Summary : Wanita itu gila. Setelah aksi heroiknya lima tahun lalu, kini dia datang tanpa dosa. Merangsek masuk pada kehidupan pria itu hanya demi sebuah keegoisan berlandas ketamakan.

Demi Tuhan, Hinata?! Kau perlu ke rumah sakit jiwa?!

.

.

.

.

.

.

.

Rate : M

Genre : Drama, Romance, Hurt/Comfort, Family

Pair : [Naruto U. Hinata H]

.

.

Naruto milik Kishimoto Masashi-sensei

.

.

.

Prolog

| 22 september 2018 |

Daisy Restaurant & Bar

Dia tidak bisa mengabaikan fakta betapa indahnya restoran itu malam ini. Lampu-lampu unik menghiasi jalan dari lapangan parkir hingga depan restoran. Di bagian depan, berjajar bunga hias yang terbuat dari bahan daur ulang. Warna-warni. Jika masuk ke dalam, kalian akan menemukan beberapa jalur yang berbeda. Dibuat sedemikian rupa hingga menyerupai negeri dongeng.

Jalur pertama adalah jalur khusus untuk keluarga. Dinding-dinding dicat dengan panorama alam. Jalan utama dibuat sejajar dengan akuarium buatan yang ditutup kaca transparan, melekat di lantai. Sedangkan atapnya pun dihias seperti langit malam. Penuh lampu kecil.

Jalur kedua bertema persahabatan. Jika kau datang ke sana tanpa teman, sudah dapat dipastikan kau seorang tanpa status, single. Namun, itulah yang membuat tempat ini unik. Area khusus ini didekor dengan sentuhan dunia sihir. Magis dan misterius. Dinding-dinding dicat krem dengan tulisan-tulisan Yunani kuno. Lampunya dibuat menggantung, mirip ruang makan sekolah sihir Hogward.

Tempat terakhir, tempat yang paling romantis. Dindingnya berwarna merah tua. Kursi dan mejanya kecil, khusus untuk berdua. Tempat pertama dia dan wanita itu berkencan—meski tidak bisa sepenuhnya disebut demikian.

Dia berbelok ke jalur kedua. Sedikit tergesa. Apakah dia terlambat?

Wanita itu tidak ditemukan di mana pun. Seharusnya dia tidak tersulut emosi. Dia menyuruh wanita itu enyah, itulah tepatnya yang dia lakukan 20 jam lalu.

Dia mengeluarkan kunci, menuju ruang parkir. Dan, di sanalah wanita itu berada. Memeluk erat sosok pria berambut perak. Seingatnya, wanita itu mengatakan tidak ingin pergi ke pelukan pria itu yang jelas sangat disayangi sebagai seorang sahabat. Namun malam ini, wanita itu bahkan terisak di dada pria itu.

Dia ingin sekali menarik kerah pria itu, memukul dan memakinya tepat di wajah. Sayang, dia tidak lagi memiliki hak setelah apa yang dia ucapkan. Karena itu dia tidak menghampiri mereka.

Mungkin, dia meyakinkan diri, pria bernama Otsutsuki Toneri lebih mencintai Hinata-nya, lebih daripada yang bisa dia lakukan. Namun, bukan kenyataan itu yang menonjoknya hingga nyaris terhuyung, tetapi kenyataan bahwa baru sekarang dia berani menyuarakannya keras-keras meski hanya di kepala. Bahwa dia mencintai wanita itu. Bahwa dia kemungkinan besar akan kehilangan wanita itu segera, menyakitkan dengan luka dalam yang—dia tahu—akan meninggalkan bekas seumur hidup.

Wanita itu adalah wanita pertama yang berhasil mengacak-acak tatanan hidupnya. Merangsek masuk meski sudah ditolak berkali-kali. Wanita yang selama ini memercayakannya dengan banyak rahasia.

Mungkin, Otsutsuki Toneri berbeda. Mungkin pria itu mencintai Hinata dengan lebih berani. Bukan pengecut sepertinya yang enggan mengakui.

Dia jarang menginginkan. Perusahaan, uang, hingga wanita bisa dia dapatkan, tetapi tidak dengan wanita itu. Wanita yang sudah dia sia-siakan.

Dan, di sinilah dia, menatap diam-diam wanita berperut besar, bergaun ungu dengan motif bunga sakura yang berpelukan beberapa meter di depan.

Sebenarnya, dia bisa saja memberitahu bahwa dia jatuh cinta, atau memohon agar wanita itu tinggal, tetapi dia tidak ingin melakukannya.

Nanti. Sebentar lagi.

Bab 1: The Crazy Woman

| 6 Februari 2018 |

Namikaze Corporation

Namikaze Naruto memasuki lobi Namikaze Corporation. Tiga bulan lalu, dia resmi diangkat menjadi CEO di perusahaan tersebut, menggantikan ayahnya. Namikaze Corp bergerak di dunia konstruksi. Dan hari ini dia harus menghadiri pertemuan dengan pihak Sabaku Corp untuk membahas proyek besar pembangunan Sabaku Grand Land di Hokkaido.

Naruto mengecek ponsel, gelisah. Shikamaru mengatakan sekretaris barunya akan datang hari ini. Namun ketika dia sudah hampir sampai di lantai sepuluh, setengah jam sebelum rapat dimulai, tidak ada yang datang. Mungkin, dia memang cerdas. Materi rapat sudah dia pahami, tetapi yang namanya persiapan itu perlu. Tidak mungkin dia menjatuhkan harga diri perusahaan hanya karena alasan sepele; tidak ada sekretaris.

Seorang karyawan melaporkan bahwa terjadi kecelakaan di jalan yang menyebabkan sekretaris barunya terlambat.

Rapat sudah dimulai dan Naruto masih mencoba menghubungi Shikamaru. Pasalnya, sang ajudan itu pergi mengatasi bisnis di Australia selama satu bulan tanpa membuat persiapan. Shikamaru berdalih kalau Naruto itu cerdas dan mandiri. Saat sudah tenggat waktu saja Shikamaru baru mencari pengganti. Tanpa memberitahu siapa; laki-laki atau perempuan, latar belakang dan pendidikan. Pria bermarga Nara itu hanya mengatakan kalau si sekretaris akan datang sebelum rapat dengan Sabaku Corp.

"...jadi, kapan rapat bisa dimulai?" tanya seorang anggota perwakilan Sabaku.

"Maaf atas keterlambatan saya." Seorang wanita masuk ruangan, menginterupsi puluhan orang di sana. Termasuk Naruto. Napas pria itu seolah putus saat itu juga.

Hyuuga Hinata. Tentu saja Naruto mengenal wanita itu. Mereka pernah berada dalam satu kampus yang sama, Chiba University. Wanita luar biasa yang mengerikan. Wanita pertama yang mempermalukannya di depan umum.

Naruto masih mematung kalau tidak bahunya ditepuk. Dia tidak sadar kalau rapat sudah benar-benar dimulai dengan Hinata yang membacakan susunan acara. Wanita itu menaikkan alis, meminta dia buka suara.

Tidak ada yang benar-benar dia perhatikan di rapat itu. Fokus Naruto teralih ke wanita yang duduk di ujung barisan. Memakai kemeja berwarna navy longgar yang sengaja ditata berantakan. Jatuh dengan ringan membentuk lekuk dadanya yang sebesar tangkupan pria dewasa. Rambutnya yang dulu lurus, kini dibuat bergelombang. Diikat satu di belakang yang menonjolkan leher putihnya. Namun bukan itu yang membuat Naruto heran. Melainkan tatapan polos tanpa dosa seolah wanita itu adalah remaja kemarin sore. Hal yang sangat dia sangsikan.

Rapat selesai sebelum dia benar-benar sadar.

"Ada apa dengan Anda, Namikaze Naruto-san?" wanita itu melangkah, mendekati Naruto yang tampak melamun sejak tadi. Tangannya yang bermanikur menepuk pelan pundak Naruto. Sedangkan pria itu sendiri ingin sekali mengubur diri saat ini juga. Berada di mana pun asal tidak melihat wanita itu.

"Bisa kau jelaskan keadaanmu sekarang?" tanya Naruto setelah menemukan kembali kesadarannya.

Dan, wanita itu hanya tersenyum, membuat Naruto merasa tertekan. Karena dia tahu—apa pun—yang wanita itu pikirkan, bukanlah hal yang bisa dicerna oleh otak cerdasnya.

.

"...jadi?" Naruto memicing, menatap Hinata tidak suka saat wanita itu duduk di sofa ruangannya tanpa dosa. Menyeruput kopi hitam yang disajikan dengan gestur santai.

"Aku sedang menganggur," Hinata memberi jeda, melirik kopinya lamat-lamat, "dan tidak sengaja mengikuti wawancara yang diadakan Namikaze Corp."

"Itu tidak menjelaskan apa pun. Maksudku, bagaimana mungkin kau masuk ke perusahaanku saat kau adalah direktur utama jaringan Hyuuga?"

Hinata tersenyum sinis. "Apa kau masih membenciku?"

"Aku tidak menjawab pertanyaan pribadi. Cukup jawab kenapa kau bisa berakhir di sini!"

"Jawabanku berhubungan dengan masalah pribadi. Apa kau masih mau dengar?"

Naruto melemaskan genggaman tangannya, menghela napas. "Sejauh itu masuk akal."

Jeda beberapa menit. Hinata tampak menimbang-menimbang. Naruto belum pernah melihat wajah wanita itu sefrustrasi ini. Hinata yang dia kenal adalah wanita yang suka menerobos. Menyalak dan keras kepala. Tidak mau kalah.

"Aku diusir oleh Ayah."

"...?!" Naruto mengernyit.

"Ayah memintaku menikah dan aku tidak mau."

"Hanya itu?"

"Tidak sesederhana itu?! Ayah—maksudku si tua bangka itu menginginkan aku menikah agar cepat menimang cucu." Hinata menggebu-gebu.

"Oh, dan kau bukan orang yang mau terikat. Aku paham, tapi bukan berarti kau harus diusir, 'kan? Hyuuga akan kacau tanpa kau di sana."

"Aku mengacau makanya aku diusir."

Naruto merasakan firasat buruk. "Apa yang kau lakukan?"

"Aku gagal menembak mati si tua itu?!" Hinata berdecap, "padahal sedikit lagi. Kau tahu? sedikit lagi. Kalau saja aku bisa membunuhnya waktu itu, aku tidak akan berakhir di sini!"

Naruto terkesima. Ayolah, apa yang patut dibanggakan dari gagal membunuh ayah sendiri? Dia gagal paham.

"Ayah menginginkan cucu. Dan aku mau memberikan asal jangan menikah. Apa aku salah? Orang menikah pun tujuannya sama, bukan? Keturunan!"

Lagi-lagi Naruto dibuat terkesima. Sejauh yang dia tahu, tidak ada wanita yang mau memiliki anak tanpa ikatan pernikahan.

"Aku hanya perlu mencari pendonor, tetapi Ayah menolak keras. Dia tidak ingin menginginkan keturunan yang tidak pantas."

"Kau ke sini untuk ... mencarinya?"

Hinata menggeleng. "Tidak. Aku baru saja memutuskan kalau aku menemukannya."

.

A Apartement, Shibuya

Naruto melepaskan dasi yang terasa mencekik. Merebahkan diri di sofa, menutup mata menggunakan lengan kanan. Dia lelah. Setelah lima tahun, hari ini adalah hari terberat yang dia alami. Bertemu dengan Hinata bukanlah hal baik. Migrainnya kambuh hanya dengan mengingat kalimat terakhir wanita itu.

"Tidak. Aku baru saja memutuskan kalau aku menemukannya," Hinata memberi jeda, tersenyum samar, "Aku hanya mengizinkan seseorang yang aku kenal sebagai Ayah dari bayiku."

Seseorang yang dikenal katanya? Naruto mengernyit. Di Namikaze Corp, hanya ada dua orang yang Hinata kenal. Shikamaru dan dia.

"Biar aku tebak, kau memintaku menjadi pendonor?" Naruto melotot saat Hinata mengacungkan ibu jari. "Demi Tuhan, Hinata?! Kau perlu ke rumah sakit jiwa?!"

Naruto hampir pingsan saat itu juga. Dia tidak tahu bagaimana Hinata bisa membuat keputusan sembrono. Padahal wanita itu tahu kalau Naruto hanya akan menikah dengan seorang wanita yang mencintai dan dicintainya. Dan Hinata tidak termasuk. Wanita itu pemuja kebebasan. Tipe pemberontak. Jelas bukan tipenya sama sekali.

Dia bisa saja memecat Hinata, tetapi itu akan terdengar seperti dia melarikan diri. Dia tahu wanita itu akan menertawakannya, karena memang itu yang wanita itu lakukan padanya lima tahun lalu.

.

Bab 2: When The First Love was Broken

| 21 Maret 2013 |

Siang itu begitu indah. Meski bunga Sakura sudah berguguran, itu tidak menampik fakta bahwa sejauh mata memandang, yang ada hanya keindahan. Mungkin, inilah yang orang bilang sebagai jatuh cinta.

Dia bukanlah remaja kemarin sore. Usianya sudah 21 tahun. Namun inilah yang pertama. Bukan putri kampus, melainkan anak jurusan Bisnis dan Manajemen seangkatan dengannya. Wanita itu sangat terkenal. Hampir tidak ada orang yang tidak mengenalnya di Chiba University. Kecantikan, prestasi, latar belakang, tetapi bukan itu. Dari sekian banyak kelebihan, tabiat dan kelakuannya lah yang paling menonjol. Tidak ada hari di mana tidak ada keributan yang dibuatnya. Setiap hari akan ada mahasiswa yang dibuat babak belur. Masalahnya rata-rata sepele; tidak sengaja menyenggol bahu, menatapnya terlalu lama, atau yang paling parah adalah mengungkapkan cinta. Wanita itu tidak segan-segan meremukkan tulang para pria yang berani mendekat.

Namanya Hyuuga Hinata. Putri tunggal keluarga Hyuuga. Ayahnya seorang Mafia yang memiliki bisnis Bar dan Bank di mana-mana.

Sungguh, Naruto merasa cukup hanya dengan melihatnya dari jauh. Ya, hingga saat itu. Ketika klub penyiar disadap. Hyuuga Hinata menyebutkan namanya keras-keras dan memanggilnya pencuri. Saat itu juga, dia menemui wanita itu dengan wajah super malu.

Uzumaki Naruto, seorang mahasiswa jurusan Teknik Arsitektur yang culun, tidak pernah diperhatikan oleh khalayak, mendadak terkenal.

Hinata tengah membaca buku bisnis edisi bulan lalu ketika Naruto datang dengan wajah super marah.

"Jadi, kau yang namanya Uzumaki?" wanita itu menatap datar, sedikit tersenyum meremehkan.

"Apa maksudmu menyebutku pencuri?"

"Kau meminjam buku bisnis keluaran terbaru dari perpustakaan sejak lama, tapi sampai batas waktunya, kau bahkan tidak mengembalikan."

"..." Naruto mengernyit.

"Untuk apa anak Teknik membaca buku bisnis? Apa itu diperlukan?" singgung Hinata.

"Itu urusanku."

"Di mana bukunya?"

"Hilang."

"Kau ... bagaimana bisa?! Aku menunggu buku itu terbit. Aku tidak bisa membelinya karena edisi terbatas. Dan kau mengatakan buku itu hilang?"

"Aku terjatuh di sungai beberapa minggu lalu dan buku itu ikut hanyut. Bukan bermaksud, tapi murni kecelakaan."

Hinata kehilangan kata-kata. Untuk ukuran pria culun, Uzumaki Naruto terdengar gentle. Tatapan pria itu juga berbeda. Tidak ada nafsu dan keinginan dari mata sewarna lautan tersebut. Hinata berdeham sejenak. "Jadi, apa kau sudah menggantinya?"

"Seperti yang kau katakan, buku itu edisi terbatas. Jadi pihak perpustakaan memintaku mengganti dengan uang."

Dan, begitulah semuanya bermula. Karena Naruto tidak bisa memenuhi apa yang Hinata inginkan, sebagai balasannya, setiap hari Naruto harus menemani wanita itu makan di kantin. Si culun Naruto menjadi buah bibir. Hinata senang melihat bagaimana malunya Naruto dengan tatapan orang sekitar. Mata safir itu bergerak gelisah, tangannya gemetar dan wajahnya memerah.

Naruto tidak pernah membayangkan semua ini akan terjadi. Dia senang, sangat. Namun mengingat bagaimana Hinata diam-diam tersenyum disaat dia dipermalukan, dia merasa sedikit ... kecewa.

Keadaan baik-baik saja hingga pada hari di mana wanita itu menemukan sepucuk surat yang terselip di antara buku-buku teknik.

Esoknya, surat itu terpampang apik di mading. Naruto sangat malu. Itu adalah surat cinta untuk Hinata yang tidak berani dia berikan.

"Jadi, si culun ini menyukaiku? Jangan bercanda?!" Hinata muncul di antara kerumunan mahasiswa yang memenuhi area mading.

"Aku tidak pernah tahu kalau otak cerdasmu kau gunakan untuk melakukan tipu muslihat seperti itu. Buku yang hilang ... sengaja, bukan?" Hinata tersenyum sinis.

"Licik sekali. Hanya karena kau ..." Hinata menunjuk Naruto; dari atas sampai bawah, "seperti ini, lantas bisa menipuku, begitu?"

"Dengar, Uzumaki Naruto. Aku pemuja kebebasan. Dan kalaupun aku harus menikah, atau pria di dunia ini musnah, aku tidak akan dan tidak pernah akan menyukaimu!"

Begitulah akhir kisah cinta pertamanya. Awal dia membenci wanita itu. Karena setelah aksi heroik Hinata, Naruto dihujat banyak orang. Dipermalukan di depan umum.

Butuh waktu untuk kembali bangkit dari rasa malu yang menimpanya. Naruto memutuskan pindah ke luar negeri. Melupakan kejadian itu dan memulai semuanya dari awal, sebagai Naruto yang baru.

.

Bab 3: Let's See. Who Will be Caught!

| 8 Februari 2018 |

Hinata berusaha mengikuti langkah Naruto dari lantai sepuluh ke lobi. Hari ini mereka akan melihat lokasi Sabaku Grand Land di Hokkaido. Sangat mendadak, mengingat harusnya lokasi ditinjau esok hari. Naruto juga tidak mengatakan apa pun tentang perubahan jadwal tersebut. Atau, sebagai sekretaris, Hinata-lah yang kurang cekatan. Dia tidak tahu. Yang jelas pesawat sudah menanti satu jam lagi.

"Kencangkan sabuk Anda, Presdir!" ucap Hinata sopan. Wanita itu memacu mobil perusahaan dengan kecepatan diatas rata-rata wanita berkendara. Naruto cukup terkejut. Pria itu pikir, Hinata hanya menggertak atau bermain sopan-sopanan dengannya.

Naruto menatap Hinata cukup lama. Meski kali pertama bertemu mulut wanita itu blak-blakan dan terkesan tidak sopan, pada kenyataannya Hinata bekerja secara profesional. Atau mungkin, itu adalah siasat wanita itu agar dia mau mendonorkan benihnya. Dia tidak mau tahu. Asalkan Hinata tidak melewati batas atau membuat gara-gara, dia akan bersikap sebagaimana mestinya.

.

Penerbangan berlangsung sekitar lima belas menit. Hinata cukup andal dalam menangani beberapa hal. Seperti saat ini, wanita itu sudah memesan taxi untuk ke lokasi.

"Di sini akan dibangun hunian dengan tiga tipe. Pusat perbelanjaan, pusat kebugaran, kolam renang, taman bermain juga sekolah." Jelas seorang pria bernama Sabaku Gaara. Presdir Sabaku Corporation. Pria berambut merah yang memiliki iris mata berwarna hijau. Tingginya hanya sebatas telinga Naruto, tetapi terlihat cukup maskulin dengan kemeja yang lengannya digulung sampai siku.

"Tipe seperti apa yang Anda inginkan?" Naruto mematri hamparan tanah di depan.

"Aku ingin ada tipe untuk keluarga besar, sampai keluarga kecil. Usahakan ada taman disetiap rumah untuk bermain atau menanam bunga. Sisanya, aku serahkan padamu." Gaara tersenyum. Naruto mendengus.

Dilihat dari posisi Hinata, kedua pria itu terlihat akrab. Ya, banyak hal terlewat sejak lima tahun. Naruto berubah banyak. Pria itu terlihat lebih dewasa dan maskulin. Wajahnya tampan dengan hidung mancung, bibir tipis dan rahang tegas. Hinata tidak memperhatikan ini sebelumnya, tetapi setelah deklarasinya dua hari lalu, dia mulai berpikir. Beberapa tahun ke belakang. Dan ya, Naruto berhasil membuatnya merasa ditonjok. Apa pun yang melekat di pria itu begitu menarik khalayak. Termasuk relasi bisnisnya, Sabaku Corporation.

"Apa dia sekretaris barumu?" tanya Gaara tiba-tiba, menyentak Hinata ke alam nyata.

Wanita itu buru-buru membungkuk, berusaha sesopan mungkin.

"Dia wanita yang dulu menolakmu, 'kan?" Hinata hampir terhuyung. Pertanyaan yang lebih merujuk ke pernyataan itu begitu menohok. Blak-blakan.

"Gaara ... jangan memulai. Dia sekarang karyawanku." Naruto menepuk pundak Gaara, tersenyum datar yang—Hinata tahu—sebagai penghinaan.

"Karyawan sementara. Aku tahu," pria itu memberi jeda, "kapan Shikamaru kembali?" ucapnya seraya menggiring Naruto ke tempat mobilnya berada. Mengabaikan Hinata yang mengatupkan gigi rapat-rapat.

Tidak hanya itu bengisnya seorang Sabaku Gaara. Pria itu bahkan tidak mengizinkan Hinata naik di mobil yang sama menuju hotel dengan alasan yang terdengar sangat tidak masuk akal. Hinata ditinggalkan di lokasi tanpa uang.

"Kau harus berterima kasih padaku," ucap Gaara bangga.

"Kau keterlaluan. Dia tidak mungkin diam saja setelah ini, kau tahu?" Naruto tersenyum. "Dia lebih dari apa yang kau bayangkan."

.

Hinata tiba di hotel tepat pukul delapan malam saat Gaara sudah mau kembali. Kedua pria itu berada di lobi, saling berjabat tangan dan berbincang ringan yang—tidak mau dia tahu—membicarakan apa.

"Aku senang Anda tiba dengan selamat, Nona Hyuuga." Hinata membungkuk sejenak sebelum berlalu, meninggalkan lobi yang terasa memuakkan. Dia tidak ingin meladeni ocehan si Sabaku yang jelas akan membuang tenaga. Kalau dia tidak berstatus karyawan biasa, sudah pasti pria merah itu masuk rumah sakit saat ini juga.

"Dia baru saja mengabaikanku?" Gaara menunjuk diri sendiri.

"Kau beruntung dia mengabaikanmu. Kau tahu reputasinya, bukan? Seorang Hyuuga bukanlah seseorang yang bisa kau remehkan." Naruto terkekeh pelan.

"Kau sedang membela wanita itu?"

"Memang aku terlihat begitu? Seingatku aku tidak pernah melakukannya." Naruto menepuk pundak Gaara, memaksa pria itu memasuki mobil.

Naruto melambai tepat sebelum Gaara menyalakan mobil. Mengusir.

"Selamat malam, Gaara. Semoga malammu indah ..."

.

"Sudah makan malam?"

Hinata menoleh dari pintu kamar mandi. Dia jelas tidak ingin bicara dengan pria yang menatapnya dengan tatapan sok polos itu.

"Ada yang ingin kau katakan? Aku ingin mandi." Hinata menyahut.

"Kalau kau belum makan, setidaknya aku bisa pesankan." Jawab Naruto santai, duduk di salah satu ranjang kamar hotel tersebut.

"Bagaimana bisa—" Hinata mengerang tidak percaya, "—kau sesantai ini? setelah apa yang kau dan temanmu itu lakukan, kau masih mencoba bersikap baik?"

Naruto menatapnya, kali ini dengan mata yang menyorot tajam. "Bagaimana denganmu? Setelah apa yang kau lakukan padaku waktu itu, kau masih punya malu untuk mengemis padaku?"

Salah. Hinata tidak merasa dia mengemis. Dia hanya meminta, Naruto tidak harus menuruti kemauannya. Atau, pria itu berpikir ke arah sebaliknya.

"Jangan salah paham. Aku melakukannya karena tahu kita berbeda. Kau adalah pengagung cinta dan aku bukan orang yang percaya dengan cinta. Tidak akan ada yang dirugikan." Wanita itu berargumen.

"Oh, kau salah, Nona. Tentu akulah pihak yang akan dirugikan." Pria itu berdiri, berjalan mendekat ke arah Hinata. "Bayangkan! Di luar sana ada anak yang memiliki iris biru dan rambut pirang. Meski kau tidak menyebut itu anakku, media akan heboh. Sampai sini kau paham apa yang aku maksud?"

Hinata berusaha mendongak, mengadu kedua matanya dengan iris tajam milik Naruto.

"Kenapa kau percaya diri sekali? Meski aku hamil benihmu, belum tentu anak itu akan mirip denganmu!" sudut bibir Hinata naik. "Dan jangan bicara seolah-olah kau akan memberikan jika memang tidak ada niat melakukannya!"

Hinata berbalik. Menutup pintu kamar mandi dengan suara berdebum.

Naruto mengerjap. Dia tidak pernah seperti ini sebelumnya. Bicara frontal pada seorang wanita, tetapi Hinata berhasil membuat dia melakukannya.

.

Seminggu sejak kejadian di Hokkaido. Suatu malam, secara mengejutkan pintu apartemen Naruto tiba-tiba diketuk. Wanita itu datang menenteng sebuah koper.

"Izinkan aku tinggal di sini!" ucapnya yang terdengar seperti perintah.

Naruto meletakkan satu tangan di pintu, mencegah wanita itu masuk.

"Tunggu! Datang bertamu tiba-tiba dan meminta tinggal. Kau pikir ... kau siapa?" ucapnya, "kau tentu tidak lupa kalau aku ini bosmu, 'kan?"

"Aku sekretarismu dan kau bosku. Tentu aku tahu."

"...jadi?"

"Kau bukan orang yang tega, 'kan?"

Naruto mendorong bahu Hinata saat wanita itu hendak menerobos masuk. Keras kepala.

"Apa yang sebenarnya kau rencanakan?" tanya Naruto. "Apa tidur di kantor masih belum cukup bagimu? Aku bahkan membiarkannya."

Hinata tersentak.

"Kenapa? terkejut karena aku tahu?" pria itu tersenyum aneh. "Hinata ... dengar. Aku sudah banyak memberi kelonggaran bagimu. Aku juga tidak memecatmu meski kau bersikap kurangajar padaku beberapa waktu lalu. Jadi aku mohon jangan melebihi batas atau kau benar-benar aku depak!"

"Aku akan pergi secepatnya kalau kau memberikannya padaku!"

Sinting! Naruto merasa kepalanya pening. Beberapa waktu lalu, Hinata marah karena dibilang sebagai pengemis. Namun sekarang wanita itu bahkan melakukannya secara terang-terangan. Apa sebenarnya yang ada di kepala Hinata?

"Jelaskan padaku. Kenapa mendadak bicaramu berubah?"

"Ayah akan menyeretku pulang kalau aku tidak bisa menepati ucapanku. Dia bahkan memblokir semua kartu kredit dan membekukan tabunganku. Aku juga dilarang masuk ke Bar di mana pun itu. Padahal aku bisa menghasilkan uang jutaan Yen dalam satu malam kalau aku masuk ke sana. Parahnya, dia mengirim semua utusannya hanya untuk membuatku terdesak!" ucap Hinata dalam satu tarikan napas. Wajah wanita itu memerah, napasnya terengah. Jelas, dia marah.

"Hinata ... tidakkah kau berpikir kau berlebihan? Ayahmu hanya ingin yang terbaik untuk anaknya. Menikahkanmu adalah kewajiban selama beliau masih hidup."

"Aku tidak ingin menikah. Tidak bisakah kau mengerti itu, Naruto?" wanita itu mengiba. Matanya yang berapi-api mendadak berkaca-kaca. Frustrasi.

Inilah yang tidak Naruto pahami. Dia tahu Hinata pengagung kebebasan, tetapi wanita itu bukanlah tipe yang suka memacari banyak pria kemudian membuangnya seperti sampah. Selama kuliah, Naruto tidak pernah melihat wanita itu berkencan. Jangankan kencan, Hinata akan marah jika ada pria yang berusaha mendekat. Dan dia termasuk korbannya.

Naruto menghela napas. Untuk saat ini, Hinata perlu waktu untuk menjelaskan. Dia perlu kejelasan sebelum membiarkan wanita itu tinggal.

Keduanya duduk di sofa dengan dua cangkir teh yang masih mengepul, tetapi Hinata tidak kunjung bicara. Wanita itu meremas kedua tangannya secara bergantian. Hal mustahil yang terjadi pada wanita itu.

"...jadi, kapan kau akan memulai? Sebentar lagi tengah malam. Aku akan mengusirmu kalau kau tidak bisa memberi penjelasan yang masuk akal!"

"Sebenarnya ..." wanita itu menggigit bibir, "ada seseorang yang mau memberiku anak tanpa harus menikah."

Naruto terkesiap, tetapi dia mencoba untuk tenang. "Lalu?"

"Itulah masalahnya. Dia adalah pria baik-baik. Sahabatku. Aku tidak ingin membuatnya masuk ke dalam masalahku dan terjebak denganku seumur hidup."

"Namun kau ingin membuatku terjebak." Naruto mendengus.

"Sudah aku katakan, kau berbeda!"

"Apa bedanya? Aku juga laki-laki!"

"Kau tidak menginginkanku!"

"Ap—" Naruto kehilangan kata-kata, "—apa?"

"Aku bisa saja meminta pria mana pun yang aku kenal untuk menjadi pendonor, tapi tidak banyak yang akan dengan begitu saja membiarkanku pergi setelah mengandung anak mereka, kecuali hanya jika mereka adalah pria bejat. Benar, 'kan?"

"Dan kau tidak ingin mengandung anak dari pria seperti itu."

"Benar."

"Setidaknya, meski aku tidak menikah, aku ingin mengandung anak dari seseorang yang aku kenal. Pria baik yang tidak menginginkanku. Jadi aku tidak akan terbebani dengan perasaan bersalah. Aku bisa hidup dengan anakku tanpa ada masalah."

Naruto memijit pangkal hidung, bingung sendiri menghadapi Hinata. Pemikiran wanita itu terlalu tabu untuk dicerna akal sehat.

"Masalahnya aku tidak mau. Apa yang akan kau lakukan?"

"Kenapa kau memutuskan begitu cepat? Aku bahkan belum berusaha!"

"Kau?" Naruto menunjuk Hinata, "kau bahkan membenci semua makhluk berjenis kelamin pria, tapi menginginkan anak dan berusaha menggodaku. Tidak bisakah kau bercermin? Atau perlu aku belikan cermin yang besar?"

"Bagaimana kalau aku buat kau tertarik padaku? Tidak harus cinta. Dengan begitu kau akan memberikannya, 'kan?" wanita itu tiba-tiba saja berbinar. Naruto heran, bagaimana mungkin suasana hati Hinata bisa berubah secepat itu.

"Terserah. Karena seberapa keras kau berusaha, aku tidak akan pernah memberikannya padamu!" kata Naruto final.

Dia, Namikaze Naruto baru saja bermain api. Pria itu tahu, sadar seratus persen dengan apa yang dia katakan. Normalnya, dia tidak akan memberi Hinata kesempatan. Namun, entah kenapa, dia ingin sekali melihat bagaimana Hinata berusaha. Wanita itu belum pernah menggoda pria sebelumnya, dan dia menjadi yang pertama. Ayolah, tidakkah ini terdengar menyenangkan?

.

Paginya, Naruto bangun saat mencium aroma sedap. Pria itu belum cuci muka saat mendekat ke arah dapur, terkejut saat melihat seorang Hyuuga Hinata memasak.

"Aku tidak tahu kalau wanita sepertimu bisa memasak."

"Aku anggap itu pujian."

"Harusnya kau bilang dari awal kalau kau bisa melakukan aktivitas rumah tangga. Maka aku akan membiarkanmu tinggal sejak pertama. Setidaknya ... aku tidak perlu menyewa pengurus rumah." Ucap Naruto sinis. Pria itu meneguk air yang diambil dari lemari pendingin, kemudian bersandar di sana.

"Aku tidak memasak untuk orang lain. Urusan perut, pikirkan masing-masing!"

Naruto tersedak. "Kau—" sambil menyeka bibir, "—menggunakan dapur dan bahan masakan di tempatku, dan masih berani mengatakan itu? Urat malumu benar-benar putus, Hinata?!"

Wanita itu tak acuh. Mencicipi nasi goreng yang dibuat untuk dirinya sendiri.

.

| 13 Februari 2018 |

Seingat Naruto, wanita itu akan mencoba menggodanya. Namun sampai dua hari berlalu, yang Hinata lakukan hanyalah membuat dia tersulut emosi. Tidak di rumah atau kantor. Ada saja ulah wanita itu yang membuat Naruto uring-uringan. Terlebih, Hinata tahu bagaimana cara menyerangnya menggunakan permainan kata.

Beberapa hari tinggal bersama wanita itu, membuat Naruto hapal segala kebiasaannya. Hinata tidak akan tidur kalau lampu tidak dimatikan. Wanita itu akan terbangun di tengah malam hanya untuk meminum segelas susu. Bangun pagi-pagi untuk memasak makanannya sendiri dan sarapan di ruang tengah sambil menonton televisi. Pulang kerja, Hinata akan segera masuk ke kamar mandi. Berendam berjam-jam sebelum makan malam. Suka menonton drama thriller dan mistery sambil memakan popcorn. Tidur di ruang tengah dengan bungkus makanan di mana-mana. Sungguh seenaknya.

Begitulah kegiatan wanita itu sehari-hari. Sunggu tak acuh. Wanita itu seolah tidak peduli dengan apa yang telah dia ucapkan.

Naruto bukan berharap, bukan. Hanya saja, tidakkah Hinata harus menepati apa yang diucapkan?

"Naruto ... bahan makanan habis. Aku belum gajian. Tidak bisakah kau meminjamkan uangmu padaku? Atau ... kita bisa belanja bersama?" tanya Hinata seenaknya.

"Aku—"

"Baiklah. Aku yang akan menyetir." Wanita itu sudah melenggang duluan.

Sejak kapan Naruto mau diperintah? Dan apa pula dengan dia yang mengikuti wanita itu? bahkan sampai swalayan. Naruto yang mendorong trolly.

"Jangan ambil terlalu banyak. Aku yang bayar, ingat?" Naruto berdecap, sebal.

"Jangan pelit. Kau kaya raya. Tidak akan jatuh miskin hanya karena membelikan makanan wanita tunawisma sepertiku."

"Tidak bisakah kau bercermin? Kau bahkan tidak mau memasak untukku tapi mau aku belanjakan? Kapan kau sadar diri?!" geram Naruto.

"Jangan kasar begitu, semua orang melihat ke sini." Hinata berbisik tepat di telinganya.

.

"Hinata! Tidak bisakah kau berhenti melakukannya?" geram Naruto saat mereka sampai di apertemen. Menghempaskan barang belanjaan begitu saja di lantai dengan raut muka merah.

"Memang aku melakukan apa?" tanya wanita itu polos, memunguti barang belanjaan yang berserakan. Namun, secara tiba-tiba, Naruto menarik lengannya. Memaksa Hinata untuk berdiri.

"Tidakkah kau melupakan sesuatu?"

"Melupakan apa?" wanita itu masih tidak paham.

"Bukankah kau bilang akan mencoba menggodaku? Apa hanya sebatas ini kemampuanmu?"

"Ah! Kau benar! Aku lupa!"

"Hah?"

"Aku lupa ingin bertanya. Bagaimana cara menggoda pria?"

Naruto mengernyit. Wanita itu tahu cara mendapatkan anak tanpa ikatan pernikahan tapi tidak tahu cara menggoda pria?

Pria itu tersenyum samar.

Sangat menarik.

"...jadi, bagaimana kalau aku beritahu?"

Dengan satu gerakan cepat pria itu menarik pinggang Hinata sehingga tubuh mereka saling beradu. Paha menggesek paha dan dada menekan dada.

Hinata mengerjap kaget, tidak menyangka dengan gerakan Naruto yang tiba-tiba.

"Ini," Naruto berbisik, "yang disebut menggoda. Aku kira kau harusnya mempelajari ini jika ingin mendapatkan anak dari seorang pria."

Hinata tidak tahu apa yang tepatnya terjadi. Dia akan baru membuka mulutnya lagi ketika tubuhnya terempas, terimpit di antara tubuh Naruto dan dinding di belakang punggungnya. Matanya terbuka lebar saat pria itu menangkup wajahnya dengan kedua tangan, membuatnya mendongak, lalu memiringkan kepala dan menyatukan bibir mereka dalam satu gerakan cepat yang tidak terduga.

Jakun Naruto bergerak turun saat pria itu menelan ludah, pusing akibat yang ditimbulkan oleh perbuatannya sendiri. Bibir wanita itu lembut, manis, dan begitu panas di bawah sentuhan bibirnya yang bergerak tergesa.

Hinata kesulitan mengimbangi. Wanita itu tidak tahu apa yang harus dilakukan. Dia baru membuka mulut saat lidah Naruto memaksa masuk. Menyusuri rongga mulutnya, mengabsen semua gigi, langit-langit, dan bagian paling dalam mulutnya. Hinata hampir tersedak.

Naruto baru melepaskan wanita itu saat dirasa napasnya sudah memburu.

"Jadi, mau dilanjutkan? Aku bisa melakukan lebih dari ini." pria itu menyeka bibir, tersenyum miring saat melihat reaksi Hinata yang di luar dugaan.

Kedua mata Hinata membeku. Terkejut bukan main. Tubuhnya gemetar hebat hingga merosot ke lantai.

Naruto berlalu begitu saja. Pria itu menggigit bibir bawah, kesal dengan apa yang baru saja dia lakukan. Karena hal yang sama berlaku padanya. Detak jantungnya meningkat. Tubuhnya panas. Dan yang lebih mengesalkan adalah, di otaknya muncul hasrat untuk meniduri Hinata saat itu juga.

Dia benci fakta ini, tetapi dia tidak bisa menampik bahwa dia mulai peduli dengan Hinata. Keberadaan wanita itu yang begitu dekat memang tidak baik untuk kinerja jantungnya.

.

Bab 4: Just One Night, But Change Everything

| 15 Februari 2018 |

Hinata baru saja selesai mengecek dokumen ketika Naruto keluar ruangan. Wanita itu berdiri, membungkuk sejenak.

"Anda bebas dua jam ini. Ada hal lain yang Anda inginkan?" tanyanya sopan.

Ada yang salah. Wanita itu bertingkah seolah-olah tidak ada yang terjadi. Tatapannya tenang dan terkesan lebih dingin.

"Aku mau makan siang di luar. Bisakah kau mengantarku?" pinta Naruto.

Gila! Dia tidak sadar kalau baru saja dia meminta, terlebih pada wanita itu.

"Saya masih sibuk. Saya akan minta supir mengantar Anda." Wanita itu mendial nomor, kemudian mengkonfirmasi kalau supir sudah menunggu di depan.

Naruto tersenyum culas. Memang, apa yang dia harapkan? Dia tidak menyukai wanita itu, begitu pula sebaiknya.

"Presdir, besok saya mau cuti." Ucap Hinata tiba-tiba.

"Kenapa mendadak?" Naruto mengernyit.

"Ada urusan pribadi."

"Pribadi?" suara Naruto terdengar menuntut. Hinata tahu. "Ya, pribadi." Dan tidak menjelaskan.

"Baiklah. Hanya satu hari."

"Terima kasih."

"Dan ... bolehkah saya meminjam uang? Sedikit saja. Nanti saya kembalikan." Pinta Hinata lagi.

"Baiklah. Nanti malam akan aku siapkan."

Wanita itu duduk kembali. Memfokuskan kedua matanya pada layar monitor. Semua pekerjaan harus selesai hari ini atau dia tidak akan bisa cuti dengan tenang.

.

Pagi-pagi sekali, Hinata sudah pergi dari apartemen Naruto bahkan sebelum pria itu bangun. Dia juga meminjam uang pada Naruto.

Hari ini sahabatnya akan singgah dari Shizuoka ke Tokyo. Sudah sejak lama dari terakhir kali dia melihatnya. Terlebih ada banyak hal yang ingin dia sampaikan. Masalah pribadinya harus segera dituntaskan atau dia akan terlibat dalam masalah lain.

Hinata menunggu di sebuah Cafe. Toneri mengirim pesan akan tiba di sana jam sembilan. Setengah jam lagi.

Cafe itu tidak begitu ramai. Terdiri dari dua lantai. Kursinya kecil, tinggi dengan balutan warna hitam dan putih. Tangga menuju lantai dua dibuat berbelok, melingkar. Sementara lantai dua memiliki ukuran meja cukup besar. Satu meja dengan empat kursi. Di bagian jendela, terdapat meja kayu panjang dengan kursi hitam yang berjejer dari ujung ke ujung. Dan, di sanalah dia. Mengaduk kopi sambil melihat jalanan di luar.

"Sudah lama menunggu?" sapa seseorang, menyentak Hinata.

"Sangat lama. Kau sudah seperti perempuan, Tone!" pekik Hinata, memukul lengan Toneri keras.

Pria itu menggeser kursi, duduk di samping Hinata seraya tertawa. Oh, betapa dia merindukan pukulan maut itu.

"Kau bisa membuat tulang lenganku geser!" cibirnya, "...jadi? apa yang ingin Nona ini katakan pada sahabat tampannya? Apa kau bersedia pulang dan menikah denganku?"

Hinata menyorot tajam. "Berhenti bercanda atau aku buat kau tidak bisa bergerak saat ini juga!"

"Baiklah. Apa yang ingin kau katakan, Hinata?"

Jeda sejenak. Hinata membuang muka. Mengaduk kembali kopinya pelan.

"Toneri, kau 'kan seorang pria. Apa yang akan kau lakukan kalau ada seseorang yang mendekatimu hanya karena alasan pribadinya yang mungkin akan merugikanmu?"

"Kau sedang membicarakan dirimu sendiri?"

"Jawab saja!"

Pria bernama Toneri itu mengetuk dagu. Berpikir sejenak. Jelas, dia tidak mungkin memberikan jawaban main-main pada sahabatnya, Hinata. Wanita itu awam tentang pria.

"Tentu aku akan marah."

"Apa kau akan membencinya?" tanya Hinata lagi, waswas.

"Tergantung. Sejauh perempuan itu tidak mengusik sesuatu dalam diriku, tentu aku tidak akan membencinya."

Hinata tertunduk.

"Ne ... Tone ... sepertinya aku berada dalam masalah." Ucap Hinata, "aku tidak bisa menepati apa yang aku katakan pada ayah. Satu-satunya orang yang aku inginkan menjadi pendonor tidak mau memberikan. Jadi aku rasa, kali ini aku harus mengalah."

"Bukan berarti aku menyetujui menikah denganmu!" lanjut Hinata cepat-cepat.

Toneri tersenyum, lantas menggerakkan tangan untuk mengusap kepala Hinata, lembut.

"Jangan khawatir. Aku tidak akan memaksa. Kau dan aku masih bisa memilih jalan lain."

Hinata hampir menangis. Sudah lama sejak terakhir kali dia diperlakukan seperti itu. Dia memang wanita gila. Menyalak dan suka kekerasan. Namun di hadapan pria itu, Toneri, sahabatnya, dia menjadi anak kecil. Disayang dan dimanja. Inilah alasan utama dia tidak ingin melakukannya dengan pria itu. Karena dia, Hyuuga Hinata tidak ingin kehilangan tempat bersandar.

.

Naruto bangun kesiangan. Dia berangkat dari apartemen pada pukul delapan lewat. Jalanan macet. Padahal siang ini ada rapat dengan perusahaan asing untuk membicarakan material yang akan digunakan untuk pembangunan Sabaku Grand Land.

Dia berada di tengah kemacetan ketika matanya tidak sengaja melihat seorang pria mengecup dahi wanita yang dia kenal. Di dalam sebuah Cafe lantai dua. Tidak jauh dari tempatnya. Dan, entah bagaimana, dia merasa terganggu. Secara tidak sadar genggamannya pada setir mengerat, bersamaan dengan gigi yang terkatup rapat.

Jadi ini alasan wanita itu cuti? Meninggalkan pekerjaan demi menemui seorang pria?

.

"Wuah, kau hebat sekali, Nona Hyuuga," Naruto bersandar di dekat pintu saat Hinata masuk apartemennya di malam hari.

"Kau ada masalah, Naruto?" tanya wanita itu tak acuh, melewati Naruto begitu saja kalau tidak lengannya dicekal.

"Lepaskan tanganmu!" wanita menarik tangan yang sayang, tidak berhasil. Naruto merapatkan kedua tubuh mereka. Menekan dadanya.

"Apa yang mau kau lakukan?"

"Menurutmu apa?"

"Naruto ... jangan bersikap seperti ini. Kau terlihat menakutkan."

"Apa baru sekarang kau takut? Apa ciuman itu menakutimu?" ucap Naruto menohok Hinata.

"Bukan. Sikapmu yang berubahlah yang membuatku takut," ujarnya, "kau ... tidak seharusnya memberiku kesempatan. Karena itu membuatku berpikir kau tidak lagi membenciku. Dan itu menakutkan."

Pria itu terkesiap.

"Dan jika kau terus seperti ini, aku tidak akan lagi menginginkannya darimu."

Tangan Naruto melemas di kedua sisi.

"Malam ini aku akan pindah. Terima kasih atas bantuannya. Dan ini uangmu. Aku menggunakannya sedikit. Sisanya, kau bisa memotong gajiku."

Wanita itu masuk ruang ganti. Memasukkan pakaiannya yang hanya sedikit kemudian kembali ke hadapan Naruto untuk berpamitan.

Pria itu masih mematung hingga pintu apartemen kembali ditutup.

.

Esoknya, wanita itu tidak datang bekerja. Hanya mengirim pesan bahwa dia sakit hari ini dan tidak bisa masuk kerja. Naruto sangsi apakah wanita itu benar-benar sakit atau hanya pura-pura.

Hyuuga Hinata? Sakit? Entah kenapa terdengar sangat tidak cocok.

Dua hari kemudian, Hinata masih tidak masuk. Wanita itu bahkan tidak bisa dihubungi.

Naruto baru saja hendak keluar ruangan ketika bagian HR memberikan sebuah surat pengunduran diri Hinata. Dia buru-buru membaca surat itu, dan benar, itu adalah tulisan tangan Hinata.

Apakah wanita itu sudah menemukan pendonor? Atau, apakah pria yang dia lihat kemarin adalah pendonornya?

Naruto meremas surat tersebut. Harusnya dia bahagia, tetapi melihat bagaimana wanita itu berani membuat pengunduran diri setelah apa yang dilakukan, Naruto merasa tidak terima. Wanita itu merangsek masuk ke dalam hidupnya dan pergi setelah membuat ulah.

Dia belum pernah merasa seperti ini. Senang dan kecewa di saat yang bersamaan. Bahkan setelah berbotol-botol minuman melewati kerongkongannya dan turun ke perut, dia masih tidak bisa melupakan bagaimana kurangajarnya wanita itu. Dia harus membuang wanita itu dari pikirannya sebelum kejadian lima tahun lalu terulang. Sebelum dia dipermalukan untuk kali kedua.

.

"Kenapa dompetku harus ketinggalan?" gumam Hinata. Wanita itu menaiki lift apartemen Naruto dengan tergesa. Malam ini, dia harus pulang ke Shizuoka.

Lift berdenting di lantai dua belas. Hinata menekan kode pass yang belum diganti. Namun langkahnya terhenti ketika masuk ke apartemen tersebut. Dia menemukan Naruto mabuk sendirian di ruang tengah. Meja berukuran 60 x 120 cm di sana penuh dengan botol minuman.

"Hei, apa yang kau lakukan, Naruto?!" pekik Hinata. Tidak percaya bahwa ruang tengah menjadi kacau balau. Di lantai pun, banyak botol bekas minum yang berserakan.

Pria itu tak acuh, malah hendak meminum lagi kalau tidak Hinata menghentikannya. "Kau ingin mati?!"

"Hinata? Kenapa kau ada di sini? Bukankah kau sudah pergi?"

"Aku memang akan pergi. Kau tidak perlu khawatir." Ujar Hinata ketus, hendak meninggalkan Naruto.

Pria itu bergerak cepat, buru-buru mencekal pergelangan tangan Hinata.

"Kata siapa kau boleh pergi, huh?" pria itu mulai melantur.

"Lepaskan tanganmu atau kau kutembak mati di tempat!" Hinata menghempaskan tangan Naruto, tapi pria itu bergerak lebih tangkas. Dengan sekali sentak, dia berhasil menarik Hinata, menindih wanita itu dengan cara mengunci kedua tangannya di kedua sisi.

Hinata baru mau buka mulut saat Naruto lagi-lagi menyatukan bibir mereka. Membuat Hinata bisa merasakan alkohol yang diminum pria itu.

Bibir Naruto bergerak tergesa, seolah mereka memiliki waktu yang terbatas. Mengecap dan bergerak memutar, kemudian melesatkan lidahnya untuk menginvasi seluruh mulut Hinata.

Wanita itu meronta, menendang Naruto yang hasilnya sia-sia. Pria itu terbakar nafsu. Birahinya memuncak.

Hinata memang ingin anak, tapi bukan dengan cara seperti ini; hubungan badan. Dia tidak tahu sejak kapan Naruto melucuti semua pakaiannya, menekan dadanya dan mengecap seluruh bagian tubuhnya.

Harusnya Hinata melawan, namun satu sentuhan Naruto membuat sarafnya melemas. Wanita itu tidak tahu kalau berhubungan intim akan seperti ini. Kontrol dirinya melemah, sarafnya tidak mau menuruti apa maunya dan hanya merespon sentuhan pria itu.

Naruto meremas kedua miliknya, menggigit ujungnya dan menekan yang lain. Terutama di bagian bawah sana. Hinata menegang. Dia menggeleng di sela-sela ciuman yang Naruto lakukan. Melarang pria itu melakukan lebih, tapi faktanya, Naruto malah menarik satu kaki Hinata, melebarkan keduanya lebar-lebar sebelum memulai kegiatan utamanya.

Perih. Tubuhnya seolah dibelah dua. Naruto melesatkan miliknya dengan satu kali sentakan mematikan. Meredam teriakan Hinata dengan ciumannya yang memabukkan.

Hinata tidak tahu lagi apa yang terjadi. Yang dia ingat hanyalah suara-suara erangan dan desahan yang entah keluar dari mulut siapa. Decapan akibat kedua tubuh yang beradu dan lenguhan sarat akan kepuasan.

Malam itu, adalah malam di mana Naruto melakukan kesalahan fatal. Pria itu tidak mencintai Hinata, melainkan hanya ingin membuat dirinya melupakan wanita itu. Mengakhiri semuanya adalah yang dia inginkan. Namun, dia tidak tahu, bahwa apa yang dia lakukan, akan mengusung takdir lain di kemudian hari. Dan, hal terakhir yang dia ingat adalah ciuman mesra yang dia berikan di kening seorang wanita tepat sebelum dirinya terlelap.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

To Be Continue

Heee ... aku kok buat rate M lagi? hahaha ... maafkan aku. Tidak eksplisit kok. Hanya sedikit.

Mungkin, cerita ini sangat biasa. Namun, Nao butuh angin sejuk. Kolab di sebelah, tak ubahnya membuat kepalaku nyut-nyutan. Terlalu menegangkan, kelam dan serasa mematikan.

Jadi mohon dimaklumi.

Best Regards,

Nao Vermillion