Tittle : Empty

Bab 7 : Penyelamatan Terbaik

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.


Sial. Menjijikkan. Nista.

Yang harus ia lakukan adalah membuat Levi jatuh pada kasih sayang palsunya. Dan mengungkapkan omong kosong tentang akhirnya menerimanya kembali.

Dan pada akhirnya ia bisa keluar dari ini.

Awalnya Sakura takut itu takkan berhasil seperti yang ia rencanakan. Akan tetapi, Levi yang bodoh telah dibutakan oleh cinta.

Levi mencengkeram tangan kanan gadis tersebut selama berjalan menaiki tangga, menuju dapur.

Kurangnya asupan energi menyebabkan langkah Sakura lamban dan terkesan tak bersemangat. Levi menuntunnya ke dapur setelah mengunci pintu.

Jadi, selanjutnya apa?

Diam-diam Sakura mengutuk di bawah napasnya. Ia memperhatikan saat dia memasukkan kunci ke dalam saku celana.

Sakura duduk di bar dapur selagi lelaki itu memasak.

Tunggu! Ada yang aneh.

Sakura tanpa ragu mengira ia berada di rumahnya sendiri. Fakta bahwa semua interior dan lorong-lorong rumah membuatnya yakin. Dan saat itulah bola matanya melebar dalam realisasi.

'Ini sangat lucu. Bagaimana aku bisa terkunci di ruang bawah tanah milikku sendiri?'

Atensinya kembali fokus pada Levi alih-alih perutnya yang menggeram.

Dua menit kemudian, tanpa suara dan sepenuhnya hati-hati, ia bangkit dan menuju kabinet dapur.

Levi senantiasa mengawasinya dari sudut matanya.

Dia membuka salah satu kabinet dan mengambil sebuah gelas tinggi. Kemudian, berjalan menuju wastafel, Sakura mengisi gelas tersebut dengan air mineral dari kulkas.

Tenggorokannya yang kering dan gatal menghilang begitu ia selesai menghabiskan minuman dingin tersebut. Sakura memejamkan mata, energi secara lambat mengalir di dalam dirinya.

Sakura mengisi air kembali dan menyesapnya pelan. Memandang punggung Levi yang menghadap ke arahnya, dia menyadari hampir menyelesaikan memasak.

Dan sungguh terlihat enak. Mulutnya berair melihat hidangan makan siang yang sangat menggugah, terlebih saat perutnya yang kosong melilit perih.

Keinginan memakannya sangat kuat, namun apabila gadis itu sudah makan siang, kemungkinan besar Levi akan memasukannya kembali ke ruang bawah tanah.

Sekitar 5 menit kemudian ...

Pikirannya untuk mengurung Sakura di tempat semula lenyap ketika dia menemukan sari apel dari kudapan yang ia siapkan mengalir di sudut bibirnya. Zat kaya gula alami itu menyusut perlahan hingga ke dagunya, sampai dia menyeka menggunakan tisu di sisi lain kitchen bar.

Mengerutkan kening atas tindakannya, Levi merasa frustasi. Mengapa ia tidak menjilatnya saja? Itu akan menjadi tindakan yang jauh lebih menarik untuk ditonton.

Situasi akan jauh lebih baik bila mana dia dapat menjilat dari wajahnya. Lelaki itu bisa saja menabrakkan bibirnya ke miliknya saat itu, dimana beberapa cairan manis berkilau dalam cahaya matahari.

Tatapan yang sejak tadi tak pernah meninggalkan sosoknya membuat Sakura jijik, risih.

Mengapa pria ini malah memandanginya begitu intens bak sepotong daging segar?

Perhatiannya teralih ke arah kamar mandi di sisi lain dapur. Sekonyong-konyong sebuah ide muncul di kepalanya.

"Levi, aku ingin mandi. Badanku bau dan kotor, aku bahkan merasa gerah. Bolehkah?"

Mengandalkan kemampuan melakukan tatapan anak anjing meratap, akhirnya gadis itu berhasil masuk ke dalam ruangan segi panjang yang sempit. Levi memberikannya dua potong pakaian berupa sweater lengan panjang serta rok cokelat.

Tapi tidak masalah. Yang penting sekarang ia harus berakting sampai akhir. Harus meyakinkan.

Sakura menatap wujudnya dari cermin, yang seketika mengernyit jijik. Rambut merah mudanya kusut, sungguh jelek karena diselimuti oleh debu dan kotoran aneh.

Setelah melepaskan seluruh pakaian yang melekat, Sakura langsung menyalakan shower.

Sayangnya, Sakura tidak boleh memikirkan kesenangan sesaat ini. Ketekatan memenuhi jiwanya yang rapuh. Ia melibatkan diri dalam rencana strategis yang dalam.

Dan begitu selesai berpakaian, sambil menyisir rambutnya yang basah dan lembab, dia menoleh ke arah ventilasi udara di atas toilet yang mengarah ke halaman samping rumah.

Lampu menyala di atas kepalanya.

Itu akan menjadi ide yang sangat bagus.

Sakura menyeringai lebar, merapikan penampilannya dan berusaha menetralkan kegembiraannya yang tiba-tiba menjadi semacam ekspresi ketakutan.

Bayangkan saja kejadian baru-baru ini. Ketika psikopat itu membunuh sahabat terbaiknya yang tangguh. Air mata mengancam akan turun, namun Sakura menggelengkan kepalanya, meyakinkan dirinya sendiri untuk bergegas meminta bantuan Eren atau seseorang. Dia tidak bisa mendapatkan kunci pintu sekalipun ini adalah rumahnya sendiri.

Sakura menarik napas panjang, lalu mengeluarkan teriakkan nyaring yang membahana.

Gedoran pintu membuatnya nyaris tersenyum, itu hilang saat pintu terbuka tanpa pemaksaan.

Dia lupa menguncinya.

'Bagus sekali, Sakura,'—batinnya sarkastik.

Seorang pria berdiri di ambang pintu, memandangnya khawatir. "Ada apa? Apa yang terjadi? Kau terluka?"

Tanpa pikir panjang gadis itu langsung menerobos memeluk Levi, terisak di bahunya. Kendati masih bingung, sebagai seorang pacar dia mencoba menenangkan Sakura, menanyakan pertanyaan tadi sekali lagi.

"A-ada seseorang yang mengintipku," gagapnya, masih terisak sambil menunjuk ventilasi yang sebelumnya ia lihat.

Tampaknya Levi menerima mentah-mentah kebohongannya, sebab ia langsung melepaskan Sakura dan masuk ke dalam ruangan kecil.

"Dimana? Siapa? Apa kau melihat seperti apa rupanya?"

Tanpa sepengetahuannya, dengan perlahan namun penuh perhitungan, Sakura menyelinap ke luar dan setelah itu membanting pintu di belakangnya, menguncinya rapat karena kebetulan kamar mandi hanya bisa dikunci dari luar.

Perhatian laki-laki itu teralihkan ke pintu yang ditutup. Segera, amarah membakar hatinya yang terluka atas pengkhianatan Sakura.

Raungan kemarahan yang teredam adalah hal terakhir yang ia indahkan.

Naluri yang mematikan memerintahkan Sakura untuk keluar dari rumah, berlari dan minta bantuan. Dengan bijaksana menaati presentasi ini, dia bergegas melangkah cepat ke pintu depan.

Mata terus-menerus memeriksa sosok gelap yang kemungkinan muncul, antisipasi mempercepat detak jantung histerisnya yang mengalir. Jarinya gemetaran karena akhirnya melakukan kontak dengan daun pintu, memutar sepelan mungkin, tak mengindahkan suara berisik gangguan di sisi lain.

Pikirannya tengah sibuk merencanakan tindakan yang tepat. Jari turun. Panggil taksi, kemudian pergi sejauh yang dia bisa. Intinya, rumahnya sekarang bukan tempat yang aman.

Pintu itu bahkan tidak bisa ditarik ke luar.

'Sial. Aku lupa kuncinya.'

Mengerang frustasi atas situasi yang menjengkelkan, Sakura bergegas menuju kamarnya.

Tanpa pertanda sama sekali, kilas balik malam-malam sebelumnya berputar di kepalanya. Telinganya meninggi oleh getaran lembut yang berasal dari ponsel di atas meja. Gadis tersebut langsung mengambilnya.

Itu berkedip, memberitahunya tentang ratusan panggilan tidak terjawab. Untungnya, Levi tidak berpikir untuk menyembunyikan barang kesayangannya di suatu tempat.

Eren.

Tidak mengherankan.

Gedoran kencang di bawah kamar perlindungannya terhenti, suasana hening seketika. Alih-alih merasa aman, justru perempuan tersebut menahan dirinya untuk balas meneriaki Eren supaya bisa menolongnya keluar dari neraka ini.

Kemudian perhatiannya teralihkan oleh sebuah benda persegi panjang lain di atas meja belajarnya.

Kenapa itu bisa ada di sana?

Adalah pertanyaan yang sudah ia ketahui jawabannya saat dengan berani mengambil dan memeriksa isinya penuh curiga.

Menggulir layar tergesa-gesa, dia akhirnya menemukan sebuah file berjudul namanya dalam huruf kapital dan tanda hati di belakang. Sakura tertawa pelan, karena apa lagi yang bisa dilakukan ketika menangkap basah mantan pacarmu menamai salah satu file menggunakan namamu.

Setidaknya gadis itu ingin melonggarkan emosi tertekan dalam sistemnya.

Nekat, dia langsung membukanya.

Namun menyesal setelahnya. Matanya melebar hingga nyaris keluar dari tengkoraknya. Waktu terasa berhenti dan udara di sekitarnya menghilang.

Ada sangat banyak foto. Satu-satunya subjek adalah Sakura sendiri.

Baris pertama berisi potret dirinya dan Levi masih berpacaran, saling mengirim kasih sayang melalui tindakan seperti pelukan, ciuman, dan sebagainya. Awalnya biasa saja. Tapi semakin ke bawah semakin membuatnya kaget.

Potret yang sepertinya diambil secara diam-diam dan terencanakan ketika dirinya sedang memasak, membersihkan apartemen, atau pun saat ia duduk sendirian di suatu tempat di luar rumah.

Obsesi gila macam apa yang ia miliki?

Dengan setiap foto yang terlewat, perutnya berputar-putar, jijik mendidih dalam benaknya.

Beberapa diambil dalam jarak jauh, sementara yang lain secara dekat. Darahnya membeku, berubah menjadi es, gelombang gambar baru terdiri dari tubuhnya yang tidur. Akan tetapi, banyak potret pribadi yang mengganggu ini memperlihatkan mantan kekasihnya berbaring di sebelah Sakura. Lengannya melingkari pinggangnya.

Dia mengarahkan kamera pada sudut tertentu untuk menyindir ilusi romantisme. Seolah, lelaki normal yang diam-diam membuat foto bersama kekasihnya yang terlelap.

Sakura sering melihat gambar semacam ini di situs web, tapi ia tak pernah menyangka Levi yang berengsek bisa lebih creepy dari ini.

Jadi, selama ini Levi beberapa kali menyelinap ke dalam rumahnya dan ...

Ia tidak bisa bernapas. Keringat dingin menetes di pelipisnya.

Berulang-ulang fakta ini terngiang dalam kepalanya yang sakit.

Perutnya melilit seakan-akan menghancurkannya lebih jauh dengan setiap gema pengulangan raungan namanya yang keluar dari mulut Levi. Dia merasa seolah dunia di sekitarnya berputar-putar membentuk sensasi pusing dan putus asa.

Runtuh berantakan, sepenuhnya menghapus hal-hal yang melekat di benaknya dan ia tidak bisa melakukan apa pun selain menonton.

Seekor monster yang awalnya ia pikir hanya delusi yang mengintai dalam bayang-bayang, menyamar di bawah kedok kekasihnya. Rasa nyeri yang tak tertahankan di dadanya mengancam membuatnya harus bertopang ke dinding agar mendapat keseimbangan.

Kekecewaan dari kebohongan Levi sebelumnya masih membekas. Kali ini fakta tersebut memperparah perasaannya. Sejujurnya, ia berharap tidak pernah mengenalnya sama sekali.

Pengkhianatan sungguh-sungguh menghancurkan jiwanya yang lemah, dan keterkejutan secara lambat melelahkan. Gelombang ketakutan menggigit setiap inderanya.

Udara dingin menyapu wajahnya ketika matanya meleset ke pintu. Levi belum keluar dari kamar mandi, atau setidaknya itulah yang ingin dia yakini.

Mungkin juga selama ini yang melakukan sesuatu pada fisiknya yang terasa lelah belakangan adalah tindakan Levi yang lain.

Itu masuk akal. Mengingat Levi yang sekarang bukan orang yang Sakura kenal lagi.

Setelah tangan yang goyah mengembalikan ponsel Levi ke tempatnya semula, Sakura menggulir layar menuju list contact dan memutar panggilan, setelah beberapa dering yang menegangkan, akhirnya Eren menjawab.

"Hei kau bocah, apa yang kalian lakukan sampai betah berlama-lama di suatu tempat selama 24 jam lebih?"

Gadis itu meringis mendengar nada tinggi Eren yang tidak sungkan, membentaknya marah. Oke, dia paham betapa cemasnya pria itu tapi haruskah berteriak persis di dekat telinganya?

Dobrakan keras terdengar.

Sakura menelan benjolan di tenggorokannya.

Monster itu kembali. Dia akan mendapatkanmu.

Dan pada saat itu pula rasa takut membakarnya, dia segera memuntahkan isi benak-benaknya secara membabi buta.

"Tidak, jangan mengomeliku dulu. Aku ... kau harus membantu kami. Levi psikopat gila. Dia menculik kami, menyiksa Mikasa dan aku sekarang tidak punya waktu tersisa untuk keluar. Aku dikurung di ruang bawah tanah, dia me–"

Sesuatu dengan kuat membuka pintu dengan bantingan yang dapat didengar sepenjuru rumah, dan refleks Sakura merasakan setiap otot tubuhnya membeku. Dilanda ketakutan yang luar biasa.

Napas hangat yang akrab mengipasi telinga kanannya, memprovokasi bulu di belakang lehernya untuk berdiri.

"Sakura."

Tanpa membuang waktu gadis itu menarik diri dari binatang buas ke sisi lain ruangan dan mata abu-abu menyala mengikuti.

Ketika pada jarak yang masuk akal dia berbalik menghadap penyiksanya. Levi Ackerman.

"Harus kukatakan ..." Mulainya dengan lancar. Perlahan dan sengaja mengamankan telepon genggamnya ke saku celana tanpa mengalihkan pandangannya terhadap Sakura.

"Aku sedikit malu dengan kelalaianku sendiri. Tapi, aku tidak pernah mengharapkan gadis yang sopan sepertimusecara kasar mengintip barangku." Intonasinya menurun dengan bahaya, dan sekejap Sakura menggigil di bawah kemarahannya.

"Sakura? Apa yang terjadi? Bukankah itu suara Levi? Sakura?"teriakan panik Eren sama sekali tidak membantu meredakan sedakan di belakang lidahnya.

Iris Levi sekilas melirik ponsel di tangannya sebelum kembali menatap kekasihnya curiga.

Dia berdecak. "Mengabaikanku seperti biasa. Lagi-lagi kau menentang peraturanku."

Setiap suku kata yang diucapkannya membuat Sakura muak. Kedua jarinya saling mengepal, bergetar dengan panas dingin ekstrim, nyaris memecahkan handphone-nya karena tekanan saat buku jarinya berubah menjadi pucat.

"KA-KAU ...," pekiknya setengah tersedak. "ITU KAU! KAU SANGAT MENJIJIKKAN!"

"Yah," sahut Levi tenang. Sepertinya tak terpengaruh oleh ledakannya. "aku sangat kecewa kau memutuskan aku. Awalnya berjalan dengan baik, tapi kau justru kembali mengkhianatiku."

Dia cemberut, menghela napas dramatis.

Sekalipun sensasi ini tampak akrab, Sakura tetap bersikap waspada.

"Oh, baiklah, aku kira sudah selesai momen saling mengintip rahasia masing-masing. Sudah waktunya bagiku untuk mengembalikanmu ke posisi yang seharusnya."

Atmosfer di sekelilingnya berubah menghitam dan pengap. Seringai ganjil tersungging di wajah bengisnya yang dingin.

Panik meremas paru-parunya. Bahaya yang sangat besar berdenting di kepalanya.

Napas gemetar berembus saat mata emeraldnya dengan hati-hati menelusuri tangga di ujung pintu kamar yang terbuka lebar.

'Jika aku bisa berlari secepat mungkin tanpa sepengetahuannya, bila aku cukup cepat mengunci pintu kamar dan berlari ke sana, kemudian—'

"Berpikir melarikan diri?" tebak pria itu monoton.

Sekonyong-konyong Levi bertanya, memiringkan kepalanya dengan sorot tatapan yang menyeramkan.

Matanya balas menatap gemetar, ekspresi ketakutan yang kental di mukanya karena ia telah membaca pikirannya dengan tepat.

"Aku tidak akan segan menyakitimu setelah ini!"

Sang predator siap untuk menyerang. Psikopat itu mengambil langkah ke depan, mengharuskan Sakura mundur ke arah pintu.

"Milikku," desahnya, lengkungan sudut bibirnya melebar seiring pancaran matanya menunjukkan kemenangan.

Didorong oleh rasa takut yang gemetar, Sakura berlari cepat ke tangga, bergegas melarikan diri makhluk itu.

Adrenalin yang terbakar memompa pembuluh darahnya, melelehkan es teror yang membekukan setiap sel sarafnya.

Dia berhasil menuruni pijakan keempat saat sentakan kasar mencengkeram rambutnya, lalu memberikan lemparan ganas yang membuat gadis itu jatuh menggelinding ke lantai bawah. Jeritan menyakitkan bergema seketika, tangan yang menggenggam ponsel tanpa sengaja telah longgar dan menghantam lantai kayu.

Perempuan malang tersebut mencengkeram tiang tangga saat Levi dengan kejam menyeretnya ke arahnya. Tulang-tulang di pergelangan kakinya berderak karena tekanan Levi yang kencang.

Sakura menangis saat merasakan jari-jarinya tergelincir oleh keringat dingin. Semburan keberanian menyala, isi hatinya memerintahnya agar berputar ke belakang. Sebagai bela diri, Sakura menggunakan kakinya yang lain untuk menendang dada Levi sekuat tenaga.

Itu sangat efektif untungnya. Dia melepaskan cengkeramannya saat dia terhuyung mundur, jatuh ke lantai dan mengeluarkan batuk yang keras, secara agresif mengambil udara.

Ia tidak berlama-lama menertawakan kesuksesannya. Alih-alih, Sakura menggerakkan kedua kakinya memanjat tangga menuju suatu tempat yang ia pikir bisa menjadi tempat persembunyian untuk sementara.

Karena apabila memecahkan kaca jendela ruang tamu akan memakan waktu lebih lama untuk mencapai ke sana, ia harus mengangkat sesuatu untuk menghancurkan itu.

Akan tetapi, begitu dia mencapai puncak, setiap perasaan sukses yang makmur lenyap tepat saat telinganya menangkap napas tersedak laki-laki tersebut mereda. Secara spontan digantikan dengan tawa cekikikan.

Sangat tak teduga, Levi berdiri seolah tidak ada yang salah. Menatap mata Sakura yang berkabut dipenuhi teror, sebuah tangan diletakkan di mana ia menendangnya.

"Sakura, jadi kau mau main petak umpet."

Dia memaksakan dirinya supaya mengalihkan pandangan karena ekspresi gila, penuh dengan niat jahat.

Kendati kekuatannya melemah, ia tak boleh berhenti sekarang.

Ancamannya membangkitkan nasib yang ditakdirkan. Keinginan kuat bertahan hidup memotivasinya untuk mendapat perlindungan di balik pintu pertama yang menyapa indera penglihatannya. Membantingnya hingga tertutup.

Sembari mengamankan slot, ia berusaha mendengarkan gema langkah kaki yang berat. Tapi debaran jantungnya lebih keras dari itu.

Meski demikian dia mencoba memperhatikan sosok jahat yang akan datang, dan semuanya hening sampai bunyi ketukan mengagetkannya. Dia merasa kembali ke peristiwa itu, dimana si penyusup berada di depan kamarnya.

Setiap ketukan menghasilkan sekujur badannya menegang.

"Sayang, keluarlah! Aku sudah menemukanmu."

Tak diragukan lagi, Levi tengah menyeringai di belakang pintu.

Ketegangan melonjak drastis ketika sepenuhnya menyadari fakta bahwa pasti akan mendobrak masuk. Matanya memindai kamar tidurnya.

Gagasan bersembunyi di kamar mandi atau lemari pakaian hilang, karena Sakura yakin Levi akan segera menangkapnya.

Daun pintu itu bergoyang agresif, memperingatkan gadis itu untuk bergegas.

Sakura menuju kamar mandi, mengunci pintunya dari luar.

Menciptakan improvisasi, Sakura merangkak ke bawah tempat tidur.

Levi akan berpikir dia sedang bersembunyi di dalam lemari atau kamar mandi. Dan ketika dia berkonsentrasi pada misi, ia bisa menyelinap keluar dan memecahkan salah satu jendela ruang tamu atau semacamnya untuk keluar.

Dia tidak bisa menjatuhkan dirinya sendiri ke lantai bawah.

Itu bunuh diri namanya.

Sakura mengutuk, kenapa nasib begitu buruk?

Pintu terbuka.

Napas tertahan dan gelombang pasang es yang dingin menusuk tulangnya. Di bawah ujung selimut, dia mampu menangkap kaki telanjang masuk ke ruangan. Tapi begitu berada di depan pintu, Levi berdiam diri di sana.

Hampir pasti mengamati setiap sudut, berusaha menemukan Sakura melalui rasa takutnya. Yang pada saat ini mencemari udara.

Secara tak terduga iblis itu melangkah menuju tempat tidur, reflek Sakura membekap mulutnya sendiri dengan telapak tangan yang lembab oleh keringat dingin. Secercah harapan timbul saat kakinya meluncur ke kamar mandi.

"Sayang ... apakah kau di sini?"

Sakura bisa mendengarnya mencoba membuka kenop pintu. Peluang telah muncul. Sekarang atau tidak sama sekali.

Tanpa pikir panjang, perempuan berambut pink itu merangkak ke celah pintu kamar yang terbuka. Praktis memohon agar keluar dari neraka ini.

Dadanya menggedor-gedor, seakan-akan hendak keluar dari rongganya.

Aliran dingin tumpah melalui dada, kaki, tangan, wajah pucatnya. Kepalanya akan mengintip ketika telapak tangan besar merenggut kedua pergelangan kakinya dari belakang.

"Ketemu!"

Teror dalam suaranya merangsang jeritan nada tinggi saat Sakura secara kasar diseret keluar dari bawah ranjang.

Sekarang dia telah berhasil menyingkirkannya, genggamannya terlepas dari kakinya. Dalam detak nadi berikutnya, ia hendak menggali jari-jarinya ke tangannya namun Sakura langsung merangkak mundur dengan cepat.

Mencoba bangkit, dalam prosesnya ia nyaris tersandung kakinya sendiri karena terlalu kaku.

Cekikikan meletus dalam ruangan, tapi dia tidak melihat ke belakang. Telinganya menangkap langkah kaki yang mengekorinya.

Bersusah payah mengangkat kursi bar yang berat dan melesat untuk memecahkan kaca jendela, teror merengkuhnya dengan erat.

Tanpa kesulitan sama sekali, sebelum perempuan itu bisa melaksanakan aksinya, makhluk itu berhasil menubruk bahunya hingga tersungkur dan benda di tangannya terlempar cukup jauh.

Lantai kayu sepertinya merindukan tubuhnya. Seluruh tubuhnya sakit seketika.

Sepasang kaki mendekat, ia mendongak dan melihat Levi menatapnya. Dia meraih ke bawah dan mengangkat bentuk sosoknya yang rapuh.

Dengan membabi buta Sakura mencakar tangan yang melilitnya, meronta mati-matian dan menendang. Sayangnya dia siap untuk serangan kali ini.

Sebelum gadis musim semi bisa melakukan hal lain, dia membanting kepalanya tanpa segan ke dinding. Dalam sekejap, kegelapan melahapnya.

Lebih banyak tawaan membahana datang dari mulutnya ketika menopang tubuhnya yang terkulai lemas di lengannya.

Levi melemparkan Sakura ke bahu kanannya dan berjalan menuju suatu tempat.


Sejak panggilan penuh ancaman kurang lebih sepuluh menit lalu, meski belum yakin benar, Eren mencoba menemukan keberadaan dua perempuan itu.

Polisi terlibat, dan ia sudah memanggil mereka untuk datang ke lokasi yang ia anggap ruang bawah tanah yang dikatakan Sakura.

Menginjak beton dan menghirup angin musim panas, Eren segera membuka pagar, menyusuri halaman yang dipenuhi rumput dan membunyikan bel.

Tak ingin mengambil resiko ketahuan bila dia menyembunyikan seorang gadis, Levi mengikat tangan dan kaki Sakura agar tak bisa kabur.

Dia menuruni anak tangga dengan marah. Sangat menjengkelkan ketika ia bermaksud menghabiskan waktu dengan menonton wajah tertidur Sakura.

Seketika bola mata abu-abu Levi membulat mendapati sosok yang akrab berdiri di depan pintu. Kendati ia sudah menyangka Eren akan datang kemari.

"Aku tahu kau menyembunyikan Sakura dan Mikasa," tuduh Eren langsung, tak membuang waktu untuk berbasa-basi.

Pemuda itu membisu kala memandang lawan bicaranya yang balik melemparkan belati tajam.

Sambil menerobos masuk, mencengkeram kerah long sleeve button down shirt mantan kekasih sahabatnya, ia mengulangi pertanyaannya.

"Kau psikopat gila," cemooh Eren keras, sorot matanya memancarkan amarah.

Tak terpengaruh sedikit pun, Levi mengangkat dagunya sedikit. "Pergi!"

"Seenaknya saja!" pekiknya, bibirnya melengkung ke atas tampak menghina. "aku tahu kau sudah tidak waras karena mengurung mereka."

Meskipun menyadari betapa mendidihnya lelaki itu, Levi masih mematung di tempatnya seperti manekin. Dan dalam sekali gerakan ia memelintir pergelangan Eren di lehernya, lantas secepat kilat berbalik badan, membanting punggung Eren ke atas lantai kayu.

Sang korban mengerang akibat benturan yang diterimanya. Levi segera menyeret kaki Eren dan menendangnya keluar.

Lelaki berusia 22 tahun tersebut bangkit berdiri sebelum berlari menerjang Levi yang masih berdiri di ambang pintu. Memukul rahang kanan pria yang lebih tua sebanyak tiga kali hingga terhuyung mundur ke belakang.

Namun tindakan itu tak mampu menjatuhkan Levi.

Dengan adrenalin yang membakar dadanya, Eren bergegas menuju ruang bawah tanah. Tapi baru setengah jalan dia dikejutkan oleh tabrakan di punggung yang membuatnya tersungkur ke depan.

Levi membalikkan tubuh laki-laki itu, berulang kali menghantam tinjunya secara membabi buta ke wajah Eren tiada ampun.

Dan Eren yang tak mau kalah pun langsung menendang Levi, membuatnya terjatuh. Eren hendak melemparkan pukulan namun ketika kepalan tangannya nyaris mendarat ke arah Levi yang berbaring di bawahnya, laki-laki berambut abu-abu menahan tinjunya.

Sebelum diberikan kesempatan untuk mengambil napas, sahabat Sakura itu menghantamkan tinjunya yang lain ke berbagai sisi muka Levi dua kali lipat.

Sudut bibir keduanya mengeluarkan darah. Wajah mereka dipenuhi lebam yang membiru. Namun sebagai laki-laki yang sama-sama keras kepala, berjuang memenangkan pertarungan menegangkan.

Itu berlanjut sampai akhirnya Levi menendang perutnya sekuat tenaga agar menjauh dari atas tubuhnya.

Levi mengelap darah di sudut bibir dan hidungnya dengan punggung tangan kiri. Ada bercak merah yang mengotori kaos putihnya. Hal itu berlaku pula bagi Eren. Napas keduanya terengah-engah.

Eren berusaha bangkit berdiri, memfokuskan pandangannya yang agak buram pada tubuh Levi yang sudah bangkit tanpa emosi di wajahnya.

"Kau keras kepala sekali Eren," cibir Levi.

Dia hanya mendengus keras.

Tanpa pertanda sama sekali Levi langsung menerjang kepalan tangan pada Eren. Pria tersebut refleks menghindar dengan membungkukkan badannya kemudian bersiap balas memukul.

Akan tetapi, di luar dugaan, Levi segera berimprovisasi. Memutar tubuhnya ke belakang sambil mengangkat kaki kanannya, dia melancarkan tendangan lokomotif ke arah tengkuk Eren.

Tubuh laki-laki berambut cokelat itu jatuh dengan kepala yang membentur lantai. Ia tak bergerak setelahnya selain genangan cairan merah pekat yang mengalir keluar dari kepalanya yang bocor.

Menyisakan tawa gila seorang Levi Ackerman yang memenuhi ruangan.


Begitu membuka mata, hanya sepenggal kalimat yang muncul dalam benaknya.

Kembali ke ruang bawah tanah.

Panik kembali menerjang. Dan aroma kematian yang menguar di udara sama sekali tak membantu. Hampir terasa seperti ia telah dilemparkan ke peti mati besar dengan mayat baru.

Dia ingat nyaris keluar dari rumah ini. Kenapa Levi mengikatnya di kursi alih-alih merantainya? Apakah ia berencana menyiksanya? Lebih banyak teror melintas. Tidak ada alternatif, dia harus keluar bagaimana pun juga.

Kendati gigitan tali itu tajam, Sakura lebih banyak menariknya. Ia bisa merasakan kulitnya sobek saat cairan yang akrab mengalir di pergelangan tangannya. Begitu tangannya bebas, gadis itu bisa melepaskan tali yang mengikat kakinya.

Untungnya psikopat Levi tidak mengikatnya terlalu keras.

Pergelangan tangannya mungkin terlihat mengerikan, tapi bagaimana pun akan sembuh. Bahkan bila mana bekas luka terbentuk, itu lebih baik daripada berdiam tanpa melakukan apa-apa.

Dengan tali lepas, Sakura bersiap keluar melalui pintu persis ketika sebuah suara menghentikannya. Dia mendengar nada yang sama. Semacam seseorang yang mengeluh seakan baru bangun.

Apa dia hanya berimajinasi? Ini adalah ruangan yang sama tempat Mikasa mati.

Akan tetapi, sebelum ia bisa bereaksi, suara tepuk tangan dari kegelapan seketika membuatnya waspada.

"Aku akan mengatakan satu hal," ucap seseorang itu sambil melangkah hingga menampilkan sosoknya yang berlumuran bercak darah terlihat jelas.

Spontan gadis itu mundur ke belakang.

"Tapi sebelumnya aku ingin menunjukkan sesuatu padamu." Levi menarik kursi dengan seorang pria yang terikat di sana.

Matanya membulat begitu menangkap wajah sahabatnya yang diselimuti lebam, darah kering, dan kotoran di mana-mana. Kondisinya semengenaskan Mikasa.

Hampir meloloskan detak jantungnya yang jatuh ke perut.

"Eren ..." Isak tangis Sakura mulai terdengar. "Levi, kenapa kau melakukan semua ini? Apakah membunuh Mikasa tidak cukup bagimu? Mereka sahabatku, mereka tidak bersalah."

Raut wajah Levi sukar untuk didefinisikan, namun sekilas dapat ditangkapnya semburat gairah dalam mata hitamnya. "Kau sudah tahu Sakura, aku sangat mencintaimu. Akan kulakukan apa saja, apa saja. Untuk mendapatkanmu lagi," tuturnya santai.

Kemarahan menetes di setiap sistem tubuh Sakura. "TAPI KENAPA? KAU SUDAH GILA. DEMI INI KAU JADI PEMBUNUH!" teriak Sakura melalui paru-parunya.

Entah harus berapa kali ia melihat teror semacam ini. Harus berapa banyakkah air mata yang ia keluarkan demi psikopat sepertinya? Luka mengerikan di hatinya entah mesti bagaimana agar menghentikannya.

Raut wajah Levi yang kecewa sama sekali tak ia acuhkan. "Apa kau tidak percaya lagi padaku? Eren tidak berhak mencintaimu. Hanya aku yang bisa memilikimu. All mine."

Kalimat terakhir membangkitkan trauma Sakura tentang betapa buruknya ia memperlakukan Mikasa sehingga sahabatnya sendiri mati karenanya.

Gadis berambut pink itu meraung, berupaya menumpahkan emosinya yang ia tahan.

"HENTIKAN OMONG KOSONG INI DAN LEPASKAN EREN!"

"TIDAK!" balas Levi monoton.

Kepala Eren terangkat dan langsung membulatkan matanya ketika melihat situasinya sendiri. Levi menarik rambut Eren hingga menengadah dan meletakkan pisau daging di lehernya.

Tanpa sadar Sakura menahan napas. Ia harus berpikir cepat sebelum korban lain meninggal.

"Levi, bisakah kita kembali dan hanya tinggalkan dia? Aku mohon, aku janji takkan melakukan itu lagi. Aturanmu ... aku akan ikut aturanmu."

Levi langsung berhenti, dia menatap gadis yang dicintainya curiga. Setelah apa yang terjadi tentu saja ia tak bisa langsung percaya.

"Benarkah? Apa pun? Janji tidak akan mengkhianatiku?"

Namun sayangnya ia terlalu mencintai Sakura hingga jatuh kembali dalam lubang yang sama.

Pria naif yang menyedihkan.

Meski ragu, Sakura melangkah hati-hati ke arah Levi, lalu meletakkan tangan di pundaknya lembut. "Iya. Apa pun. Untukmu." Dia sekuat tenaga tak mengerling pada Eren yang hanya menonton tanpa usaha.

Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, Levi segera mendekap erat tubuh mungil gadis itu seraya membawa pisau besar di tangan kanannya.

Sakura hanya memejamkan matanya pasrah saat mantan kekasihnya yang kejam mencium dahinya penuh kasih. Ia merasa jijik di bawah sentuhan Levi. Namun memilih mengabaikannya.

"Sakura," panggil Eren lemah. Mencoba melepaskan ikatan yang melilitnya. Tapi itu sia-sia.

Sebuah tekat baru melintas di kepalanya yang sakit.

Sakura merasakan jantungnya berdebar lagi. Dia akan terperangkap di rumahnya sendiri. Jika dia bunuh diri, ia takkan lagi memiliki kendali atas situasi aneh ini.

Kuku jari telunjuknya meluncur di bawah dagunya. Matanya segera bertemu pandang dengannya. Kemarahan pria tersebut sedikit mereda, meski ia bisa melihat bara kecil gelap yang ada di dalamnya.

"Aku tidak akan pernah melepaskanmu." Dan dengan itu dia menabrakkan bibirnya ke bibir miliknya.

Dia membeku, perutnya melilit gelisah bersamaan denyut nadinya yang kencang. Tidak. Itu terdengar lebih lambat di gendang telinganya seakan-akan beban keputusan berikutnya akan mengakhiri hidupnya.

Jarinya tetap berada di kulitnya. Sakura mesti mengendalikan diri karena dia tidak diijinkan menarik kekuatan saat ini untuk menikamnya.

Masih ada waktu untuk menunggu polisi tiba di rumahnya. Setidaknya itulah yang ia tangkap dari mulut Eren saat Levi sibuk mencumbunya.

Tubuh gemetar dan merasa ternodai, Sakura bersandar ke dinding sementara Levi masih berdiri di sana, mengurungnya tanpa melepaskan senjata tajam.

Kalau begini akan lebih sulit untuk mengambil pisau dan menyerang Levi.

Tangannya perlahan meraih pergelangan tangan pria itu. Namun yang membuatnya kecewa, secara tak terduga Levi memindahkan pisau tersebut ke dada Sakura.

"Kau pikir aku akan langsung memercayaimu?" Bibirnya membentuk cemberut lucu.

Ini malah membuat kekhawatiran keduanya meningkat. Tangan Sakura jatuh ke samping tubuhnya yang lemas selagi jari Levi yang panjang membentuk sangkar di lehernya.

Jika dia bergerak, kepalanya akan hilang.

Senyum menyebar di wajahnya sebelum tertawa keras.

Kemudian, Sakura bisa merasakan sensasi dingin pisau menyentuh pipi kanannya.

"Kali ini aku belajar dari kesalahan, Sayang."

Lebih banyak tawa mengikuti suara tawa laki-laki psikopat itu yang mengingatkannya pada tawaan badut di sebuah film horor.

Dia mengulurkan tangannya menyentuh cengkeraman di lehernya. Levi tampak geli atas usahanya. Dalam upaya terakhir, Sakura hendak menendang selangkangannya secara tepat ketika bunyi sirene mobil mengalihkan perhatian mereka.

Levi kembali menatap Sakura. Kesedihan tampak di wajahnya yang pucat. Tangannya dengan kasar menarik kekasihnya dalam pelukan. Ia tersentak oleh kontak fisik, bersiap menerima pukulan atau teriakan.

Dia memeluknya seakan-akan Sakura akan menghilang jika ia melepaskannya.

"Levi?"

Jantungnya berdegup kencang karena alasan lain, pipinya merah. Perlahan dia rileks terhadap sentuhannya.

Suara isak tangis mengagetkan gadis itu, merasakan bahunya yang basah di area wajah Levi bersandar.

"Sakura, maafkan aku. Aku akan kehilanganmu."

Heran melihatnya dalam keadaan rentan seperti ini, Sakura hanya menatapnya bingung.

Menangis dan tampak cemas. Apakah ini benar Levi?

Terlepas dari situasi yang menyedihkan, secercah harapan berkedip di jiwanya saat memikirkan Eren mendapatkan bantuan. Semua teror yang ia alami lenyap seakan-akan tak pernah terjadi.

Setelah melemparkan pisau sembarangan, Levi menangkup wajah Sakura dengan lembut. Ia tidak dapat mendeteksi apa pun karena tatapannya kosong dan dingin.

Mereka bisa mendengar derap langkah kaki terburu-buru menembus.

"Kau milikku. Hanya milikku."

Beberapa orang berseragam polisi memasuki ruangan temaram. Menarik mantan kekasihnya menjauh dan mengamankan lengannya di belakang punggung saat Levi berjuang melawan.

Sakura dan Eren memperhatikan Levi mengeluarkan kata-kata kutukan dalam berbagai bahasa di bawah napasnya.

Begitu mereka membawa Levi keluar, Sakura bergegas membebaskan Eren dan mereka berdua keluar rumah.

Ambulan diparkir di sebelah deretan mobil polisi, dan menyaksikan sekelompok petugas medis membawa sesosok aneh di atas tandu.

Kesadaran memukul Sakura dan tanpa pikir panjang dia bergegas ke arahnya, Eren ikut di belakangnya.

Air mata mengalir deras seketika. Gadis berambut merah muda berusaha melewati petugas yang menahannya untuk mendekati mayat. Mayat Mikasa.

Ia menangis tersedu-sedu. Jatuh ke tanah tanpa harapan saat mereka membawa Mikasa, sahabatnya yang sudah mati.

Dan ia tidak bisa menahan rasa bersalahnya.

Lengan-lengan berotot mengangkat dan melingkari tubuh mungilnya yang gemetaran. Masih terisak histeris.

"Tidak apa-apa. Semuanya baik-baik saja, Sakura."

Suara serak yang dalam membisikkan kata-kata menenangkan di telinganya.

Ini semua salahmu.

Dia mati karenamu.

Sensasi sakit ini membunuhnya. Membuatnya mati rasa.

Sakura menyaksikan ambulan lewat dengan tandu lain, dia tidak punya kekuatan sekadar mendekat dan melihat siapa yang Levi bunuh selain Mikasa.

Tiba-tiba hawa berubah dingin dan mencekam. Sepasang mata mengawasi setiap gerakannya.

"Kau milikku. Hanya milikku."

Kalimat penuh obsesif Levi berulang kali melayang di benaknya.

Memalingkan kepala, dia menangkap seorang laki-laki yang duduk di tengah-tengah polisi. Tangannya diborgol, namun mata gelap tersebut senantiasa memandangnya intens.

Orang yang telah selingkuh darinya.

Orang yang telah mengancurkannya.

Orang yang telah membunuh orang-orang tak bersalah, terutama sahabatnya.

Psikopat itu.

Levi Ackerman.


Jam-jam berlalu. Sakura duduk menyendiri di kantor. Tampak berantakan dan kacau. Meskipun dia sudah tidak peduli akan penampilannya.

Terdengar derit pintu terbuka, dan ketika dia mendongak, matanya bertemu Eren. Sakura hampir lupa bahwa dia adalah penyebabnya bisa melarikan diri. Eren orang yang memanggil polisi dan menyelamatkannya dari Levi.

Dia juga orang yang melihat mayat Mikasa, kakak perempuannya.

Sakura tidak dapat membayangkan bagaimana perasaan ditinggalkan seorang saudara. Semua karena ia tidak bisa menutup mulutnya dan malah memicu penyiksaan Mikasa.

"Giliranmu."

Suaranya serak dan pecah. Rambutnya sekarang layu dipenuhi oleh keringat, mata merah dan bengkak, kantung matanya menghitam meskipun tidak terlalu tampak.

Sakura bergerak ragu-ragu mendekatinya. Sebelum benar-benar membuka pintu ia berbicara dengan pelan dan penuh penyesalan.

"Maafkan aku."

Menutup pintu, gadis tersebut duduk di kursi yang tersedia. Menceritakan kepada detektif yang menangani kasus mantan kekasihnya segala yang terjadi. Dari penculikan, penyiksaan, pembunuhan, dan sebagainya.

Air mata sesekali jatuh ke pipinya dan segera ia hapus.

Begitu akhirnya selesai, kemudian Sakura meninggalkan ruangan dengan emosional. Mengambil langkah pertama, menghirup udara malam yang dingin, Sakura memikirkan dimana ia akan tinggal sementara polisi sedang menyelidiki rumahnya. Dan sejujurnya ia tak ingin kembali ke sana setelah apa yang terjadi.

"Hei." Suara berat yang sama seperti sebelumnya menyambut indera pendengarannya.

Ia berharap sahabat lelakinya bisa berhenti menatapnya seperti itu. Pakaiannya kotor, dan wajahnya ternoda ingus dan keringat. Matanya merah dan bengkak karena sering menangis tertekan belakangan ini.

Laki-laki dewasa tersebut menelan tubuh mungilnya dalam pelukan erat, tapi tidak cukup untuk membuatnya sesak napas seperti yang dilakukan Levi.

Astaga. Kenapa dia memikirkan psikopat itu lagi?

Sakura melebur dalam wujudnya. Melingkarkan tangannya di sekitar punggung tegap Eren tanpa ragu, membenamkan wajahnya di dadanya.

"Tinggalah di tempatku. Kau telah melalui begitu banyak hal-hal mengerikan selama dua hari ini. Mengerti?"

Mereka hanya diam di sana dalam posisi seperti itu. Menikmati kehangatan masing-masing, kedekatan dan perasaan semacam aliran listrik di antara keduanya. Lebih kuat dari sebelumnya.

Energi positif kian intensif setiap detik, tapi Sakura bisa merasakannya semakin lama kesedihan yang ia alami lenyap.

Dan untuk pertama kalinya, ia merasa aman.


END