CHASE AFTER YOU

.

.

.

YOONMIN

.

.

.

Summary: Park Jimin (23), seorang manager artis yang sedang berusaha keras mencari kekasih impiannya yang sempurna, harus berakhir menerima kenyataan kalau dia jatuh cinta pada Min Yoongi (17), seorang anak SMA brandalan yang jauh dari kriteria idealnya.

.

.

.

"Bagaimana apanya? Dia pria yang membosankan" Jimin, 23 tahun, baru saja pergi kencan buta setelah tidak tahan melihat teman-teman kantornya memiliki kekasih masing-masing.

"Harus yang bagaimana lagi, Park Jimin? Ini sudah ke empat kalinya kau pergi kencan buta dan selalu saja ada yang salah dengan calonmu. Karena wajahnya mesumlah, pekerjaannya tidak menjanjikanlah, terlalu banyak omonglah, sekarang kau bilang membosankan, nanti apa lagi?" Omelan yang Seokjin ( salah satu manager artis yang juga teman Jimin), hanya dianggap angin lalu oleh Jimin,

Jimin hanya menjauhkan ponselnya dari telinga dan terus berjalan menuju mobilnya diparkirkan. Ditangannya ada minuman coklat hangat yang menemaninya.

"Hyung, mau bagaimana lagi? Dia membosankan. Obrolan kami tidak nyambung, dia juga tidak bisa membuatku berdebar-debar" Jimin memutar bola matanya. "Aku akan pulang sekarang, hyung. Nanti ku kabari lagi, bye" Jimin mematikan ponselnya, memasukkan kesaku celana dan merogoh tasnya untuk mengambil kunci mobil.

"Shh... brengsek"

Sayup-sayup Jimin bisa mendengar suara desis kesakitan dan umpatan pelan didekatnya. Bulu kuduk Jimin merinding dan matanya menatap awas kesekitaran daerah yang mulai sepi. Jimin baru saja bersiap lari saat dia melihat sepatu dan celana sekolah disudut gang dekat Jimin memarkirkan mobil. Merasa penasaran, Jimin berjalan mendekat.

"Sakit sekali. Dasar sialan"

Jimin makin berjalan mendekat saat mendengar umpatan itu makin jelas ditelinganya. Hati-hati Jimin melongokkan kepalanya diantara gang sempit yang remang itu dan terkejut melihat anak sekolah yang sedang bersandar didinding dengan wajah babak belur sedang memegangi bahunya.

"Hey, kau tak apa?" Jimin membuang minumannya sembarangan dan berlari kearah anak sekolah itu dengan panic.

"Menjauh dari ku!" teriak anak itu lagi.

"Aku ingin menolongmu! Yah! Berani sekali kau berteriak pada yang lebih tua!" Jimin menatap tajam anak sekolah itu.

"Siapa kau?"

"Park Jimin. Kau bisa berdiri? Astaga, anak jaman sekarang, bukannya belajar malah berkelahi" Omel Jimin.

"Min Yoongi" Jimin membaca nama yang tertempel dibaju anak sekolah itu pelan. "Bisa berdiri? Dimana rumahmu?"

Yoongi hanya mendongak menatap Jimin yang masih berdiri didepannya dengan perasaan kesal. Yoongi berdiri dengan kesusahan, kakinya sakit dan bahunya bisa dipastikan terkilir karena berkelahi tadi sore.

"Yah! Mau kemana?" Tanya Jimin bingung saat Yoongi berjalan melewatinya begitu saja.

"Hey, bocah!" Jimin memegang bahu Yoongi yang sakit tanpa sengaja dan membuat Yoongi berlutut karena rasa sakit yang luar biasa.

"Sakit!" teriak Yoongi kesal.

"Ma-maaf. Sini ku bantu" ucap Jimin merasa bersalah. "Kita ke rumah sakit saja ya" ucap Jimin.

.

.

.

"Bahunya terkilir, ada beberapa memar dan luka kecil dipunggungnya, dan luka diwajahnya tidak serius, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan" jelas dokter jaga di IGD yang menangani Yoongi pada Jimin. "Kau hyungnya?"

"Oh, ne" Jimin mengangguk cepat.

"Aku rasa dia butuh baju bersih. Baju seragam sekolahnya robek, celana yang dia pakai juga sudah kotor terkena tanah, takutnya akan ada infeksi kalau dia memakai bajunya lagi" jelas dokter itu lagi.

"Baju ya..." guman Jimin. "Ah, sebentar dokter akan saya ambil dulu. Apa anak itu tidak perlu di rawat?"

"Tidak perlu. Badannya kuat" Dokter itu tertawa kecil.

Setelah mengambil baju, Jimin mendatangi Yoongi yang ada disalah satu bilik IGD, setelah lukanya dibersihkan dan diberikan obat pengurang rasa sakit. Jimin terkekeh melihat wajah yang kini sudah jelas Jimin lihat bentuknya. Terlihat sekali Yoongi ini anak nakal, auranya tidak bisa berbohong, belum lagi kilat jahit dikedua mata itu. tapi Jimin juga harus mengakui, anak bernama Min Yoongi ini memiliki wajah yang tampan dibalik luka-luka yang ada diwajahnya.

"Pakai ini" Jimin mengulurkan baju miliknya kearah Yoongi yang sedang bertelanjang dada. Seorang perawat sedang membalut bahu Yoongi yang terkilir dengan perban.

"Kau siapa?" Tanya Yoongi bingung.

Jimin mengerjab tak percaya. "Aku yang menolongmu, bocah!"

"Oh, kau" Yoongi menatap Jimin lurus. Tadi dia memang tidak melihat jelas wajah yang orang yang menolongnya, sampai di rumah sakitpun, Yoongi langsung dibawa oleh suster dan perawat untuk diobati,

"Pakai" Jimin mengulurkan lagi baju yang dibawanya.

"Gomawo" Yoongi mengambil baju itu dengan tangan kirinya. Tangan kanannya masih sakit untuk digerakkan.

"Sudah selesai. Kalian sudah boleh pulang" ucap perawat itu senang.

"Gomawo suster" Yoongi tersenyum lebar dibuat-buat.

"Sakit begini kau masih sempat-sempatnya tebar pesona?"

Perawat itu hanya tertawa dan pamit untuk pergi dari bilik Yoongi.

"Dimana rumahmu?"

Yoongi menaikkan alisnya, menatap Jimin dengan curiga. "Kau bukan om-om genit yang suka memanfaatkan anak sekolah yang sedang lemah sepertiku kan?"

"Yah! Bocah! Siapa yang kau panggil om-om huh? Enak saja! Aku masih muda tau" Jimin meradang.

"Ya, siapa tau saja" Yoongi mencibirkan bibirnya.

"Anak ini" geram Jimin. "Cepat pakai bajumu!"

"Ne... ne... kau akan mengantarkan ku pulang, kan?" Yoongi melompat turun dari ranjang rumah sakit, mengambil baju Jimin dan berusaha memakainya sendiri, dan tentu saja gagal.

"Tidak bisa dipakai" adu Yoongi.

Jimin menutup matanya erat agar emosinya bisa ditahan. "Hanya tinggal dipakai, kan?"

"Tanganku sakit" Yoongi menunjukkan bahunya yang dibebat.

"Sini ku pakaikan!" Jimin akhirnya mengalah, mengambil baju kemeja miliknya dari tangan Yoongi dan memakaikannya pelan-pelan.

Saat sedang sibuk memakaikan Yoongi baju, Jimin tidak sadar kalau wajahnya sedang diperhatikan oleh Yoongi. Jimin tersadar saat dia akan mengancing kancing terakhir paling atas, keduanya bertatapan tepat dimata dengan Yoongi yang memiringkan kepala dan tersenyum miring padanya.

"A-apa?" Jimin menatap bingung pada Yoongi yang masih saja menatapnya dengan senyum menyebalkan dibibirnya.

"Apa?" balas Yoongi.

Jimin baru menyadari betapa beratnya suara anak SMA didepannya ini. Berbeda dengan suaranya yang agak.. melengking?.

"Dasar tidak jelas" Jimin memutus kontak mata antara dia dan Yoongi lebih dulu, berjalan cepat-cepat meninggalkan Yoongi yang terkekeh memandangi punggung Jimin.

.

.

.

"Kau tinggal disini?" Jimin menatap kesekeliling koridor apartemen yang terbilang cukup mewah dengan dinding warna putih disekelilingnya.

"Ne." Yoongi memasukkan password apartemennya dan berjalan masuk kedalam lebih dulu.

Tanpa disuruh, Jimin berjalan mengikuti Yoongi untuk masuk kedalam apartemen itu. apartemennya tidak terlalu lebar, isinya juga minimalis, ada dua kamar, ruang tamu kecil, balkon, dan dapur mini disana.

"Kau tinggal dengan siapa?" Tanya Jimin lagi sambil meletakkan bungkusan plastic yang berisi baju seragam dan sepatu Yoongi diatas meja.

"Sendirian"

"Orangtuamu?"

"Orangtuaku..."

Jimin menatap lurus pada Yoongi yang sedang menunduk, wajahnya terlihat sendu, membuat Jimin merasa bersalah entah untuk hal apa.

"Ma-maaf, aku tidak bermaksud membuatmu sedih" Jimin benar-benar merasa bersalah sekarang, didalam kepalanya sudah berputar kejadian buruk seputar orangtua Yoongi.

"Mereka di Daegu" jawab Yoongi. "Masih sehat, hidup dan bernafas"

Rasanya Jimin ingin menendang kepala Yoongi sekarang juga. Dia merasa dipermainkan dengan tingkah laku anak laki-laki didepannya ini. Dia benar-benar merasa bersalah, bahkan meminta maaf atas pertanyaannya, dan ternyata anak ini hanya... astaga...

"Bocah sialan" geram Jimin. Tangannya terkepal disamping tubuhnya karena kesal. Bisa Jimin lihat kilat jahil yang terlihat jelas dimata Yoongi, belum lagi akhirnya Yoongi terkekeh melihat tingkah Jimin.

"Oh, ya, ngomong-ngomong, tunggu sebentar disini" Yoongi berlari menuju kamarnya, membukanya lebar-lebar dan berlari kearah lemari untuk mengambil sesuatu dan kembali keruang tamu dimana Jimin berada.

"Ini" Yoongi memberikan beberapa lembar uang pada Jimin.

"Apa maksudnya?" Jimin mengernyit.

"Sebagai ganti uangmu yang terpakai di rumah sakit" Yoongi menggerak-gerakkan tangannya agar Jimin segera mengambil uang dari tangan Yoongi. "Kurang ya? sebentar ku..."

"Yah, bocah!" panggil Jimin saat Yoongi akan pergi ke kamarnya lagi.

"Wae?"

"Kemarikan uangnya" Jimin menggerakkan telapak tangannya.

Yoongi bergerak kedekat Jimin lagi, memberikan uang dari tangannya pada Jimin. Saat Jimin ingin menarik uang yang ada ditangan Yoongi, Yoongi menahan tangannya dengan tidak melepaskan uangnya.

Jimin mengambil nafas dalam agar tidak menghajar Yoongi sekarang juga. "Kau berniat mengganti uangku tidak, sih?" geram Jimin.

"Tentu saja"

"Lalu kenapa kau menahan uangnya!" bentak Jimin.

"Ini namanya salam perpisahan" balas Yoongi.

Jimin lagi-lagi berusaha menahan diri agar tidak menendang Yoongi sekarang juga. Kenapa juga dia harus bertemu anak seperti Yoongi, yang paling Jimin sesali lagi, kenapa juga dia mau membantu anak ini dari awal.

"Lepaskan tidak" ada nada ancaman dari cara Jimin bicara.

Yoongi menatap Jimin lurus tapi tetap mempertahankan uangnya.

"Yah!" Jimin memukul bahu Yoongi karena kesal, membuat Yoongi meringis kesakitan lagi karena Jimin memukul bahunya yang terkilir.

Yoongi melepaskan uangnya dan terduduk di sofa ruang tamunya, wajahnya benar-benar terlihat kesakitan. Yoongi mendesis, perlahan wajahnya terlihat basah karena keringat yang mulai keluar dari tubuhnya.

"Ma-maafkan aku" Jimin berlari kearah Yoongi, mendudukan diri disamping Yoongi dan kebingungan harus melakukan apa, sementara Yoongi sudah menutup matanya erat karena rasa sakit yang dia rasakan dibahunya.

"Y-yoongi, maaf" ucap Jimin takut.

"Sakit.. sekali" Yoongi meringis lagi, membuat Jimin makin panic.

"Yoongi maaf" sesal Jimin, wajahnya benar-benar pias karena ketakutan yang dia rasakan sekarang.

Jimin mengusap-usap punggung Yoongi yang terasa lembab karena keringat, berharap dengan begitu bisa mengurangi rasa sakit yang Yoongi rasa dan perlahan, Yoongi mulai merasa tenang meskipun masih meringis kesakitan.

"Maafkan aku" sesal Jimin.

"Sakit sekali, tau!" geram Yoongi.

"Maaf" sesal Jimin makin menjadi. Kepalanya menunduk sedih karena Yoongi membentaknya. Salahnya juga kenapa memukul bahu Yoongi tadi.

Yoongi melirik Jimin yang duduk disampingya yang terus saja mengusap-usap punggungnya. Yoongi terus memperhatikan wajah bersalah Jimin dengan bibirnya yang tertekuk dan membuatnya tanpa sadar tersenyum kecil. Lama Yoongi memperhatikan Jimin tanpa diketahui oleh Jimin, merasa gemas, perlahan Yoongi mendekat, menarik dagu Jimin perlahan.

"A-apa?" Tanya Jimin panic melihat wajah Yoongi yang cukup dekat dengannya.

Tidak ada jawaban yang Jimin terima, yang ada hanya bibir Yoongi yang dengan tidak sopan menempel pada bibirnya dan menyesapnya lembut.

Jimin membolakan matanya, tangannya menahan pada dada Yoongi agar tidak semakin mendekat padanya. Badan Jimin terasa berubah menjadi batu sesaat.

Jimin mulai panic saat merasakan lidah Yoongi yang berjalan masuk kedalam bibirnya, menyapa lidahnya dan memberikan sensasi aneh pada tubuh Jimin. Dada Jimin berdebar keras.

Yoongi makin berani karena Jimin tidak melakukan pergerakan apapun untuk menolaknya, saat Jimin ingin didorong agar tertidur di sofa, saat itulah Jimin mendapatkan lagi kesadarannya sepenuhnya setelah sempat terlena dengan ciuman dari anak sekolah yang sedang mendominasinya sekarang.

Jimin mendorong dada Yoongi dengan keras, membuat Yoongi tersentak dan ciuman itu telepas begitu saja. Jimin buru-buru berdiri tanpa melihat Yoongi lagi, berjalan cepat meninggalkan Yoongi yang masih terdiam di sofa.

Saat suara pintu tertutup dari luar, Yoongi berkedip dan seringaian muncul dibibirnya.

"Aku pasti sudah gila" Yoongi terkekeh sendiri diruang tamu.

.

.

.

TBC