Two Wanderer © Jogag Busang

Kimetsu no Yaiba © Koyoharu Gotouge

Saya tidak mengambil keuntungan finansial dari karya transformatif ini

SaneKana vampir!AU spesial buat Mak Ria

.

.

Sanemi akhirnya mengerti bahwa hidupnya sebentar lagi akan segera berakhir. Ia merasa sangat lemah, tidak berdaya. Untuk berpindah tempat saja ia harus merangkak. Tubuhnya yang penuh dengan luka tusukan sama sekali tidak membantu. Malah membuatnya menggerung kesal karena menambah kesulitannya bergerak.

Ajaibnya, Sanemi belum mati. Padahal ini sudah berjam-jam yang lalu sejak ia ditinggalkan penyerang dari kawanan sekutu. Amerika memang bangsat. Mereka adalah negara yang tidak mudah untuk ditaklukkan.

Atau mungkin, Sanemi keliru menyalahkan. Bukan Amerika yang seharusnya ia benci, tapi negaranya sendiri yang suka membuat ulah, gemar membikin kerusuhan dan berperang.

Atau Sanemi juga yang mungkin salah memperkirakan. Ia belum mati karena ia harus menjalani hukuman tambahan; ia harus merasakan sakit dan perih ini sebelum ajal menjemputnya. Yang pasti, hari ini Sanemi sudah ditakdirkan untuk mati. Mungkin, hari ini juga ia memang harus mati.

Hal yang wajar. Sudah biasa bagi para prajurit yang terjun ke medan pertempuran mengalami kematian tragis seperti ini.

Hanya saja, Sanemi membatin getir, aku masih ingin bertemu dengan keluargaku.

Sanemi masih ingin melihat Genya, Shuya, Hiroshi, Sumi, Koto, serta Teiko. Sanemi masih ingin melihat adik-adiknya itu tumbuh dewasa. Ia masih ingin hidup lebih lama lagi.

"Aku masih ingin hidup," Sanemi menyeracau.

Memikirkan wajah-wajah yang disayanginya itu membuatnya ingin menangis. Pandangannya tiba-tiba memburam dan kepalanya terkulai lagi. Sanemi memegangi perutnya yang berdarah parah.

Tapi, jika ini memang benar-benar kematian, maka Sanemi akan menerimanya. Minimal, ia bisa bertemu dengan rekannya yang sudah gugur dan kematiannya akan dikenang secara terhormat oleh segenap warga Jepang meskipun tanpa nama, hanya gelar pahlawan, sebab begitu banyak daftar prajurit yang gugur tanpa identitas yang jelas.

Sanemi menarik napasnya dengan hati-hati. Ia mendengar bunyi detak jantungnya yang kian melemah. Mungkin sebentar lagi ia sudah tidak akan bisa bernapas. Tidak apa-apa. Begini lebih baik. Paling tidak penderitaannya akan segera selesai.

"Kau tidak akan mati di sini, Shinazugawa-san."

Suara merdu itu mengusik Sanemi yang ingin memejamkan mata. Ia mengangkat kepalanya dan membelalak ketika ia melihat seorang perempuan muda sedang berjalan tenang ke arahnya.

"Aku akan menyelamatkanmu dari kematian."

Ketika perempuan itu semakin dekat, Sanemi dapat melihat wajahnya dengan lebih jelas. Kosakata pertama yang terlintas dalam kepalanya adalah; perempuan itu sangat cantik. Klise, tapi Sanemi tidak menemukan kata yang tepat di tengah kondisinya selain itu. Wajahnya putih—sangat putih, kalau tidak bisa disebut pucat. Rambutnya hitam panjang mencapai pinggang. Dan yang paling indah, ia memakai jepit rambut kupu-kupu. Warna ungu pada jepit rambut itu senada dengan warna matanya.

Mungkin ia bukan manusia. Mungkin ia sebangsa peri. Dan apa katanya tadi? Perempuan itu ingin menyelamatkan Sanemi dari kematian?

Tapi Sanemi benar-benar sekarat. Ia merasa rohnya sedang berjalan sangat lambat melintasi perutnya, kemudian menuju tenggorokannya.

Dan tepat pada saat itulah, saat Sanemi sudah memejamkan matanya dan dunia menjadi pecah berkeping-keping, ia merasakan sakit yang luar biasa pada lehernya. Sanemi menjerit tapi suaranya tidak keluar. Ia meronta dan memberontak, tapi sekujur tubuhnya kini dilanda perih kesakitan.

Tidak diragukan lagi, perempuan muda tadi menggigit lehernya!

Otak Sanemi sudah tidak dapat lagi mencerna selain rasa sakit dan sakit. Hal terakhir yang dapat dipikirkannya adalah; betapa indahnya jepit kupu-kupu pada rambut perempuan muda itu.

.

.

Ketika Sanemi membuka mata, ia menyadari bahwa lehernya masih terasa sakit. Ia mencoba duduk, tapi tubuhnya luar biasa lemas. Dan ia juga menyadari ada sesuatu yang aneh; Sanemi merasa haus. Tapi bukan haus ingin minum air.

"Syukurlah kau sudah bangun."

Suara merdu itu lagi, seperti suara denting lonceng yang sangat jernih.

Sanemi mengalihkan pandangannya ke sebrang. Ia melihat perempuan muda yang dikenalnya sedang duduk di kursi kayu sambil mengaduk dua gelas. Bibirnya seperti menyenandungkan lagu yang tak Sanemi kenal.

"Bagaimana perasaanmu?" tanya si perempuan.

"Buruk."

Perempuan itu bersenandung lagi, semakin lirih. Dan Sanemi tidak tahan memendam rasa penasarannya lebih lama.

"Apa yang sebenarnya terjadi padaku? Di mana aku sekarang?"

"Kau ada di dalam gua. 500 meter dari sini adalah lautan. Kau akan aman di sini."

Sanemi tampak tak puas mendengar penjelasan itu. Bisa dibilang jawaban si perempuan terdengar ganjil dan tampak tak berhubungan. Selain itu, Sanemi menemukan fakta bahwa perempan itu melewati menjawab pertanyaan pertama.

"Apa yang terjadi padaku?" ulang Sanemi.

"Kita bisa membahasnya nanti. Sekarang, yang terpenting, apakah kau merasa haus?"

Mendengar si perempuan menyebut kata 'haus' membuat tenggorokan Sanemi kembali berkobar. Mulutnya terasa panas dan ia sangat-sangat haus. Sedikit enggan, tapi akhirnya Sanemi mengangguk.

"Baguslah." Si perempuan bangkit dan mengulurkan gelas yang tadi diaduknya kepada Sanemi. "Minumlah. Itu akan membuat rasa hausmu reda."

"Apa ini?" Sanemi menyambut gelas tersebut. Ia terkejut melihat cairan berwarna merah kental di dalamnya. "Apa—ini darah!"

"Tapi kau sedang haus, Shinazugawa-san. Kau harus meminumnya."

Tatapan Sanemi menjadi menyelidik. "Siapa kau sebenarnya?"

"Panggil saja aku Kanae."

"Dan tepatnya kau ini 'apa'?"

"Manusia menyebut kaumku dengan sebutan vampir," balasnya sederhana.

"Vampir?"

Sanemi tidak menyadari jika tangannya gemetaran. Si perempuan menyambar gelas dari tangan Sanemi dan buru-buru meletakkannya di sebelah tikar tempat Sanemi duduk berselonjor.

"Kau bisa meminumnya nanti." Si perempuan duduk di kursi.

"Vampir katamu?" Sanemi sama sekali tidak percaya.

"Minumlah, Shinazugawa-san. Perasaanmu pasti akan lebih baik."

"Tidak! Aku tidak akan sudi meminumnya! Aku bukan vampir!"

Tapi Kanae tidak lagi menyahut. Ia seperti sudah terbiasa menghadapi orang semacam Sanemi. Kanae terlihat tidak peduli. Ia berdecak dan mengambil gelasnya sendiri, lalu meminumnya. Sanemi hanya terbelalak memandanginya. Gestur dari Kanae ini, seumpama orang yang tengah menikmati kopi saja.

Tentu saja Sanemi bukannya tidak tahu. Sudah lama ia mendengar desas-desus tentang keberadaan vampir dari sesama rekannya. Bahkan mereka sempat menduga bahwa prajurit sekutu yang ditembak dan tak mati-mati adalah vampir. Sanemi tiba-tiba diserang gigil.

Sialnya, Sanemi memang haus. Sangat haus. Tenggorokannya seperti penuh dengan sinus api. Nafsunya sangat ingin mencicipi cairan merah itu dan meneguknya banyak-banyak. Namun, kewarasan tolol menggerogotinya, mengekang, merantai, dan memenjara rasa haus itu.

Semakin Sanemi mendalami rasa hausnya, semakin ia mengerti telah berubah menjadi apakah dirinya.

"Jadi … kau benar-benar menggigitku?" tanya Sanemi dengan suara bisikan.

Kanae hanya mengangguk, kemudian meneruskan tegukannya.

"Kenapa kau melakukannya kepadaku? Kenapa—kenapa kau menghidupkanku lagi?"

Kanae menoleh dan tersenyum. Wajah pucatnya tampak bersinar. "Kau yang memintanya, jadi aku melakukannya."

"Aku yang memintanya?"

Kanae mengangguk. "Maaf, mungkin aku menggigitmu terlalu keras. Aku sedikit lupa cara membuat gigitan yang aman. Tapi tenang saja, besok pagi lukamu akan sembuh."

Sanemi mematung. Sesungguhnya ia masih sulit memercayai semua ini. Dan ia juga tidak percaya kepada Kanae. Perempuan itu sangatlah misterius. Sanemi lebih menyukai gagasan bahwa Kanae adalah perempuan sinting yang sedang bergurau.

"Bagaimana kau bisa tahu namaku? Kita tidak pernah bertemu sebelumnya."

"Kita memang belum pernah bertemu, tapi aku tahu lebih dari siapa pun, aku mengenalmu dengan sangat baik. Jadi ketika tiba di mana kau hampir mati, aku tahu aku harus melakukannya kepadamu."

"Aku tidak mengerti maksudmu."

"Aku tahu kau meminta untuk hidup, Shinazugawa-san."

Akan tetapi, Sanemi tidak juga mengerti. Bahkan hingga Kanae menandaskan minumannya, ia hanya dapat duduk dalam diam.

"Kau hanya lupa, Shinazugawa-san. Suatu hari nanti, kau pasti akan mengingat dan mengerti."

Malam berlalu tanpa kantuk, tapi Sanemi tidak berhasrat untuk bertanya lagi. Kanae tampaknya juga tidak ingin memancing obrolan. Mungkin perempuan itu ingin membiarkan Sanemi merenungkan semuanya.

Sanemi menatap ke mulut gua dan hanya menyaksikan kegelapan yang tiada ujungnya.

.

.

Untuk pertama kalinya, Sanemi tidak tidur dalam semalaman. Semasa ia menjalani pelatihan menjadi prajurit, ia pernah mendapat jatah berjaga dan mengharuskannya untuk tetap awas, tapi pada akhirnya ia tidak bisa menahan kantuknya. Ia selalu tertidur dan dihukum berlari mengelilingi lapangan sebanyak seratus kali esok paginya karena kecerobohannya ini.

Hingga langit berubah menjadi kemerah-merahan, Sanemi tetap dalam posisinya. Duduk tak bergerak. Kanae juga tetap duduk di kursi. Perempuan itu sedang membaca buku tebal dengan serius. Gelas di samping tikar yang berkilau pun tetap penuh. Sanemi masih bersikukuh tidak meminumnya meski dalam hati ia sangat ingin.

"Apakah ini darah manusia?"

Itu adalah pertanyaan pertama setelah berjam-jam berkubang dalam keheningan. Kanae menegakkan punggungnya dan menjawab tanpa mengalihkan tatapannya dari buku, "Bukan. Itu darah singa gunung."

Satu alis Sanemi terangkat, terang-terangan heran. "Kau berburu singa gunung?"

"Kenapa? Sepertinya kau sangat terkejut."

"Ti-tidak juga."

"Kau tidak meminumnya?"

Sanemi mendengkus. "Tidak akan," sahutnya kasar. Entah mengapa ia masih merasa marah kepada Kanae karena perbuatannya yang ia nilai keterlaluan.

Ah, kalau saja perempuan itu tidak menghidupkannya, Sanemi pasti sudah bergabung dengan rekan-rekannya yang lain. Apakah perempuan itu tidak mengerti bagaimana kacaunya perasaannya saat ini?

"Ini sudah pagi. Sebaiknya kau berganti pakaian."

Sanemi melihat pakaian yang dikenakannya dan baru menyadari betapa kotornya ia sekarang; penuh dengan bau keringat, tanah, dan darah. Manakala ia meraba luka tusukan di perutnya, tapi luka itu sudah tidak ada di sana.

"Semua lukaku menghilang!"

Sanemi tercengang cukup lama. Bukan hanya luka tusukan, tapi juga luka memar-memar di tangan dan kakinya akibat pukulan. Ia meraba lehernya dan menemukan bekas gigitan, tapi ia tidak merasa kesakitan seperti kemarin.

"Berarti sudah berakhir. Itu artinya bagus. Kau sudah resmi menjadi vampir." Kanae berbicara seperti sedang memberi pengumuman formal.

"Kau bohong. Kau pasti berbohong."

Sejatinya, Sanemi ingin menyemburkan semua amarahnya, tapi di bawah pengawasan Kanae, semua emosi itu bagai terkunci.

Tatapan Kanae yang biasanya selalu lembut, kini mulai mengeras. Ia memandang gelas di dekat tikar yang tidak berkurang dengan tatapan marah. "Shinazugawa-san, kenapa kau keras kepala sekali? Kenapa kau tidak kunjung meminumnya?"

"Aku bukan vampir. Aku bukan makhluk seperti dirimu."

"Baiklah, kalau itu maumu. Toh, kau nanti pasti akan meminumnya. Tunggu saja sampai tenggorokanmu mati rasa dan kau tidak bisa menahannya lagi. Tapi jangan lama-lama, Shinazugawa-san. Kita harus pergi dari sini secepatnya."

Dengan mengatakan hal tersebut, Kanae bangkit dan berjalan keluar ke mulut gua, meninggalkan Sanemi yang penuh dilema.

Kebencian Sanemi kepada Kanae semakin membara. Tapi ia lebih benci kepada dirinya sendiri yang pada akhirnya terkalahkan oleh nafsunya.

Sanemi tidak berhenti merutuki dirinya sendiri karena nyata-nyata menuruti perintah Kanae; tangannya yang perlahan meraih gelas, seakan bergerak di luar kendali, kemudian meminum cairan merah kental itu dengan rakus, serupa binatang besar kehausan yang tidak sabar meminum air hingga berliter-liter.

Sanemi meneguknya berkali-kali. Belum sampai dua menit, gelas itu kosong. Sanemi mengutuki Kanae, juga dirinya lagi.

.

.

Ternyata Kanae mengajak Sanemi berpindah tempat. Gua ini sudah tidak aman lagi, kata perempuan itu sembari menyelipkan rambutnya ke telinga. Sanemi mengikuti dari belakang dengan hati-hati, berusaha untuk tidak terkena paparan sinar matahari.

"Apakah vampir dapat terbakar matahari?"

"Itu mitos, Shinazugawa-san."

"Tapi kenapa kita bergerak merayap mencari tempat yang gelap?"

"Vampir tidak lagi memiliki jiwa. Jika mereka terkena sinar matahari, maka bayangan mereka tidak terlihat." Kanae mengulum senyum, seperti mencegah dirinya tertawa—entah apa yang ditertawakan. "Tidak, kita tidak akan terbakar, tapi tubuh kita akan berkilauan. Tidak baik bagi manusia untuk melihatnya."

"Sepertinya aku bisa memahaminya."

Dan begitulah, mereka bergerak di bawah bayang-bayang bebatuan dan pepohonan, melindungi mereka dari sinar matahari yang semakin menyengat.

"Kenapa kita harus berpindah dari gua itu?"

"Kadang-kadang nelayan menempatinya. Hari ini laut sedang surut, mereka akan segera merapat."

"Jadi yang kau baca semalam—itu buku milik nelayan?"

"Memangnya kenapa? Sepertinya kau tidak suka."

"Kau sendiri tadi yang bilang kalau bersikap ceroboh itu tidak baik, tapi kau sendiri tidak berhati-hati."

"Shinazugawa-san?"

Cara Kanae memanggil Sanemi entah mengapa membuat Sanemi ingin namanya lebih sering dipanggil. Dan Sanemi tidak menyukai perasaan semacam ini.

"Apa?"

"Kau baru menjadi vampir semalaman dan berani menasehatiku?"

"Memangnya kenapa?" Sanemi berhenti berjalan. Ia membiarkan jarak dua meter membentang di antara dirinya dan perempuan itu. "Satu hal yang harus kau ingat, Kanae; aku belum memaafkanmu."

Kanae tampak terpengarah, tapi sedetik kemudian ia bisa menguasai diri. "Aku tidak peduli. Bahkan jika kau tidak akan memaafkanku sampai kapan pun, itu bukan urusanku. Tugasku sudah kujalankan. Aku tidak memiliki penyesalan. Dan aku juga tidak membutuhkan kata-kata maafmu."

Sesudah itu, Kanae kembali meneruskan langkahnya. Sanemi menggerutu, tetapi ia tetap membuntuti Kanae. Mereka telah berjalan bersama selama satu jam, tapi Sanemi tidak merasa kelelahan sedikit pun.

"Kalau kau sedang mencari gua, kurasa gua yang baru kita lewati tadi tidak terlalu buruk."

"Bukan. Kita tidak akan mencari gua. Kita akan berburu."

"Mak-maksudmu?"

"Sudah jelas, kan? Kita harus mengumpulkan cadangan makanan. Meskipun makanan pokok kita adalah darah, tapi kita tidak boleh membunuh manusia. Itu larangan tertinggi dalam kaum vampir."

"Oh, terima kasih atas penjelasannya. Itu sangat membantu."

"Jangan menolak, Shinazugawa-san. Ini adalah takdirmu."

Sanemi teringat darah singa gunung yang diminumnya kemarin dan ia bergidik. "Jadi kita akan berburu hewan besar?"

"Jangan bilang kau takut."

"Aku tidak takut. Hanya saja—bagaimana kita akan melakukannya? Bagaimana kita bisa membunuh hewan yang berukuran lebih besar daripada kita sendiri?"

"Tenang saja," sahut Kanae enteng. Ia tersenyum simpul melihat raut Sanemi yang menegang. "Aku akan mengajarimu bagaimana cara berburu hewan."

.

.

"Perhatikan baik-baik daerah sekelilingmu." Kanae menggulung lengan bajunya hingga ke siku. "Sekarang kita berada di dalam hutan. Ada banyak pohon tinggi besar dan hewan liar yang bersembunyi."

"Aku tahu." Sanemi mencoba untuk tidak memperlihatkan emosi.

Kanae tampak merenung sejenak. "Sebenarnya kau belum bisa mempraktikkan cara berburu meskipun aku sudah mengajarimu. Saat ini aku hanya akan memperlihatkan dasar-dasarnya."

"Kenapa bisa begitu?"

"Karena kau masih vampir baru. Kekuatanmu masih sangat lemah. Kau belum bisa berlari cepat atau kuat menggigit hewan buruan."

"Lalu kapan aku bisa berburu sendiri?" Nada Sanemi penuh tuntutan. "Aku tidak mau terus-terusan bergantung padamu."

Kanae tersenyum, mencoba sabar. "Seminggu. Kau akan bisa beradaptasi dengan kekuatan barumu dalam waktu seminggu. Percayalah."

Sanemi mengerang. Bagaimana pun juga, seminggu adalah waktu yang sangat lama.

"Dan kau juga belum bisa tahan dengan darah manusia," Kanae menambahkan.

Sanemi terbelalak. "Apa?"

"Berhati-hatilah saat arah angin tiba-tiba membawa penciumanmu berkeliaran. Kau belum tahan."

"Aku tidak selemah itu, Kanae. Aku ini kuat."

Kanae hanya mengangkat bahu. "Siapa tahu. Nantinya kau memang kuat. Sekarang belum."

"Jadi apa yang bisa kulakukan sekarang selain mendengar ceramahmu? Hanya diam menontonmu bersenang-senang dengan hewan buruan?"

"Tentu saja tidak. Kita akan menjebak hewan buruan. Bersama-sama."

"Dan peranku adalah?"

"Kau umpannya."

"Sial."

Seharusnya Sanemi tahu jika perempuan yang ada di dekatnya ini berbakat menjadi tuan putri pemaksa.

Selama sepuluh menit berikutnya, Kanae menjelaskan bagaimana cara memilih buruan yang bisa diburu kepada Sanemi. Sebisa mungkin jangan hewan yang langka. Juga jangan yang masih anak-anak atau remaja. Menurut Kanae, itu menyalahi aturan.

"Aku mengerti. Rasa-rasanya seperti peraturan dalam menebang pohon. Penebang pohon dilarang menebang pohon yang masih muda, kan?"

"Kira-kira seperti itu."

Selanjutnya, Kanae menunjukkan kecepatan berlarinya. Ternyata benar-benar sangat cepat. Sanemi membuka matanya lebar-lebar untuk memastikan penglihatannya tidak salah.

"Aku tidak bisa mengikuti gerakanmu."

"Ini adalah senjata pertama para vampir dalam berburu." Kanae menyeringai dan tampaklah dua taring yang mencuat di bibirnya. "Ini senjata kedua."

Sanemi meneguk ludah dengan susah payah.

"Jangan takut."

"Aku tidak takut," balas Sanemi tegas.

Tapi Kanae tidak memedulikannya lagi. Ia terlihat berkonsentrasi membaui sesuatu. "Penciuman vampir dua kali lipat lebih tajam daripada manusia, bahkan lebih tajam dari hewan yang nantinya kita buru. Itu senjata ketiga."

Sanemi tidak berhenti berdegup.

"Sekarang berlarilah ke sana untuk memancing beberapa hewan keluar dari persembunyiannya."

Sanemi tidak suka situasi ini; di mana ia hanya disuruh-suruh dan menjadi begitu penurut karena tidak tahu apa-apa. Tapi pada akhirnya Sanemi mengikuti instruksi dari Kanae.

Sanemi berlari cepat ke arah timur, tapi ia rasa larinya masih saat ia menjadi manusia. Kanae rupanya tidak berbohong. Ia memang vampir baru yang belum memiliki pengalaman apa pun.

Dan kemudian Sanemi melihatnya. Seekor rusa berjalan mendekatinya yang berdiri di dekat rerumputan segar. Ia memberi kode kepada Kanae dan Kanae mengangguk.

Dalam waktu sepuluh detik, Sanemi yakin ia hanya melihat kilatan bayangan. Kanae tiba-tiba berlari sangat cepat ke arah rusa betina tadi, menerkam dua kaki depan si rusa, kemudian menghujamkan taringnya yang tajam ke lehernya.

Setelah itu, rusa betina tersebut menggelepar.

"Selesai."

Sanemi berdiri tegak melihat darah berceceran di sekitar mulut Kanae. Tubuhnya menegang. Harus Sanemi akui, ia tidak bisa berhenti terkagum. Terpesona.

"Ah, bajuku jadi kotor," keluh Kanae. Ia mengusap sisa-sisa darah dengan bajunya. "Sekarang kita bisa membawanya ke tempat persembunyian."

"Kita akan mencari gua?"

"Tepat."

Sanemi beringsut mendekati rusa betina tadi, masih takjub dengan gigitan Kanae. Meskipun baru pertama kali ini melihat vampir berburu, tapi Sanemi mengakui bahwa Kanae sangat terlatih. Gigitannya sangat bersih. Luka di leher si rusa seperti hanya lubang kecil.

"Kita akan memeras darahnya nanti. Biar aku yang membawanya." Kanae memanggul rusa betina tadi. "Kau tetaplah dibelakangku."

Sanemi mengangguk.

Mereka berdua berjalan lagi. Namun, belum genap seratus meter dari lokasi berburu, Sanemi mencium aroma wangi yang sangat kuat—hingga ia berhenti tanpa sadar. Ia memejamkan mata, menghayati betapa gurih-manis aroma tersebut.

"Shinazugawa-san?" panggil Kanae. Ia menoleh ke belakang dan Sanemi segera membuka matanya. Mereka berpandangan.

Mata Sanemi nyalang. "Ya?"

"Jangan memikirkan aromanya, oke?"

"Kenapa?"

"Itu tadi aroma manusia. Kita, para vampir, tidak boleh membunuh manusia."

Sanemi terbungkam. Kanae terdengar sangat serius dengan ucapannya.

Merasa bersalah, Sanemi kembali mengikuti langkah Kanae. Ia berusaha untuk tidak membaui lagi meskipun itu sangat sulit.

.

.

Namun, sejak saat itu Sanemi tidak bisa berhenti memikirkannya. Ia hanya memikirkan aroma wangi yang sangat-sangat menggodanya. Tak pernah ia mencium wangi yang sebegini memabukkan—nyaris membuatnya gila. Meskipun ini sudah dua hari berlalu, tapi Sanemi tidak bisa melupakannya.

"Akan lebih mudah jika kau membaca buku sepertiku, Shinazugawa-san," Kanae berceletuk dari balik buku tebal, kebiasaannya setiap malam yang kini Sanemi hormati sebagai areal privasi. Sanemi sendiri lebih suka duduk termenung dan memandangi bintang-bintang.

"Itu justru membuatku mengingatnya dengan sangat mudah. Aku bukan sepertimu yang suka membaca."

"Atau kau bisa melukis bintang-bintang itu."

"Aku tidak punya alat untuk melukis. Dan selain itu, aku juga tidak suka menggambar."

Kanae terus menggerecoki Sanemi dengan saran dan nasehat yang menurutnya efektif, tapi Sanemi malah bertambah resah. Tidak mudah mengontrol hasrat ingin melakukan pengejaran; mencari jejak aroma wangi tadi sampai bertemu dengan akarnya.

"Sebenarnya apa yang terjadi jika seorang vampir sampai membunuh manusia? Mereka akan dihukum?"

"Bukan dihukum secara fisik. Lebih kepada pengasingan. Tapi itu jika ada vampir lain sebagai saksi yang melihatnya."

Sanemi terdiam untuk waktu yang lama.

"Jangan membayangkannya, Shinazugawa-san," Kanae memperingatkan sekali lagi sebelum sepenuhnya tenggelam dalam bacaan.

Akan tetapi, Sanemi malah terus-menerus membayangkannya. Ia membayangkan dirinya berlari cepat ke dalam hutan, menerobos semak-semak, lalu bertemu dengan manusia si pemilik aroma wangi tadi dan menggigit lehernya.

Hentikan.

Sanemi berjuang keras untuk tidak membaui. Ia kini hanya bernapas setiap satu jam sekali, masih mengikuti saran dari Kanae untuk menghentikan bayangan darah manusia yang ranumnya keterlaluan.

Jika Sanemi bisa melakukannya sepanjang hari dan sepanjang malam, maka ia bisa saja tidak tergoda untuk mencicipi nikmatnya darah manusia. Namun, dua hari setelahnya, cara ini tak membuahkan hasil.

Kengerian Sanemi sudah tiba di ujungnya.

.

.

Salahku. Ini semua salahku.

Sanemi tidak dapat berhenti merutuki dirinya sendiri. Lagi dan lagi.

Fakta yang tidak dapat disangkal: manusia itu mati karena Sanemi menggigitnya.

Sanemi tidak tahu apa yang sebenarnya sedang merasukinya. Tahu-tahu, saat ia sudah sadar, tangan Sanemi sudah mencengkeram kuat tubuh seorang lelaki paruh baya. Darah mengucur di leher lelaki tadi dan mulut Sanemi juga penuh dengan darah. Ia begitu terperanjat dengan apa yang sudah dilakukannya, sampai-sampai tidak menyadari kehadiran Kanae.

"Apa … yang sudah kulakukan?"

Sanemi sungguh-sungguh benci dengan dirinya sendiri. Teramat benci. Lebih benci lagi dengan reaksi Kanae yang hanya diam.

"Aku berjanji tidak akan melaporkanmu."

Hanya itu yang Kanae ucapkan sebelum ia menutup bibirnya rapat-rapat, tak lagi memberi komentar.

Mereka berdua kembali ke gua persembunyian, tapi Sanemi masih larut dalam emosi.

"Kenapa? Kenapa kau tidak melaporkanku saja, Kanae? Aku sudah membunuh … manusia!" Sanemi memegangi kepalanya dengan kedua tangan. "Aku ini … aku ini hanyalah monster terkutuk! Aku ini monster!" jeritnya histeris.

Seumur-umur, baru kali ini Sanemi merasa dadanya seakan ingin meledak.

Kanae tampak prihatin melihat keadaan Sanemi. "Ini hanya ketidaksengajaan. Jangan terlalu menyalahkan dirimu sendiri, Shinazugawa-san."

"Tapi manusia itu mati! Mati, Kanae!"

Kanae memejamkan mata, seakan ingin mengukur seberapa sabar dirinya. "Shinazugawa-san, jujurlah kepadaku. Apakah sebenarnya kau membenciku?"

Penuh amarah, Sanemi berteriak, "Iya! Aku sangat membencimu, Kanae! Kenapa kau harus menjadikanku sebagai vampir?! Kenapa kau harus menolongku?! Pergilah! Pergilah sekarang juga!"

Kanae begitu terperanjat.

"Menjauhlah dariku! Jangan pernah muncul lagi di hadapanku!"

Sesudah itu, Sanemi tidak terlalu ingat apa yang terjadi. Ia hanya berlari sekencang yang ia bisa, keluar dari gua, meninggalkan Kanae yang masih diam terpaku di tempat. Sanemi berharap, dengan kepergiannya, Kanae tidak akan mencarinya dan ia juga tidak perlu lagi bertemu dengan Kanae.

Hubungan mereka berhenti hanya sampai di sini saja.

.

.

Sanemi terus berlari. Ia tahu kecepatan berlarinya kini mampu menyamai Kanae. Sudah seminggu setelah ia berubah menjadi vampir, Sanemi merasa tubuhnya semakin kuat dan keras.

Dan tentu saja sejatinya Sanemi berbohong. Ia tidaklah membenci Kanae. Ia tidak bisa membenci perempuan manis yang setiap hari membayangi pikirannya itu. Akan tetapi, Sanemi lebih membenci dirinya sendiri yang tidak mampu mengendalikan diri.

Buk!

Sanemi menabrak pohon. Ia terpental cukup jauh. Tapi anehnya ia tidak merasa sakit. Kepalanya tidak berdarah, meskipun hatinya bagai ditusuk ribuan jarum. Ia berbaring di atas tanah, teramat jemu dan letih dengan rasa bersalah yang menggelembungkan dadanya.

"Kanae …."

Pandangan Sanemi memburam. Ia melihat langit yang berwarna kemerah-merahan dan mendadak saja kepalanya terbanjiri oleh ingatan-ingatan, nun jauh di masa lalu.

.

.

"Aku di sini datang untuk menyelamatkanmu, Kochou."

"Kau berbohong, Shinazugawa-san."

"Aku ini vampir dan kau manusia biasa. Aku tidak ingin kehilangan dirimu. Aku akan menyelamatkanmu."

"Aku hampir mati kehabisan darah." Kanae terbatuk hebat. "Kau tidak mungkin bisa menyelamatkanku."

"Justru itu. Aku akan mengubahmu menjadi vampir, Kochou."

Sanemi merendahkan kepalanya, mendekati leher Kanae, kemudian menggigitnya. Kanae menjerit. Kepalanya berdenyut hebat. Namun, ia masih bisa mendengar bisikan dari Sanemi.

"Jika pada suatu hari nanti aku terlahir sebagai manusia dan akan segera mati, tolong, hidupkanlah lagi aku menjadi vampir seperti dirimu, Kochou."

Kemudian, Kanae merasa bibirnya dikecup lembut oleh Sanemi.

.

.

Akhirnya, segala sesuatunya kini terjelaskan.

200 tahun yang lalu, Sanemi adalah seorang vampir. Ia pernah menyelamatkan hidup Kanae dengan menjadikan Kanae sebagai vampir sepertinya.

Namun, 50 tahun mereka hidup berpasangan sebagai vampir, Sanemi kemudian meninggal akibat berperang melawan kaum serigala. 150 setelahnya, Sanemi bereinkarnasi menjadi manusia yang hidup sebagai tentara Jepang.

Maka sudah tentu, sesuai janji yang terpatri, Kanae Kochou tidak akan pernah melepaskan kesempatan ini untuk mengubah Shinazugawa Sanemi menjadi vampir kembali di penghujung riwayatnya.

.

.

Sanemi tahu ia terlambat menyadari, atau lebih tepatnya, ia terlambat untuk mengingat. Tak pernah disangka ia akan sebegini membutuhkan Kanae. Ia sangat merindukan Kanae.

"Kochou …."

Sanemi bangkit berdiri dengan gemetar. Ia teringat telah mengusir Kanae dan ini membuat dadanya sesak. Hasrat menjauhkan diri dari Kanae berbalik menjadi bumerang.

Tidak bisa begini, batin Sanemi gelisah. Aku harus menemukan Kochou.

Sanemi mulai berlari, menyusuri jalan-jalan yang semula ia tinggalkan.

Akan tetapi, tidak ada Kanae di mana pun. Sanemi bahkan sudah mengobrak-abrik persembunyian mereka sebelumnya di gua, tapi Kanae tidak ada di sana. Rupanya Kanae sudah pergi dari tempat tersebut.

Sanemi tidak bisa mengingkari jika ini membuatnya sedih.

"Kochou …."

Namun, Sanemi tidak menyerah. Ia mencari Kanae terus-menerus. Tidak peduli dengan rasa haus yang perlahan menggerogoti tenggorokannya. Bahkan tidak dengan darah wangi dari manusia yang biasanya membuatnya mabuk. Sanemi tidak lagi peduli kepada dirinya sendiri. Kehilangan Kanae membuat nalurinya seolah mati.

Kochou, di mana kau sekarang?

Tersaruk-saruk, Sanemi menyusuri gua demi gua. Tenaga dan kekuatannya sebagai vampir membuatnya sanggup melakukan pencarian tanpa khawatir akan terluka atau kelelahan. Namun, Sanemi juga mulai takut akan rasa putus asa meneror kegigihannya.

Dua minggu lamanya Sanemi mencari Kanae, tapi ia tidak kunjung menemukannya. Selama itulah ia tidak lagi meminum darah. Meskipun tanpa meminum darah vampir tidak akan mati, tapi Sanemi merasa kekuatannya pelan-pelan berkurang. Kecepatan berlarinya melambat hingga kembali seperti kecepatan manusia biasa.

Pada suatu senja, diiringi dengan hujan deras dan langkah yang berat, Sanemi kembali lagi ke gua tempat mereka bersama sebelumnya. Betapa terkejutnya Sanemi ketika ia melihat Kanae berdiri di mulut gua, sekilas tampak seperti sedang menyambutnya.

"Kochou?" Sanemi memanggil dari kejauhan.

Sanemi sempat berpikir jika itu hanya ilusi. Mungkin ia sudah gila.

Tapi ternyata tidak.

Sosok Kanae ternyata nyata adanya.

"Kochou?"

Kanae tersenyum lebar. "Shinazugawa-san? Kau sudah kembali sekarang? Kau sudah mengingat semuanya?"

Sanemi tidak menjawab. Ia masih setengah tak percaya. Entah karena keinginan terpendam yang tidak bisa lagi ditahan ataukah kerinduan yang membara, Sanemi memeluk pinggang Kanae.

"Maafkan aku, Kochou."

Kanae membalasnya dengan melingkari leher Sanemi. "Aku tahu pada akhirnya kau akan kembali padaku, Shinazugawa-san."

Pelukan Sanemi pada tubuh Kanae semakin erat.

"Tapi kenapa aku tidak menemukanmu kemarin?"

"Aku pergi berburu. Maaf."

"Bukan salahmu. Akulah yang jelas bersalah dengan meninggalkanmu."

"Sekarang, apakah kau masih membenciku?"

Sanemi tertawa renyah. Ia menyukai aroma Kanae yang semerbak, lebih wangi daripada aroma darah manusia. "Pertanyaan apa itu?"

"Apakah—apakah sekarang kau akhirnya memercayaiku, Shinazugawa-san?"

Sanemi tidak lekas membuka mulut. Ia melepas pelukannya. Sanemi menatap Kanae lekat-lekat, seolah ia adalah satu-satunya perempuan yang pernah ada. Tanpa ragu, ia mengecup penuh pada bibir Kanae.

Kali ini, biarkan bibir merekalah yang memberi jawaban.

.

.

Shinazugawa Sanemi dan Kanae Kochou; mereka berdua memutuskan untuk mengasingkan diri bersama. Mereka akan mengarungi padang rumput dan hutan rimba. Mereka akan mengunjungi berbagai air terjun dan gua. Mereka akan menjelajahi gurun dan samudra. Mereka akan selalu berburu hewan bersama-sama.

Mereka berdua adalah dua vampir pengelana, yang akan hidup berpindah-pindah, mengembara. Hidup abadi dan hanya berdua. Selamanya.

[fin]

Senin, 30 Maret 2020