[I love you.]

.

.

.


MURAI TERKUAI

Disclaimer : I do not own Naruto. Naruto © Masashi Kishimoto

I don't gain any commercial advantage by publishing this fanfic. This exactly is just for fun.

Story © Sukie 'Suu' Foxie


.

.

.

Kata yang tak akan pernah sampai,

Isinya tak semerbak bunga merampai.

Dibawa angin, kelopaknya memburai.

Lalu bisik-kisik, Berhentilah berandai.

.

"Aku akan menyerah," kata si pirang itu dengan gegabah. "Aku akan menyerah tentangmu. Aku akan melepaskanmu."

Laki-laki di hadapannya termenung. Jalanan ramai, riuh-rendah di sekeliling, tapi telinganya terasa berdengung. Apa ia akan segera menjadi tuli? Tak akan lagi sanggup mendengar kata dan berbagai ekspresi emosi?

Si pirang menghela napas. Di wajahnya, kini tampak satu senyuman.

Di mata Sai, senyuman itu bagaikan senyuman manekin yang sering ia lihat di toko-toko pakaian. Palsu dan tak meyakinkan.

.

Risalah rindu itu mekar—berhelai-helai.

Membius, memabukkan, membuai.

Piring-piring berisi pai,

Menggoda Sang Jarak agar tak merapal lerai.

.

Pertemuan mereka adalah sesuatu yang indah. Pertemuan setelah sekian lama—setelah berkali-kali dibatalkan dan direncanakan ulang. Pertemuan pertama setelah dipaksa berpisah. Pertemuan yang selalu dikhayal dan semestinya dikenang.

Jika seperti ini, kenangan pahit namanya.

"Kau berhak dapat perempuan lain yang lebih baik, Sai. Maksudku …." Si pirang terdiam lama.

Kalau memang kau mau menyerah, mengapa kau mengusulkan pertemuan ini untuk ada?

Namun tidak. Sai hanya menatap Ino yang kini memilih mengalihkan pandangannya seolah ada hal lain yang menarik di jalanan yang padat itu.

.

Perasa mati, kaku tiada henti, tangis berderai.

Kecut, masam, tenggakan racun sesirup cermai.

Apa itu pekikan melampaui ramai?

Hanya ia saja―Wahai Burung Murai.

.

"Maksudku," akhirnya perempuan itu kembali bersuara, "seharusnya sudah sejak lama aku menyerah."

"Sejak lama?" Sai berusaha menggali kejelasan. "Sejak kapan pastinya?"

"… Semenjak kita berpisah hari itu."

Sai menyipitkan mata―berusaha mencari kebohongan dari kata-kata itu. Tanpa sadar, ia pun mengepalkan tangan erat-erat.

"Kau serius, Ino?"

.

Ayal pendusta, melebur, menguap, cinta mengurai,

Membunuh dan lantas menutup gerai.

(mencekik)

Sesak terbungkus tirai selampai,

(mencekik)

Di bibirnya terselip utuh teratai,

(mencekik)

Bertangan terkunci rantai.

(tak kuasa lagi memekik)

.

"Sudahlah."

.

Sudah, sudah! Sudah!

Sudah selesai!

.

"Jangan diperpanjang dan biarkan aku menyerah dengan tenang. Oke?"

"Kau … naksir cowok lain?"

Yamanaka Ino menggeleng terburu-buru. Mulutnya sesaat hendak berucap, tapi Sai melihat perempuan itu kembali mengatupkan mulut dan menelan ludah.

Lalu, senyumannya kembali terkembang. Lebih lebar, lebih bersinar. Tak terasa lagi adanya kepura-puraan.

Tuluskah?

Aku mencintaimu.

Perempuan itu menarik napas panjang. Dengan suara riang, ia berkata kemudian,

"Iya. Kayaknya …."

Aku mencintaimu ….

.

Usai.

Aku bersimpuh di lantai,

Menyerah pada badai.

Kutukan hati yang lari dari semai,

Kerap sendirian bertikai,

Hingga melemah, melempai.

Akan kutuai:

.

Sai belum bisa membalas apa-apa. Hanya jantungnya yang semakin berdetak tak beraturan. Tak nyaman. Ingin ia berlari pergi, pun ingin ia meluapkan isi hati agar perempuan itu tak jadi pergi.

Tapi setelah ini, mereka akan segera berpisah lagi, 'kan? Jauh, Ino di sana―di negara yang berbeda untuk memburu cita. Sai ditinggal di sini―tak bisa menggapai selain lewat mimpi.

Terlalu jauh. Tak terjangkau.

Dan entah kapan mereka bisa bertemu lagi ….

.

Sepenggal cerita usai.

.

"Begitu?" ujar Sai akhirnya.

Ino menggangguk pelan. Tangannya kemudian terentang, mengundang.

"Peluk aku! Untuk terakhir kalinya. Hehe!"

Sai terpaku. Hanya diam menatap lama. Seulas senyum ia sunggingkan kemudian, diikuti sebuah gelengan kepala.

"Semoga berbahagia."

Setelahnya, Sai pun berlalu melenggang, tanpa mengatakan apa-apa lagi pada Ino. Ia juga tak menoleh barang sekali pun; seakan tak ada bimbang—meski hanya sedikit.

Apa yang Ino harapkan? Sai tak mungkin lagi menyambut satu pelukan hangat. Karena jika itu ia lakukan …

… mungkin ia tak akan sanggup melepaskan.

.

Tak pengaruhnya gravitasi, elok ekor bak perisai,

Tinggi semampai,

Menentang langit berawankan kapas tercerai-berai,

Lantas kicau menantang petik-petik kasar dawai.

.

Di sisi lain, Ino termangu. Tangannya sudah bergantung lemah tanpa daya di sisi-sisi tubuh. Harusnya ia tahu; seberapa dingin Sai bisa memperlakukannya.

Berkebalikan dari itu, langit begitu biru. Matahari masih benderang dan angin hangat bertiup lembut memanjakan.

Kepala Ino refleks menengadah. Ia tak berhasil. Pahit yang mati-matian ia sembunyikan akhirnya tumpah.

Ingin ia mulai melangkah dan mengejar laki-laki yang kini hanya terlihat sosok punggungnya. Namun jemari lebih cepat meraih ponsel yang ada di saku. Dengan mata berkaca-kaca, ia mulai mengetik baris-baris panjang: mengetik seluruh perasaan, mengungkapkan kebusukan.

Harus tahu―ia harus tahu yang sebenarnya. Ino bukan ingin menyerah.

Sai harus tahu!

Harus ….

Tidak.

Sai tidak harus tahu.

Ibu jari Ino menekan tombol hapus. Deretan baris di layar ponselnya pun bersih tak berbekas.

Sudah.

Kaki Ino melangkah ke arah sebaliknya. Ia akan menyambangi hotel dan mempersiapkan penerbangannya kembali ke negara tempat tinggalnya saat ini.

.

Burung Murai beruntai―

.

Sai, maafkan aku!

Sesungguhnya, bukan itu yang ingin kukatakan!

Kau tahu betapa keras kepalanya aku.

Jika aku ingin menyerah, jika aku bisa menyerah,

sudah sejak lama kulakukan.

Aku tak sedang jatuh cinta pada orang lain.

Aku masih mencintaimu.

Aku masih sangat mencintaimu.

Tapi kau tahu, dengan adanya jarak ini,

aku akan selalu merindu.

Tiap malam, aku akan selalu menangisimu.

Tiap malam, aku akan selalu mengkhayal tentang pertemuan kita selanjutnya …

yang entah kapan akan terjadi.

Dan saat itu kukatakan padamu, kau jadi akan mencemaskanku, 'kan?

Lalu kau akan menyalahkan dirimu sendiri yang tak bisa berbuat apa-apa.

Lalu kau akan mengasihaniku yang selalu bersedih.

Lalu kita akan bertengkar,

saling melukai

saling menyakiti

lagi.

Aku tak mau!

Aku berharap, aku bisa lebih kuat, sampai saatnya kita benar-benar dipersatukan.

Aku berharap, aku bisa lebih tegar dan tak akan kalah dari jarak.

Sayangnya, aku masih Ino yang dulu.

Yang cengeng, yang selalu merajuk ingin meminta perhatianmu lebih,

yang selalu meminta dikabari, yang selalu gelisah ….

Iya, aku masih sejelek itu.

Karena itu aku ….

.

bersorak terkuai.

.

[I love you too.]

[Oyasumi.]

.

.

.

END


Dear someone whom I love dearly,

"Genki wo dashite ne!"

With love,

Suu.