Strangers

.

.

"Baby, I want to drink you in like oxygen, like oxygen

Baby, I'm a house on fire, and I want to keep burning—"

[SIA – House on Fire]

.

Strangers!Iwaizumi Hajime ft Oikawa Tooru

.

.

.

Aku melihat lelaki yang sangat indah dan aku mulai menangis, batin Hajime; dan ketika lirik lagu selanjutnya mengalun dari earphone hitam itu, dan dengan matanya yang mencuri-curi pandang, mengamati sosok yang berdiri tak jauh darinya, yang berlindung dari rintik-rintik hujan bulan Mei di satu atap halte yang sama dan menunggu bus yang sama pula sepertinya, ia mendengus dan berpura-pura bahwa dirinya tidak merasa tertarik sekejap mata pada sosok tersebut dan menyibukkan diri bersiul mengikuti alunan lagunya, aku menangis entah karena memang dia yang sangat cantik atau dengan kenyataan bahwa mungkin aku memiliki ketertarikan seksual dengan lelaki.

"Oh," Hajime berjengit ketika seseorang mengambil salah satu earphonenya, dan sekejap mata berpindah ke sisi telinga sosok itu tanpa sungkan pula mereka duduk berdekatan saling menyentuh bahu seperti kawan lama. Hajime seolah tidak mempedulikan lelaki asing itu yang menyerobot ruang privasinya dan memilih mengenang sensasi ketika kulit pada jari tangan lelaki itu yang sedikit menyentuh daun telinganya, dan menghantarkan kejut listrik asing namun adiktif hanya dalam satu detik saja. "Aku tidak tahu kalau kau juga seorang fans SIA."

"Juga?"

"Mhm," lelaki itu mengangguk anggun. "Sejak aku berteduh dan samar-samar mendengar siulanmu itu, aku merasa familiar dengan nadanya dan ternyata tebakanku benar: Push—Feeling Good in Wednesday!" dan dalam cahaya yang temaram karena lampu neon halte dan awan kelabu diatas sana yang terisak kecil, Hajime masih bisa melihat sedikit kilat menyenangkan di iris coklatnya yang hangat—dan dengan senyum khas layaknya anak-anak yang jahil itu, dan dengan pipinya yang bersemu amat samar dari balik helai rambut brunetnya yang sedikit basah dan layu; bagaimana bisa Hajime melupakan dan berpaling dari itu? "Tapi akhir-akhir ini justru House on Fire menghipnotisku dan membuatku kecanduani! Kau pernah mendengarnya?"

"Tidak—belum."

Lelaki itu mengerutkan kening dan pucuk hidungnya, lalu mengerucut dan membuat Hajime melihat rona merah muda di sisi dalam bibirnya yang tak bercela itu. "Oh ya? Bagaimana bisa kau yang seorang fans SIA tidak—oh, belum pernah mendengarnya?"

"Siapa yang bilang kalau aku adalah fans SIA?"

"Jadiiiii," nadanya mengayun halus. "Kau bukan?" lelaki itu memiringkan kepalanya dan Hajime menahan untuk tidak terlihat canggung karenanya. "Tapi kau mendengarkan salah satu lagunya."

"Jadi, jika seseorang mendengarkan sebuah lagu, maka kau berpikir bahwa orang itu adalah fans dari penyanyinya?" Hajime mendengus dan mengubah posisi duduknya agar ia tidak terlalu dekat dengannya dan alasan utamanya karena diam-diam supaya detak jantungnya tidak mengalir dan membuat orang itu peka dari bahu mereka yang saling bersentuhan. "Dipikir-pikir, agak aneh untuk seseorang seperti dirimu ternyata punya pola pikir sesederhana itu."

"Umumnya, sih, begitu," ia mengangguk. "Dan apa maksud omongan tidak sopanmu itu—orang seperti diriku?! Ternyata kau tidak ramah!"

Hajime mengedikkan bahu malas, ternyata selain menarik, sikap lelaki ini kekanakan dan mudah tersinggung rupanya, batinnya. "Dan kau tidak sopan karena menyerobot ruang privasi orang lain, jadi kita impas."

Lelaki itu melipat tangannya dan menghadap ke depan seolah-olah Hajime tidak ada di sana, sedangkan hal yang membuat Hajime menahan dengusannya adalah bahwa lelaki itu melakukannya dengan sangat buruk karena earphone yang mereka pasang masih saling menyambung ke ponsel Hajime. Orang awam yang melihatnya pun ketika mereka berpapasan justru akan berpikir bahwa lelaki itu sedang merajuk padanya, dan Hajime berusaha menahan seringai geli saat memikirkannya.

"Kalau begitu, kemarikan ponselmu," dan belum sempat Hajime mencerna apa yang terjadi, ponsel yang ia genggam kini berpindah tangan ke lelaki itu dan meninggalkan Hajime yang kembali mengenang sensasi ketika kulit mereka tak sengaja bersentuhan untuk yang kedua kalinya. "Pokoknya, fans atau bukan, kau harus mendengarkan lagu SIA itu."

"Yah, terserah kau saja."

Hajime menyenderkan kepalanya, menatap langit kelabu dari balik atap halte yang basah terkena gerimis hujan. Sudah lima belas menit berlalu dan bus yang ia tunggu belum tiba, sementara tubuhnya mulai merengek meminta asupan dan istirahat seharian. Rasa kantuk pun mulai menyerang, ditambah hawa dingin khas hujan yang bukannya membuat mengigil justru seperti sentuhan nina bobo, dan berpikir bahwa mungkin bisa saja ia terlelap beberapa menit sambil masih menunggu bus tiba, ketika itu pula alunan lagu asing merajah indera pendengarnya: beat yang menyamai detak jantungnya, tempo yang menyamai desir-desir darahnya, dan lirik yang menghipnotisnya dengan bisikan-bisikan mesra seyakin itu.

.

(I need you,

I need you.)

.

Seolah apa yang Hajime dengar tersebut bukanlah sebuah lagu... tetapi isi hatinya saat ini.

Seperti, bagaimana lirik itu seolah memberi pencerahan kepada mata dan hatinya apa yang ia rasakan—dan meyakinkannya akan hal itu, dan alunan nadanya yang mengesankan bahwa memang seperti ada kembang api di tubuhnya—di perutnya; di hatinya, dan menggoda denyut-denyut nadi pada tubuhnya.

"Bagaimana?"

Hajime mengerjap, dan melirik kepada lelaki di sebelahnya, yang mengeringai sombong dan mengetahui bahwa ternyata Hajime benar terhanyut dalam lagu itu. Tawa nyaring itu kembali terdengar, berlomba-lomba menghipnotis alam sadar Hajime dan tanpa sungkan lelaki itu menyandarkan kepala pada bahunya (merasakan sensasi dingin dari air hujan yang membasahi helai-helainya dan sensasi hangat dari tubuh mereka yang bersentuhan juga), menyamankan posisinya sambil mendekap tas yang ia pangku, dan ikut melirikkan lagu itu tepat pada nadanya, tak lupa pun ia mencuri-curi pandang.

.

(So take me to the Heavens now as we burn down, as we are found

Take me to the Heavens now, my heart screams out.)

.

Hajime mendengus, berusaha membunuh rasa malu dan senyum gelinya ketika ia menyadari bahwa lelaki asing itu ternyata membalas rasa tertariknya, dan dengan cara yang sehalus itu dan diam-diam ia menahan diri untuk tidak tertawa terbahak-bahak ketika tangannya menarik lengannya untuk keluar dari dalam kantung jaket dan ia menyerah ketika mendengar decak kesal lelaki itu yang menyerah untuk menarik keluar tangannya—sedikit akal-akalan dan seolah bahwa itu terjadi secara tidak sengaja, kini kelingking keduanya saling bersentuhan, menupuk salah satunya dan membuat kelingking keduanya melengkung mengikat erat satu sama lain. Hajime menggit bibirnya untuk tidak tersenyum lebar, ia menahan gelitik dalam hatinya selepas itu, dan ia yakin lelaki itu pun demikian; dan keduanya memilih untuk berpura-pura tidak tahu.

.

(Love me, to the beat of a drum, to the beat of a drum, yeah

Love me, I don't wanna saving.)

.

Hujan gerimis pun berubah menjadi deras, namun bisingnya belum bisa mengalahkan detak-detak jantung dan nadi keduanya, dan House on Fire itu, dan tidak mampu juga dengan kehangatan ketika jari-jemari keduanya menggenggam erat, mengantarkan gelitik dan kejut listrik adiksi, dan bagaimana ketika keduanya seolah bersusah payah bahkan untuk bernafas sekalipun, terpatah-patah seolah menahan diri untuk tidak berteriak lepas bebas dan ketika Hajime menyerahkan secangkir karton kopi hangat miliknya untuk orang itu yang tampak kedinginan dari wajahnya yang bersemu tipis (meski ia berharap bahwa mungkin bukan karena kedinginan melainkan hal lain yang kau-tahu-apa); dan begitu ia menyenderkan kepalanya pada pucuk kepala lelaki itu, mengadah ke langit kelabu yang masih membasahi sekeliling mereka, dan menatap setitik langit cerah dibaliknya, Hajime menghela nafas berat dengan senyum tipis yang terpahat, dan mata zaitunnya melirik lelaki itu yang masih menikmati kopi hangat dengan sebelah tangannya yang lain, kemudian dalam sekejap ia berbisik:

"Mau mampir ke apartemenku?"

Setidaknya, untuk malam ini ia tidak menikmati malam kelabu dingin sendirian dibalik comforternya, tatkala lelaki itu merespon bisikannya dengan mata coklat oak yang berkilau indah dan bibir yang menyungging malu-malu, "Boleh." []