— FEAR —
"Ketakutan terbesar Sakura bukanlah kematiannya, tetapi ketika ia tidak bisa lagi melihat Sarada dan Sasuke, bahkan Naruto. "
[Sasuke—Sakura] Sarada
Shikamaru—Temari
Naruto—Hinata
Naruto milik Masashi Kishimoto
Romance, Family
WARNING!
Canon, Typo(s), OOC, EyD tidak ter-notice, etc.
"Sakura-san, otsukaresama deshita!"
Sakura tersenyum manis. "Otsukare, minna!"
Sudah seminggu penuh, Sakura dengan kedua junior melakukan penelitian khusus untuk melihat bagaimana pola perilaku anak-anak dalam menanggapi perkembangan zaman masa kini yang serba digital di Kirigakure. Setiap hari selalu dihajar dengan pengamatan lapangan serta survei, lalu malam hari akan dilanjut dengan pembuatan laporan harian yang nanti akan dirangkum menjadi laporan penelitian.
Itu melelahkan sekali!
Bahkan setelah seminggu menetap di Kirigakure, Sakura bersama timnya tidak langsung menuju ke rumah masing-masing untuk sekedar bernapas lega, mereka masih harus melanjutkan dengan percobaan presentasi hasil penelitian di para petinggi rumah sakit, termasuk Tsunade—hokage kelima. Percobaan ini wajib dilakukan sebelum hari presentasi final pada seminar dokter yang akan diadakan di Desa Suna dua minggu lagi, agar semuanya berjalan dengan lancar dan informasi penting dari penelitian dapat tersampaikan dengan jelas.
"Selamat atas keberhasilan penelitianmu!" Tsunade menepuk bahu Sakura.
"Bahkan ini belum presentasi yang final."
Tsunade mendengus geli. Iya juga ya. "Tapi setidaknya ini bentuk aku menghargai hasil penelitianmu."
"Penelitian Tim Dokter Anak Konoha." Koreksi Sakura.
"Itu terlalu panjang!" Tsunade menghela napasnya. "Pokoknya, kalian sudah melakukan terbaik."
Sakura tersenyum bangga pada timnya dan untuk dirinya. Selain tidak ada revisi, bahkan hasil penelitiannya dianggap sangat layak dan akan sangat berguna untuk kedepannya.
Setelah semua selesai, Sakura membereskan beberapa dokumen yang berserakan di meja kemudian dia akan pulang. "Akhirnya bisa berendam di air panas dengan nikmat!"
"Sakura!" Shizune dengan keringat bercucuran dan napas yang tersenggal-senggal, mendobrak masuk ke ruangan Sakura.
"A-ada apa?" Tentu saja Sakura terkejut setengah mati.
"Nanadaime dalam keadaan kritis di ruang operasi khusus."
Cukup dengan satu kalimat itu. Sakura tidak banyak tanya, dia segera berlari menuju ke ruangan tersebut. Ruang operasi yang memang dikhususkan untuk melakukan penanganan operasi darurat dan mendadak, serta yang memiliki penyakit sangat serius.
Setelah memasuki ruangan, Sakura berusaha tidak panik. Sakura dengan cekatan bersiap diri sembari menanyakan hasil pemeriksaan Naruto pada salah satu suster.
"Beliau mengalami anemia yang sudah parah karena tuntutan pekerjaan. Belakangan ini beliau cukup sering datang ke klinik untuk meminta beberapa obat pusing, lemas dan demam."
Sakura memasuki bilik untuk mengganti pakaiannya dengan pakaian yang baru dan lebih bersih karena dia baru saja kembali dari perjalanan panjang. "Lanjutkan."
"Beliau sering pingsan saat sedang berjalan dan rapat, bahkan saat sedang bekerja di kantor. Puncaknya, beliau pingsan dan kritis kehabisan chakra karena membantu melatih para shinobi tingkat tinggi di dekat perbatasan desa."
Shizune menambahkan. "Aku mendapat info dari salah satu perawat yang ada disana, Nanadaime sepertinya terluka dibagian organ dalamnya."
Setelah siap dengan segala hal dalam mensterilkan dirinya, Sakura mulai menyentuh bagian pangkal leher Naruto dengan jari kanannya dan mendekatkan telinganya ke hidung Naruto.
Belum ada satu menit, Sakura bisa mendengarkan deru napas yang semakin melemah.
"Pasang oksigen dan Elektrokardiografi (EKG) terus lakukan pemantauan dengan detak jantungnya. Lakukan pertolongan pertama untuk membuat kondisinya stabil untuk pemeriksaan selanjutnya." Perintah tegas Sakura.
"Baik!"
Sementara itu, Hinata dengan panik dan wajah pucat berlari masuk ke rumah sakit lalu menuju ke ruang operasi khusus. Ia berhenti—tidak lebih tepatnya, Hinata dicegah masuk ke ruangan tersebut oleh Shikamaru.
"Hinata, kau harus bersabar."
"Shikamaru-kun, setidaknya...izikan aku." Hinata menangis pilu. "...melihatnya, sekalipun sebentar."
Shikamaru diam dan tetap menahan Hinata yang masih memberontak untuk masuk. Hinata tidak bisa berhenti menangis. Ia sangat sadar kalau suaminya itu memang sedang tidak sehat, ia sudah berkali-kali menyuruhkan untuk mengambil istirahat beberapa hari tetapi selalu disangkal dengan alasan negara membutuhkan Naruto. Dia gagal melindungi suaminya, ayah dari anaknya dan hokage Desa Konona.
Ini kesalahannya. Dia selalu gagal dalam melindungi Naruto.
Tangis pilu Hinata terdengar sampai ke telinga Sakura yang kebetulan berada dekat dengan pintu. Tidak jauh beda dengan Hinata, Sakura juga sebenarnya hancur melihat Naruto sampai kritis begini. Dia adalah sahabat terdekat dan merupakan ninja medis hebat tetapi dia tidak ada membantu Naruto sebelum dia jatuh kritis. Sakura sekuat tenaga menahan tangisnya.
Tidak ada waktu menangis. Fokus! Fokus!
"Nanadaime-sama siap melakukan pemeriksaan selanjutnya."
"Yosh! Lakukan pemeriksaan dengan CT Scan!"
Sudah hampir lima jam lamanya, tetapi belum ada tanda-tanda perawat yang keluar untuk memberikan info pada pihak keluarga. Sekarang di depan ruang operasi khusus, tidak hanya ada Shikamaru dan Hinata saja tetapi sudah ada Ino, Sai, Kiba, Chouji, bahkan Sasuke.
Sasuke yang beberapa hari belakangan ini memang berada di Konoha tetapi sedang sibuk di laboratorium karena penemuan dari runtuhan Kaguya. Dia tau Sakura sedang ada penelitian dan sebenarnya hari ini dia ingin menyambut kepulangan Sakura—setidaknya Sasuke ingin melakukan sesuatu yang berkesan untuk Sakura.
"Kenapa selama ini?" Shikamaru memijat pangkal hidungnya.
Semua menunggu dengan cemas. Ino berusaha untuk membantu Hinata tetap tenang dan kuat. Hingga akhirnya seorang perawat keluar dengan peluh yang sudah membasahi dahi dan pelipisnya.
"Nanadaime-sama masih dalam keadaan kritis."
Semua terkejut. Informasi macam apa ini. Hinata nyaris jatuh ke lantai kalau saja tidak ditahan Ino dan Shikamaru.
"Beliau mengalami luka dalam pada bagian perutnya, selain karena hasil mengonsumsi terlalu banyak ramen pada kondisi buruk, juga karena adanya benturan keras. Beliau juga sempat kehabisan chakra sampai ketitik terendah."
Kiba dan Chouji berdecak pelan. Mereka kesal pada diri sendiri, padahal saat pelatihan dengan shinobi di perbatasan itu ada mereka, tetapi kenapa mereka gagal melindungi Naruto. Seharusnya mereka bisa membantu Naruto untuk pelatihan ini.
"Tetapi operasi untuk luka dalam sudah berhasil dilakukan. Sekarang Sakura-san dengan yang lainnya sedang berusaha melakukan yang terbaik untuk membantu Nanadaime-sama keluar dari kondisi kritis." Setelah menjelaskan kondisi Naruto, perawat itu kembali masuk ke dalam ruang operasi.
Shikamaru menatap Hinata. Ia tau bahwa istri hokage itu sedang meruntuki dirinya sendiri.
"Hinata, pulanglah."
Hinata menggeleng lemas. Ino melotot pada Shikamaru yang menyuruh Hinata dengan perintah tidak masuk akal itu. Ingin sekali Ino menghantam dan mengomeli Shikamaru atas pelakuan buruknya pada seorang istri yang sedang kecemasan tingkat tinggi apalagi suaminya masih dalam kondisi kritis.
"Setidaknya jangan buat Boruto dan Himawari juga cemas. Lakukanlah hal yang terbaik untuk mereka, juga Naruto." Shikamaru menatap Hinata yang menunduk dan tidak berhenti menangis. "Naruto tidak akan senang kalau melihat kau larut dalam kesedihanmu. Lagipula, kau adalah seorang ibu, jangan lupakan kewajibanmu. Boruto dan Himawari menunggumu dengan cemas di rumah."
Deg.
Semua tertegun dengan kalimat Shikamaru. Tidak biasa sekali si penasehat hokage itu tampil bijak di hadapan teman-temannya. Kalimat Shikamaru terdengar penuh pilu dan cukup membangunkan Hinata dari keterpurukannya. Benar, kedua anaknya yang ia tinggalkan di rumah pasti sedang menunggunya.
Hinata menghapus air matanya. Berdiri tegak. "Baiklah." Ia menarik napasnya dan menatap Shikamaru dengan tegar. "Lagi...sekali lagi, aku titip Naruto padamu, Shikamaru-kun."
Shikamaru tersenyum dan menepuk bahu Hinata. "Tentu. Itu memang tugasku."
"Aku akan mengantarmu, Hinata-chan."
Hinata dengan Ino serta Sai berjalan menjauh. Shikamaru menghela napas. "Kiba, Chouji. Kalian juga."
"Apa?!" Sentak Kiba tidak terima. Terlihat matanya memerah menahan tangis. "Aku juga harus pulang??! Berani-beraninya kau—"
"Setidaknya jangan buat Naruto khawatir saat nanti dia sudah siuman dan kalian yang terlihat seperti mayat hidup."
"Shikamaru..." Chouji sepertinya paham dengan maksud sahabatnya itu. "Ayo, Kiba!"
"A-apa?!"
"Kiba, dilarang berisik di rumah sakit!" Chouji menyeret Kiba untuk dibawa pergi dari rumah sakit. Shikamaru menghela napas geli melihat Kiba yang masih tidak terima dengan pengusiran itu.
Tersisa Sasuke. Shikamaru menatap Sasuke. Ia tidak bisa mengusir Sasuke, karena kalau ia mengusir Sasuke itu sama dengan ia menyuruh batu untuk berbicara, apalagi ada Sakura yang sedang mempertaruhkan nyawa di dalam.
"Shikamaru."
"Eh?" Terkejut ternyata Sasuke yang memulai pembicaraan di antara mereka. "Ada apa?"
"Beritau aku kalau dia sudah keluar." Sasuke beranjak untuk pergi.
"Wakatta." Shikamaru menatap punggung Sasuke. Baru saja Sasuke mengatakan dia? Shikamaru tersenyum tipis, Sasuke memang selalu tenang dan optimis. "Titip salam untuk Sarada dari Shikadai."
"Hn."
Setelah enam puluh menit semua rekannya pergi dari depan ruang operasi, Shikamaru masih bertahan di posisinya—bersandar di samping pintu. Pikirannya berkecamuk, rasa cemas, khawatir dan lelah bergabung menjadi satu merajam perasaannya. Bayang-bayang buruk tentang Naruto menghantuinya. Beban tugas desa menekannya dengan ekstrim. Juga, rasa bersalah yang terus menggerogoti hatinya.
"Shikamaru."
Ditengah keterpurukannya, seseorang mendatanginya. Tak perlu diragukan lagi siapa pemilik suara itu. Shikamaru mengangkat wajahnya dan tersenyum tipis. Dilihatnya istrinya yang berdiri dengan angkuh di hadapannya.
"Kau baik-baik saja?"
Shikamaru terkekeh. Pertanyaan basa-basi macam apa itu? Apa Shikamaru terlihat bugar? Ternyata Temari masih saja kaku seperti dulu saat masih menjadi chuunin.
"Aku sudah mendengar kabar Naruto dari Ino. Karena itu, aku kesini datang untuk membawakanmu bekal dan pakaian. Aku tau kau tidak akan pergi dari sini sebelum Naruto dinyatakan baik."
Shikamaru berjalan dengan langkah pelan ke arah Temari yang tidak terlalu jauh dari hadapannya. Walau istrinya angkuh, galak dan kaku, tetapi Temari merupakan wanita yang perhatian—tentu dengan cara yang berbeda. Lihat saja dia sekarang, masih berdiri dengan satu tangan berada dipinggangnya dan menatap lurus ke arah Shikamaru. Ia bersyukur memiliki teman seumur hidup yang setegar Temari.
"O-oi..?"
"Temari, aku tidak kuat." Lirih Shikamaru saat ia meletakkan kepalanya di bahu istrinya. Saat ini, dia benar-benar membutuhkan topangan.
Temari menghela napasnya, lalu tangannya bergerak untuk memeluk dan mengusap punggung suaminya dengan pelan. Diam-diam Shikamaru meneteskan air matanya yang sudah ia tahan sejak tadi. Dia benar-benar terasa hancur karena diterpa badai besar sedari tadi.
"Hey, Tuan Nara si Pemalas, kau sudah melakukan yang terbaik."
Shikamaru semakin menangis. Ia menumpahkan semua bebannya di bahu Temari. Persetan dengan gengsi laki-laki harus kuat, lagipula apa pentingnya gengsi di hadapan istrinya sendiri.
"Dasar merepotkan." Walau mulutnya kejam, tangan Temari terus mengusap punggung Shikamaru dengan sayang.
— — —
Pada apartemen Uchiha,
"Okaeri, papa. Are? Mama dimana?" Sarada menatap Sasuke heran karena dia pulang seorang diri.
"Bukannya mama hari ini sudah sampai di Konoha?"
Sasuke mengangguk dan bergumam. "Tetapi dia masih ada urusan di rumah sakit."
Berita Naruto kritis masih harus dirahasiakan agar tidak memancing kecemasan warga. Hanya orang tertentu yang boleh tau, seperti para petinggi desa dan orang yang terlibat di dalamnya.
Sasuke menatap Sarada. Ada rasa sedih dan kecewa terpancar dari tatapan Sarada. "Apa kau merindukan Sakura?"
"Hm? Eh—mm. Iya. Tapi ini sudah cukup sering terjadi. Mama sibuk di rumah sakit sampai menginap di sana. Tak masalah." Sarada kembali tersenyum ceria. "Papa, ayo makan. Aku sudah selesai masak untuk makan malam."
"Aku mandi sebentar."
"Baiklah."
Sasuke menatap punggung Sarada yang masih terlihat sibuk di dapur. Anak itu mirip sekali dengan Sakura. Bahkan saat mencuci dia bergumam shannarou dengan lirih. Entah kenapa, rumah seperti kehilangan sedikit warnanya karena Sakura tidak ada di dalamnya.
"Papa? Tidak jadi mandi?"
Lamunan Sasuke buyar. Seketika ia mengingat sesuatu. "Sarada."
"Ya? Ada apa papa?"
"Kau mendapat salam dari Shikadai."
Seketika wajah Sarada menjadi memerah seperti tomat. Dia langsung membuang muka dan balik badan.
"P-papa segera mandi! Aku lapar!"
Sarada memang benar-benar jiplakan Sakura saat sedang malu-malu tapi tidak ingin kehilangan wibawanya. Sasuke tersenyum tipis dan beranjak untuk menuju kamarnya.
— T B C —
Baru juga mulai ngetik, udah ngerasa sedih.
Maaf atas segala kekurangannya dan improvisasi yang mengerikan. Semoga ini bisa menghibur.
Terima kasih sudah membaca!
