I do not own Naruto
Warning : SasuFemNaru, one sided SasuSaku, semi-canon, alive Neji, dimensional travel *i warn y'all*
Rating : Mature (for mature contents of course, including some abusing scene and lime/lemon in the future chapter)
Genre : Romance, Adventure, Drama, Family.
A/N : Another sasufemnaru fic... hm, maafkan kelabilanku ini. aku tahu masih ada tiga ff yang on going, tapi ide ini udah cukup lama meneror kepalaku:") jadi ya gitu.. /plak/ di sini dan di chapter depan mungkin bakal ada sedikit plot holes atau semacamnya, tapi akan kuusahakan biar segala konflik bisa dijelaskan dengan baik. selain itu, aku nulis ini hanya untuk menyalurkan kebosananku, jadi yaa maafkan kalau hasilnya kurang memuaskan. note tambahan di sini Sasuke taunya naruto laki ya, tapi ada beberapa pihak yg udah tau naruto sebagai cewe. sekian.
Selamat Membaca!
ooOoo
Uchiha Sasuke adalah orang yang sulit dimengerti. Ia mempunyai kehidupan yang terlihat sempurna di mata para warga Konoha. Segala yang diimpikan mereka seolah dipunyai olehnya. Mulai dari kekuatan, kekuasaan, hingga keluarga yang senantiasa mendukungnya ketika ia jatuh.
Uchiha Sasuke adalah definisi dari pencapaian tertinggi seorang shinobi.
Namun, di saat bersamaan, ia juga merupakan definisi dari kesendirian dan kehampaan.
Keadaan itulah yang membuat para warga desa Konoha menyebut sang Nanadaime sulit dimengerti. Bagi mereka, kehidupan yang dimiliki Sasuke sangatlah menakjubkan. Dikenal sebagai shinobi terhebat di masanya, menjadi Hokage ketika usianya baru mencapai dua puluh satu, kemudian mempunyai seorang istri yang amat mencintainya--siapa juga yang tidak menginginkannya?
Inuzuka Kiba merasa iri dengan apa yang dimiliki mantan temannya ini. Dengan segala kesalahan yang dulu ia perbuat, seharusnya Sasuke tidak akan pernah bisa berada di posisinya yang sekarang. Memberikan gelar Hokage kepada Sasuke terdengar seperti lelucon. Tujuh tahun lalu, ketika Hatake Kakashi menyatakan Sasuke sebagai penerusnya, Konoha seolah baru saja dilempari bom atom. Berita pergantian kepemimpinan itu meroket ke tingkat pertama topik yang paling dibicarakan selama sebulan penuh. Semua orang terkejut, terutama mereka yang mengetahui track record sang Uchiha. Berbagai asumsi bermunculan. Segala jenis pertanyaan dan juga penolakan tidak dapat dihindari.
Hingga kemudian, di tahun pertama kepemimpinannya, ia memutuskan untuk melepas status lajangnya dengan menikahi seorang wanita yang tidak lain adalah Haruno Sakura--perempuan yang selama ini mati-matian ia abaikan meskipun seluruh teman mereka tahu betapa besar perasaan sang ninja medis kepadanya. Di titik ini, sebuah asumsi baru kembali muncul. Asumsi ini dikaitkan dengan kematian teman baik sang Uchiha.
Berita tentang Uzumaki Naruto yang secara personal mempercayakan posisi Hokage di masa depan kepada teman baiknya pun menyebar di sepenjuru Elemental Nations, tidak hanya Konoha. Hal ini dikarenakan nama Naruto yang memang sebesar itu. Pengaruhnya tidak hanya sebatas Konoha, namun juga meluas ke desa-desa shinobi yang lain. Mereka semua mendengar isu mengenai Naruto yang mempercayakan dua hal yang amat berharga baginya kepada Sasuke. Yang pertama adalah Konoha dan yang kedua adalah Haruno Sakura, satu-satunya perempuan yang pernah mengisi hatinya ketika ia hidup. Meskipun hanya sebuah isu, berita tersebut berhasil memadamkan berbagai pertanyaan menyangkut pengangkatan Sasuke sebagai Hokage Ketujuh.
Kiba merupakan salah satu dari sekian banyak orang yang tutup mulut setelah mendengar berita itu. Sebagai teman yang cukup dekat, ia begitu menghargai Naruto. Jadi, walaupun terdapat banyak kejanggalan menyangkut dia, Kiba tetap menghargai Naruto, termasuk keputusannya untuk mempercayakan Konoha dan Sakura kepada Sasuke. Selain itu, dipimpin oleh sang Uchiha sejak tujuh tahun lalu tidaklah buruk. Sasuke sangat bertanggung jawab dan dapat diandalkan. Jika memang posisi yang ia dapat sekarang ini merupakan permintaan terakhir Naruto, Sasuke telah mengabulkan permintaan itu dengan serius dan amat baik.
Menyerahkan dokumen hasil rapat Dewan Desa kepada penasihatnya, Nara Shikamaru, Kiba mendengarkan pidato singkat Sasuke yang selalu ia gunakan untuk menutup rapat. Tidak lama setelahnya, rapat Dewan Desa yang terdiri atas para Kepala Klan, ketua berbagai divisi, Komandan Jōnin, Komandan Anbu, dan juga Hokage itu sendiri pun dibubarkan. Dari banyaknya orang yang hadir, Sasuke adalah orang pertama yang keluar dari ruang rapat.
Helaan napas panjang yang seolah telah ditahan terlalu lama tiba-tiba terdengar begitu pintu tertutup dari luar. Semua orang yang ada di ruangan itu merenggangkan badan ataupun menyenderkan diri ke punggung kursi. Wajah mereka terlihat lelah, namun lebih rileks dibandingkan saat rapat berlangsung.
"Terkadang, aku masih belum bisa bersikap biasa-biasa saja ketika berhadapan dengannya," ungkap Ino memecah keheningan. Ia menopang sebelah pipinya dengan satu tangan. "Apakah dia selalu mengintimidasi seperti itu? Aura yang melingkupinya benar-benar buruk."
"Kau harus lebih sering menghadiri rapat Dewan Desa, Ino," timpal Kiba yang duduk di seberang perempuan tersebut. Senyum miringnya membuat Ino memutar bola mata. "Jangan menyerahkan segala beban kepada Sai meskipun dia sudah lama menjadi Wakil Kepala Klan Yamanaka. Posisinya sebagai Komandan Anbu sudah cukup berat."
Ino mengibaskan tangannya.
"Masalah klan tidak pernah memberatkannya. Lagi pula perwakilan klan di sini hanya untuk memastikan kesetaraan posisi agar tidak terdapat perselisihan yang tidak diinginkan," timpalnya ringan. Ia kembali menatap teman-temannya dengan serius. "Kalian belum menjawab pertanyaanku."
"Apakah pertanyaanmu salah satu dari permintaan bayi yang kau sedang kandung?" timpal Hyūga Neji dengan tidak tertarik.
Senyuman Ino telah menjawab pertanyaannya. Namun, dari lima orang yang ada di sana, tidak ada yang menjawab pertanyaan Ino. Kiba sibuk menutup mata karena rasa kantuk yang menyerang. Neji sibuk membaca dokumen menyangkut posisinya sebagai Komandan Jōnin, Shikamaru tengah berbincang dengan Shino mengenai hasil rapat yang berhubungan dengan kepentingan Akademi, sedangkan Hinata sibuk memikirkan bagaimana cara agar teman-temannya tidak mengabaikan wanita hamil yang cenderung lebih sensitif.
Apa pun solusi yang ditemukan Hinata, ia terlambat menyuarakannya karena Ino sudah terlebih dahulu menyentak.
"Hei! Kalian mendengarku?"
Kiba sedikit membuka mata, namun segera kembali menutupnya setelah menguap.
Shikamaru dan Shino berhenti mengobrol sesaat sebelum kembali melanjutkan dua detik kemudian.
Hinata menahan ringisan.
"Uh, dia memang seperti itu, Ino," ungkap Hinata mencoba menjawab pertanyaan sang wanita hamil. "Kukira--uhm--kau sudah mengetahuinya. Kalian sering rapat bersama ketika kau masih aktif di Divisi TI."
Ino menyenderkan diri di punggung kursi. Dahinya mengernyit, ia terlihat terganggu oleh sesuatu.
"Apakah Sakura sudah kembali dari misi?" tanyanya dengan kaku. "Aku masih tidak percaya Sasuke membolehkannya menjalankan misi seorang diri."
Neji menolehkan kepalanya dari kertas yang tengah ia baca. Ia berujar, "Sindikat penyebar racun ilegal itu akan langsung menghilang jika tahu kita yang sudah bergerak menyelidiki mereka. Mengirimkan mata-mata lebih dari satu orang akan sangat beresiko, Ino. Selain itu, kandidat terbaik untuk menjalankan misi ini adalah Sakura. Dialah satu-satunya orang yang sangat paham tentang masalah racun."
"Kuharap dia baik-baik saja."
Setelah mengatakan hal tersebut, Ino bergegas keluar ruangan yang juga diikuti oleh mereka semua. Sementara kakinya berjalan menjauhi Hokage Tower, Ino tidak bisa mengalihkan pikirannya dari kondisi Sakura. Apa yang ia khawatirkan dulu seolah mulai muncul ke permukaan. Kekhawatirannya bukan sekedar masalah misi. Bukan. Ia sudah mengkhawatirkan Sakura sejak bertahun-tahun lalu. Sejak Naruto meninggal. Sejak Sakura melepas status lanjangnya dan menikah dengan Sasuke.
Bagi orang lain, Sakura akan terlihat bahagia. Namun, bagi Ino, Sakura jauh dari kata bahagia. Ino tidak mempercayai Sasuke. Tidak sama sekali. Perasaannya terhadap lelaki itu sudah menghilang sejak bertahun-tahun lalu, sejak ia memutuskan bahwa Sasuke tidak berhak mendapatkan ketulusan darinya. Ia berhasil melupakan perasaan kagumnya yang kekanakan dan menghadapi realita. Ino menemukan sosok yang benar-benar tulus padanya dan sampai sekarang ia bersyukur atas keputusannya dulu.
Namun, berbahagia ketika melihat sorot tertekan di mata zamrud sahabatnya tidaklah benar. Ino selalu resah tiap kali mendengar pernyataan Sakura yang berkata bahwa ia baik-baik saja ketika kenyataannya tidak demikian. Menyalahkan Sasuke akan membuatnya terlihat sangat egois. Ino tahu ia tidak bisa menyalahkan Sasuke atas keadaan Sakura. Tapi, mengatakan bahwa Sasuke tidak memperburuk keadaan temannya juga sama salahnya.
Sasuke mungkin memang menikahi Sakura atas dasar permintaan Naruto. Namun, hal itu tidak bisa menjadi alasan bahwa ia tidak berusaha untuk menerima Sakura. Pernyataan Sai mengenai ia yang hampir selalu melihat senyum palsu Sakura seolah telah mengkonfirmasi segala kecurigaan Ino. Sakura mengaku bahwa ia dan Sasuke baik-baik saja. Namun, Ino mengenal Sakura lebih dari sang ninja medis mengenal dirinya sendiri.
Enam tahun sudah Ino tutup mulut. Ia hampir mengubur kecurigaannya akan pernikahan itu ketika Sakura mengandung dan melahirkan seorang putri. Hadirnya buah hati di sebuah pernikahan seolah menyuarakan akan kenormalan sebuah keluarga. Tatapan lega, bahagia, dan haru dari mata Sakura berhasil menenangkan Ino. Kala itu, ia juga bisa menangkap sepercik emosi di mata oniks sang Uchiha ketika melihat buah hatinya dengan Sakura. Uchiha Sasuke merasa berterimakasih kepada wanita yang telah merangkap sebagai istrinya. Ino tidak lagi mengkhawatirkan kebahagiaan temannya.
Namun, keadaan itu hanya berlangsung selama kurang lebih dua tahun sebelum sorot lelah di mata Sakura kembali. Ketika melihatnya, Ino benar-benar merasa getir. Menyatukan dua orang yang sudah rusak bukanlah ide yang baik. Sakura dan Sasuke tidak lagi sama setelah kepergian Naruto. Sakura mungkin bisa bangkit pasca kematian sahabatnya, namun hal itu tampak berbeda bagi Sasuke.
Sebagai Yamanaka, Ino mampu melihat kekosongan di mata sang Hokage. Segala sinar yang pernah kembali hidup berkat hal entah apa yang diusahakan Naruto ternyata ikut padam bertahun-tahun lalu seiring dengan kematian sosok itu. Sasuke yang memang sudah jatuh ke dalam kegelapan seolah tidak bisa lagi bangkit ketika kenyataan yang paling pahit menimpanya. Saat mendengar berita pernikahannya dengan Sakura, Ino sudah tidak yakin bahwa teman baiknya akan mampu mengisi wadah kosong itu. Apa yang ia lihat selama enam tahun terakhir ini seolah mengonfirmasi ketidakyakinannya.
Mereka berdua menderita dengan meninggalnya Uzumaki Naruto.
Bagaimana bisa orang-orang tidak melihatnya dan menganggap kehidupan sang Hokage dan istrinya begitu indah?
Apakah hanya ia yang mampu melihat semua ini?
Apakah melihat penderitaan yang tercermin di mata seseorang adalah kemampuan khusus seorang Yamanaka?
Ino tidak tahu lagi, namun ia benar-benar sakit melihat Sakura yang berada di posisinya sekarang. Sebab, terperangkap di pernikahan hampa di mana sang suami sama sekali tidak mencintai istrinya adalah mimpi buruk yang tidak pernah diinginkan oleh satu pun wanita di dunia.
oOo
Uchiha Sasuke tahu bahwa Yamanaka Ino adalah seseorang yang memiliki daya analisa tinggi. Kemampuan mengontrol diri orang lain yang ia miliki mampu membuatnya membaca gerak gerik orang lain dan memungkinkannya membaca apa yang orang lain pikirkan. Yamanaka Ino adalah orang yang patut diwaspadai, namun kemampuan itulah yang membuatnya berada di posisi terpenting di Divisi TI. Berbicara mengenai kewaspadaan, Sasuke tidak merasa bahwa ia harus waspada kepada Ino. Apa yang ia rasakan bukanlah masalah wanita itu. Apa yang terjadi pada rumah tangganya bukanlah kepentingan Ino.
Sepanjang rapat Dewan Desa beberapa jam yang lalu, Sasuke sudah menyadari tatapan menilai sang Yamanaka. Ia tahu apa yang dipikirkan wanita itu. Ia tahu apa yang dikhawatirkan Ino. Namun, Sasuke sama sekali tidak pernah berniat untuk merespon sesuatu yang demikian.
Apa yang terjadi antara ia dan Sakura adalah kesepakatan keduanya. Kenapa orang lain harus khawatir?
Suara di dalam kepalanya menyatakan bahwa Sasuke telah membodohi dirinya sendiri. Tapi, ia tidak peduli. Ia tidak bisa untuk peduli. Tidak setelah seluruh hidupnya yang memang hanya diisi oleh sekelompok orang dirampas secara paksa. Tidak setelah ikatan paling berharga yang ia miliki menghilang, bahkan sebelum ia mendapatkan jawaban dari sosok yang telah meninggalkannya sembilan tahun yang lalu. Meninggalkannya dengan lelucon yang amat sangat tidak lucu. Sebab, di saat terakhirnya pun Uzumaki Naruto masih mencoba menjahili temannya.
"Kau akan menggantikanku, Teme. Permintaanmu untuk menjadi Hokage ketika kita bertarung di Lembah Akhir akan kukabulkan. Tapi, tolong, biarkan Kage yang lain untuk tetap hidup."
Begitu katanya.
Dan ia menyampaikan pesan tersebut melalui surat.
Sebuah surat sialan yang terkutuk.
Si idiot bahkan tidak mengatakannya langsung pada Sasuke.
Mendengar suara bising yang didominasi oleh anak-anak, Sasuke pun membuka matanya dan melepas lipatan tangannya di depan dada. Ia menganggukan kepala kepada Iruka ketika mata mereka bertemu sesaat. Pria berusia tiga puluh tujuh tahun itu tersenyum pada sang Hokage ketika pemimpin desa Konoha itu menghampirinya yang berdiri di samping pintu gerbang Akademi.
Ombak yang terdiri atas puluhan anak-anak itu memenuhi pelataran Akademi. Mereka berlarian dan tertawa-tawa dengan riang, sebuah pemandangan yang biasa terlihat di sore hari Akademi Ninja. Beberapa orangtua yang tengah menjemput anak-anaknya ikut memberi anggukan hormat ketika mendapati Hokage yang ternyata sedang berdiri tidak jauh dari mereka. Mereka semua menunjukan rasa hormatnya. Bahkan dari beberapa ada pula yang sedikit membungkukkan badan ketika berpapasan dengan Sasuke.
Berbeda dengan para orang dewasa, anak-anak yang tumbuh dengan kisah heroik para pahlawan pun dengan terang-terangan menyatakan kekagumannya kepada sang Hokage. Mata mereka tampak bersinar oleh rasa kagum dan takjub. Beberapa diantaranya bahkan mencoba untuk bersalaman dengannya.
Bertemu dengan Hokage yang teramat jarang memperlihatkan diri di ranah publik kecuali terdapat situasi genting memang cukup langka.
"Hokage-sama! Kau sangat jarang terlihat akhir-akhir ini! Kau bahkan tidak sempat mampir ke kedai Teuchi-jiji!" seru seorang anak laki-laki berambut kecoklatan. Mata hitamnya tampak bersinar dengan rasa antusias.
Mengulurkan tangan ke bahu sang anak dengan kaku, Sasuke hendak menimpalinya, namun didahului oleh seorang wanita berambut kecoklatan yang merupakan ibu dari anak tersebut.
Senyum di wajah keibuannya menyuarakan kata maaf. Ia segera menarik anaknya untuk berdiri dengan lebih sopan sebelum menganggukan kepala kepada Sasuke untuk mengutarakan permintaan maaf akan perilaku tidak sopan anaknya. Sasuke menganggap lalu permintaan maaf tersebut. Ia benar-benar tidak terganggu dengan reaksi semacam itu. Yang membuatnya kaku hanyalah ia yang tidak biasa menanggapi keadaan tersebut.
"Sekali-kali mampirlah ke kedai kami, Hokage-sama," ungkap perempuan itu. Ia tersenyum lembut. "Ayah saya sering menanyakan Anda."
"Sampaikan pada Teuchi-san bahwa kedai sudah terlalu ramai untuk menjadi seleraku," ungkap Sasuke jujur.
Ayame menanggapinya sebagai candaan. Ia tertawa rendah dan beranjak dari sana setelah melontarkan sedikit komentar tentang Sasuke yang tetap harus berkunjung sewaktu-waktu.
Begitu anak perempuan dari pemilik kedai Ichiraku tersebut pergi, Sasuke menoleh pada Iruka yang tengah sibuk mengatasi anak-anak nakal. Mereka adalah sekian dari beberapa anak yang tidak peduli dengan kehadiran Hokage dan lebih menganggap penting cara membuat sang kepala sekolah meledak marah. Melihat kelakukan mereka selalu mengingatkan Sasuke pada Naruto. Sengatan kecil di dadanya membuatnya mengerjap. Sasuke mengedarkan pandangan untuk melihat sumber suara yang memanggilnya.
"Papa!" seru sumber suara tersebut.
Seorang anak perempuan berkacamata dengan rambut hitam pendek tampak sedang melambaikan tangan padanya. Ia berlari ke arah Sasuke dengan antusias, membuat rok merah yang ia gunakan bergoyang terkena hembusan angin. Ketika sudah mendekat, ia langsung memeluk pinggang Sasuke dan berujar, "Kau datang!"
Seulas senyum samar tercetak di bibir Sasuke. Membungkukkan badan, Sasuke mengulurkan tangan yang secara sekejap langsung digenggam oleh anak perempuan itu.
"Aku sudah berjanji."
Uchiha Sarada tersenyum. Ia mengeratkan pegangannya pada sang ayah, seolah takut jika sosok ini secara tiba-tiba menghilang. Tanpa mengatakan hal lain, Sasuke menuntun Sarada keluar dari halaman Akademi untuk kembali ke rumah mereka. Tidak terlalu jauh dari Akademi, mereka berpapasan dengan Iruka yang masih menangani tiga anak nakal yang baru saja mencorat-coret tembok. Ketiga anak itu sedang dimarahi, namun ketiganya tidak ada yang tampak takut ataupun menyesal.
Sarada yang melihatnya mengomentari sesuatu mengenai bocah-bocah bodoh yang kurang kerjaan. Sasuke hanya bisa diam ketika mendengarnya. Mengetahui bahwa anaknya memiliki pandangan yang sama seperti dirinya dulu kepada Naruto terasa sedikit menyakitkan. Hidup sehari tanpa memikirkan sosok berambut pirang itu seolah mustahil bagi Sasuke. Padahal sudah sembilan tahun sejak sosoknya tiada.
Menginjakkan kaki di rumah, Sasuke menyuruh Sarada untuk membersihkan diri sebelum mereka makan malam. Meninggalkan Hokage Tower seawal ini memang cukup jarang baginya--atau bahkan tidak pernah. Sasuke selalu menghabiskan waktunya di balik tumpukan dokumen yang harus ia tandatangani. Jika tidak berada di sana, ia pasti sedang berdiri di depan pemakanan ataupun di depan Memorial Stone--hanyut dalam pikirannya sendiri. Beberapa kali, ia tidak akan pulang ke rumah karena melakukan kunjungan politik ke desa-desa lain yang bisa menghabiskan waktu lebih dari seminggu. Apa pun aktivitasnya, Sasuke akan berakhir dengan ia yang meninggalkan rumah dan menyendiri.
Kebiasaan lama akan sulit untuk diubah. Sasuke menyimpulkannya dengan getir. Rencana Naruto untuk mengikatnya dengan desa dengan cara menjadikannya sebagai Hokage memang teramat brilian. Dengan begini, ia tidak bisa lari ke mana pun karena tujuannya ada di sini, di dalam desa. Meskipun begitu, jauh dari dalam dirinya, Sasuke masih berusaha sekeras mungkin untuk menjauhkan diri dari Konoha. Salah satunya dengan memanfaatkan berbagai kesempatan kunjungan politik yang membuatnya bisa keluar tanpa banyak pertanyaan.
Menghangatkan sup miso dan onigiri ke dalam microwave, Sasuke menoleh ketika mendengar langkah kaki anak perempuannya. Ekspresi antusias di wajahnya telah menguap entah ke mana dan kini digantikan dengan rengutan wajah yang amat mirip dengan Sasuke ketika ia masih kecil dulu. Kardigan merah muda yang dipakainya kini telah digantikan oleh sweter rajutan berwarna pastel meski ia masih mengenakan rok merah yang sama.
"Mama masih belum pulang?" tanyanya dengan nada kecewa.
Tanpa ekspresi apa pun, Sasuke menjawab, "Dia akan segera pulang."
Menatap ayahnya dengan nanar, Sarada mencebikkan bibir, "Aku sudah mendengarnya puluhan kali sejak seminggu yang lalu."
"Tugasnya sebagai kunoichi membuatnya harus pergi menjalankan misi."
"Tapi dia sudah pergi selama lebih dari dua minggu! Tidakkah kau mengkhawatirkannya?" serunya dengan nada bergetar. Cairan bening tampak mengumpul di sudut matanya. Sasuke menahan umpatan di dalam hati. Ia tidak pernah ahli dalam masalah seperti ini.
Tidak pernah dan mungkin tidak akan pernah.
Membuka microwave yang sudah selesai menghangatkan makanan, Sasuke mengalihkan pandangannya dari Sarada. Masih dengan nada suara tanpa ekspresi, ia menjawab, "Ibumu bukan orang yang lemah. Dia mampu melindungi dirinya sendiri."
"Benarkah? Kalau begitu, kenapa aku sering melihat Mama menangis?" tanya anak perempuan itu. Cairan bening yang mengumpul di sudut matanya kini telah mengalir membasahi pipi. Ia melanjutkan perkataannya sambil menahan isakkan. "Apa yang terjadi padanya? Aku tidak ingin melihat Mama sedih. Di luar sana, tidak akan ada yang menemaninya. Mama sendirian. Aku tidak ingin dia sendirian. Kenapa kau tidak ikut bersamanya?"
Seolah terkejut dengan perkataan Sarada, Sasuke mengerjap. Ia merasa mulutnya kaku hanya untuk mengutarakan kalimat yang sudah terangkai di kepalanya.
Kenapa berbicara menjadi begitu sulit?
Bukankah seharusnya dia tahu bahwa Sakura akan bereaksi seperti itu?
Bukankah dia sudah memprediksikannya?
Isak tangis Sarada membuat lamunan Sasuke terpecah. Ia meletakan mangkuk dan piring yang telah ia ambil dari microwave sebelum--dengan kaku--merengkuh Sarada ke dalam pelukannya, menenangkannya dengan apa yang ia bisa karena ia tidak pernah ahli dalam kata-kata.
Orang-orang cenderung menyalahartikan apa yang ia katakan. Sejauh ini, hanya segelintir orang saja yang mampu memahaminya. Dua dari keempat orang itu bahkan sudah tiada.
Sungguh sebuah pemikiran yang sangat membantu di saat-saat seperti sekarang ini.
Ketika isak tangis Sarada sudah mereda, Sasuke melepas rengkuhannya. Ia mengusap pipi gadis kecilnya yang telah basah oleh air mata dan menurunkan lengannya guna memegang bahu kecil perempuan itu.
"Hokage tidak bisa meninggalkan desa begitu saja, Sarada. Selain itu, ibumu, dia akan baik-baik saja."
"Begitukah?"
Sasuke mengangguk.
"Apakah dia akan segera kembali dan memasak untuk kita?"
Sasuke kembali mengangguk.
"Maukah kau sekali-kali menyempatkan waktu untuk pergi ke festival Peringatan Kemenangan bulan depan bersama kami?"
Sasuke terdiam selama beberapa saat. Ketika Sarada kembali menunjukan ekspresi kecewanya, Sasuke segera berujar, "Akan kuusahakan."
Senyumnya pun terbit. Ia mengusap sisa air matanya dengan lengan sweter yang ia pakai sebelum mengulurkan tangan kepada Sasuke.
"Aku akan membantumu menyiapkan makan malam."
Dengan itu, Sasuke kembali mengangguk. Sarada adalah sepercik cahaya yang mampu menyinari kegelapan yang hampir menelannya tiap kali ia mengingat masa lalu yang telah dihadapinya. Keinginannya untuk hidup mungkin tidak lagi sebesar dulu. Tujuan hidupnya terasa abstrak. Sasuke selalu merasa kehilangan arah.
Satu-satunya hal yang membuatnya meneruskan kehidupan hanyalah karena permintaan Itachi dan Naruto. Jika tidak, ia lebih memilih menyusul mereka daripada hidup di dalam kebohongan ini. Kehadiran Sarada merupakan alasan lain yang membuatnya hidup. Meski tidak sepenuhnya memberi cahaya, namun kepolosannya masih mampu menyentuh nurani Sasuke yang selama bertahun-tahun telah tertutup.
Uchiha Sasuke berterimakasih kepada Haruno Sakura yang telah memberinya harapan baru. Ia sama sekali tidak ingin menyakiti hati istrinya. Namun, hatinya yang telah mati sejak bertahun-tahun lalu juga tidak bisa kembali hidup setelah apa yang menimpanya. Sebesar apa pun rasa terima kasih yang ingin Sasuke ungkapkan, ia tidak bisa membalas Sakura dengan apa yang paling diinginkan perempuan itu.
oOo
Di tengah kegelapan malam, seorang wanita bersurai merah muda tengah mencoba menstabilkan deru napasnya. Ia melekatkan punggungnya di batang sebuah pohon besar. Dengan mata tertutup, ia membiarkan dirinya jatuh terduduk begitu menyadari ketiadaan sosok yang tadi mengejarnya.
Sinar rembulan dari atas sana menarik pikiran Sakura dadi bahaya yang ada di belakangnya kala itu. Sinar rembulan selalu mengingatkannya pada pemakaman. Sinar rembulan selalu mengingatkannya pada kondisi yang dilaluinya saat ini. Sinar rembulan selalu mengingatkannya pada rumah yang merupakan Tim Tujuh, mengenai tragedi dan nasib buruk yang selalu menimpa mereka. Mengenai akhir yang tidak bisa disebut bahagia.
Sebab, pernikahan yang dijalaninya tidak akan pernah masuk dalam kategori bahagia. Tidak dengan Sasuke yang selalu menjauh dan sulit untuk diraih meski ia berada begitu dekat.
Apa yang dipikirkan sang Uchiha mengenai pernikahan mereka hampir selalu diketahui oleh Haruno Sakura. Menyetujui sebuah rencana pernikahan ketika keduanya sama-sama rusak bukanlah pilihan bijaksana. Namun, bersanding di sisi Sasuke telah menjadi impiannya sejak lama. Impian kekanakan itu tidak pernah hilang meskipun ia sudah dihantam oleh berbagai fakta yang mendorongnya untuk melupakan impian konyol tersebut. Perasaannya kepada Sasuke sulit untuk dijelaskan dengan kalimat belaka. Ia sangat ingin menjadi bagian dari lelaki itu. Ia amat ingin dan tidak bisa menghapuskan keinginannya begitu saja. Bahkan ketika ia tahu bahwa ia tidak bisa mendapatkan balasan yang setara dari lelaki itu.
Keputusan yang ia ambil adalah sebuah kebodohan yang disebabkan oleh keegoisan. Kepercayaan dirinya begitu tinggi ketika ia berpikir bahwa Sasuke mungkin akan luluh seiring dengan waktu. Hidup bersama selama hampir tujuh tahun telah memberikan jawaban yang amat jelas kepada Sakura.
Ia tidak akan pernah bisa menggantikan Naruto. Tidak akan pernah.
Bahkan ketika Sasuke tidak menyadari bahwa ia telah memberikan apa yang sangat Sakura inginkan kepada sahabat berambut pirang mereka itu alih-alih dirinya. Sasuke telah mengubur perasaan khususnya sembilan tahun yang lalu, bersamaan dengan pemakaman Uzumaki Naruto. Lelaki itu mungkin tidak sadar karena di matanya, Naruto hanyalah teman terdekat dan juga seorang saudara. Namun, Sakura tahu bahwa kenyataannya tidak begitu. Ia mengetahuinya ketika mengurus jasad sang Uzumaki.
Sebutan yang melekat di diri Naruto sebagai ninja yang paling tidak terprediksi nyatanya melekat hingga akhir hayatnya. Beberapa orang mungkin sudah mengetahui fakta tersebut. Namun, bagi Sakura yang tidak menaruh banyak perhatian kepada Naruto, fakta yang ia ketahui di hari kematian sahabatnya sangatlah mengejutkan.
Ketika mengurus tubuh tak bernyawa Naruto, Sakura akhirnya mengetahui identitas asli sahabatnya yang ternyata perempuan.
Perempuan, dengan rambut keemasan indah yang mencapai pinggang. Perempuan, dengan kulit kecoklatan cerah dan tanda lahir bak kumis kucing yang sama di kedua pipinya. Perempuan, dengan tubuh yang akan membuat seluruh kunoichi mendengus iri kepadanya kalau saja tubuh itu tidak tergolek tak berdaya tanpa nyawa.
Sakura sangat ingat tawa kering Tsunade ketika melihat segel Henge Naruto menghilang beberapa jam pasca kematiannya. Tsunade tertawa kering sambil mengocehkan sesuatu tentang ia yang menang taruhan dengan Shizune, namun air mata yang mengalir di pipinya seolah menyuarakan bahwa ia tidak bahagia atas kemenangan itu jika ternyata untuk mendapatkan jawaban atas taruhannya harus melibatkan Naruto yang tergolek tanpa nyawa.
Di malam pemakaman, Sakura bertanya-tanya alasan mengapa Naruto menyembunyikan identitasnya. Ia tidak tahu, bahkan hingga sekarang ini. Namun, alasan Naruto tidaklah penting karena toh ujung-ujungnya Sakura tetap kalah. Ia dikalahkan oleh orang yang bahkan tidak ia kategorikan sebagai saingan.
Meskipun Sasuke tetap tidak mengetahui identitas asli Naruto hingga sekarang, Sakura tetap yakin bahwa alasan Sasuke begitu terasa jauh adalah karena jauh di dalam dirinya ia telah menaruh perasaan lebih kepada sang Uzumaki. Alam bawah sadar Sasuke mungkin menyuarakan demikian. Cover Henge Naruto yang membuatnya tampil sebagai laki-laki adalah dinding pembatas yang membuat mereka memiliki ikatan tidak lebih dari teman dekat.
Meraih Sasuke sudah tidak lagi mungkin. Sakura tahu. Bahkan dengan kehadiran Sarada sekalipun.
Sarada..
Menggigit bibir bawahnya, Sakura kembali menyumpahi dirinya yang egois dan ceroboh. Usianya yang telah menginjak dua puluh tujuh seolah tetap tidak memadamkan keegoisan yang muncul di hatinya. Ia menjalankan misi tidak hanya dikarenakan oleh dorongan kewajiban sebagai kunoichi. Ia menjalankan misi untuk lari dari Konoha dan kehidupan personalnya yang berantakan.
Sakura ingin sendiri untuk sesaat.
Dia seegois itu.
Ya.
Tapi, siapa juga yang tahan dengan rumah yang begitu dingin?
Ino sudah memperingatinya. Sahabatnya itu tahu bahwa rumah tangga Sakura dengan Sasuke tidak baik-baik saja. Tapi, jika tidak dengan Sasuke, Sakura tidak akan pernah bisa berhubungan dengan laki-laki lain. Ia sangat yakin. Bahkan hingga kini.
Kalau saja Naruto masih hidup...
Sakura menggeleng. Ia tidak bisa berandai-andai lebih jauh lagi jika tidak ingin kembali terpuruk.
Kembali merasakan pergerakan di belakang sana, Sakura menggertakan gigi. Tangan kirinya mencengkram erat lengan kananya yang kini mengucurkan darah tanpa henti. Jumlah para maniak racun itu terlalu banyak untuk ditangani seorang diri. Penyamarannya kala itu tersingkap ketika ia salah membawakan bahan pembuat racun yang diperintahkan padanya. Mereka seolah sudah mencurigainya dan memberikan perintah itu untuk mengonfirmasi dugaan mereka yang memang benar.
Oleh karena itulah Sakura berada dalam pelarian sekarang ini. Ia tertusuk oleh jarum suntik berisi racun mematikan di lima bagian tubuhnya. Tiga di antaranya berada di lengan kanan sedangkan sisanya berada di masing-masing paha.Antidot yang ia bawa dari Konoha tampak tidak merespon karena ternyata racun milik orang-orang itu telah diperbarui dan diubah menjadi lebih kuat. Alhasil, Sakura tidak punya pilihan lain selain melukai diri agar racun tersebut tidak menyebar ke seluruh tubuh.
Sayangnya, reaksi racun begitu cepat. Cairan keunguan itu langsung mempengaruhinya hanya dalam kurun waktu sepuluh detik ketika ia mencoba kabur dari gerombolan orang itu. Ketika Sakura menancapkan kunai di titik-titik yang terkena racun, ia tidak merasakan apa pun. Kondisinya tidak membaik dan malah semakin buruk. Napasnya sesak dan ia kehilangan banyak darah. Usahanya untuk menutup luka dengan ninjutsu medis juga sia-sia saja karena aliran chakranya terganggu akibat efek racun. Kerumitan kontrol ninjutsu medis tidak dapat ia tangani dengan kondisinya yang sekarang.
Keadaannya sekarang benar-benar payah.
Berusaha berdiri dengan sisa tenaga yang ia punyai, Sakura mengumpat akan kalkulasinya yang meleset. Tidak menjalankan misi setelah sekian lama seolah menumpulkan instingnya. Ia benar-benar ceroboh. Bagaimana bisa dirinya yang seperti ini dijuluki sebagai murid dari seorang Sannin? Byakugō di dahinya bahkan tidak bisa teraktivasi karena aliran chakranya yang terganggu. Racun dari orang-orang itu sangat berbahaya. Sakura harus segera menyelesaikan misi dan memberitahu Konoha semua data yang telah ia dapatkan dari sana. Kalaupun nyawanya tidak tertolong, setidaknya Konoha tetap mendapatkan informasi...
Tapi, bagaimana dengan Sarada?
Deru napasnya tersendat ketika ia memaksa tubuhnya untuk berjalan. Usahanya sekarang tampak menyerukan keputusasaan yang mendalam. Sebagai ninja medis, Sakura tahu bahwa ia takkan bertahan lama. Tidak dengan seluruh cairan beracun yang telah bercampur dengan aliran darahnya. Sakura sadar bahwa ia sudah mencapai batas,memaksa diri takkan menghasilkan apa pun. Membentuk chakra guna memanggil Katsuya pun ia tidak bisa. Sakura benar-benar kehabisan ide.
Kenapa ia begitu lemah? Beginikah akhir hidupnya?
Di tengah keputusasaan, sepuluh orang dengan pakaian serba putih khas labolatorium tiba-tiba mengepungnya. Dua diantaranya perempuan sementara delapan yang lain laki-laki. Mereka semua memasang ekspresi maniak dengan pisau dan gunting bedah di masing-masing tangannya.
Salah seorang wanita dengan rambut hitam yang disanggul tinggi tertawa gila ketika melihat kondisi Sakura yang tidak berdaya. Ia menunjuk-nunjuk Sakura dengan lima buah pisau bedah yang dipegang di tangan kanannya.
"Mau pergi ke mana kau, Jalang?" cicitnya disertai seringaian. Ia melangkahkan kaki mendekati Sakura dengan perlahan, membuat sang kunoichi Konoha bergerak mundur secara reflek. Namun, orang lain yang berdiri di belakangnya segera menangkap kedua bahunya dan menjegalnya untuk tidak bergerak.
Deru napas dua lelaki yang berada di belakangnya membuat Sakura menahan jeritan di tenggorokan. Napasnya yang sudah tidak stabil menjadi semakin tersekat ketika salah satu dari mereka menjilat pipinya dan mengerang menikmati aliran darah yang entah sejak kapan telah keluar dari kulit Sakura.
Sakura mencoba lari dari cekalan mereka, namun usahanya sia-sia saja.
Wanita bersanggul tinggi itu terbahak.
"Berteriaklah seperti tikus kecil, Bitch!" serunya dengan maniak. Ia mencondongkan diri kepada Sakura, menjambak rambutnya ke belakang, dan dengan teramat pelan menggoreskan pisau bedah ke pipi perempuan berambut merah muda itu. Napasnya menggelitik telinga Sakura ketika ia membisikan kalimat-kalimat lain berisi ejekan.
Rasa perih tiba-tiba terasa di seluruh tubuhnya. Sakura menahan erangan.
"Ya! Ya! Seperti itu!" ungkap perempuan itu sekali lagi. Wajah pucatnya menampilkan seringaian yang hanya mampu ditampilkan oleh seorang psikopat. Ia membentuk tanda x di dahi Sakura, tepat di mana segel Byakugō berada. Rasa perih tak tertahankan menyerang seluruh tubuh Sakura, membuatnya mengejang.
Wanita itu kembali tertawa gila.
Lelaki di belakangnya tergelak. Ia melangkah mendekatinya.
"Berapa banyak bagian yang ingin kau potong, Madam?"
"Delapan puluh satu," cicit wanita itu. Matanya menyinarkan kegirangan. "Aku suka kelipatan tiga!"
"Laksanakan."
Bersamaan dengan itu, Sakura merasa tubuhnya dicekal dengan keras dan ia yang dijatuhkan ke tanah. Dengan kedua tangan dikunci di punggung, Sakura menggertakan gigi ketika merasakan kedua kakinya ditarik ke sisi yang berlawanan oleh dua orang di belakangnya. Sedetik kemudian, cekalan tangannya terlepas dan digantikan oleh dua orang lain yang mencengkram pergelangan tangannya dan menekannya ke atas tanah, membuatnya tidak bisa bergerak. Ketika ia belum sempat memproses apa yang terjadi seseorang yang ia asumsikan sebagai wanita gila itu tiba-tiba mendarat di punggungnya. Ia mendengar suara robekan kain dan merasakan rasa sakit yang amat dalam di punggungnya. Rasa sakit itu tidak hanya sekali. Namun, berkali-kali hingga ia tidak dapat menghitungnya.
Sakura menjerit. Keras.
Ia menjerit tiap merasakan sayatan dengan rasa yang tak terperi.
Ia menjerit ketika wanita itu tertawa.
Ia menjerit ketika hidungnya mulai merasakan aroma anyir yang familiar.
Ia menjerit ketika pergelangan kakinya diretakkan dengan sengaja.
Ia menjerit ketika suara retak yang sama terdengar dari bagian tubuhnya yang lain.
Sakura menjerit hingga suaranya parau.
Ia masih meneriakkan erangan sakit ketika luapan energi tiba-tiba merasuki tubuhnya--merangsang Byakugō yang telah ternoda oleh tanda x dan darah sebelum kemudian jeritan lain kembali terdengar.
Jeritan ini bukan berasal darinya, namun dari orang-orang itu. Sakura merasa pandangannya mengabur. Ia merasakan tubuhnya bergerak secara reflek guna menyerang orang-orang itu. Sentakan energi itu masih mengalirinya, membuatnya mampu mengabaikan puluhan luka sayatan yang masih mengucurkan darah.Tanpa kesadaran yang berarti, Sakura menghadapi kesepuluh orang itu. Napasnya menderu. Kepalanya terasa seperti melayang-layang. Ia mencium aroma anyir yang kental. Ia merasakan tubuhnya yang lengket oleh darah. Ia mendengar retakan tulang yang membuat siapa pun mengernyit nyeri.
Namun, meskipun mampu merasakan, Sakura tidak tahu pasti apa yang terjadi. Segalanya terlihat kabur.
Malam itu, di dasar bukit, seorang penebang pohon melihat kilat cahaya jingga dan merah muda yang bercampur bak kembang api. Di sana, ia bertanya-tanya apakah Festival Peringatan Kemenangan sudah berpindah tempat. Pemikirannya yang demikian benar-benar membuatnya terkejut ketika esok harinya, ia menemukan tubuh sepuluh orang berpakaian serba putih yang telah tergolek tidak bernyawa. Mereka semua meninggal dengan luka di perut yang membentuk pola sebuah pusaran air.
TBC