilnya. "Jadi, anak di bawah umur?"

"Kau sudah melihat talentanya, sebagai anak delapan belas tahun, dia memiliki kemampuan yang jauh melebihi mereka." Seokjin hanya mengangguk. "Kau mau bernegosiasi denganku atau menunggunya datang?"

"Kapan dia datang?"

"Sepulang sekolah." Jawabnya, "Lima menit lagi."

"Aku akan menunggu." Bel berdering lagi dan keduanya menoleh. Adalah Seokjin yang pertama bicara, protes. "Kau mengikutiku kemari?"

Seorang pria dengan rambut mullet coklat berpegangan pada gagang pintu, matanya menatap tepat ke arah Seokjin sebelum melemparkan dompet coklatnya, "Kau meninggalkan dompetmu, Hyung." Ujarnya. "Dan aku akan ada di tempat Jimin, jadi jangan cari aku sampai makan malam."

Seokjin mengangguk tanda terima kasih dan orang itu menutup pintu. "Itu adikku," ujarnya, merasa tak enak. "Maaf, dia selalu begitu, tak pernah sopan." Chaeyoung mengangguk, mengerti.

Taehyung berbalik, tangannya menggenggam kuncinya dan berjalan menuju mobilnya. Tanpa sadar dan tanpa sengaja berpas-pasan dengan Jungkook yang membuka mobil Namjoon – yang mengantarnya eksklusif hari ini – tak menyadari satu sama lain.

.

"I'm here to back you up, 'kay?"

Jungkook memutar bola matanya, "Aku tahu, Hyung." Ujarnya dan Namjoon mengusak rambutnya sebelum membantunya mengeluarkan lukisan yang hendak dia kirim lagi. Namun dia dapar melihat pria itu dari luar jendela. Jungkook menelan ludah seketika, "Hyung, kau bisa–"

"Menjadi wingman-mu?" tebaknya, sedikit menaikkan sudut bibirnya.

"Kunci saja mobilmu dan bantu aku, Hyung." Pria itu, walau nampak baik, juga tampak seperti seorang maniak perfeksionis yang tak ingin menemukan sejumput kesalahan dalam lukisannya. Jungkook butuh Namjoon untuk mendampinginya.

Namjoon tertawa sebelum menurutinya, masuk ke galeri bersama anak delapan belas tahun itu. Jungkook membuka pintu, membuat bel atasnya berdering lagi dan dia menyeringai lebar, menampakkan gigi kelinci imutnya.

"Hai, Noona," sapanya, "Noona dan… Tuan pembeli." Ujarnya gugup, membungkukkan badan bersamaan dengan Namjoon. "Apa aku terlambat?"

Chaeyoung menggelengkan kepalanya, "Tidak sama sekali." Dia menganggukkan kepala pada Namjoon dan pria itu mengambil tempat di samping adiknya, meletakkan lukisannya di ujung. "Ini Kim Seokjin, dia pembeli lukisanmu."

"Jeon Jungkook." Anak SMA itu menundukkan kepala, "Dan ini Kim Namjoon, dia temanku." Namjoon menganggukkan kepala, tanda salam.

"Aku tak tahu JK sebenarnya adalah anak SMA kelas dua." Ujar Seokjin. "Aku mengharapkan umurmu sedikit lebih tua."

Jungkook menelan ludah, "Banyak yang mengatakan begitu."

"Apa orangtuamu tahu?" dia menggelengkan kepala, "Kau harus memberitahu mereka, mereka pasti bangga."

Namjoon dapat melihat mata sang adik berkaca-kaca, dia tahu, tujuan Seokjin adalah sangat baik, memuji orang yang bertalenta cukup untuk dipajang hasil karyanya, namun dia tak bisa membuat Jungkook menderita lebih lama. Rapper itu berdeham. "Jadi kau akan membeli lukisannya?"

Seokjin mengangguk. "Aku tak tahu berapa harga lukisan-lukisan terdahulumu, apa satu setengah baik-baik saja?"

Apa?

Otak Jungkook berputar kemana-mana, angka-angka hijau di atas latar hitam terpampang di pikirannya. Satu setengaah juta won. Apa perlu dia ulangi? Satu. Juta. Lima. Ratus. Ribu. Won. Bayangkan apa yang bisa dia dan ibunya dapatkan dengan uang sebanyak itu.

Lukisannya tak pernah terjual lebih dari tujuh ratus ribu, tapi Seokjin bersedia membayar begitu mahal demi Sleeping Child. Atau apakah lukisannya memiliki guna-guna yang tak sadar dia sapukan hingga membuat si pemilik bar rela membayar sebegitu banyak?

"Jeon Jungkook?" panggilnya lagi, "Atau itu belum cukup?"

"Tidak!" serunya tanpa sadar, "Itu lebih dari cukup, sebenarnya, itu benar-benar berlebihan. Apa itu tak masalah untukmu?"

Seokjin mengibaskan tangannya, "Dinding barku butuh sesuatu yang segar dan aku tak masalah membayar mahal untuk itu. Lagipula, kau anak SMA, anggap saja uang ini penambah uang jajanmu. Kau bisa mentraktir pacarmu dengan ini."

Namjoon menahan tawanya.

"Tunggu, kau tak punya pacar, ya?" Jungkook menggelengkan kepala, memerah, namun pembelinya hanya mengendikkan bahu. "Artinya ada lebih banyak uang untuk dirimu sendiri, kan?"

Jungkook berakhir menerima secara tunai dan langsung uang satu setengah juta won tersebut – dia penasaran ada berapa banyak uang di dompetnya – dan menyaksikan Sleeping Child-nya dibawa dengan mobil Seokjin yang melambaikan tangan, ramah. Remaja itu mengikuti Namjoon ke mobilnya.

Pria itu meletakkan buku tabungan dan kartu ATM di atas pahanya. "Aku sudah tahu ini akan terjadi selama kau menjual lukisanmu." Dia menatap sang adik. "Kita akan langsung ke bank. Kau harus setidaknya menyimpan beberapa. Uang ini terlalu banyak untuk dibawa pulang dan siapa yang menjamin jika ayah tirimu tak ada di rumah untuk memukulimu."

Jungkook terlalu terpana dengan dua benda di atas pahanya, mengangkatnya dengan hati-hati dan membukanya. Menemukan angka-angka berjejer dengan nominal yang sama. "Kau mengisinya, Hyung? Dan kau tak memberitahuku apapun?"

"Aku bukannya tidak memberitahumu apapun," ujarnya, "Ingat ketika Yoongi mengantarmu pulang saat kau pertama masuk SMA?" dia mengangguk, "Dia meminta izin ibumu untuk membuatkanmu akun. Kau sebentar lagi lulus, Jungkook, artinya kau harus kuliah dan keluar dari rumah. Memberimu lima ratus ribu won setiap bulan takkan membebaniku. Aku juga bergiliran mentransfernya dengan Yoongi."

Remaja itu menundukkan kepala.

"Sekarang kita akan memasukkan satu juta ke bank dan kau bisa membawa lima ratus ribu pulang, ibumu pasti akan–"

Namjoon tak bisa meneruskan ucapannya ketika yang lebih muda menerjangnya dengan pelukan, dan dia dapat merasakan air mata di atas jaketnya. "Terima kasih, Hyung." Isaknya, "Aku bahkan tak tahu, ini seperti tunjangan anak darimu, kau bahkan bukan ayahku."

"Hei," dia menepuk-nepuk punggungnya, "Siapa bilang aku tak bisa menjadi ayahmu? Aku bisa memberimu kasih sayang yang tak bisa kau dapatkan dari ayah kandung dan tirimu, jadi berhenti menangis, oke?"

Remaja itu mengangguk dan berpindah ke kursi shotgun Namjoon, membiarkannya menyetir sambil merenung tentang betapa beruntungnya dia.

.

"Aku berani bersumpah, dia begitu hot! Aku bahkan tak bisa berkedip beberapa saat."

Jin dan Jimin tengah berada di kafe, menghabiskan bottom-time mereka seperti biasa. Jimin tengah menyeruput smoothie-nya sementara Jin terus mengoceh tentang pertemuannya tadi. "Kim Namjoon?" ulangnya, "Si rapper RM, Kim Namjoon yang itu?"

"Yang itu, siapa lagi Kim Namjoon yang kutahu?" protesnya, wajahnya memerah karena berteriak, menggaruk kepalanya. "Mana ada yang tahu JK itu teman dekat RM, mana ada yang tahu?" Jimin merasa pusing setelah diguncang oleh kakak sahabatnya. "Bagaimana bisa anak SMA kelas dua lebih beruntung dariku?"

"Apa dia lebih tampan dari yang dibicarakan di Twitter?"

Seokjin membulatkan matanya, seolah dengan membulatkannya hingga hampir lepas akan membuat biasnya itu datang dan muncul di hadapannya lagi. "Hotter." Cicitnya sebelum menggigit bibir bawahnya.

"Fuck him already." Jimin memutar bola mata, "Setidaknya kau harus tahu orientasinya, Hyung, apa kau tahu betapa sulitnya aku ketika melihat Yoongi Hyung bersama pacarnya itu?"

"Kukira kau sudah selesai dengan fakta kalau seniormu itu straight."

Selama kuliah, ada satu senior yang selalu Jimin kejar, bahkan membuat Taehyung pusing dengan rentetan Yoongi yang seperti ini dan itu. Setelah senior mereka itu memacari Jennie, anak fakultas hukum yang berjenis perempuan – parahnya adalah Jennie merupakan teman satu SMA mereka dulu – Taehyung dan Seokjin harus bergantian menemaninya yang meraung patah hati setiap malam.

Jimin hanya memutar mata mendengar ucapan yang lebih tua, "Aku bahkan tak tahu dia ada dimana sekarang."

"Cough, AgustD, cough."

"Hyung!" seru Jimin, merasa kesal karena yang lebih tua mengungkit cinta monyet masa lalunya, menghembuskan nafas kesal. "Tak akan ada kemungkinan kami bertemu lagi, dia sudah terlalu jauh."

Demi ketampanannya, Seokjin takkan pernah memberitahu Jimin bahwa Yoongi adalah pelanggan setia barnya yang selalu datang setiap kali teman adiknya itu tak ada. "Debut saja sebagai penyanyi lalu lakukan collab."

"Menurutmu itu mudah?"

"Tak perlu berbohong tentang suaramu, Anak Mungil, aku bisa mendengarmu bernyanyi di kamar mandi beberapa kali." Ujarnya, "Aku juga mendengarkan demo mp3-mu."

"Kau bercanda, Hyung."

"Upload saja ke YouTube, mungkin dia akan menontonnya."

"Sekali lagi, menurutmu itu akan mudah?"

Seokjin mengendikkan bahunya, "Terserah kau saja." Sebelum menghela nafas, "Kim Namjoon, Kim Namjoon, kau dimana sekarang?"

.

Tumbukan lagi.

Ini sudah pukul delapan malam dan jujur saja, Jungkook tak punya waktu untuk ini, gurunya memberinya tugas ekstra dan dia harus menyelesaikannya malam ini. Beberapa menit yang lalu adalah saat-saat ketentraman dimana dia memberikan uangnya pada sang ibu sebelum ayah tirinya datang dan menggunakannya untuk punching bag lagi.

Dia ingin lari.

Tapi ibunya tengah bersembunyi di dalam kamar dan tak bisa dia tinggalkan begitu saja, lagipula dia terlalu lemah dan kecil untuk melarikan diri dari ayah tirinya. Sampai dia melontarkan satu tendangan dan dengan sempoyongan pergi ke sofa keras mereka, menuang bir lagi.

Jungkook mengambil kesempatannya dan berlari keluar, mengetuk jendela kamar untuk mengatakan pada ibunya bahwa sebaiknya dia tak keluar sebelum membuka pagar, masih dengan seragam dan tasnya, pergi.

.

Rumah Yoongi kosong.

Pagarnya terkunci rapat dan Jungkook tak bisa masuk walaupun dia menggedor-gedornya berkali-kali. Kemana kakak sepupunya pergi? Dia mengecek ponselnya, hanya menemukan satu Line yang untungnya berasal dari orang yang rumahnya dia ketuk sekarang ini.

Yoongi Hyung:

Aku di Rose Bud, jadi beritahu aku dulu kalau mau datang.

Jeon JK:

Hyung, aku sudah di

Jungkook menghapus kembali pesannya, memutuskan bahwa setiap kali kakak sepupunya itu pergi ke bar, dia tengah berada dalam masalah, tidak untuk menyebutkan dia bisa saja mendapat lebih banyak masalah jika pergi kesana. Jadi Jungkook membuka nomor kontaknya, mencari tulisan Namjoon Hyung sebelum memintanya menjemputnya. Dia akan terkena masalah jika pergi ke bar sendirian, setidaknya dia butuh teman, dan tutornya adalah teman terbaik yang bisa dia pikirkan.

Klakson mobil Namjoon terdengar dan Jungkook segera bergegas masuk ke kursi depan, menunggunya berjalan. "Kau yakin? Dia di bar bukan taman bermain."

"Aku sudah delapan belas tahun, Hyung, anak-anak seumuranku di luar sana sudah menggunakan id palsu dan minum sepuasnya." Yang lebih tua menjitak kepalanya, kesal. "Menyetir saja, Hyung."

.

"Fuck it." Yoongi mengumpat seketika alkohol itu masuk ke tubuhnya. Hari ini adalah hari pertengkaran lainnya dengan Jennie. Sejak mereka lulus kuliah, hubungan mereka tak pernah baik, tak pernah sehat, namun tak ada yang mau menyerah duluan.

Dan disinilah dia, duduk di bar seperti biasa. Bartender yang sudah sangat dia kenal hanya duduk di depannya. "Kalian harus menyelesaikannya baik-baik, bukannya seperti ini."

Dia tahu Seokjin ada benarnya. Entah ini berarti make-up sex lainnya atau ciuman terakhir bagi mereka. Dia setidaknya harus menyelesaikannya, Yoongi adalah seorang laki-laki, yang seharusnya tegas jika terjadi seperti ini, namun Jennie telah lebih dulu menendangnya keluar.

Seseorang mengetuk atas meja bartendernya dan Seokjin mendongak. Jimin. Matanya membulat, ini bukan pertanda baik. Mata si kecil meliriknya, "Apa yang dilakukan Min Yoongi sialan disini?"

.

Sementara di luar, mobil Namjoon telah terparkir sempurna dan Jungkook berlari masuk, hanya untuk ditahan oleh penjaga depan. Garang dan sangar, bocah SMA itu. "Mana tanda pengenalmu?"

Jungkook menelan ludah, yang lebih tua berdeham, mengenakan kacamata hitamnya dan menyerahkan segepok uang di depan mereka. "Dia denganku." Mereka menunggu dua orang itu menghitung dua ratus ribu won mereka sebelum menyelip masuk.

Remaja itu sudah hampir berteriak memanggil kakaknya ketika inderanya terbuka lebar kembali, warna-warni biru menghipnotis memenuhi pikirannya, musik jazz lembut terdengar sempurna dengan lembutnya warna-warni biru gelap.

Namjoon lebih dulu menghampiri Yoongi, yang berebut alkohol dengan Jimin – yang tak memperbolehkannya minum lebih banyak – melontarkan sumpah serapah pada yang lebih muda. Rapper itu menundukkan kepala pada Seokjin, yang jelas mengenalinya, sebelum menanyakan tagihan yang lebih tua.

Biru tua.

Semakin gelap.

Gelap.

Dan gelap.

Hitam keabu-abuan.

Dengan hanya sejumput cahaya di sekitarnya.

Jungkook masih terpana, di atas panggung, dengan saksofonnya, pria berambut mullet coklat menutup matanya, mengikuti alunan setiap bar dan melodi yang tercipta. Warna ini begitu sempurna, Jungkook butuh judul lagunya.

Dan nama orang itu.

Setidaknya inisialnya.

Dia perlu tahu.

Siapapun itu. Matanya terus mengikuti permainan warna dan lagunya, bagi Jungkook, itu terlalu bagus untuk dilewatkan, dia tak lagi mempedulikan Yoongi yang bersikeras tak ingin pulang sementara Namjoon berusaha membujuknya.

Matanya tak berkedip sama sekali dan kakinya terasa kelu. Dia tak bisa mengatakan apapun walau sang kakak berusaha memanggilnya untuk ikut pulang. Jungkook ingin tinggal hingga lagu ini selesai, mungkin ada keberuntungan berikutnya yang membiarkan mereka berkenalan. Dia hanya butuh sejumput kesempatan.

Hingga pada satu detik yang menentukan, mata mereka beradu.

.

Cliffhanger!

Jadi, aku yakin kalian notice kalau ada beberapa karakter Blackpink yang masuk kemari, not to worry for you guys whom sensitive enough, ini bukan fanfiction BTSxBlackpink, I gave you my words.

Dan kalian juga pasti notice kalau Jungkook mengalami kelainan bernama synesthesia. Sekarang apa itu synesthesia?

Synesthesia adalah kondisi dimana indera pendengaran seseorang bekerja bersamaan dengan indera lainnya sehingga membuatnya mampu menggambarkan suara yang dia lihat. Disini, Jungkook mengidap synesthesia tipe chromesthesia, ini membuatnya bisa melihat warna suara yang dia dengar. Catatannya adalah, Jungkook tidak melihat warna tersebut seperti berhalusinasi, tidak, tapi dia melihat itu dalam pikirannya.

Aku membuat kasus Jungkook, yang melukis dengan kemampuan chromesthesia-nya seperti Melissa McCracken, kalian bisa melihat di Google atau situs lainnya, bahwa dia adalah wanita yang melukis warna-warni lagu yang dia dengarkan. Aku melihat beberapa lukisannya dan itu sangat sangat indah.

Aku sengaja menulis ini di author notes in case kalian kurang mengerti tentang apa itu synesthesia. But however, aku bukan ahlinya, dan mungkin ada beberapa kesalahan karena mungkin research-ku belum sempurna, kalian bebas memberitahukan itu padaku lewa review.

Okay, this is the very first chapter and I really wanted to know about your opinion about this story.

Like, how was it? Rough or too boring?

Aku sangat butuh review kalian karena ini adalah sebuah cerita, dan yah... karya selalu membutuhkan kritik dan saran, seperti yang seharusnya. So, type your review and give me a feedback.

Oh! Aku juga minta maaf jika terjadi grammatical error atau typo yang meleset, aku selalu mengedit ceritaku sebelum publish, tapi ada saatnya dimana mataku melakukan kesalahan dan terjadi error sedikit. Ketika itu terjadi, aku minta maaf.

Until next update,

Yoon Soo Ji, out!