Cerita ini berdasarkan novel Harry Potter dari J.K Rowling. Kesamaan karakter dan tempat hanya karena cerita ini sekedar Fanfiction.
1
Harry Potter memandang sekelilingnya dengan mata berkabut. Bukan karena pandangannya yang buruk. Toh, kacamatanya masih sama berfungsinya seperti kemarin. Tapi karena ia memandang sesuatu yang seharusnya tidak bisa dilihat manusia. Ya, Harry Potter adalah anak yang istimewa. Mari kita sebut saja begitu karena ia membenci panggilan 'aneh' atau 'gila' yang sering orang lontarkan padanya. Badannya yang mungil karena kurang gizi, membuatnya seolah tenggelam dalam baju bekas sepupunya Dudley Dursley, sementara ia melangkah mengikuti tubuh raksasa Hagrid menyusuri Diagon Alley menuju Bank Gringotts. Setiap ia melangkah, tatapannya menyusuri tubuh-tubuh bergelimpangan dengan mata terbuka yang sedetik kemudian lenyap, digantikan oleh bocah-bocah yang berlarian masuk toko lelucon Zonko.
Deheman Hagrid membuatnya menoleh kembali pada pria gelisah dengan senyum dipaksakan yang melambai padanya agar mengikuti. Harry mempercepat langkah, tapi tidak sebelum melihat sekilas ke arah para penyihir yang sedang bertarung—(tongkat sihir, sugguh menarik, ia tak sabar mendapatkannya)—dan tentu saja, adegan itu lenyap secepat kedatangannya. Sempat ia bertanya-tanya; mengapa ia belum gila melihat semua pemandangan yang tidak cantik ini? Mungkin ia sudah kebal atau gila dalam arti lain. Lagi pula, sudah lama ia berdamai dengan nasib dan menerima kenyataan bahwa—seperti kata ketiga Dursley—ia aneh, dalam standart penyihir sekalipun.
Saat ia masuk ke dalam bank, bukan para Goblin yang membuatnya terkejut. Melainkan, pada sosok seekor naga yang melesat menembus lantai menuju atap, seolah mencari kebebasan. Beberapa detik, ia diam terpaku dengan mata terbelalak. Ini pertama kalinya ia melihat naga! Rupanya ia akan mengalami petualangan yang menakjubkan dimasa depan, karena tidak pernah sebelumnya, pengelihatannya menampakkan bayangan yang lebih luar biasa seperti ini. Bayangan yang pada akhirnya lenyap diujung atap, membuat lantai dan langit-langitnya yang rusak utuh kembali.
Matanya melirik pada peringatan;
'Masuk, orang asing, tapi perhatikan dari apa yang menunggu dosa keserakahan. Bagi mereka yang mengambil, tapi tidak menghasilkan. Harus membayar mahal pada gilirannya. Jadi, jika kau mencari di bawah lantai kami harta yang bukan jadi milikmu, Pencuri, kau telah diperingatkan, waspadalah menemukan lebih dari harta disana!'
Sepertinya, dirinya dimasa depan lupa membaca peringatan itu sekali lagi.
Ketika ia menaiki roler coster menuju vault 687 milik keluarga Potter, ia sempat melihat sekilas naga yang dikekang lehernya. Karena kereta bergerak sangat cepat, ia tidak bisa melihatnya dengan jelas. Tapi sekilas saja sudah cukup membuatnya simpati dengan kondisinya yang memprihatinkan. Entah apakah ia nanti akan melepaskan naga itu karena kasihan atau ada alasan lain?
Belum sehari ia menjejakkan kaki di dunia sihir, ia sudah melihat banyak hal menarik hingga mengira tak kan ada lagi yang bisa membuatnya kaget. Tapi rupanya ia salah besar karena melihat Vault keluarganya membuat mulutnya menga-nga lebih lebar dari mulut naga. Tumpukan emas disana seakan tak ada habisnya, menjulang seperti puncak-puncak bukit. Lebih-lebih, itu hanya 'trust Vault!' yang diberikan orang tuanya untuk jajan. Bukan Vault utama!
Griphook, goblin yang mengantarnya, memberinya kantong kecil yang bisa diisi tanpa batas. Ia mempertimbangkan untuk mengambil sebanyak yang ia butuhkan untuk membali peralatan sekolah, tapi akhirnya memutuskan untuk mengisinya sebanyak mungkin karena tidak ingin berkali-kali pergi ke bank. Setelah mengisinya hingga puas, ia menemani Hagrid untuk mengambil bungkusan misterius atas nama kepala sekolah.
Benda itu disimpan di dalam vault yang gelap, kecil dan penuh stalaktit. Seketika, Harry melihat kilasan gambaran batu merah, mata merah dan surban ungu, membuatnya bergidik dan melangkah cepat menjauhi Hagrid. Pria itu tak tampak cemas ataupun curiga atas perintah kepala sekolah, semisterius apapun Vault dan kantong yang ia ambil. Ia malah hanya mengikatkan kantong itu di pinggangnya dan berjalan menuju pub tempat mereka makan siang; tempat dimana siapa pun bisa mencuri bungkusan itu. Memandang Hagrid dengan dahi berkerut, ia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Mungkin kebodohannya karena darah raksasa, siapa tahu? Itu bukan tanggung jawabnya. Lagi pula, siapa orang dewasa disini? Harry memandang untuk terakhir kali pada Bank penyihir yang menarik itu, sebelum kembali mengikuti langkah pria besar itu.
Setelah makan siang, Hagrid mengantarnya membeli koper dan perlengkapan sekolah, seperti perkamen dan pena bulu. Sambil berjalan, Harry banyak bertanya tentang Hogwarts, Pureboold, Half-blood, Muggle-born dan Dumbledore. Dari percakapan itu, Harry menarik kesimpulan bahwa Hagrid punya kesetiaan total pada kepala sekolah yang membuatnya bias. Ada subjektifitas tinggi saat ia menjelaskan masing-masing asrama, khususnya Slytherin. Terlebih ia membuat Harry tidak nyaman karena berkali-kali meyakinkan Harry bahwa ia adalah Gryffindor yang sesungguhnya, seperti kedua orang tuanya. Padahal bukan orang tuanya yang menentukan asramanya, dan bukan mereka pula yang dijejali topi tua untuk dimasuki kepalanya. Ia tahu. Ia sudah melihatnya, sesaat setelah memegang surat dari Hogwarts. Ia tahu topi itu juga salah satu alat yang bisa membantunya menghindari manipulasi.
Di tempat Madam Malkin, Hagrid meninggalkannya sendirian. Di dalam sana sudah ada pelanggan, seorang anak seumurannya dengan rambut pirang hampir putih dan setelan baju resmi yang memberinya kesan dari kalangan atas, berdiri di podium, sedang di ukur.
"Murid tahun pertama Hogwarts?" tanya madam Malkin hanya demi sopan santun, karena siapapun tahu dengan sekali lihat bahwa ia murid tahun pertama.
Harry mengangguk.
Harry berkenalan dengan Draco Malfoy hanya dengan nama depannya saja, karena cemas pada konsekuensi nama keluarganya, yang rupanya tidak dianggap biasa di dunia sihir. Tapi kekhawatiran itu tak terjadi karena Malfoy lebih sibuk membicarakan dirinya sendiri dibandingkan mencari tahu tentang Harry. Ia membiarkan si pirang itu bercerita tentang Hogwarts dan banyak hal. Dan hanya membalasnya dengan anggukan. Madam malkin melemparkan pandangan geli pada mereka seolah tahu Harry hanya menghibur Malfoy. Lagi pula, apa rugi dari sedikit kesabaran pada anak polos yang nantinya kehilangan kenaifannya dengan cara paling kejam, seperti dipaksa membunuh seseorang.
Tak lama kemudian, madam Malkin selesai dengannya dan meminta Harry naik ke atas podium untuk di ukur. Harry memandang bocah itu pergi bersama seorang wanita berambut hitam dengan juntaian perak disalah satu sisinya. Sekelebatan mata mereka bersirobok, seketika mengirimkan kilasan wanita paruh baya yang berjongkok untuk berbisik padanya "Apa Draco hidup?" Sebelum akhirnya pandangannya terputus oleh pintu toko yang kembali tertutup. Saat ia mengalihkan perhatiannya kembali pada Madam Malkin, wanita itu tersenyum geli sambil memegang alat ukur. "Seragam Hogwarts, dear?"
Harry mengangguk, "Dan bisakah anda mencarikan aku pakaian untuk sehari-hari yang biasa dipakai penyihir?"
"Muggleborn?"
Harry menggeleng, "Half-blood, tapi aku dibesarkan paman dan bibiku yang muggle karena kedua orang tuaku sudah meninggal."
"Oh, anak yang malang," bisiknya, sambil menangkup pipi Harry. Lalu senyum lebar menghiasi wajahnya. "Serahkan padaku, aku akan membuatmu terlihat seperti boneka!"
Ia berusaha tidak memutar bola matanya dan membiarkan madam Malkin melakukan tugasnya. Ia percaya pada kemampuan wanita itu, karena ia melihat dirinya akan kembali lagi kesini di masa depan. Harry keluar dari toko dengan setumpuk jubah formal dan kasual yang terlipat rapi dalam kopernya.
"Harry!" seru Hagrid, melangkah cepat melewati kerumunan sambil menenteng sangkar berisi burung hantu salju, "Selamat ulang tahun, Harry!"
Hedwig! Senyum mengembang di wajahnya saat akhirnya bertemu burung peliharaannya. Ia merasa selalu memiliki Hedwig, tapi ia tidak tahu jika Hagrid yang akan memberinya. "Terima kasih, Hagrid," bisik Harry sambil mengeluarkannya dari kandang dan memeluknya. Hedwig seperti telah mengenalnya lama, hinggap di bahunya dan diam disana.
"Burung pintar!" seru Hagrid diantara tawanya semetara mereka melangkah menuju toko Olivander.
Pertamakalinya ia bersitatap dengan pria tua itu, entah ada daya magnet apa yang membuatnya bergerak meraih tangannya. Pria itu menyebut namanya dengan lembut dan familier, "Mr. Potter, akhirnya! Seperti masih kemarin aku melihat orang tuamu masuk ke tokoku," pilihan katanya membuat Harry tahu bahwa Olivander juga memiliki keistimewaan sepertinya. Ia juga orang yang melihat apa yang tak terlihat. "Mari... mari... tangan yang dominan?"
"Tangan kanan."
Lalu, mereka memulai perburuan yang tak ada habisnya. "Sungguh membuat penasaran," bisik pria itu saat tidak ada tongkat yang cocok dengannya. Kemudian, tiba-tiba ia berputar cepat dan berlari ke salah satu sudut terdalam tempat kotak-kotak disusun dan mengambil satu. Di depan Harry, ia membukanya perlahan, mempersilakan Harry untuk mengambilnya. Saat jarinya menyentuh benda itu, matanya berputar ke belakang, dan energi bergerak disekelilingnya dengan cahaya hijau dan keemasan.
"Menarik! Sungguh menarik. Tongkatmu adalah Kayu Holly dengan inti bulu burung Phoenix. Aku mengingat semua tongkat yang kujual, mr Potter. Seekor Phoenix yang sama memberikan dua buah bulunya yang menjadi dua tongkat yang berbeda. Salah satunya ada dalam genggamanmu, dan yang lainnya adalah yang memberikan luka ini," bisiknya sambil menyentuh luka Harry. "Aku menantikan sesuatu yang hebat darimu, mr Potter. Lagi pula, dia juga melakukan sesuatu yang hebat. Buruk, ya. Tapi juga hebat."
Voldemord. Pria itu membicarakan Voldemord. Hal itu membuatnya merasa seperti diguyur es di punggungnya. Sehingga ia tidak protes saat Hagrid buru-buru mengajaknya keluar dari toko Olivander. Wajahnya yang pucat membuktikan bahwa nama itu masih saja menjadi momok bagi sebagian besar penyihir.
Banyak sekali kemungkinan yang dilihatnya saat ia membuka mata. Hal itu membuatnya rindu pada sesuatu yang belum dimilikinya atau penyesalan pada kesalahan yang belum dilakukannya. Kelebihan dari semua itu, ia bisa menghindari sesuatu yang buruk. Tapi ada saat-saat dimana kemanapun ia menghindar, hal buruk akan tetap menimpanya. Seperti saat berada dalam keluarga Dursley. Pilihannya hanya antara dipukul atau ditendang. Dua kemungkinan yang sama-sama membuat sakit. Maka, alasan itu juga yang membuatnya kembali ke Diagon Alley setelah Hagrid meninggalkannya di depan rumah no 4 Privet drive. Dengan koper beroda dan kantong uang dicelananya, Harry menyusuri salah satu penginapan di Diagon Alley; Witchraft Boussra, Hotel yang letaknya dekat dengan Gringotts. Setelah menyewa sebuah kamar, Harry membuka kopernya dan mengeluarkan isi di dalamnya. Berlama-lama untuk mengelus bahan pakaiannya yang berkualitas. Suatu kemewahan yang tak pernah dirasakannya. Harry menggigit bibir dan membenamkan wajahnya kesana. Tidak ada suara, hanya pungungnya yang bergetar saja yang memberi tanda ia sedang menangis; merasa antara sedih karena baru pertama ini ia mencicipi apa yang seharusnya dirasakan anak-anak lain, sekaligus lega karena ia akhirnya bisa melonggarkan cengkeraman keluarga Dursley atas dirinya.
Keesokan harinya, Harry turun untuk sarapan dengan tunik biru barunya yang berbahan sutra. Ia duduk dengan sarapannya disalah satu meja pada kafetaria hotel sambil memperhatikan sekelilingnya. Sekalipun hanya ada sedikit hotel di dunia sihir dan juga tidak semewah hotel-hotel milik Muggle, secara pribadi Harry lebih menyukai hotel di dunia sihir, karena, well... sihir. Ruangan makan ini bertema klasik dengan tempat duduk yang bisa membenarkan letaknya sendiri atau serbet makan yang melipat sendiri dan tak lupa juga makanan yang bisa tiba-tiba muncul jika kau menyerukan namanya pada buku menu. Sambil memasukkan daging besar-besar ke mulutnya, matanya membaca kalimat pada berita di Daily Prophet tentang dirinya yang memasuki masa sekolah di Hogwarts. Untung tidak ada orang yang tahu wajahnya, sehingga tidak ada foto dalam berita itu kecuali deskripsi tentang apa yang mereka kira dirinya. Well, sebagian besar ada benarnya tentang warna mata atau rambut khas Potternya. Tapi tinggi dan menawan, ia rasa kurang tepat. Jika digambarkan, Harry bisa dibilang seperti kurcaci dibandingkan teman-teman seusianya.
Saat itulah, percikan seperti listrik, yang kini ia tahu disebut energi sihir, membuatnya mendongak dan matanya bersirobok dengan seorang pemuda yang berdiri dan berjalan dengan langkah yang membuat tiap orang minggir dibuatnya. Yang membuat Harry terheran-heran adalah tinggi pemuda itu yang lebih dari 6'1, membuatnya hampir memenuhi ambang pintu saat ia berjalan masuk. Ototnya bergerak dalam lipatan kemeja mahalnya yang dibalut jubah hitam yang panjangnya hanya separuh badan. Menyisakan celah dimana tiap orang bisa melihat paha dan kakinya yang kuat dan jenjang. Bahkan bahan kain dari celananya tidak bisa menutupi saat otot itu bergerak. Saat pemuda itu menoleh ke arahnya, Harry membeku pada tatapan tajam kelopak hitam yang familier. Sihir itu berlalu saat pemuda itu mengalihkan pandangannya. Harry mengenal wajah tanpa nama itu! Setelah ia beberapa kali muncul dalam mimpi-mimpinya. Jika bukan dilatar belakang, maka ia selalu disisi Harry. Walau pengelihatannya tidak menunjukkan suara atau tubuhnya dengan jelas. Tapi tatapan mata itu tidak mungkin ia salah!
Harry meletakkan sendoknya dan berdiri saat pemuda itu bergerak keluar dari ruangan. Mereka akan bertemu di Hogwarts, yakinnya. Jika itu sudah di takdirkan.
Karena itu sudah ditakdirkan.
Semenjak ia menginap di Witchraft Boussra, Harry menghabiskan waktunya untuk mempelajari dunia sihir. Ia membeli dan membaca banyak buku. Terutama tentang dirinya, sehingga ia tahu bagaimana pendapat dunia sihir tentang Anak Yang Bertahan Hidup. Rupanya ia adalah Potter terakhir yang merupakan garis bangsawan tua, sekalipun tidak ada raja dan ratu disini. Konsep itu milik Muggle dan hilang setelah penyihir memisahkan diri dari dunia mereka. Sehingga 28 bangsawan tertua menjadi kekuatan paling utama dalam politik, dimana Potter juga masuk di dalamnya. Keturunan Potter memiliki darah dari keluarga penyihir tertua yang telah lenyap, keluarga Peverell, setelah keturunan terakhirnya, Iolanthe Paverell, menikahi Heir keluarga Potter, Hardwin Potter. Pantas saja uang keluarganya di Bank ada begitu banyak, belum termasuk relik-relik berharga.
Ia juga mempelajari lebih jauh tentang masyarakat Pureblood dan prejudice nya tentang muggle yang berasal dari perburuan penyihir. Ia tidak mau termakan mentah-mentah pada prejudice disini tanpa memahaminya. Walaupun ia merasa pendapat kebanyakan pureblood tidak relavan di jaman sekarang, tapi ia bisa bersimpati karena ia tahu benar bisa seberbahaya apa Muggle. Ia menghabiskan waktunya melahap banyak buku; kemewahan yang tidak pernah bisa didapatnya dari Dursley, dan membawa jiwa intelektualnya yang selama ini diabaikan. Untungnya kopernya punya kapasitas tak terbatas, dimana ia bahkan bisa memasukinya melewati tangga untuk menata bukunya dalam rak-rak yang ada disana. "Aku cinta sihir," bisiknya sambil mengusap buku ramuannya. Ia suka ramuan, itu mengingatkannya pada memasak. Sedikit keahlian yang didapatkannya dari Dursley. Ia berharap bisa segera bereksperimen dengan bahan ramuan asli.
Akibat ketertarikannya itu, ia kembali lagi ke Apothecary untuk membeli bahan yang lebih berkualitas. Toko ramuan itu cukup menarik untuk mengganjar bau busuk telur dan sampah. Bukan berarti toko itu kotor, itu hanya karena mereka menjual berbagai macam bahan ramuan aneh seperti; botol-botol herbal, akar kering, dan botol-botol bercahaya yang berjejer di tembok dengan isi yang menggeliat-geliat, bundelan-bundelan bulu, potongan-potongan taring, dan gagak yang dikawat pada langit-langit. Hingga barang langka seperti tanduk Unicorn yang diperhatikannya saat pertamakali kesini bersama Hagrid—tanduk yang diberikan Unicorn secara cuma-cuma (20 Galleons) dan mata lebah (5 knuts 1 sekop).
Tak bisa dilupakannya saat ia pertamakali bertemu sang Master Ramuan. Saat itu ia tanpa sengaja menabrak bagian belakang tubuhnya karena terlalu asyik memperhatikan tanduk Unicorn. Pria itu berbalik dengan sangat cepat dan matanya yang gelap menyipit dengan tajam. Kepala Harry terus mendongak ke atas untuk bisa menatap mata gelapnya yang mengamatinya. Paman bibinya termasuk yang tingginya rata-rata, tapi rupanya bahkan di dunia sihir ia dikelilingi orang berdarah raksasa.
Bibir pria itu mencibir tidak suka, sesuatu yang seharusnya membuat siapa pun lari tunggang langgang ketakutan. Tapi tidak Harry. Tidak, setelah ia melihat kilasan masa depan, dimana ia duduk memeluk pria misterius itu sementara kehidupan meninggalkan matanya. Tidak saat ia bahkan bisa merasakan hangatnya darah yang merembes disela-sela jarinya saat ia menahan luka di leher itu. Terkejut dengan rasa sedih yang tiba-tiba melandanya, butiran-butiran air mata menetes membasahi pipinya. Terkesiap, pria itu bergerak cepat untuk mencengkeram bahunya. "Potter!" serunya.
Tapi ia masih tersenggal dalam tangisan. Pria itu memandang sekeliling dengan panik, terutama saat beberapa kepala menoleh penasaran ke arah mereka.
"Potter!" ia merunduk sehingga kepala mereka sejajar, cengkeraman di bahunya sangat kuat, "Kuasai dirimu! Berhenti menangis!" Harry tersenggal saat ia berusaha berhenti dan hidungnya berair. "Mengapa kau menangis!?" ia mengatakannya dalam desisan yang mustahil diberikan orang normal pada anak sebelas tahun. Tapi Harry tidak takut atau marah, karena semua itu tidak bisa mengalahkan rasa sedihnya saat melihat pria itu mati dalam pelukannya. Orang ini penting, Harry bisa merasakan itu.
Saat Harry sudah merasa tenang dan ia mengerjap-kerjapkan mata untuk menghilangkan air mata, ia bersitatap dengan mata gelap pria itu, yang masih membara dan itu membuatnya tersenyum. "Potter! Apa kau gila?!" Desisnya frustasi melihat ekspresi Harry yang tak masuk akal.
Harry hanya mengangguk, "Siapa namamu, sir?" Harry meraih ujung lengan jubahnya. Pria itu tampak terhenyak.
Ia menyipitkan mata, "Aku profesor ramuan dari Hogwarts. Kau akan memanggilku Profesor Severus Snape atau sir!"
"Profesor Snape," Harry berbisik, menguji lidahnya. Lalu tersenyum.
"Apa kau sudah tenang?" Harry mengangguk. "Apa kau kehilangan pengantarmu?" Harry menggeleng. Ia menyipitkan mata. "Kau kesini sendiri? Kenapa kau kesini sendirian?"
"Aku ingin membeli bahan yang lebih baik dari pada standar siswa yang sudah kubeli, sir..." Ia tampak terkejut saat Harry berbisik menambahkan, "Aku suka Ramuan... "
"Hm..." Matanya memicing, seakan tahu Harry sengaja menjawab satu pertanyaannya untuk mengalihkan perhatiannya dari pertanyaan yang lain. Tapi pria itu tidak mendesak, hanya segera berdiri dan berbalik, berjalan pergi. Setelah beberapa langkah, ia berkata tanpa menoleh, "Ayo, aku akan menunjukkannya padamu!" dan tanpa menunggu lagi Harry melangkah dengan ringan mengikuti pria itu. Tangannya meraih lengan jubahnya, membuat pria itu menoleh ke bawah sambil mengerutkan kening, tapi tidak mengibas lepas genggamannya. Kedua pasang yang aneh itu menyusuri toko ramuan diikuti oleh mata-mata penasaran, terutama bagi mereka yang tahu benar siapa Severus Snape. Apalagi tidak sedikit dari mereka adalah mantan murid yang pernah merasakan ucapan tajam dan tempramennya.
Sang Master ramuan mengantarnya pulang hingga Lacky Cauldron. Mengiranya pulang ke rumah Mugglenya. Tapi setelah pria itu pergi, Harry kembali menyelinap menuju Witchraft Boussra.
Pada tanggal 1 september sebelum jam 11 pagi. Harry berdiri gelisah di depan perapian Leaky Cauldron. Tom sang bartender tersenyum sambil memberikan gestur 'lakukan'. "Ingat, ucapkan dengan jelas 'Stasiun Kings Cross, peron 9 ¾'."
Harry membuang bubuk floo hingga api yang panas berubah menjadi hijau dan melangkah masuk. Menghela napas dan terbatuk karena abu. Lalu ia berseru, "Stasiun Kings Cross peron 9 ¾!" dengan suara serak tapi jelas dan kuat.
Belum sempat ia berkedip, Harry terlontar keluar, dimuntahkan oleh perapian. Seketika ia melindungi kepalanya dari benturan lantai batu yang keras. Tidak lucu seandainya Headline Daily Prophet besok memberitakan otak Harry Potter berceceran di hari pertama masuk sekolah. Ya, tubuhnya memang mendarat pada sesuatu yang keras, tapi bukan lantai. Saat ia mendongak, matanya terus bergerak naik dan naik, dan naik, untuk melihat wajah familier yang membuat mulutnya menganga. Mata lebih hitam dari kelopak manapun yang pernah ia lihat balik menatapnya. Ia hanya bisa membeku saat menyadari siapa pemuda itu. Tangan-tangan kasar penuh kepal menyeimbangkan kakinya. Ia yakin sedang berdiri di hadapan predator.
"Tidak apa-apa?" Suara bariton rendah terdengar saat ia bertanya seraya menarik rambut Harry untuk mendapatkan perhatiannya. Harry menggeleng, bergerak menjauh. Tapi tangan yang besar menahannya. "Tidak ada yang mengantarmu?"
Harry menggeleng, "Aku yatim piatu, sir."
Ia menaikkan alis. "Salazar... Kau sangat pendek. Aku yakin kau akan tenggelam dalam kerumunan," komentarnya yang hanya dibalas Harry dengan anggukan serius, seakan tahu itu masalah besar. Pemuda itu mengerjap, mengamati Harry penuh penilaian sebelum akhirnya meraih pinggang Harry dan mengangkatnya dalam gendongan. "Tidak ada yang ingin melihatmu hilang, huh. Aku akan mengantarmu ke kereta."
Tangan Harry yang tanpa sengaja berakhir di bahu berotot itu mengusapnya terang-terangan dengan ekspresi penasaran. Membuat pemuda itu menaikkan alis gelapnya. Tentu itu pemandangan yang tidak biasa, terutama dengan perbedaan tinggi mereka. Dan jika kau tahu siapa orang yang menggendong Harry, tidak lah terkenal dengan kelembutan atau kebaikan hatinya.
"Flint?" Sekelompok pelajar senior memandangi mereka dengan heran. Flint, namanya Flint. "Apa yang kau lakukan dengan bocah itu?"
"Hm..." ia masih tidak menurunkan Harry. Harry juga tidak juga berhenti mengusap bahu itu penuh kekaguman. Apa yang dimakan Flint sehingga ia bisa sebesar ini? Ia tahu Flint adalah siswa senior, tapi bahkan tidak semua orang dewasa bisa menyaingi tinggi tubuhnya.
"Ayo. Kereta sudah mau berangkat," seru teman-temannya lagi.
Mengacuhkan mereka, Flint alih-alih bertanya, "Tahun pertama?"
Harry mengangguk.
"Dimana kopermu?" Harry meraih pendant di lehernya yang berbentuk miniatur koper. "Cerdas." Lalu tanpa menurunkannya, ia membawa Harry masuk kereta, dimana teman-temannya mengikuti dengan tatapan penuh spekulasi. Aneh, mereka seakan terlalu segan untuk berkomentar.
"Siapa namamu?"
"Harry..." lalu ke telinga Flint ia menambahkan, "Potter."
Pemuda itu mengangkat satu alis, "Marcus Flint. Kapten Tim quidditch Slytherin."
Marcus membuka salah satu pintu ruangan di gerbong itu, membuat tiga orang di dalamnya, yang tampak jelas adalah anak tahun pertama, menoleh kaget. Mereka memandangi Harry, lalu Flint, bergantian.
Perlahan pemuda itu menurunkannya, ia merundukkan kepalanya dan berbisik, "Aku harap kita bertemu lagi di Slytherin," lalu mendorongnya masuk dan menutup pintunya dengan keras.
Ia berbalik pada tiga orang anak tahun pertama, "Hai?" ujarnya sambil melambai.
"Hai." Salah satunya bergeser untuk memberinya ruang. "Namaku Sue Li."
"Harry."
"Terry Boot"
"Mandy Brocklehurst."
"Em... itu tadi saudaramu?"
Harry menggeleng.
"Kenalan?"
Harry menelengkan kepala, lalu mengerdik. Ketiga teman barunya saling berpandangan. Tapi Harry mengacuhkan mereka dan malah mengambil buku.
Harry memandang jendela setelah sekian lama menatap bukunya tanpa ada informasi yang bisa dicernanya. Sebuah mobil merah melayang di samping jendela dan lenyap menuju langit membuatnya tertawa kecil. Ia menghela napas, seandainya ia masuk ke asrama Gryffindor, itu yang akan terjadi. Ia akan menghadapi petualangan-petualangan konyol bersama kedua sahabatnya. Ia tidak mau memikirkan petualangannya yang lain yang lebih gelap dan berbahaya, karena di asrama manapun ia masuk, jenis petualangan itu tetap mengikutinya.
Pengelihatannya memberinya banyak pertimbangan, terutama mengenai Golden Trio. Ia memang akan mendapatkan persahabatan yang sesungguhnya, tapi resiko yang dihadapinya jauh lebih besar dibandingkan jika ia masuk asrama lain. Terlebih ia membenci ekspektasi yang diberikan orang seandainya ia masuk ke asrama singa. Ia lebih suka keberadannya dianggap angin lalu dibandingkan diberi penghambaan seorang pahlawan. Ia menggigit bibirnya. Menjadi latar belakang adalah masalah penting untuk bertahan hidup. Bukannya ia tidak tahu menjadi pusat perhatian tidak bisa dihindari, tapi sebisa mungkin Harry ingin menguranginya. Dan itu tak kan terjadi jika ia masuk Gryffindor.
Tiba-tiba pintu terbuka dan Hermione berdiri diambang pintu bersama Neville Longbottom. Pada kemungkinan takdir yang lain, Neville Longbottom bisa bertukar peran dengannya sebagai Anak Yang Bertahan Hidup. Melihatnya tampak kecil dan penakut membuat Harry mengamatinya penasaran, yang membuat Neville bersembunyi di balik Hermione, "Apa ada yang tahu katak bernama Trevor?"
Mereka semua menggeleng.
Hermione menatap bukunya, "Oh! Kau membaca buku ramuan! Aku sudah membaca semua buku yang ada dalam list. Favoritku adalah Sejarah Hogwarts! Namaku Hermione Granger dan Ini Neville Longbottom."
"Favoritku Ramuan dan Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam. Namaku Harry dan ini Terry Boot, Mandy Brocklehurst dan Sue Li." Ketiganya tampak kaget saat tahu Harry sudah hafal nama mereka. "Mengapa kau tidak meminta tolong Prefect? Mereka bisa membantumu meng-Accio-nya."
"Accio?"
Harry mengerdikkan bahu, "Tahu lah, mantra Accio untuk memanggil benda."
"Oh!" mereka berlima tampak terkejut. Hermione mengangguk, "Aku akan mengikuti saranmu. Ayo Longbottom," sebelum pergi ia berbalik singkat sambil berkata, "Sebentar lagi kita sampai, sebaiknya kalian ganti seragam."
Ia bersyukur Draco Malfoy dan Ronald Weasley tidak menemukannya.
Kereta mereka berhenti bersamaan dengan terdengarnya suara peluit. Anak tahun pertama mengikuti Hagrid untuk menuju dek dimana beberapa perahu ditambatkan. Sebelum ia pergi kesana, tiba-tiba ada yang menarik lengannya, dan sekali lagi ia berhadapan dengan Marcus Flint.
"Pegangan yang kencang, tidak ada yang mau pahlawan dunia sihir tenggelam ditarik gurita raksasa di dalam danau." Anak-anak tahun pertama yang ada di sekitarnya terbelalak ketakutan dan salah satu Prefect Gryffindor bernama Percy Weasley berteriak memeringatkan Marcus Flint supaya tidak menggangu para duckling. Marcus hanya menyeringai, menarik rambutnya lembut dan pergi secepat kedatangannya. "Dia sangat tinggi," bisik Terry Boot.
"Dan besar!" seru yang lain.
"Aku dengar ia punya darah Trol."
"Hush! Apa kau tidak tahu? Dia Marcus Flint dari Slytherin. Bahkan sesama Slytherin pun tidak ada yang berani dengannya."
Sambil satu telinga mendengarkan desas desus disekitarnya, matanya mengamati bagaimana Marcus berjalan seperti seorang predator yang membuat semuanya minggir, bahkan ada diantara mereka yang melompat. Harry tahu rasa percaya diri itu pasti tidak didapatkan dengan mudah atau murah. Terlebih dengan tubuh yang dimiliki oleh Marcus yang seperti pemain rugby profesional.
Perahu-perahu mulai berlayar membelah danau. Di kejauhan kastil Hogwarts berdiri menjulang dengan sombongnya seakan tahu jika tak ada yang menyaingi keindahannya. Harry tersenyum pada tempat yang selalu—nantinya—dianggapnya sebagai rumah pertamanya.
"Ah, terima kasih Hagrid," kata wanita paruh baya dengan rambut peraknya yang dicemol tinggi memakai pakaian khas penyihir seperti wanita terpelajar abad pertengahan. Ia tampak tegas dan disiplin, terlebih dengan ekspresi serius dan tatapannya yang membuat Neville mengkerut. "Namaku profesor Minerva Mcgonagal. Kalian akan menunggu disini dengan tertib sampai tiba giliran kalian untuk diseleksi."
"Aku dengar kita harus melawan trol," bisik Ron Weasley yang akhirnya memicu keributan antara kubu Malfoy dan Weasley. Harry bergerak tiga langkah ke samping untuk menghidari mereka yang disambut alis terangkat ketiga temannya. Ia tahu mereka bertiga akan masuk asrama Ravenclaw, tapi bahkan sebelum itu pun reaksi mereka mirip!
Mereka memasuki aula dalam barisan. Saat Topi seleksi mulai menyanyi, Harry mengikutinya. Mereka yang ada disekelilingnya memandangnya dengan aneh, terutama Hermione—oh, Hermione dengan pikirannya yang terlampau lurus. Tapi Harry tidak memperhatikannya, ia sibuk berayun sambil ikut bernyanyi lirih pada lagu yang berdengung di kepalanya sejak berminggu-minggu yang lalu, dan bertepuk tangan keras begitu topi selesai.
Sebelum seleksi dimulai, Dumbledore memperingatkan tentang hutan terlarang dan bahayanya Whomping Willow. Tak lupa tentu saja peringatan untuk tidak memasuki area lantai 3. Harry tidak ada niatan untuk mengganggu rencana Voldemort. Lagi pula tanpa campur tangan Harry, Voldemort tidak akan mampu mengambilnya. Sekali lagi ia mengeluarkan satu kakinya dari area manipulasi.
Lalu seleksi pun di mulai.
"Hannah Abbott!"
"HUFFLEPUFF"
"Hermione Granger!"
"GRYFFINDOR!"
"Neville Longbottom!"
"GRYFFINDOR!"
"Harry Potter!"
Bisikan dan geliat terdengar di seluruh aula. Harry yang masih menyenandungkan lagu sang Topi seleksi berhenti berayun dan mendongak. Matanya bersirobok dengan sang Master ramuan sekali lagi. "Harry? Harry Potter?" bisik teman-temannya sambil menoleh ke sana ke mari, mungkin mencari orang berambut Potter. Saat Harry maju, masih sambil tersenyum dengan mata mengawang-awang, bisikan-bisikan itu semakin keras dengan nada heran dan penasaran. "Itu Harry Potter?"
Saat topi menyentuh kepalanya, ia berseru dengan suara jernih yang terdengar lantang di aula yang sepi, "Halo, Topi Seleksi."
"Oh, Halo, mr Potter. Sungguh menarik apa yang ada di kepalamu."
"Hm.. hm.. silakan topi seleksi. Tapi aku kira, aku tahu kau akan menyeleksiku kemana."
"Ya. Ya. Sungguh isi kepala yang unik." Dan seperti dalam pengelihatannya sebelumnya saat topi itu menyeleksinya ke Gryffindor, topi itu tetap saja membutuhkan waktu yang lama. Ia tahu sang topi mempertimbangkan dua rumah utama untuknya—jika apa yang dilihatnya atau yang digumamnya benar. Tapi Harry percaya diri sang topi akan menaruhnya pada asrama yang benar-benar cocok dengan misinya.
"Hmmm... kau punya benak yang jauh lebih tua dari pada umurmu. Terutama untuk memahami situasi di sekitarmu. Itu tipikal yang cocok untuk mu di Slytherin. Ya aku pikir kau memang lebih cocok di SLYTHERIN!" Ah...
Harry melepaskan topinya dan menaruhnya ke tangan profesor McGonagal yang masih membeku sama seperti seluruh aula. Harry mengedip dengan senyum yang masih di bibirnya dan secara berangsur gemuruh tepuk tangan terdengar dari Slytherin. Ia tahu keputusan topi seleksi mengagetkan semua orang, siapa yang tahu anak dari singa adalah seekor ular yang cerdik. Tapi cerdik penting untuk bertahan hidup dibandingkan pemberani, terutama jika berdekatan dengan ular yang bersembunyi dalam tubuh singa. Langkah pertama adalah keluar dari area manipulasi.
"Halo," sapa Harry pada Malfoy yang akhirnya menyuruh kedua teman gendutnya untuk memberi ruang bagi Harry. Beberapa orang disekitarnya memperkenalkan diri. Harry balik memandang mereka dengan senyum dan mata mengawang-awang. Mungkin dari reaksi inilah yang membuatnya mendengar banyak bisikan yang mempertanyakan tentang kewarasannya. Bahkan ia samar-samar mendengar bisikan bernada hinaan–"mungkin dia jadi agak gila karena Killing Curse." Tapi Harry tidak mempermasalahkan hal itu. Harry memilih asrama ini, tahu dengan jelas apa yang dihadapinya.
Matanya yang mengawang menyapu sekitarnya dan berhenti pada Marcus Flint yang sedang melahap makanannya seolah semua yang ada disekitarnya tidak penting. Menyadari tatapannya, Flint mendongak, membuat mata mereka bersirobok. Bibirnya membentuk seringai tanpa menyadari mereka yang ada disampingnya berjengit menjauh. Ah... Sungguh menarik. Harry bisa mengerti mengapa Marcus Flint selalu muncul di pengelihatannya. Tampaknya berada di dekatnya tak kan membuat Harry bosan.
Seperti halnya Marcus Flint, segala hal yang ada di Slytherin menarik, bahkan ruang rekreasinya. Tempat itu memang lembab dan gelap karena berada di ruang bawah tanah. Tapi sofa-sofa dengan meja minum teh yang mengelilingi perapian, meja-meja antik dengan set catur mewah, serta lampu gantung dengan warna keemasan memberikan kesan berkelas. Jauh berbeda dengan ruang rekreasi Gryffindor yang serba merah dengan banyak mainan, selimut, snack dan majalah-majalah remaja bergeletakan.
Saat Prefect memberikan pengumuman dan Profesor Snape selaku kepala asrama menjelaskan peraturan, Harry berdiri diantara sekumpulan anak tahun pertama dengan mata mengawang-awang dan tubuh berayun menyenandungkan nyanyian para Mermaid dalam hati. Ia yakin lagu itu akan di dengarnya saat tahun ke empatnya. "Potter!" Harry berhenti berayun. "Apa kau mendengarkan?!"
"Ya profesor Snape..." katanya dengan lembut dan sopan. Pria itu menyipitkan mata, tapi tidak berkomentar.
"Ingat! Aku tidak terima ada lelucon atau pembulian di asrama ini! Masalah Slytherin tetap di dalam dinding Slytherin! Paham?!"
"Ya, sir!" seru mereka semua.
Berbeda dengan kamar Gryffindor di menara tinggi yang membuatnya dipenuhi sinar matahari, di ruang bawah tanah suasana jauh lebih gelap—well, tentu saja. Tapi yang memberikan kesan menarik adalah sentuhan kemewahan yang menggambarkan kehidupan sebagian besar anggota asramanya. Kamarnya juga jauh lebih luas dibandingkan kamarnya di asrama Gryffindor (perubahan yang tidak mengecewakan), sehingga bukannya harus tidur sekamar dengan lima sampai enam orang, ia hanya sekamar bertiga dengan Blaise Zabini dan Draco Malfoy. Dengan piama barunya yang seperti gaun tidur dan terbuat dari bahan berkualitas sehalus sutra, Harry tidur diatas ranjang paling empuk yang pernah dirasakannya. Tapi bukan lelap yang di dapat, tubuhnya menjadi makin waspada di tanah asing ini. Ia mencoba tidur, sungguh, karena ia tahu besok adalah hari pertamanya. Tapi ia terus bergerak-gerak gelisah dalam selimutnya.
Sambil menghela napas, Harry memutuskan untuk turun ke ruang rekreasi. Siapa tahu perapian bisa membantunya tidur. Saat tiba disana, rupanya masih banyak anak tahun atas yang berkumpul entah bermain game atau membaca.
"Apa yang kau lakukan keluar dari tempat tidurmu selarut ini, Potter?" suara dingin yang sudah tidak asing lagi menarik perhatiannya.
"Apa kau homesick?" sahut yang lain, disambut tawa teman-temannya.
"Oh, berhentilah bicara, kau juga Homesick saat tahun pertama. Aku ingat mengantarmu ke profesor Snape sambil menangis, dan kau menangis lebih keras saat berhadapan dengannya." Komentar itu memicu tawa yang lebih keras.
Harry hanya tersenyum sambil mengayunkan tubuhnya yang hanya berbalut piama tipis yang jatuh di atas lutut, karena ia terbiasa memakai pakaian yang terlalu besar dan merasa nyaman menggunakan itu untuk tidur. Tentu piama itu menenggelamkan tubuhnya yang mungil. Matanya menyapu sekeliling, mencari asal suara familier itu hanya untuk menemukannya duduk dengan majalah quidditch terlipat di tangannya. Matanya beralih dari majalah itu ke Harry. Lalu menjentikkan jarinya seolah berkata, Kemari.
Kakinya melangkah lebih dulu dari pada otaknya, dan tanpa sadar ia sudah berada di depan Marcus Flint. Semuanya berhenti bicara dan mengamati. Seakan tak menyadari itu, Marcus menggiringnya ke pangkuannya. Posisinya membuat kepala Harry sedikit lebih tinggi dan punggungnya merasakan otot lengan yang bersandar di pegangan sofa. Semua orang membeku dengan mata terbelalak. Bahkan salah satu dari mereka terus menuang teh ke dalam cangkir hingga isinya meluber tanpa menyadarinya, membuat Harry geli tapi juga bingung. Tapi tidak lama sampai perhatiannya tersita oleh rasa penasaran pada dada keras yang ada di bawah tangannya.
Dengan polos ia bertanya, "Bagaimana kau bisa begitu besar?" ia mendengar suara terkesiap di kejauhan dan suara tersedak. Harry mengelus dada itu saat merasakannya menegang. Mendongak, ia melihat ada senyum miring disana yang membuatnya tampak berbahaya bagi selain Harry. Harry hanya menganggap senyum itu menarik karena cocok dengan kepribadian Marcus Flint.
"Kau tidak ingin kembali ke kamarmu?"
"Hm..." Tidur tidak lagi menjadi alternatif yang menggiurkan dibandingkan semua otot itu. Jika sudah besar, Harry juga ingin punya otot seperti itu. Kini tangannya beralih pada lengannya. Ia merasakan rambutnya ditarik lembut, tapi Harry mengabaikannya.
"Potter?" salah satu gadis disana bertanya, "Apa kau baik-baik saja?"
Lengan yang melingkari pinggangnya menegang. Harry balik memandang gadis itu dengan bingung. Tentu ia baik-baik saja. Ia tidak sakit. Lalu memandang Marcus Flint seakan meminta penjelasan. Tapi ia tak menyediakan jawaban apapun kecuali tatapan membara yang membuat bulu di tengkuknya berdiri. Tapi tatapan itu tidak di arahkan padanya, lebih kepada gadis itu. Harry tidak ingin tatapan itu tertuju padanya. Karena itu menakutkan dan rupanya tidak hanya Harry yang berpikiran begitu seandainya suara terkesiap itu buktinya. Keheningan total menyambut mereka.
Lalu suara berat dan tajam memecah keheningan, "Kenapa kau tidak mencoba menutup matamu dan tidur. Kemari." Ia menarik Harry bersandar ke bahunya. OH! Ini sungguh nyaman. Ia tidak yakin bisa tidur di atas bantal lagi setelah merasakan bahu ini. Harry menguap. Menggeser sedikit tubuhnya untuk mencari posisi nyaman. Marcus meng-conjured selimut dan menutupi Harry dengannya, meninggalkan puncak kepalanya saja. Harry mencium aroma maskulin yang membawanya terlelap.
Setelah beberapa saat dan semua orang yakin Harry sudah terlelap, salah satu dari siswa berkata dengan nada serius, "Flint. Apa kau sadar dengan apa yang kau lakukan?"
Marcus memandangnya tajam hingga membuatnya berjengit, "Kau berkata seolah aku pedofil." Mereka semua saling memandang dengan gugup. Seketika tongkat sihir meluncur ke tangannya. Dengan hanya bisikan,"Silencio, Crucio!" dan gerakan jentikan tongkat semata, Marcus membuatnya jatuh dengan jeritan tanpa suara. Seandainya tidak ada ward dan mantra kedap suara di ruangan ini, sihir itu tidak mungkin bisa dilakukan di Hogwarts. Bahkan Snape pun tahu dan menutup mata asal tidak melihatnya sendiri. Anggota Slytherin tahu betul untuk menjaga rahasia tetap di dalam tembok Slytherin. Pemandangan biasa ini akhirnya berakhir setelah beberapa saat. Wajah puas tampak pada orang paling ditakuti kedua setelah profesor Snape di asrama Slythrin. Bukan Prefect, bukan pula Malfoy, tapi Marcus Flint. Memang sekali waktu mereka perlu diingatkan siapa itu Flint. Dan seperti apa konsekuensi yang dibawa namanya.
"Jangan lupa siapa orang yang sedang kau nilai, Max," bisik Marcus sambil mengamati tongkatnya. Menjaga suaranya dari Harry yang sudah lelap. Lalu, ia berdiri membawa sang hero dunia sihir tanpa menoleh dua kali. Meninggalkan ruang rekreasi dalam keheningan dan ketakutan.
Ketika Harry bangun keesokan harinya. Ia merasakan tempat tidurnya terlalu keras untuk disebut ranjang. Tapi bukan dalam artian buruk karena ia hangat. Hangat? Hal itu membuatnya mengerjap bangun dan menyadari rupanya ia tidur diatas dada telanjang Marcus. Mata hijau emeraldnya membesar saat mengamati lekuan dan otot serta bekas luka yang menghiasinya. Kendati begitu, bukannya malah membuatnya jelek, bekas luka itu malah membuatnya sempurna sebagai contoh tubuh maskulin yang dipahat bagai dewa. Anak-anak rambut yang lebat dan gelap menghiasi perut six-pac yang lenyap dibalik celana panjangnya. Tubuhnya yang besar hampir memenuhi seluruh tempat tidur, hingga membuat Harry hanya punya tempat di atas pemuda itu, jika tidak ingin terguling keluar ranjang. Harry mengamati ekspresi santai yang menghilangkan kerut yang biasanya ada di dahinya. Satu lengannya tertekuk di bawah kepalanya, menunjukkan otot-otot keras. Sebagai sesama laki-laki, Harry berharap nantinya ia juga punya semua itu. Lagi pula, masih ada banyak tempat untuknya berkembang.
Berusaha mengalihkan perhatiannya pada sesuatu yang lebih pantas seperti rambut hitamnya yang biasanya di tata gaya, kini awut-awutan dengan cara yang membuatnya lebih manusiawi. Wajah Marcus Flint tidaklah memiliki standart ketampanan pada umumnya. Tapi tak bisa dipungkiri ia punya daya tarik maskulin yang membuat kaki wanita lemas. Jika apa yang dikatakan bibi Petunia tentang aktor-aktor bertubuh atletik di telly itu benar. Harry terkesiap saat tangan besar penuh kapal mengusap punggungnya, membawanya menatap satu mata hitam terbuka. "Sudah selesai mengamati?"
Pipi Harry merona.
Marcus menguap dan bergerak menjatuhkan Harry ke tempat tidur, menukar posisi mereka. Paha besar itu ada diantara kakinya, yang menjaganya dari tertindih hanya lengan-lengan kuat yang ada di sisinya. Harry terkesiap saat tangan besar mengunci kedua tangannya di atas kepala. "Kau sangat pendek."
Harry cemberut.
Marcus menggeser tubuh mereka, sehingga Harry bisa merasakan sepanjang tubuh bagian atas Marcus yang keras dan berotot. Kepalanya ada diatas lengan besarnya, sementara mereka saling berhadapan. Telapaknya yang besar menangkup pinggang Harry, menjaganya jatuh ke luar ranjang. Matanya masih mengamati Harry saat berkata, "Pelajaran pertama dimulai sejam lagi, sebaiknya segera bersiap jika kau ingin sarapan."
"Kau juga!"
"Aku tidak sarapan."
"kenapa?"
Marcus membawa bantal menutupi wajahnya. "Tidur."
"Flint~"
"Hush. Jangan ganggu aku."
"Flint!" Harry memukulnya. Yakin ia bahkan tak merasakan pukulan itu.
"Apa?!" geramnya jengkel.
"Aku tidak tahu kamarku dimana..."
Marcus menghela napas. Lalu dengan jentikan jarinya, seragam dan tas Harry muncul. Masih dengan wajah di bawah bantal, ia menunjuk, "Kamar mandi di sebelah sana."
"Kau juga punya kamar mandi pribadi?!"
"Hanya karena aku kapten tim quidditch." Oh! Salah satu keistimewaan lain yang dimiliki Slytherin dan tidak dimiliki asrama lain. "Kau bisa berendam disana."
Masih dengan wajah di bawah bantal, Marcus memperhatikan suara shower dinyalakan. Marcus berbalik untuk tidur. Tak lama ia merasakan tangan lembab menyentuh pipinya. Tapi ia tetap menutup mata. "Flint. Apa kau yakin tidak ikut turun?"
"Sejam lagi. Aku tidak ikut sarapan."
"Paling tidak jangan lupa mandi."
Marcus mengacak rambutnya tanpa membuka mata dan memberikan gestur mengusir. Tak lama ia mendengarkan pintu tertutup.
Teman sekamarnya heboh menanyakan kemana ia menghilang. Saat Harry memberitahunya jika ia tidur di kamar Marcus Flint, teman-temannya tercenggang. Dan seakan tidak percaya, menoleh pada anak tingkat atas hanya untuk melihat mereka mengangguk dengan ekspresi serius. Pada wajah polos dan bingung Harry, Malfoy menjelaskan orang seperti apa Flint itu. Rupanya namanya ditakuti oleh sebagian besar pureblood. Ia seharusnya berada di tahun terakhirnya di Hogwarts, tapi karena gagal menghadapi ujian N.E.W.T, ia harus mengulang lagi setahun. Bukan karena ia bodoh, siapapun tahu jika sihirnya sangat kuat dan ia luar biasa di praktek. Tapi ia hanya peduli pada quidditch, dan ini mengorbankan waktu belajarnya. Kata mereka, ia lebih parah dari pada kapten Gryffindor, Oliver Wood.
Penggambaran karakternya, dari kata berbahaya, tempramen, kejam dll terdengar seperti orang yang harus dijauhi. Tapi Harry tidak melihat semua itu dari Marcus. Lagi pula jika ia tempramen, itu hanya kepada orang yang benar-benar membuatnya kesal. Hal itu membuat Malfoy berseru, "Itu dia intinya! Dia selalu kesal."
Harry tidak setuju, jadi ia hanya mengerdikkan bahu dan melanjutkan makan.
Harry merasakan perbedaan pertama di kelas ramuan dibandingkan seandainya ia terseleksi ke asrama Gryffindor. Snape tidak memanggil ia selebritis, tapi tetap memberikan kuis-kuis yang sudah ia persiapkan sebelum pertanyaan dilontarkan. Bahkan ada satu pertanyaan yang dijawabnya sebelum pria itu selesai bicara hanya karena terlalu bersemangat. Satu-satunya yang sama hanya Hermione yang menaikkan tangannya seperti ingin menyentuh langit-langit dan point yang terus menerus berkurang dari Gryffindor. Sebenarnya, Hermione bisa saja mengembalikan point yang berkurang, andai ia ditunjuk untuk menjawab. Sayangnya Snape lebih memilih Slytherin (Harry dan Malfoy) untuk menjawab. Sesuatu yang lumrah di temukan di kelas ramuan Slytherin-Gryffindor.
Ia bertemu lagi dengan Marcus saat makan siang. Ia sudah tidak tampak seperti mayat hidup. Marcus tidak pernah terlambat jam pertama, tapi ia tidak pernah sarapan hanya agar bisa tidur beberapa menit lebih lama. Hal itu sudah umum di antara anggota Slytherin. Ia juga bukan orang akademis, tapi tidak menahannya dalam memperoleh nilai tertinggi di praktek sihir. Membuktikan bahwa ia penyihir yang kuat, tapi malas membaca teori.
Namun, orang disekitarnya bertingkah seolah ia lebih menakutkan dari siswa biasa. Desisannya membuat sendok terjatuh atau orang tersedak. Tentu saja Harry menyadarinya juga, tapi ia mengabaikannya karena itu tidak pernah ditujukan pada dirinya. Bahkan ekspresi kesalnya berubah menjadi seringai lebar saat ia melihat Harry. Merasa tidak ada yang aneh, Harry duduk di tempat kosong di samping Flint. Tempat kosong seakan tidak ada yang berani menempatinya.
Harry tidak menyadari kepala-kepala menoleh dengan pandangan ngeri bercampur kagum. Terlebih saat ia mengambil potongan daging dari piring Marcus karena tangannya terlalu pendek untuk menjangkau. Marcus hanya menaikkan alis sebelum meraih piring berisi daging kalkun dan mendekatkannya pada Harry. "Ada yang lain?"
"Jus labu, please..." jawabnya. "Trims..."
Marcus mengamatinya makan dan sesekali menarik anak-anak rambut yang menutupi matanya. "Kau perlu penjepit." Harry hanya menggeleng. "Lukanya biar tertutup..." yang hanya dibalas oleh alis terangkat.
Malam itu, ia mengetuk pintu kamar Marcus Flint sambil memeluk bantal. Pemuda itu membukanya sambil bertelanjang dada. Air masih menetes dari ujung rambutnya dan handuk menyampir di bahu. Tampaknya tim quidditch Slytherin baru selesai latihan.
Mata gelap itu mengamati Harry dari ujung kepala hingga kaki, sebelum tanpa bicara mendorong pintunya lebih lebar untuk memberinya ruang masuk. Harry yang sudah setengah tertidur tidak sadar hingga ia sudah berpindah ke atas gendongan, lalu ke ranjang dalam hitungan detik. Saat Marcus naik, ia memindahkan Harry ke atas tubuhnya dan melingkarkan lengan-lengannya yang berotot ke pinggangnya untuk menjaganya supaya tidak jatuh. Harry tidak mempertanyakan sikap protektif itu, ataupun menganggapnya aneh karena pengelihatannya selalu menunjukkan hal yang sama. Toh, ia tahu akan selalu aman bila bersama Marcus.
Hal itu terjadi tiap malam, membuat ranjangnya sendiri tidak berguna. Lagi pula, jika ia tidur disini, ia bisa meminjam bak mandi Marcus dan menghindari shower umum. Ia tidak harus mengantri memakai kamar mandi. Tentu saja, tidak lama sampai gosip jika ia selalu menghabiskan malam di ranjang Marcus Flint, menyebar dalam asrama Slytherin. Tidak ada yang berani berkomentar di depan Marcus, tapi lain dengan Harry yang anak tahun pertama tanpa dukungan politik atau kemampuan sihir seperti anak-anak senior.
Beberapa orang bodoh ini, mengira Marcus Flint sudah lembek, mencoba mengganggu Harry. Membuatnya masuk ke aula besar tanpa sepatu, melenyapkan seragamnya, dan merusak buku pelajarannya. Harry yang sudah siap menghadapi perlakukan ini karena sudah melihatnya, hanya bersenandung riang dengan kaki telanjang. Profesor Snape bertanya mengapa ia tidak memakai seragam di aula besar, apa karena ia lupa atau gila yang disambut dehaman peringatan kepala sekolah. Semua terkejut saat Harry menjawab dengan polos, "Tapi profesor, seragamku sedang bersembunyi. Aku tidak bisa menemukannya walau aku sudah mencoba menghitung sampai 100."
"Seragam tidak main petak umpet, Potter!"
Saat itulah seluruh aula bergetar dengan aura kemarahan dan bahaya. Semua orang menoleh pada salah satu sudut meja Slytherin, tempat Marcus Flint duduk dengan gelas pecah di tangannya. Profesor Dumbledore memandang semua itu dengan mata berkelip dan senyum tersembunyi, sementara semua orang menahan napas merasakan kemarahan itu. Mengejutkan, sungguh mengejutkan, saat Marcus berjalan ke arah Harry seperti banteng kalap, (terdengar suara seruan McGonagal) dan meraih Harry dalam gendongan.
"Marcus Flint! Turunkan aku!" wajahnya merah padam digendong di tengah aula penuh mata yang melihat.
"Tidak. Ayo kita cari barangmu."
"Aku bisa jalan sendiri!" suara Harry terdengar sementara Marcus membawanya keluar aula.
"Tidak tanpa alas kaki. Ingatkan aku mengajarimu mantra Accio." Pintu aula tertutup dalam dubuman, meninggalkan ruangan itu dalam keadaan hening. Diantara mereka semua yang tidak bergeming, satu dua diantaranya meneguk air besar-besar; tahu benar apa yang menanti mereka.
Jika malam itu terdengar suara jeritan di dalam salah satu ruangan rahasia di bawah tanah, Harry terlalu lelap untuk menyadarinya. Lagi pula, bantal yang dipeluknya punya aroma seperti Marcus. Semenjak itu tidak ada yang mempertanyakan sikap protektif Marcus Flint.
Tapi tidak dipungkiri, banyak orang yang penasaran alasan begitu cepatnya Marcus Flint jatuh dalam sikap protektif pada Harry. Itu pun masih misteri bagi Marcus sendiri. Sedangkan bagi Harry, ia menganggapnya hal biasa, karena seperti itulah yang selalu ia lihat, bahkan sebelum mereka saling kenal.
Sekalipun dengan jelas tidak ada tanda bahwa Marcus Flint ingin melukai Harry. Beberapa anak senior tetap memperingatkan Harry pada bahaya dari mereka yang menyandang nama Flint. Lebih dari lima orang sudah berbicara padanya, termasuk Draco. "Kau harus tahu Harry. Pureblood macam apa keluarga Flint itu. Bahkan diantara kami sekalipun namanya ditakuti. Bahkan ada yang bilang Gideon Flint hanya membesarkan anaknya sebagai penghancur. Kau pikir tubuh yang dimiliki Flint itu normal untuk penyihir? Ia seperti monster, bahkan kau tak tahu seberapa banyak korbannya saat pertandingan quidditch!"
Harry sedikit tersinggung dengan istilah monster yang dipakai. Tapi bukannya ketakutan, ia malah makin penasaran dengan Marcus saat bermain quidditch. Bukankah ia juga kapten tim?
Hal itulah yang membuatnya menyelinap di luar jam untuk melihat tim Slytherin berlatih. Ya, menyelinap, karena hanya mereka yang berijin khusus saja yang bisa keluar kastil lebih dari jam 4 sore. Harry melihat para anggota tim meluncur tinggi di atas kepalanya. Mereka saling melempar Quaffle, berusaha membuat sebanyak mungkin gol. Sementara yang lain berlatih memukul Bludger. Ia mendengar suara Marcus berteriak-teriak mengarahkan pemain. Papan tinggi di tengah lapangan dekat pintu masuk stadion memberitahunya bahwa mereka sedang latihan stategi. Beberapa anggota yang masih pemanasan mengamati sekitar seandainya ada mata-mata. Mereka mengangguk saat melihat Harry, tapi membiarkannya melihat latihan. Tiba-tiba bola keemasan bersayap lewat di depan Harry dan memutari kepalanya, membuatnya berputar mengikuti bola itu. Tangannya refleks mengulur panjang dan menangkapnya dalam tangkupan. Suara ping keras terdengar dari papan skor, menandakan Snitch telah ditangkap. Semua orang berhenti di udara. Marcus memukul keras Bludger menjauh sebelum berhenti dan menatap Harry.
Sang kapten dengan cepat meluncur ke arahnya dan berhenti dengan mulus sebelum melompat. "Potter!"
"Hai, Flint," katanya sambil melambai.
Angin yang kencang mempermainkan syal dan rambut mereka. "Apa kau ingin sakit berdiri ditengah udara dingin?" katanya dengan nada kasar, tapi menjentikkan tongkatnya, seketika membuat Harry hangat.
"Trims..."
"Hm... apa kau pernah naik sapu?"
Harry mengangguk, "Aku baru dapat kelas naik sapu terbang kemarin." Dan karena ia menghalangi Draco menganggu Neville, ia juga tidak punya kesempatan menyelamatkan Rememball-nya yang otomatis membuatnya tidak masuk ke dalam tim.
"Tahu peraturan permainan quidditch?"
Harry mengangguk lagi.
"Mau mencobanya?" katanya sambil menyodorkan nimbus 2000.
"Oh!"
"Ambil," kata Flint.
Sambil menyeringai, Harry melepaskan Snitch dan naik ke atas sapunya, membuatnya meluncur naik dengan cepat mengikuti bola emas bersayap itu. Ia mendengar gelak tawa di kejauhan. Ini perasaan yang dirindukannya setelah ia bermimpi menembus awan dan membelah angin dengan kencang. Ia merindukan firebolt-nya. Tapi Nimbus 2000 juga tidak terlalu buruk. Harry mengulurkan tangan dan secepat sapunya ia bergerak meraih Snitch. Gelak tawa berderai keluar dari mulutnya, membuat dirinya sendiri terkejut. Saat ia turun dan menjejakkan kakinya ke tanah, wajahnya masih dihiasi seringai lebar.
"Harry Potter!"
"Potter!"
"Kita menemukan Seeker!"
"Potter," suara Marcus membuatnya menoleh. "Ikut aku." Tanpa banyak bicara ia berbalik, meninggalkan Harry untuk berdiri terpaku, sebelum akhirnya mengikutinya. Jantungnya berdegup kencang saat langkah Marcus membawa mereka sampai ke ruang bawah tanah, lebih tepatnya di lorong tempat kepala asrama Slytherin tinggal. Marcus mengetuk pintunya keras tiga kali, sebelum membukanya ia berkata, "Tunggu disini."
Harry bergerak-gerak gelisah sambil menunggu. Setelah beberapa menit tanpa ada suara kemarahan atau ornamen dibanting, pintu kantor sekaligus ruang pribadi profesor Snape terbuka. Marcus menarik masuk Harry dan mendorongnya ke depan profesor Snape yang duduk di depan tumpukan perkamen yang memenuhi meja. Pena bulu ditangannya.
"2 point untuk Slytherin karena melanggar jam malam." Katanya setelah beberapa saat, membuat Harry menggigit bibir. "Aku dengar kau lihai menangkap Snitch, bahkan saat sedang tidak naik sapu terbang, mr Potter."
"Itu, atau hanya karena Snicth menyukaiku, sir," jawabnya jahil. Senyum perlahan memudar saat melihat ekspresi profesor Snape. "Maaf, sir."
"Tentu," masih dengan wajah kaku. "Mr Flint selaku kapten tim memintaku memberimu ijin untuk masuk ke dalam tim sebagai Seeker, mr Potter."
"Sungguh?" serunya sambil memandang Marcus dengan senyum lebar.
"Tapi itu belum diputuskan. Lagi pula anak tahun pertama tidak diperbolehkan memiliki sapu terbang."
"Ya, sir..." bisiknya sedih. Lagi pula ia tidak yakin jika Snape mau melanggar peraturan seperti McGonagal.
"Walau begitu tidak ada larangan untuk bermain quidditch." Harry terkesiap. "Untuk sapu terbang sepertinya mr Flint punya solusinya."
Marcus mengangguk, "Tidak ada yang bilang jika anak tahun pertama tidak bisa meminjam."
Harry terbelalak, ia tidak melihat ini akan terjadi, sungguh. Ia mengira dengan menghalangi konfrontasi antara Draco dan Neville sudah menghilangkan kesempatannya untuk bermain dalam tim di tahun pertama. Tapi sungguh lucu bukan, nasib.
Harry melemparkan dirinya ke sang kapten yang kaget. Seandainya bukan dengan refleks Marcus, mungkin Harry sudah melukai mereka berdua. Tidak hanya itu. Seandainya Harry tahu setegang apa wajah Severus Snape menantikan reaksi mr Flint, dan sekaget apa setelah ia melihatnya, Harry pasti sudah terbahak-bahak. Tapi ia sedang sibuk melingkarkan lengannya ke leher sang kapten sambil berseru, "Terima kasih, sungguh. Terima kasih, Flint." Bukannya melemparkan Harry atau berkata jahat padanya, pemuda itu hanya berdiri diam, menggendongnya supaya tidak jatuh. Setelah ia merasa Harry sudah lebih tenang, sang kapten menurunkannya.
Menyadari yang sudah dilakukannya di hadapan profesor kurang sopan, Harry berkata, "Uh... maaf profesor Snape."
Terlalu terkejut untuk berkata-kata. Sang Master ramuan hanya memijat hidungnya dan melambaikan tangan untuk menyuruh mereka pergi. Beberapa menit sudah lebih dari cukup berurusan dengan Potter. Sambil menghela napas, ia memperhatikan kedua anak itu pergi; Marcus Flint masih tetap berwajah dingin, tapi tangannya di punggung Harry Potter yang melangkah dengan riang. Sepertinya rumor itu benar. Severus Snape menghela napas dramatis.
Tentu kabar Harry Potter masuk ke dalam tim menyebar seperti nyala api di asrama Slytherin. Draco mengagetkannya dengan ucapan selamat yang tulus. Ia mengira Draco akan marah, tapi anak pirang itu malah melihatnya dengan aneh dan berkata, "Aku tidak seberbakat itu untuk bisa masuk di tahun pertama, lagi pula aku menginginkan posisi Chasers." Dunia sudah terbalik. Tapi Harry memadamkan keheranannya saat ia mendengar Draco berkata, "Tapi tidak berada dalam tim tidak menghentikanku untuk meminta ayahku membelikan anggota tim Slytherin sapu terbang model baru. Barangkali itu juga bisa menjaminku masuk ke dalam tim saat uji coba dibuka di tahun ke dua."Ah, Itu baru Draco Malfoy.
Syukurlah, berbeda dengan Gryffindor, anggota asrama Slytherin lebih pintar menjaga mulut. Walau itu tidak menahan mereka melemparkan senyum penuh kemenangan seakan sudah memenangkan piala asrama. Membuat semua orang memandangi mereka dengan curiga.
Tiba-tiba saja, Harry Potter menjadi anak yang populer di asrama Slytherin. Semua orang tiba-tiba menyukainya,bahkan para anak Pelahap Maut. Sepertinya mereka melupakan nama Potter demi piala quidditch. Well, tidak mengherankan lagi mengapa Slytherin disebut asramanya orang-orang cerdik.
Masuk ke dalam tim membuatnya menghabiskan banyak waktu dengan Marcus Flint. Mereka tidak pernah benar-benar bicara dari hati ke hati karena itu bukan tipe Flint. Tapi ia punya kesabaran yang tidak diketahui orang lain, terutama untuk mendengar lanturan Harry. Dan juga kemampuannya untuk selalu ada saat Harry berjalan sendirian membuatnya seperti ninja! Seperti saat ini, ketika ia berjalan di antara garis parameter hutan terlarang dengan tanah Hogwarts yang aman. Tiba-tiba saja Marcus sudah berdiri di belakangnya dan menarik punggug jubah seragamnya.
"Flint!"
"Apa yang kau lakukan berjalan sendirian di Hutan Terlarang, Potter."
"Tidak sendirian!" katanya sambil menarik lengan Mercus ke arah hutan.
"Apa kau mau dihukum!" Marcus mengangkatnya ke bahunya, seolah ia sekarung kentang.
"Flint!"
"Jangan berteriak di telingaku."
Harry menggeliat membuat badannya sejajar dengan kepala sang kapten.
"Apa kau percaya padaku, Flint?"
Ia menyipitkan mata.
Harry menunjuk ke hutan, "Bawa aku kesana."
"Apa kau ingin membunuh dirimu?"
"Kumohoooon," Harry menangkup pipi sang kapten. "kumohon?"
Marcus menghela napas. Tapi membawa mereka masuk. "Aku tidak akan membawamu sampai ke dalam."
"He-eh," Harry mengangguk. Melingkarkan lengannya ke sekeliling leher sang kapten dan menyadarkan kepalanya ke bahunya. Setelah beberapa saat Harry menyuruhnya berhenti dan menurunkannya. Marcus menurutinya tanpa bicara, ia hanya memandang sekelilingnya waspada seakan menyadari ada sesuatu disana. Tanpa menunggu lama, seekor Unicorn muncul dari balik pohon. Cahaya lembut tubuhnya menyinari kegelapan pekat hutan terlarang. Harry saling berpandangan dengan mata gelapnya, sebelum mereka perlahan bertemu di tengah. Marcus terkesiap saat Harry menyentuh moncongnya dengan lembut dan mengusapnya. Sang unicorn mengusapkan kepalanya ke sekeliling tubuh Harry.
Ia menoleh ke belakang dan mengulurkan tangannya pada Marcus
"Tidak."
"Flint~"
"Tidak."
"Please?"
"Potter," desisnya, "Apa kau sadar aku tidak bisa mendekati mereka!"
Harry mengerutkan kening, tapi masih mengulurkan tangannya. "Penyihir hitam tidak berarti ternoda. Kalau itu memang benar, seharusnya mereka tidak mau mendekatimu, tapi coba lihat?" Ia menelengkan kepala pada Unicorn yang mengendus rumput di dekat mereka. "Unicorn tahu jika semua itu masalah niat. Jika kau punya hati yang benar, sekalipun seorang penyihir hitam, kau tidak ternoda," jelasnya dengan nada keras kepala.
"Kau tidak paham. Jika kau melakukan sihir hitam, itu masalah niat. Kau tidak akan bisa melakukannya tanpa niat. Niat membunuh, niat merusak, niat menghancurkan!"
Harry memutar bola matanya, " Seolah kau sudah melakukan semua itu saja."
"Kau keras kepala, Harry." Lalu perlahan, sambil menahan napas, Marcus berjalan mendekat. "Jika dia menendangku, aku akan membunuhmu, Potter."
Mengabaikan peringatan itu, Harry menarik tangannya dan meletakkannya ke moncong unicorn. "Siapa bilang kau ternoda..." godanya.
"Semua orang kecuali kau," gerutunya datar.
Harry mendengus. "Unicorn tidak percaya itu." Dengan nada lembut dan mata emeraldnya yang menyihir, ia menambahkan, "Sihir hitam, sihir putih, bahkan yang diantaranya, bukanlah yang jahat, Marcus. Jangan salahkan sihir, tapi orangnya."
Marcus terkesiap. Ia menyandarkan kepalanya ke Unicorn. "Aku bukan orang yang baik, Harry."
"Aku tahu. Tapi aku juga tahu, tidak semua bagian itu jahat. Sama sepert semua orang. Ada baik dan buruk pada diri tiap orang. Jika kau tidak percaya tanyakan saja pada Unicorn."
Saat Marcus menoleh pada Harry ada senyum langka yang menghiasi wajahnya. Bukan seringai atau senyum kecut, tapi senyum kecil yang tulus, Harry mengnggap itu sebagai sebuah kemenangan.
Mereka duduk lama disana dikelilingi keluarga Unicorn. Flint mendengarkan Harry bicara dengan mereka. Seakan percaya jika perkataannya dimengerti. Sudah menjadi hal biasa bagi Marcus Flint untuk menganggapnya sebagai 101 keanehan Harry Potter. Tapi yang membuatnya waspada adalah peringatan dalam kalimatnya. "Kumohon. Kalian harus pergi dari sini. Jika perlu pergi ke tempat paling dalam di hutan atau meminta perlindungan Centaurus. Malam-malam yang akan datang akan berbahaya untuk kalian. Ada sesuatu yang jahat datang mengincar bahkan ia tak kan berhenti di depan kesucian yang kalian miliki. Peringatkan yang lain. peringatkan!" bisiknya yang dibalas oleh ringkikan para Unicorn. Lalu kuda-kuda sihir itu, seakan memahami desakan itu, berderap secepat mungkin masuk ke dalam hutan yang paling dalam. Harry Potter duduk disana dengan tatapan mengawang-awang dan senyum sedih seakan telah melihat beratnya beban dunia. Disaat-saat seperti itu Marcus curiga apakah ia setengah peramal.
"Hari sudah mau gelap. Sebaiknya kita segera kembali, Potter."
"Harry."
"Hm?"
"Harry, Please."
"Jika kau memanggilku Marcus."
Senyum Harry tidak pernah lebih lebar dari ini.
Bersambung