Mereka bilang bahwa tidak selamanya pagi itu penuh semangat sepertinya benar adanya.
Dengan langkah kaki gontai, Bell Cranel masih bergulat untuk melangkahkan kakinya menuju ke tempat tujuannya pagi ini. Ketika rasa kantuk yang tersisa masih menghinggapi dirinya setelah dia dicerca dengan berbagai pertanyaan seputar insiden Monsterphilia, rasanya Bell masih ingin tidur sekarang.
Tapi itu tentu tidak mungkin karena jika dia tidur maka satu hari petualangannya di Dungeon akan terlewatkan. Begitu juga pundi-pundi Valis yang biasa dia dapatkan akan menghilang karena dia libur ke Dungeon sehari. Jika sudah begitu apanya yang mau mengumpulkan uang untuk Familianya yang masih berkembang? Bell menepuk kedua pipinya dengan cukup keras untuk menyingkirkan rasa kantuk yang masih tersisa. Mencoba untuk menyemangati dirinya untuk hari ini.
Mungkin nanti setelah dia mendapat arahan lagi dari instruktur Dungeon yang ditujukan untuk petualang pemula macam sepertinya, dia akan pergi untuk membeli ramuan penyegar tubuh atau sekadar kopi saja jika ramuan itu terlalu mahal.
Ya, itu adalah ide yang bagus bagi Bell hingga kemudian pemuda berambut putih itu sampai pada tujuannya.
Bangunan Guild itu selalu terlihat mencolok dibanding bangunan sekitarnya. Itu mungkin karena bangunan Guild dibangun dengan kayu-kayu besar dan warnanya yang terkesan tradisional tapi menyimpan makna dalam selalu membawa Bell pada kekaguman. Apalagi jika corak coklatnya bangunan Guild berlantai dua ini terlihat mengkilap ketika terkena sinar matahari. Rasanya Bell ingin tahu apa yang bisa membuat bangunan Guild jadi demikian.
Banyak petualang-petualang lain hilir mudik masuk dan keluar dari bangunan Guild dan Bell kemudian adalah salah satunya. Ketika memasuki gedung Guild, mata Bell langsung mencoba mencari instruktur Dungeonnya dan menemukannya seperti biasa berada pada balik konter kayu dengan pakaian khas pekerja Guild namun rasanya ada yang sedikit berbeda pagi ini.
'Bukankah itu Uzumaki-san?' Pikir Bell demikian. Dia familiar sekali dengan tukang reparasi senjata favoritnya yang sekarang terlihat tengah mengobrol dengan instruktur dungeon yang dia punya. 'Mereka terlihat akrab.''
Sesekali terlihat instruktur Dungeon Bell; Eina Tulle— Gadis setengah Elf dengan rambut sebahu dan punya warna mata Emerald; tertawa kecil ketika mengobrol dengan Uzumaki Naruto. Begitupun dengan Uzumaki-san yang terlihat tersenyum kecil.
Melihat hal itu sebenarnya Bell jadi enggan untuk menganggu sih, tapi berhubung juga dia perlu melaporkan bahwa dia akan menuju ke Dungeon hari ini kepada instrukturnya itu, mau tidak mau maka Bell berjalan menghampiri mereka berdua.
Yang pertama kali menyapa ketika dia mendekat tentu saja Eina-san. ''Bell-kun. Pagi.'' Sapa Eina pada Bell. ''Kupikir kau tidak akan ke Dungeon hari ini setelah kejadian kemarin.''
''Pagi juga Eina-san.'' Kata Bell. ''Aku tidak bisa libur satu hari saja ketika aku tengah mengumpulkan uang untuk Familia.'' Tambah Bell lagi lalu pemuda itu menyapa Naruto yang berada pada sampingnya. ''Pagi Uzumaki-san.'' Kata Bell sambil membungkuk sedikit.
''Pagi juga Cranel-san.'' balas Naruto yang kemudian melihat Bell secara keseluruhan. ''Kau terlihat sedikit lelah Cranel-san.'' komentar Naruto pada Bell yang lalu diiyakan oleh Eina.
''Kupikir juga demikian Bell-kun.'' Kata Eina. ''Kau harusnya libur satu hari saja. Jika kau sampai masuk ke Dungeon dalam keadaan seperti itu maka bisa berbahaya. Kau harus benar-benar fit untuk masuk ke Dungeon.''
''Tapi...'' Bell mulai menyangkal dengan ragu. Benar juga jika dia masuk ke Dungeon dalam keadaan seperti ini maka itu bisa berbahaya untuknya karena dia sendiri kurang fokus nantinya. Tapi seperti yang sudah dia bilang diawal, bagaimana dengan keuangan Familia yang tengah dia kumpulkan?
Seperti menyadari keraguan pada diri pemuda berambut putih yang berdiri disampingnya Naruto yang ada disamping Bell menepuk punggung belakang pemuda itu dengan pelan sekali sembari memberikan sebuah nasihat kecil. ''Kau boleh mementingkan familiamu Cranel-san. Tapi terkadang juga pikirkan bagaimana dirimu. Ketika nanti kau dalam bahaya saat berada pada Dungeon maka siapa lagi yang akan membantu dewimu itu ketika bahaya itu sampai menghilangkan nyawamu?'' Kata Naruto yang membuat Bell tertegun. ''Kau hanya punya satu nyawa lagipula. Pikirkan dengan benar setiap perbuatan yang akan kau lakukan Cranel-san.''
''Itu benar Bell-kun.'' Timpal Eina. ''Kau seharusnya juga mulai berpikir sedikit lebih hati-hati dan tidak ceroboh.''
''Saran dari nona Tulle benar Cranel-san.''
''Ah... Aku mengerti. Aku mengerti.'' Bell yang telah sadar dari rasa tertegunnya tadi kini menjawab. Memang benar adanya apa yang dikatakan oleh Uzumaki-san tadi dan dia tidak bisa menyanggah itu. Tidak ketika bahkan masih hanya dia saja yang menopang Familia karena Familia yang dimiliki oleh Hestia Kami-sama hanya dirinya.
Dia mengutuk dirinya sendiri yang tidak berpikir demikian.
Dan seperti mengerti bahwa dilema yang Bell alami telah selesai, Bell kemudian melihat bagaimana Uzumaki-san pamit kepada Eina-san. Mungkin karena Uzumaki-san berpikir bahwa Bell ada perlu dengan gadis setengah Elf tersebut dan lagi sepertinya apapun urusan Uzumaki-san telah selesai.
Buktinya ketika Uzumaki-san pamit saja dia pamit dengan lancar.
''Selamat memulai harimu, Cranel-san. Ingat tadi perkataanku dan aku pamit dulu.'' Kata Naruto pada Bell.
''Ah, iya Uzumaki-san. Terima kasih banyak dan hati-hati.'' Jawab Bell yang dijawab dengan anggukan kecil dan kemudian Bell melihat Uzumaki-san yang pergi meninggalkan Guild dan lenyap setelah melewati pintu masuk.
''Dia orang yang baik Bell-kun.'' Eina berbicara pada Bell yang kemudian menoleh. ''Dia tadi mengantarkan senjata lama Guild yang harus direparasi dan dia melakukannya dengan baik. Dia juga ramah dan aku sering melihatnya terkadang berbagi makanan pada anak jalanan.''
''Eh benarkah hal itu?'' Bell sedikit kaget mendengarnya. Dia belum pernah mendengar hal itu tapi ketika itu diucapkan dari Eina-san, pastilah itu benar.
''Dia cukup terkenal di lingkungan kumuh Orario Bell-kun.'' Eina berkata lagi padanya. Gadis setengah Elf itu tersenyum. ''Dan ketika dia memberimu nasihat tadi, kupikir dia peduli denganmu. Kau sering ke tokonya bukan?''
Bukan sering lagi. Hampir setiap ketika belatinya tumpul malah dulu dia kesana. Kalau sekarang Bell nanti ragu karena dia sudah dapat belati baru dari Hestia Kami-sama. ''Iya, Uzumaki-san sering kadang memberiku diskon.''
''Jarang menemui orang sepertinya sekarang.'' Kata Eina yang kemudian menatap Bell. ''Kau terlihat lelah karena kemarin ya Bell-kun?''
Bell mengangguk. ''Apa orang yang membunuh semua monster di Monsterphilia itu sudah ditemukan Eina-san?'' Bell bertanya pada Eina akan sumber dari rasa lelahnya.
Eina menggeleng. ''Keteranganmu saja masih belum cukup Bell-kun.''
''Memang orang itu tidak pernah terlihat Eina-san?''
''Sama sekali tidak Bell-kun. Guild sudah melihat daftar petualang dan mencoba menanyakan pada tiap dewa dan dewi tapi hasilnya nihil.'' Eina melenguh lelah. ''Itu tidak disukai oleh Guild Bell-kun.''
''Kenapa tidak suka? Bukankah orang itu baik karena membunuh semua monster yang ada? Bukankah dengan membunuh para monster kemarin maka itu sama saja dengan menolong banyak orang?''
''Pikiranmu kecil sekali ya Bell-kun.'' Eina tertawa kecil ketika dia mendengar pernyataan Bell. Yah, dia tidak menyalahkan itu juga karena Bell sendiri masihlah remaja yang polos.
Guild dibentuk untuk memantau setiap orang yang mempunyai berkah dari dewa atau dewi. Mereka yang diberi berkah pastilah memiliki kekuatan dimana itu berbeda dengan mereka orang biasa. Ketika Guild memantau mereka yang mempunyai berkah, Guild juga membuat catatan tentang baik atau tidaknya orang yang mempunyai berkah tersebut. Jika baik maka Guild akan membiarkannya. Jika buruk maka Guild akan mengukur seberapa buruknya itu hingga apakah menimbulkan ancaman atau tidak bagi Orario sehingga Guild bisa memutuskan untuk melenyapkan orang yang menerima berkah tapi berbuat buruk itu atau tidak.
Dan ketika Monsterphilia kemarin, ketika para monster tiba-tiba mati dan hanya terlihat kilatan kuning semata, Guild tahu mereka mendapatkan hal yang tidak mereka tahu.
Monster-monster itu dibunuh oleh seseorang dan yang membunuhnya hingga bisa secepat itu dimana tidak ada orang yang menerima berkah dari dewa-dewi yang bisa menyamai kecepatan itu, Guild tidak bisa membiarkan itu. Guild sudah mengetahui semua orang yang menerima berkah dari dewa dan dewi dan ketika mereka tidak menemukan orang yang sudah membantai semua monster ketika Monsterphilia, Guild kini berurusan dengan seseorang yang masih menjadi misteri apakah dia baik atau tidak dan siapa dewi atau dewa yang memberi berkah kepada orang tersebut. Ketika sesuatu menjadi misteri kemudian dan Guild tidak bisa menebaknya maka itu mereka kategorikan sebagai ancaman.
Guild berpikir demikian tapi Bell tidak tentu saja dan Eina tentu tidak bisa menjelaskan itu begitu saja kepada Bell tentang alasan Guild mencari orang tersebut karena hanya Bell yang melihat bagaimana ciri-ciri dari orang yang membantai monster-monster di Monsterphilia kemarin yang lepas dan mengamuk.
''Jangan polos-polos Bell-kun. Kau harus memandang dunia sekitar juga agar kau mengerti bagaimana ia berjalan.'' tambah Eina yang terlihat membuat gadis setengah Elf itu menjadi geli ketika Bell menampilkan ekspresi muka yang bingung.
Bell masih tidak mengerti itu. Tidak dengan kata-kata rumit yang terlihat bermakna ganda yang belum bisa dicerna pikiran polosnya.
''Jadi...'' Eina mencoba topik awal. ''Karena kau kuanggap libur kali ini, kau sebaiknya pergi istirahat saja setelah ini Bell-kun.''
Seperti teringat kemudian, Bell kemudian membalas. ''Iya Eina-san.'' Bell juga berpikir demikian sih. Dia akan kembali ke Gereja tua lalu tidur di kamar tempat tinggalnya bersama Hestia Kami-sama. Tapi seolah teringat sesuatu karena mumpung dia berada di Guild, Bell kemudian bertanya dengan rona wajah yang sedikit memerah malu.
''Uhm— Eina-san.''
''Ya Bell-kun?'' Tukas Eina yang terlihat heran dengan perubahan wajah pemuda berambut putih pada hadapannya.
''Uhm...'' Bell terlihat gugup menanyakan hal ini tapi dia ingin tahu juga. ''Ada kabar terbaru dari Ains-san?''
Eina berkedip beberapa kali lalu tertawa kecil penuh kegelian dengan satu tangan menutup mulutnya yang tertawa. Hal itu terlihat membuat Bell semakin merona karena hanya Eina Tulle yang tahu kenapa Bell ingin tahu kabar dari Ains Wallenstein si puteri pedang.
Bell jatuh cinta karena diselamatkan olehnya.
''Nah...'' Eina mencoba meredakan tawanya dan menarik nafas. Senyuman penuh kenakalan tersirat pada wajah ayu khas keturunan Elf miliknya. ''Kupikir aku punya beberapa hal yang ingin kau dengar Bell-kun tentang gadis yang kau suka.''
[-]
Meringkuk dengan memeluk kedua kakinya adalah hal yang tidak pernah Freya lakukan seumur hidupnya. Itu tidak elegan. Terlihat kekanak-kanakan dan itu hanya untuk mereka yang berumur muda dan mencari jati diri.
Setidaknya itu adalah pendapat Freya.
Tapi kali ini berbeda.
Freya kini tengah memeluk kedua kakinya dan bersandar pada sofa mewah miliknya. Kuku jempolnya dia gigit dengan wajah yang menunjukkan ketidaksenangan, frustasi dan kemarahan.
Kemarahan akan kejadian kemarin pada Monsterphilia, ketidaksenangan karena dia diganggu dan frustasinya dia karena dia dibuat tidak berdaya hanya dengan dipandang oleh seseorang yang membuat Freya menjadi merasakan apa itu ketakutan, hal yang biasa dirasakan oleh para manusia dan tidak pernah dirasakan oleh kelas para dewa-dewi sepertinya.
Tapi meskipun begitu, meskipun berbagai emosi meracau pada pikiran Freya, ada satu hal yang membuat Freya menjadi semakin kacau. Hal itu adalah ketika dia menyaksikan sinar jiwa yang memikat hatinya kemarin.
Dia menginginkan itu. Freya sangat menginginkan itu. Bukan! Freya terobsesi akan warna itu. Tapi meskipun Freya begitu, dia tahu bahwa pemilik jiwa itu pulalah yang membuat dirinya bergetar ketakutan.
Manusia macam apa yang bisa memiliki jiwa seperti itu dan hal itu saling bertentangan? Freya tidak mengerti dan dia membenci ketika dia tidak mengerti.
Lalu kebimbangan ini terasa menusuk dirinya. Dia juga bimbang apakah dia harus mengejar pemilik jiwa itu atau tidak karena siapapun yang memiliki jiwa dan bisa menimbulkan ketakutan seperti itu adalah monster yang tidak terjamah yang memanggil Freya untuk menaklukkannya. Menjinakkannya.
''Dewi? Anda tidak apa-apa?'' Seseorang bersuara dari belakang Freya dan itu membuat Freya menoleh sedikit untuk melihat seseorang yang bertanya padanya.
Kepala Familianya, kebanggaannya, Champion yang dia punya.
Ottar si petualang level tujuh dan satu-satunya yang terkuat di Orario terlihat khawatir padanya.
Jika pada situasi biasa, Freya akan menganggap itu lucu, manis. Jarang sekali Ottar menampilkan hal seperti ini apalagi hal ini tidak cocok untuk pria berbadan besar dari ras Boaz sepertinya.
Tapi karena situasi ini tidak biasa, Freya hanya memandang Ottar dengan penuh tanya.
Apakah orang yang membuat Freya ketakutan sekaligus terobsesi itu lebih kuat dari Raja yang dia miliki ini? Freya bingung itu.
''Dewi?''
Ottar mencoba memecah kediaman dewinya yang berkedip beberapa kali setelah Ottar menyadarkannya dari lamunannya. Freya kemudian membenarkan caranya duduk dan mencoba untuk duduk seperti biasa dengan elegan.
''Tidak apa Ottar.'' Freya mencoba mengatur pikirannya yang rancu. ''Kupikir kau bisa mendengar ceritaku kenapa aku sampai bersikap seperti ini.'' Tukas Freya yang lalu bercerita kenapa dia bisa sampai bersikap demikian.
Dari awal hingga akhir Freya bercerita dan semakin dilihat ada kemarahan terbersit pada mata Ottar yang semakin lama semakin membesar. Freya tahu bahwa tindakan yang dilakukan orang yang sudah membuat Freya seperti ini tidak akan pernah disukai Ottar. Tidak. Pria ras Boaz itu malah akan bertindak begitu kejam bahkan sampai melenyapkan orang yang memeperlakukan dewinya seperti ini. Itu dianggap penghinaan begitu besar, tidak termaafkan karena membuat sang dewi harus merasakan rasa yang dimiliki oleh makhluk rendahan sepertinya.
Dewinya adalah yang sempurna. Dia terlalu sempurna untuk sifat makhluk hina.
''Bagaimana pendapatmu Ottar? Apa yang harus kulakukan?'' Freya bertanya setelah menceritakan segalanya. Freya melihat Ottar terdiam cukup lama disana dan menghela nafasnya begitu dalam. Mungkin mencoba meredakan amarahnya agar dia bisa berpikir jernih.
Tapi itu terasa sulit sekali bagi Ottar dan itu membuatnya tidak suka.
Tapi Ottar haruslah berkata jujur seperti yang biasa dia berikan pada sang dewi yang telah dia serahkan sepenuhnya jiwanya.
''Menurutku dewi bisa menyuruhku untuk memburu dan membunuhnya.'' Ottar berkata demikian dan membuat Freya ingin mengingatkan bahwa orang yang membuatnya demikian juga memiliki sesuatu yang ingin Freya sangat inginkan tapi Ottar belum selesai bicara. ''Tapi jika dewi mau, aku bisa kumpulkan anggota keluarga lainnya dan menyeret pemilik jiwa itu kemari setelah mematahkan semua yang dia punya dan dewi bisa membekukannya untuk selamanya agar dewi bisa melihat jiwa itu sepuas hati dewi.''
Ah... Freya terdiam hingga bibirnya kemudian melengkung ke bawah. Freya tersenyum.
Betul! Itu betul sekali. Ottar memang bisa diandalkan untuk ini. Dia selalu memberi hal yang menakjubkan. Untuk itulah kenapa Freya sangat menyukai Ottar adalah ini salah satunya.
Dalam tawa kecilnya yang menutup mulutnya dengan satu tangannya, Freya telah kehilangan kebimbangan yang dia rasakan.
''Kalau begitu aku serahkan padamu Ottar.''
''Tentu dewi. Kami akan melakukan apapun perintah dewi agar dewi bahagia.''
''Ya, aku percaya itu.''
[-]
Bunyi dentingan bel pertanda ada orang memasuki tempat yang dia miliki membuat Naruto yang tengah memoles sebuah pedang untuk perawatan mengangkat wajahnya untuk melihat siapa yang datang.
Jarang ada yang datang di waktu begini ketika kebanyakan tempat-tempat lain kecuali tempat penjual makanan ramai karena biasanya ini adalah jam-jam istirahat. Ketika Naruto kemudian melihat wajah familiar Naruto kemudian hanya memberikan senyuman kecilnya kepada yang datang.
''Nona Flova. Apa yang bisa kubantu?'' Naruto bertanya demikian sembari membungkus pedang yang tadi dia poles dengan kain. Meletakkannya pada sebuah meja dimana pada meja itu juga terdapat dua buah belati yang akan dia poles selanjutnya nanti setelah mempoles pedang yang tadi dia bungkus dengan kain, Naruto lalu menatap gadis yang datang ke tempatnya sembari bertanya pada dirinya sendiri.
Untuk apa Syr Flova datang kemari?
Naruto mengetahuinya ketika Syr Flova lalu membalas tersenyum padanya dan menyodorkan sebuah kotak kecil yang terbungkus kain. ''Ini untukmu tuan Uzumaki.''
''Kenapa repot-repot?'' Naruto bertanya pada gadis itu dan gadis itu menggeleng.
''Tidak tuan Uzumaki.'' Balas Syr. ''Ini balasan karena anda sudah mengantarkan dompetku kemarin lalu yang ketinggalan. Maaf baru bisa membalasnya sekarang.''
''Harusnya anda tidak perlu repot-repot seperti itu sekali lagi aku katakan nona.'' Kata Naruto sambil menerima apa yang disodorkan gadis itu padanya. Meski nanti Naruto tidak tahu dia akan membuka dan memakan isi dari apa yang diberikan Syr, setidaknya dia tidak mungkin menolak pemberian dari orang lain karena itu nanti akan melukai hati mereka apalagi untuk orang yang telah kenal padanya dan dia terkadang sapa pada pagi hari. Lagipula Grand Mia juga kenalan Naruto yang ramah padanya. ''Tapi aku ucapkan terima kasih banyak.''
''Um~... Sama-sama tuan Uzumaki.'' Balas Syr yang kemudian hanya mendapat balasan anggukan ringan saja dari empu pemilik tempat yang Syr kunjungi sekarang. Ada kecangggungan sejenak ketika mereka berdua tidak lagi bertukar kata dan Syr tidak menyukai itu. Tidak terlebih ketika dia melihat Naruto meletakkan makanan yang tadi Syr bawa dan kembali duduk pada kursi yang sama ketika Syr Flova melihatnya datang.
Sedangkan Naruto sendiri tidak ambil pusing dengan ini. Dia lebih memilih melanjutkan pekerjaannya tadi yang belum tuntas dan membiarkan gadis yang bekerja sebagai pelayan pada tempat usaha disamping tempatnya berusaha melihat-lihat isi tempatnya berada. Ada berbagai senjata yang bisa Syr lihat dan semoga dia tidak bosan dengan itu nanti. Lagipula mungkin dia juga kemari hanya untuk mengucapakan terima kasih lalu pergi lagi pada tempatnya bekerja.
Tapi sepertinya Naruto salah paham ketika Syr dengan tiba-tiba berada pada hadapannya dan melihatnya memoles pedang. Awalnya itu tidaklah dia perdulikan tapi lama-kelamaan hal ini membuat Naruto risih juga hingga dia melihat gadis yang menumpukkan kepalanya pada kedua tangannya itu pada hadapannya dan berkata.
''Tidakkah anda seharusnya kembali bekerja nona?''
''Anda mengusirku tuan Uzumaki? Bahkan setelah aku memberi anda sesuatu?''
''Ah... Tidak. Bukan begitu.'' Sangkal Naruto. ''Kupikir anda hanya mengantarkan ini tadi lalu pergi.''
''Mou jangan terlalu formal padaku tuan Uzumaki.'' Keluh Syr yang membuat Naruto menaikkan satu alisnya. Heran dengan nada gadis ini yang mencoba akrab padanya. ''Biasa saja. Lagipula aku tidak suka diacuhkan seperti tadi'' Tambah Syr.
''Maaf, tapi aku tidak terlalu mengenal anda nona.''
''Kalau begitu kenal lebih dekat saja.'' Kata Syr yang lalu terlihat menunjuk dirinya sendiri. ''Aku Syr Flova. Aku dari ras manusia dan aku bekerja pada mama Mia yang punya bar disebelah tempat anda. Hobiku juga adalah...''
Naruto mendengar Syr kemudian bicara banyak tentangnya. Kesukaannya, hal yang dia benci, alasannya bekerja pada bar milik Grand Mia dan lainnya. Hal itu diakhiri Syr dengan senyuman pada Naruto dan gadis itu melihat ke arah Naruto. ''Kalau anda?''
Syr bertanya demikian namun Naruto terdiam cukup lama. Dia memandang Syr dalam diam hingga dia Syr kemudian jengah juga dan bicara. ''Ano...''
Belum sempat Syr melanjutkan, Naruto menyelanya karena Naruto berpikir dia melihat maksud lain dari kenapa Syr bersikap sok akrab padanya.
''Kenapa anda seperti ini nona?''
Syr tidak lekas bicara. Mungkin terkejut karena dia tidak akan mendapatkan balasan seperti itu hingga dia mengedipkan matanya. ''Eh? Kupikir karena aku ingin lebih mengenal anda?''
''Kenapa?'' Tanya Naruto balik.
''Kenapa?''
Naruto melihat Syr yang memandangnya lagi kali ini lebih dalam. Sesuatu yang terasa membuat rasa familiar mengetuk pikirannya, membuat bayang pada diri Syr yang kemudian membentuk siluet dari orang yang Naruto kenali terlalu dalam yang bertingkah hampir sama seperti Syr saat ini.
Entah takdir mencoba mempermainkannya atau tidak tapi ketika Syr berkata jawaban yang Naruto tunggu, rasa familiar ini membuat hatinya terasa sesak.
Gadis pirang kecil— seseorang yang merupakan anak dari pemilik toko bunga yang membawa tingkah seperti ini dahulu.
''Hey aku Ino! Yamanaka Ino. Siapa namamu?''
''Mau jadi temanku?''
Kesesakan ini terulang dan tanpa terasa perasaan nostalgia ini membawa air mata mencoba keluar dari dindingnya pada Naruto yang telah terluka begitu dalam akibat perang.
Saat Syr Flova berkata alasan yang sama ketika Naruto bertemu pertama kali dengan gadis pirang kecil yang dia kenali, air mata itu kemudian tumpah tanpa Naruto sadari.
''Itu karena anda / kau terlihat kesepian.''
[...Tbc adalah penyakit yang merusak kesenangan :v…]
Hallo… jumpa lagi ya? Ahahaha… senang bisa update lagi dan semoga lancar saja update ceritanya ke depan. Kuharap juga demikian karena aku rindu cuitan para senpai yang membaca dan memberiku saran juga semangat agar aku terus berkarya. Terima kasih banyak senpai.
Aku tidak perlu banyak bicara tapi sambutan untuk aku yang kembali dengan update kemarin membuatku bahagia. Itu sesuatu yang berharga dan terimakasih untuk itu. Aku sangat menghargainya. Aku berharap author lain juga mendapatkan hal yang sama denganku. Terus berkarya ya para Author-senpai yang lain.
Terima kasih sekali lagi ya dan bisa berikan cuitan dan tanggapan untuk chapter ini? Oh ya apakah ada yang mau ide cerita dariku? Cuma satu sih tapi jika mau bisa dipake kok. PM saja ya jika mau.
Seperti salah satu senpai pembacaku. Ramaikan FFN indonesia. Sampai jumpa chapter depan lagi senpai.
Riesa Afiela out.