Ninja no Kage

.

Disclaimer: Naruto milik masashi Kishimoto, bukan milik saya dan Saya membuat fanfiksi ini tidak untuk mendapatkan keuntungan materi apapun.

Rated:M

Genre:Adventure, Action, Sci-fi

Warning:Typo (s), OOC, Gaje, dsb

.

.

Summary:Naruto yang frustasi akibat penyiksaan mental dan fisik dari Keluarga dan desanya. Telah diselamatkan oleh orang misterius. Berbekal seluruh latihannya setelah itu, ia memiliki impian untuk di capai. Dengan bersama Sahabatnya, mampukah ia menguak misteri dunia Ninja? Rintangan apa yang ada di depannya?

.

.

.

#Happy Reading#

.

Di sebuah desa yang kaya akan sejarah, terapit oleh bukit dan hutan yang rindang. Konohagakure, desa yang terletak di tengah Negara api. Desa yang didirikan oleh Hashirama Senju dan Uchiha Madara dalam kerjasama klan mereka.

Memegang gelar pemenang Perang Dunia Shinobi ke-Tiga. Menjadikan Desa itu memiliki kestabilan keamanan dan kesejahteraan yang tinggi bagi rakyatnya. Namun, itu semua berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di dalam.

Sebuah langkah kecil menjejak di sepanjang gang kecil—terapit rumah. Jejak kecil berasal dari anak kecil yang berjalan tertatih-tatih. Raut wajahnya meringis menahan perih di sekujur tubuh. Puluhan senjata Shinobi menancap; mengeluarkan darah dan jatuh menetes di tanah.

Bulir air mata tak henti-henti keluar dari sudut matanya. Binar birunya bergetar sembari menggigit bibir bawahnya yang pucat.

"Hiks … Hiks … Tou-sama, Okaa-sama … Jiji … Kenapa mereka menyerangku? … apa salah Naru … hiks … hiks … "

Isak tangisnya terdengar lirih menguap di udara yang lembab. Bahunya ia senderkan di sisi sebuah bangunan. Jejak darah meluruh di dinding ketika ia jatuh terduduk.

Menunduk dengan bulir air mata yang terus jatuh membasahi tanah di bawahnya. Ia tertawa lirih, lalu merasakan sensasi dingin di tangannya. Bulir air bergulir di telapak tangan mungil itu, hingga tetesan air jatuh beriringan di langit; semakin deras.

Hujan membasahi tubuhnya. Membasuh kepala lalu mengalir kesekujur tubuh. Seakan langit menangis untuk dirinya. Ia mendongak dan di balik ringisan itu tersungging senyum—secerah mentari—menenangkan langit.

"Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja, kok. Tenang saja, jangan menangis, hehehe … "

Langit yang tersaput kemurungan seketika menunjukan kecerahannya—menjawab Naruto. Ia tersenyum tulus sebelum akhirnya kehilangan kesadaran dan jatuh tergeletak di atas tanah.

###

Di sebuah tempat bernuansa serba putih, tidak ada ujung yang terlihat selain dua sosok yang berdiri bersisian di depan sebuah layar. Apa yang ditampilkan oleh layar itu tidak luput dari setiap pandangan mereka. Berpakaian senada berwarna putih; dengan sosok sebelah kiri memiliki jumlah bola hitam lebih banyak di belakang punggungnya.

"Ini waktunya, bukan begitu?"

Sosok sebelah kanan hanya mengangguk menjawab paparan tersebut. Matanya yang berupa riak air tak lekang memandang tampilan layar.

"Kau tidak ingin menemuinya?"

Tersungging senyum sosok sebelah kiri menanggapi pertanyaan tersebut, " Ini bukan tugasku. Aku titipkan 'itu' padamu. Akan muncul waktunya kami bertemu. Selain itu, aku percaya padamu, Hagoromo." Bersamaan dengan kalimat itu udara di sampingnya terdistorsi dan dirinya menghilang; tertelan di dalamnya.

Ia kembali menatap lekat layar di depannya sebelum berbalik, lalu berjalan menuju suatu tempat. Rambut putihnya terayun dan raut wajahnya sangat tegas meski terdapat keriput di sana.

Langkahnya terhenti di depan tubuh anak kecil yang terbaring disertai dengkuran halus. Senyum tulus terlukis di wajahnya yang berumur; seperti senyuman seorang ayah pada anaknya. Menundukan dirinya dengan kedua tangan terulur mengusap surai pirang anak tersebut.

"Takdirmu baru saja dimulai, Nak."

###

Kedua mata beriris biru itu terbuka. Mengerjap sebentar untuk menyesuaikan cahaya yang masuk kematanya. Wajah dengan tiga garis di pipi itu memandang sekeliling yang bernuansa serba putih. Alisnya mengernyit; bingung dengan apa yang telah terjadi.

"Dimana aku?"

"Ternyata kau sudah sadar, Naruto." Tersentak dengan suara yang tiba-tiba terdengar. Naruto menolehkan wajahnya dengan raut terkejut.

"Siapa –jiji ini?! Anbu Hokage? Apa Sandaime-jiji yang membawaku? Tempat apa ini? Dimana ini?!" Hagoromo menyunggingkan senyum tulusnya menanggapi pertanyaan panic Naruto. Ia lalu membantu membangunkan Naruto dan seketika tercipta batu putih sebagai sandaran di belakangnya.

"Aku bukanlah berasal dari duniamu Naruto, atau setidaknya itu dulu. Sekarang kau berada di Dimensi Zero."

Naruto membelalakan matanya mendengar pernyataan sosok di depannya, ia mencoba menggali semua informasi di dalam kepalanya mengenai Dimensi Zero. Namun, ia mengangguk mengerti membalas tersenyum pada Hagoromo. Paham akan situasi yang terjadi, pandangannya ia edarkan berharap menemukan sesuatu.

"Aku mengerti. Lalu, kenapa aku bisa berada disini? Apa itu dimensi Zero. Dan siapa –jiji sebenarnya?"

"Untuk menyelamatkanmu dari situasi hidup dan mati. Aku membawamu ke sini, Dimensi Zero; tempat mereka yang memiliki kekuatan melanggar hukum surgawi; kematian dan kehidupan. Singkatnya … kau bisa dibilang sudah mati, namun tetap hidup."

Masih dengan senyum tulusnya mengabaikan raut tercengang anak di depannya. Hagoromo mundur beberapa langkah. Tongkat dengan simbol matahari dan bulan, ia rentangkan di depan dirinya. Seketika pancaran kekuatan berpendar dengan hembusan angin menggoyangkan rambur pirang Naruto yang terperangah.

"Aku adalah pendiri Klan Ootsutsuki. Pendiri Ninshu dan makhluk pertama yang berhasil menguasai Chakra. Aku dikenal sebagai Rikudou Sennin, Petapa enam jalur, Otsutsuki Hagoromo."

Terkesiap merasakan kobaran chakra sosok di depannya. Naruto berusaha membangkitkan dirinya, sebelum akhirnya kembali jatuh tersungkur kebelakang ketika kembali terhempas oleh tekanan sosok tersebut. Namun, ia menyadari satu hal.

Binar birunya bergetar memandang jilatan api merah kehitaman dari tubuh Rikudo. "I-ini … Ti-tidak mungkin … aku pikir itu hanyalah legenda yang diceritakan guru akademi dan buku. ta-tapi ini … benarkah itu anda?"

Tekanan kekuatan yang menyelimuti udara seketika mereda saat ia memandang raut keterkejutan dan ketakutan Naruto. Menyunggingkan senyum kecil seraya pakaian putihnya jatuh terkulai; kembali seperti semula.

"Naruto Namikaze, aku punya penawaran untukmu?"

"A-apa itu?"

Naruto mencoba bangkit kembali dengan kedua tangan menopang tubuhnya. Ia megangkat kepala—memandang wajah tua Rikudo—untuk mendengarkan penawaran yang diajukan. Kedua telinganya ia fokuskan agar tidak ada kalimat yang terlewat satupun.

"Aku akan melatihmu, terlepas siapa kau dan darimana asalmu."

Seketika tubuhnya terguncang hebat. Matanya menggenang dengan binar bergetar; menitikkan air mata yang jatuh membasahi dipunggung tangannya. Napasnya sesak saat ia menghirup udara disekitar. Tenggorokannya mengering menahan perasaan yang membuncah dalam dirinya.

"Naruto?"

"Arigatou … hiks hiks … arigatou … hiks … arigatou … hiks … arigatou, arigatou, arigatou. –jiji arigatou … hiks … hontouni arigatou." Air mata jatuh berlingan di matanya, kedua tangannya ia gunakan untuk menyeka air mata tersebut. Dirinya terisak menarik napas sesaat merasakan perasaan bahagia dalam dirinya—hingga bagaimana dirinya di abaikan lalu seketika dirinya akan di latih. Kebahagiaan itu terllau baik untuknya.

Untuk hal yang tiba-tiba saja terjadi di depannya. Rikudou tersenyum lirih saat kedua matanya memandang Naruto yang bersimpuh seraya menyebut, arigatou padanya. Setidaknya sampai saat ini, Naruto adalah anak yang tidak pernah lekang dipandangnya dari balik layar.

Bagaimana hidup sendirian meski terdapat orang terdekat di sekitar. Mengusap tangis dan tertawa dengan sendirinya demi bersikap tegar akan apa yang menimpanya. Menahan pedih di hati melebihi perih di tubuhnya. Naruto adalah seorang anak yang hebat—lebih hebat dari siapapun di dunia ini.

"Bangunlah Naruto … " kedua tangan tuanya terulur demi menopang tubuh Naruto yang terhuyung. Diusapnya jejak air mata di wajah manis anak itu. ia tersenyun tulus sebelum menariknya ke dalam pelukan. Dimana Naruto kembali menangis dalam dekapannya.

"Huwaaaaaaaaaaaaa! Hiks … hiks … huwaaaaa … "

Hagoromo merendahkan tubuhnya dan kembali memeluk Naruto yang menangis di bahunya. Telapak tangan pucatnya mengusap helaian rambut pirang anak itu sembari memejamkan mata.

"Tenanglah, Naruto. Sekarang kau sudah aman, tidak ada apapun disini yang akan menyakitimu." Dengkuran halus terdengar di sisinya setelah ia mengatakan hal tersebut. Sekarang, dalam hatinya yang beku telah menghangat oleh wajah polos Naruto yang tertidur pulas.

'Arigatou … Naruto. Terima kasih telah lahir."

###

Malam bertabur bintang dengan kelap-kelipnya mengisi langit yang menghitam. Terbungkus serbuk intan berbagai warna yang memanjang dari ujung cakrawala sampai di atas puncak patung wajah Hokage.

Jajaran rumah di bawahnya mulai bersinar ketika lampu di dalamnya dinyalakan. Cahayanya berkilau menyinari jalan-jalan utama, dimana terdapat penduduk melangkah—menjejak di atas tanah. Hiruk pikuk masyarakatnya semakin ramai demi menyenangkan hati selepas penat akan aktifitas sebelumnya.

Para pedagang menjajakan jualannya pada pejalan kaki dan tawa seri penduduk menghangatkan malam yang dingin itu. Sama halnya dengan sebuah rumah di salah satu sudut desa Konoha.

Tawa bahagia menggema di sekitar ruang makan. Suara cempreng anak kecil memekik dari sisi meja penuh makanan. Anak kecil berambut merah dengan tawa riang memainkan sendok makan pada kedua orang tuanya.

"Lalu, aku dan Kiba bersembunyi bersama. Hanya kami yang bersembunyi di atas pohon, jadinya chouji tidak menemukan kami. Hehehe … pokoknya aku senang hari ini."

"Waaahh anak Kaa-chan pintar ya! Lalu gimana dengan pelajaran dari Iruka-sensei?" sendok di tangannya ia turunkan ketika mendengar wanita berambut merah di depannya bertanya hal itu. Binar birunya memandang kesamping dengan bibir mengerucut karena sebal.

"Membosankan, pelajaran Iruka-sensei membosankan. Tou-san sudah mengajariku, makanya membosankan." Pria berambut kuning di sebrang meja hanya mengangguk menanggapi celotehan putranya.

Ia menelan sisa makanan sebelum berkata, "Meskipun begitu, Menma. kamu harus memperhatikan apa yang Iruka ajarkan. Anak tou-chan pandai, 'kan?" tersenyum tipis melihat senyum seri anaknya. Ia mengulurkan tangan mengusap pucuk kepala Menma.

"Tentu saja! Anak kaa-chan pasti sangat pandai. Oh iya, jika besar nanti, Menma ingin menjadi apa?" binar biru di matanya menyipit—memandang perih pertanyaan istrinya.

"Aku ingin menjadi Hokage!"

.

.

.

TBC

Terima Kasih telah membaca. Silahkan berikan kritik, saran, dan masukan di dalam kolom reviews. Sampai jumpa di chapter berikutnya.

#Azumamaro#