Naruto © Masashi Kishimoto

Here After © Liu Lin An

Warning: Miss Typo, OoC, Alternative Universe/AU.

DLDR!

Don't Like? Don't Read!

.

Side-story Terakhir Monochrome Trilogy

Sakura's Side

.

Selama dua puluh tujuh tahun usianya, Sakura merasa hidupnya sudah berjalan sesuai yang diharapkannya—setidaknya secara garis besar.

Ia diterima di sekolah impiannya dan lulus sebagai lulusan terbaik. Sakura bahkan kini menjadi dokter bedah syaraf terkemuka se-Jepang dengan reputasi yang bahkan sudah diakui dunia.

Malahan, saat ini ia sudah memiliki apartemen mewahnya sendiri dan sebuah klinik praktek bersetifikat yang cukup ternama.

Hidup tak bisa jadi lebih indah lagi untuknya.

Itu, kecuali diam-diam dalam hati kecilnya—bagian paling dalam dari apa yang orang-orang sebut hati nurani, Sakura sangat menginginkan sebuah keluarga.

Keluarga

Ya, ampun.

Sakura bisa saja terkikik geli setiap kali kata itu terbersit di kepalanya dulu. Tapi itu dulu. Saat ia masihlah gadis canggung yang dibutakan oleh ambisi dan sangat bersemangat mengejar mimpi-mimpinya. Sekarang, setelah semua itu ia dapatkan, ia menginginkan sebuah tujuan hidup baru selain karir yang cemerlang dan kenyamanan finansial.

Ia menginginkan sebuah keluarga.

Sakura sama sekali tidak jelek—omong kosong, dia cantik dan menurut beberapa kenalannya, ia bahkan terlampau cantik. Dia wanita yang cerdas; dan cukup disegani karena talentanya sebagai seorang dokter dengan reputasi yang tinggi. Para pria selalu mengantri untuk mendapat kesempatan berkencan dengannya.

Tapi itu bukanlah persis seperti apa yang Sakura harapkan.

Ia tidak terlalu peduli dengan deretan pria-pria konyol itu. Yang Sakura inginkan hanya agar ia bisa jatuh cinta layaknya gadis-gadis normal pada umumnya.

Jatuh cinta

Itu saja, sederhana.

Tapi sialnya, hingga detik ini pun Sakura sama sekali belum mengalami apa yang disebut sebagai detik-detik mendebarkan dan magis yang konon dialami oleh kedua sahabat baiknya.

Sakura meruntuk dalam hati.

Ino terlihat sangat bahagia dengan pernikahannya. Sudah setahun gadis itu menikahi siapa yang selama bangku sekolah menengah atas dijuluki Si Jenius Nara. Sakura tak pernah mengerti bagaimana Ino bisa mengalami momen-momen mendebarkan itu—sejauh ini yang Sakura selalu lihat adalah momen percekcokan mereka, tapi sebagai seorang sahabat, Sakura turut bahagia untuknya. Terlebih saat ini; saat Ino tengah mengandung anak pertama mereka. Dan meski pun itu membuat naluri keibuan Sakura menjerit iri setiap mengingat fakta tersebut, tetap saja, ia bahagia untuk si gadis pirang.

Belum lagi Karin yang baru-baru ini mengabarinya kalau ia tengah kembali mengandung anak kedua. Oh astaga, bagaimana Karin menatap suaminya setiap acara reuni sekolah mereka selalu membuat Sakura ingin menangis dalam hati. Sakura bahagia untuk mereka—sungguh. Ia hanya tak bisa menerima kenyataan bahwa ia sama sekali tidak pernah merasakan hal serupa seperti yang dirasakan oleh kedua sahabatnya itu.

"Diamlah, mungkin si Tuan Sempurna belum muncul."

Itu adalah apa yang selalu dikatakan Ino ketika Sakura mengutarakan isi hatinya mengenai pasangan hidup. Dan sejujurnya, menurut Sakura itu memang cukup masuk akal. Mungkin pria yang tepat belum muncul.

Tapi begitu Sakura memikirkan kata-kata itu kembali, seperti apa pria yang dimaksud itu?

Sejujurnya, Sakura tidak pernah menetapkan standar yang terlalu tinggi terhadap calon pasangannya. Ia hanya ingin seorang pria setia yang baik; yang bisa diajak bekerjasama dalam berumah tangga. Dan paling tidak, Sakura setidaknya ingin berdebar terhadap pria itu.

Hanya itu.

Berdebar, sederhana.

Ah, rasanya ia seperti perawan tua saja mempermasalahkan hal tersebut. Menurutnya—dan juga ibunya, usia dua puluh tujuh tahun bukanlah usia yang terlalu matang untuk baru memulai sebuah hubungan. Tapi tetap saja, Sakura merasa terpuruk. Karena bagaimana pun, waktu tidak akan pernah menunggunya; sebelum ia menyadarinya, ia mungkin sudah benar-benar mendapati dirinya menjadi perawan tua. Dan ia tidak pernah punya rencana untuk itu.

Splash!

"A-Ah! Maaf. Maafkan aku."

Karena terlalu asik meratapi kehidupan percintaannya yang sangat menyedihkan, Sakura tidak terlalu memperhatikan jalanan di depannya, sehingga membuatnya dengan tak sengaja menabrak seseorang—dan kehilangan setengah isi gelas kopinya.

"Tsk."

Itu sebuah decakan tak bersahabat yang asing di pendengaran Sakura.

Dan begitu dia mendongak untuk melihat siapa yang baru saja ia tabrak dan tumpahi minuman, sepasang onyx tengah menatapnya tidak suka.

Sejujurnya, Sakura bisa saja terpesona oleh pria yang ada di hadapannya ini.

Dia tampan—atau malah, terlampau tampan.

Tapi pandangan menusuknya yang seolah merendahkan siapapun yang ditatapnya membuat hati Sakura mengerut jengkel.

"Kumohon maafkan aku. Bagaimana kalau aku mencuci bajumu? Atau aku bisa mengganti uang untuk ke binatu." Sambil memasang senyum terbaiknya, Sakura berusaha bersikap sopan dan mengesampingkan kejengkelannya. Ia bahkan setidaknya berusaha mengusap noda kehitaman kopinya yang tumpah di jas abu-abu pria itu dengan sapu tangan berwarna merah muda miliknya. Bagaimana pun, kekacauan ini adalah salahnya.

Tapi pria itu hanya bergeming menatapnya dengan angkuh, sebelum berjalan pergi tanpa mengucapkan apapun.

Ya, begitu saja.

Pria berambut raven itu berjalan menjauh tanpa menggubris permintaan maaf atau pun itikad baik Sakura.

Dan itu jelas membuat Sakura terpaku di tempatnya untuk beberapa saat.

A-Apa itu barusan?

Sakura tak bisa untuk tidak menganga menatap kepergian pria itu.

Ini pertama kalinya ada seseorang yang memperlakukannya serendah itu. Seumur hidupnya, tak pernah ada satu pria hidup mana pun yang pernah mengabaikannya, apalagi mendecih kepadanya.

Dan tiba-tiba Sakura didesaki kebutuhan untuk menyentuh dadanya; dimana apa yang selama ini umat manusia kenal dengan sebutan jantung—jantungnya, kini tengah berdetak cepat di sana.

Tidak, tidak.

Sakura yakin betul bukan begini seharusnya. Ia memang sedang berdebar, tapi ini sama sekali berbeda jauh dengan deskripsi Ino atau pun Karin mengenai momen berdebar mereka.

Dan Sakura tahu pasti, apapun debaran yang dia rasakan saat ini, itu bukanlah debaran yang selama ini ia nanti-nantikan.

Jadi, ia hanya bisa berbalik cepat dan memandang tajam punggung pria berambut raven tersebut sambil mendengus kesal.

Berharap agar Tuhan dengan senantiasa selalu menjauhkannya dari spesies-spesies pria macam itu.

"Dasar pria menyebalkan."

.

.

Tapi sepertinya Tuhan membencinya karena ia terlampau jarang berdoa.

Karena bagaimana pun, permintaannya tak pernah terkabul.

Di suatu pagi yang cerah—di hari yang seharusnya berjalan menyenangkan seperti hari-harinya yang biasa, Sakura kembali tanpa sengaja bertemu dengan pria raven menyebalkan tersebut.

Yang mana saat ini tengah duduk santai di ruang tunggu kliniknya sambil membaca majalah dari rak rotan.

Hah!

Sakura tak yakin apakah pria itu masih mengingatnya—kejadian tabrakan acak tempo hari itu berlangsung cukup singkat dan sudah lewat beberapa minggu. Tapi yang pasti, Sakura sama sekali tidak bisa melupakan wajah menyebalkan yang entah mengapa terus menghantui hari-harinya setelah insiden mendebarkan itu.

Setengah berderap kesal, Sakura segera masuk ke ruangannya, berusaha tidak membanting pintu saat menutupnya, dan duduk dengan wajah kusut di kursinya.

Ini baru jam sembilan pagi, dan ia merasa seluruh energi negatif di dunia ini telah menyusup memenuhi dirinya.

"Ada apa? Kenapa wajahmu kusut begitu?"

Sakura menoleh, dan mendapati wajah familier Haku—asistennya, tengah menatapnya dengan raut penuh tanya.

Sakura mendecakan lidah sebelum menjawab dengan nada penuh kekesalan.

"Bukan siapa-siapa."

"Aku bertanya 'ada apa?', bukanya 'siapa'. Kau ini, bagaimana kau bisa memeriksa pasien dengan baik jika pagi-pagi kau sudah kesal begini? Hmm, Dokter Haruno yang terhormat." Haku menghela nafas pelan melihat tingkah atasannya itu. Lima tahun bekerja bersama sudah membuat mereka seperti keluarga. Yang berarti mulut Haku terkadang bisa dengan leluasa melewati garis antara pegawai dan atasan. Bukan berarti Sakura pernah mempermasalahkan hal tersebut—karena bagaimana pun, Haku sendiri pun tahu sampai mana ia bisa ikut campur dalam urusannya.

Sakura melirik Haku lewat ekor matanya, dia masih merengut, tapi beberapa menit kemudian ia menghela nafas berat sebelum menepuk pelan kedua sisi wajahnya.

"Kau benar. Aku harus professional."

Gumamnya kemudian sambil berusaha memasang senyum terbaiknya. Haku hanya menggeleng pelan melihat tingkah atasannya itu, sebelum mengambil papan kerjanya yang berisikan nama-nama pasien yang sudah mendaftar untuk konsultasi hari itu, kemudian menunjukannya pada Sakura.

"Jadi, siap memulai hari ini?" Tanyanya sejurus kemudian dan Sakura hanya mengangguk yakin sambil mengacungkan kedua jempolnya.

"Baiklah. Aku akan mulai memanggil pasien kita,"

Haku kemudian membuka pintu ruangan Sakura, bersiap memanggil nama pasien pertama mereka hari itu.

"Uchiha-san, silahkan."

Sakura tak pernah mendengar nama itu; tapi begitu pendengarannya mendengar nama tersebut, alisnya langsung berkedut dan lubang hidungnya mengerut tidak senang.

Entah mengapa, nama tersebut memberikan sensasi menyebalkan yang aneh untuknya.

Selanjutnya, ia pun yakin hari ini tidak akan bisa bertambah menjadi lebih buruk lagi.

Ya ampun

.

"Ah, aku tidak menyangka ternyata dokter Haruno itu masih muda sekali. Cantik pula."

Sakura hanya bisa tersenyum kikuk pada dua orang yang kini tengah duduk di depannya.

Seorang wanita paruh baya yang masih terlihat begitu cantik dan mempesona; dan seorang pria yang begitu familier untuknya.

Ugh, betapa saat ini Sakura ingin segera menyingkir dari ruangan itu.

Si wanita bernama Uchiha Mikoto—53 tahun, dalam catatan yang diserahkan Haku padanya, Nyonya Uchiha menderita serangan epileptik semenjak dua tahun belakangan.

Dari riwayat medisnya, sepertinya wanita itu sudah mengunjungi banyak dokter untuk mengatasi penyakitnya, namun nampaknya usahanya itu tak terlalu membuahkan hasil.

Dan kalau boleh jujur, Sakura sendiri cukup menyukai wanita tersebut.

Memandang wajahnya saja bisa membuat siapapun betah berlama-lama mengobrol dengannya—dan Sakura yakin dia takkan pernah keberatan untuk itu.

Hanya saja tatapan acuh tak acuh pria muda di sebelah sang wanita nampaknya dengan mudah melenyapkan keinginan Sakura untuk berlama-lama memeriksa wanita tersebut.

Belum lagi Sakura bisa melihat kerlingan bosan yang tak sedikitpun berusaha ditutup-tutupi pria itu setiap kali ibunya memuji si wanita merah muda.

Ugh, Sakura ingin sekali meninju wajah menyebalkan yang angkuh tersebut.

"Nyonya terlalu memuji. Saya masih harus banyak belajar." Walaupun ia sudah kesal setengah mati dengan pria yang nampaknya merupakan anak dari pasiennya ini, Sakura tak sampai hati berlaku kasar di hadapan Nyonya Uchiha yang nampaknya sangat tulus memujinya.

"Aah, seandaikan aku punya seorang anak perempuan. Yang ada aku hanya memiliki dua putra yang sama-sama tidak pernah diam di rumah untuk menemani ibunya sendiri." Kalimat itu diakhiri dengan desahan nafas setengah tertahan Nyonya Uchiha dan disambut kekehan canggung Sakura.

Sesekali dari ekor matanya, emerald-nya melirik pria yang sejak memasuki ruangan tersebut tidak pernah terlalu banyak bicara selain untuk menjawab pertanyaan-pertayaan tentang riwayat berobat ibunya.

"Baiklah. Saya sudah buatkan resep obat sementara untuk melihat perkembangan selanjutnya. Untuk sementara Nyonya tidak boleh mandi menggunakan air dingin. Untuk obatnya bisa ditebus di apotek manapun. Tuan juga mohon agar ibunya diingatkan untuk mengkonsumsi obatnya tepat waktu." Setelah melakukan serangkaian pemeriksaan dan menuliskan resep obat, Sakura segera memberikan penjelasan mengenai penangan sementara untuk penyakit wanita tersebut.

Karena epileptik merupakan suatu penyakit yang tak bisa ditebak kapan datangnya dan apa saja pemicunya, Sakura butuh untuk mengawasi kesehatan Nyonya Uchiha terlebih dulu. Dengan begitu, ia berharap bisa mengurangi frekuensi serangan tanpa harus membuat ginjal wanita paruh baya tersebut bekerja terlalu keras karena obat-obatan yang dikonsumsinya.

"Hn." Segitiga siku-sikut berkedut di jidat Sakura dan ia nyaris saja melompat dari mejanya untuk mencekik pria yang duduk berseberangan dengannya tersebut dengan sepenuh hati. Jawaban singkat tanpa minat putra Nyonya Uchiha itu membuat Sakura ingin segera mengenyahkan pria itu dari pandangannya; dan ia bersyukur ia telah selesai memeriksa ibu pria itu.

"Ah, terimakasih dokter Haruno. Oh, aku akan sangat senang mengundangmu untuk makan malam ke rumah kapan-kapan. Lagi pula, aku punya dua pria lajang di rumah." Setelah mengucapkan itu, Nyonya Uchiha tergelak pelan dan Sakura hanya bisa tersenyum kikuk dan berterimakasih atas tawaran yang murah hati tersebut.

Sakura hampir berpikir bahwa putra Nyonya Uchiha yang sangat menyebalkan itu tak mengingatnya sebagai gadis dalam insiden tabrakan kopi tempo hari. Tapi begitu ibu dan anak itu keluar dari ruangannya, si pria raven menoleh sekali lagi ke arahnya sambil mengerutkan alis hitamnya dengan sinis.

Sial.

Secuil harga diri Sakura terluka akibat tatapan merendahkan tersebut dan sebagiannya lagi meronta ingin meninju wajah si pria Uchiha saat itu juga.

Oh aku harap aku takkan pernah berurusan dengan pria itu lagi

Tapi Sakura tahu, harapannya itu tidak akan bisa terkabul dalam waktu dekat.

"Sialan."

.

.

Drrrtt!

Drrrtt!

Tangan Sakura dengan malas merogoh-rogoh nakasnya untuk mencari handphonenya yang tak henti-hentinya bergetar.

Dengan mata yang masih terpincing kantuk, Sakura melirik jam weker di samping tempat tidurnya; jam tiga pagi.

Siapa yang menelpon pagi-pagi buta begini?

Dengan segera setelah mendapatkan benda berbentuk persegi panjang itu, Sakura menjawab telfon tersebut.

"Hallo?"

"Datanglah ke rumah. Ibuku dalam masalah. Aku akan segera kirimkan alamatnya."

"Ap—"

Tuutt…

Tuutt…

Tuutt…

Apa itu barusan?

Seketika kantuk yang tadi masih menguasainya hilang entah kemana.

Ting!

Sebuah pesan singkat masuk ke selulernya dan begitu ia membaca nama dan alamat rumah tersebut, Sakura segera menepuk jidatnya setengah tak percaya.

Uchiha Mansion

Distrik 7 Setagaya

Tokyo

"Yang benar saja!"

.

"Dimana Nyonya Uchiha?"

Sakura tiba di Mansion mewah itu tepat lima belas menit setelah panggilan telfon paling tidak sopan itu ia terima. Sedikit terburu-terburu ia merangsek masuk ke ruang tamu luas tersebut dan mendapati seorang pria yang begitu familier tengah menunggunya dengan wajah tegang.

Sakura baru saja hendak mendecakan lidahnya tak suka begitu melihat orang pertama yang menyambutnya di kediaman Uchiha tersebut adalah si pria menyebalkan. Tapi begitu ia melihat kilat ketakutan yang sangat ketara di kedua onyx gelap itu, ia memutuskan untuk menahan diri. Bagaimana pun saat ini seorang wanita paruh baya tengah kesulitan di suatu tempat di rumah ini.

"Di kamar. Ikut aku." Seperti yang Sakura duga, pria itu tak banyak bicara. Dan meskipun hatinya masih kesal melihat kelakuannya yang agaknya masih cukup sombong dalam situasi yang kritis ini, Sakura memutuskan untuk tidak banyak mendebat.

Begitu ia tiba di kamar yang dimaksudkan, pemandangan seorang wanita yang tengah berbaring terlentang sambil mengalami kejang adalah hal pertama yang ditangkap kedua emerald-nya. Sementara itu seorang pria paruh baya tampak setia menungguinya di sisi lain ranjang dengan wajah cemas.

"Dia sudah datang." Begitu si pria raven mengumumkan itu, Sakura buru-buru mendekati ranjang setelah mengangguk sopan pada si pria paruh baya yang hanya bisa membalasnya dengan anggukan sopan serupa.

"Sudah berapa lama kondisi beliau begini?" Sakura bertanya pelan sambil menyentuh pelan dahi wanita tersebut.

"Hampir tiga puluh menit." Jawab si pria paruh baya dalam kerutan kecemasan yang begitu ketara. Sakura menggangguk paham mendengar jawaban tersebut.

"Tolong bantu saya memiringkan tubuh beliau." Pintanya kemudian, dan dengan cepat si pria raven berpindah posisi untuk memeluk tubuh ibunya dari seberang ranjang tempat Sakura berada dan berusaha memiringkan tubuh wanita tersebut. Dengan sigap ia juga meletakan beberapa bantal di balik punggung ibunya sebagai penyangga. Sakura mengangguk kecil sebagai ucapan terimakasih lalu kembali mendekati si wanita sambil menggenggam lembut tangannya yang masih gemetaran.

"Sshh, tidak apa Nyonya; semuanya akan baik-baik saja. Anda tidak perlu khawatir." Bisiknya kemudian pelan sambil tersenyum kecil. Sambil terus membisikan kalimat-kalimat menenangkan bernada lembut, Sakura menggenggam tangan wanita itu semakin erat. Setelah itu, berangsur-angsur serangganya mereda. Dengan sigap, Sakura menarik beberapa buah tisu dari nakas di sebelahnya dan membersihkan sisa busa saliva di sudut bibir wanita itu.

"Bagus Nyonya, anda hebat sekali." Bisiknya lagi sambil menatap lembut kedua onyx redup yang kini tengah menatapnya nanar.

"Maaf anda harus melihat yang seperti ini dokter Haruno." Lirih wanita itu kemudian. Sakura hanya menggeleng pelan sambil kembali berujar lembut.

"Jangan bilang begitu Nyonya. Ini bukanlah sesuatu yang harus membuat anda berkecil hati."

Setelah mengatakan itu, ia segera meminta agar seseorang menyiapkan air hangat. Si pria raven mengangguk pelan sebelum segera bergegas meninggalkan ruangan untuk menyiapkan apa yang Sakura minta; wajahnya masih tegang, tapi tidak separah saat Sakura baru tiba di mansion tersebut.

Setelah kepergiannya, Sakura berbincang dengan si pria paruh baya mengenai riwayat medis dan perkembangan kondisi kesehatan istrinya sejauh ini. Sambil sesekali mencatat sesuatu dalam bukunya, Sakura kembali menyampaikan satu dua hal mengenai apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan Nyonya Uchiha selama masa pengawasan yang akan ia jalani.

Tak lama setelah itu, si pria raven kembali dengan satu nampan berisi apa yang tadi Sakura minta. Tanpa perlu diberitahu, ia pun segera membantu ibunya untuk duduk bersandar pada sandaran tempat tidur dan menyerahkan gelas berukuran sedang yang berisi air hangat.

"Terimakasih, Sasuke." Si wanita tersenyum setelah menghabiskan setengah isi gelasnya, setelah itu si pria mencium pelan pelipis ibunya sambil mengambil kembali gelas tersebut dari tangannya.

Itu pemandangan yang aneh. Setidaknya untuk Sakura.

Dalam bayangannya, pria judes itu takkan pernah bisa berlaku manis, pada siapapun.

Tapi ia tiba-tiba berubah bagai manusia yang terbuat dari permen gula-gula di hadapan ibunya. Dan melihat itu, Sakura nyaris saja melepaskan satu dengusan geli.

Seketika seluruh kekesalannya pada pria itu meleleh jatuh di kakinya; tapi bukan berarti ia mulai menyukainya sekarang. Hanya saja, Sakura merasa bahwa ia tidak harus selalu berpikiran buruk kepadanya lagi. Karena bagaimana pun, well, pria itu pun cuma orang biasa. Tentu saja ia tidak bisa memaksakannya untuk baik pada setiap mahluk hidup di muka bumi ini. Tapi Sakura cukup tahu bahwa ia bukanlah pria yang cukup kejam untuk menjadi tak acuh pada kedua orang tuanya sendiri. Jadi setidaknya, ia mencoba memaafkan perlakuannya yang sangat menyebalkan kapan hari.

Atau setidaknya, itu yang ia pikirkan.

Sebelum ia mendapati dirinya digiring ke pintu keluar mansion oleh pria tersebut tanpa disertai ucapan apapun.

Well, Sakura tidak berharap ia akan mulai memujanya karena sudah datang untuk merawat ibunya.

Tapi ia juga merasa bahwa ucapan 'terimakasih' tidak akan membunuh siapapun.

Dan begitu pintu eboni kelam tersebut ditutup tepat di depan wajahnya; Sakura tahu benar bahwa si pria raven itu memang benar-benar spesies yang harus ia jauhi.

"Dasar pria menyebalkan."

.

.

Sudah hampir dua bulan Sakura melakukan pengawasan ketat pada sang Nyonya Uchiha. Perkembangan kondisinya memang tidak terlalu pesat—dalam dua bulan ini ia bahkan mengalami lima kali serangan dimana dua dari itu berdurasi cukup lama. Tapi bukan berarti tidak ada perkembangan sama sekali.

Dibandingkan catatan-catatan kesehatannya yang terdahulu, Sakura tahu ada berkembangan yang bagus terhadap frekuensi serangannya yang semakin berkurang. Dan sekali pun ia masih belum bisa menghentikan sepenuhnya serangan yang mungkin saja wanita itu alami, setidaknya serangan yang wanita itu alami kini semakin berkurang.

"Terimakasih lagi untuk hari ini, Sakura." Uchiha Mikoto tersenyum kecil di sofa ruang tengah kediaman Uchiha yang megah tersebut. Sakura baru saja selesai melakukan pemeriksaan rutin terhadapnya.

"Tidak usah dipikirkan, Ibu." Kata terakhir itu rasanya kelu di lidah si gadis merah muda ketika ia mengucapkannya. Sudah sebulan sejak wanita itu merengek agar Sakura berhenti memanggilnya 'Nyonya' dan membiasakan memanggilnya 'Ibu' setelah Sakura meminta agar dirinya dipanggil 'Sakura' saja daripada 'Dokter Haruno'.

Yah, awalnya Sakura berpikir dengan begitu setidaknya wanita itu akan jadi lebih rileks saat bertemu dengannya untuk melakukan pemeriksaan rutin. Tapi sepertinya wanita itu terlalu menyukai ide untuk memiliki seorang 'anak perempuan' sehingga memaksa Sakura untuk mulai memanggilnya 'Ibu'. Bukan berarti Sakura tidak senang, tapi sungguh, memanggil wanita itu demikian—terutama di depan anggota keluarga yang lain, benar-benar tidak nyaman.

Selain itu, tak jarang pula ia mendapati dirinya diseret untuk sekedar ikut sarapan bersama atau diundang untuk makan malam.

Bukannya ia tidak menghargai niatan baik wanita itu; tapi ia selalu merasa sang Nyonya Uchiha sedang berusaha 'menjual' salah seorang putranya kepadanya.

Sakura ingin sekali tertawa untuk itu.

Karena pada setiap kesempatan, putra sulung atau pun bungsunya selalu saja ada saat ia hendak melakukan pemeriksaan rutin. Dan setelah ia selesai, sang ibu akan memaksa salah satu dari kedua anaknya tersebut untuk menemani Sakura ngobrol, mengantarkannya pulang dan melakukan hal-hal remeh lainnya yang berbau perjodohan.

Dan yah, kalau boleh jujur kedua putra beliau memang tampan—ralat, sangat tampan.

Uchiha Itachi tujuh tahun lebih tua darinya. Seorang pria lajang mapan yang sudah kelewat matang. Dibanding adiknya, ia lebih jarang ada di rumah karena harus terbang bolak balik Jepang dan luar negeri untuk mengurus bisnis ritelnya. Tapi tentu saja pria itu jauh lebih menyenangkan daripada adiknya—dia ramah, sopan dan berperilaku lebih layaknya seorang gentleman daripada gentleman kebanyakan.

Sementara adiknya, Uchiha Sasuke, adalah apa yang lebih Sakura suka sebut sebagai patung es. Setiap kali ia berjumpa dengan pria itu, ia tidak bisa berhenti untuk tidak mendecakan lidahnya kesal. Jelas kelakuan sang adik tidaklah sebaik sang kakak yang ceria dan ramah, tapi jelas Sasuke sangat mencintai ibunya melebihi apapun. Karena sekalipun pria yang lebih tua tiga tahun darinya itu juga punya bisnis yang harus diurus, ia tetap memprioritaskan keluarganya di atas segalanya; dan itu dengan anehnya, sering membuat Sakura tertegun.

Tentu saja, di lain sisi, kedua putra Uchiha Mikoto itu adalah pria-pria baik. Karena bagaimana pun, mereka berdua sepertinya teramat mencintai ibu mereka sehingga tidak pernah menolak satu pun permintaan wanita tersebut; bahkan untuk menemani Sakura jalan-jalan dan makan malam—yang mana sebenarnya, sungguh, tidak perlu.

Seperti sekarang ini.

Setelah selesai melakukan pemeriksaannya, Sakura baru saja hendak pamit untuk kembali ke kliniknya. Kebetulan saat itu si bungsu lah yang sedang berada di rumah—duduk santai di seberang ibunya di ruang duduk sambil mengerjakan sesuatu pada laptop warna silver di pangkuannya. Tentu saja ia langsung kebagian tugas untuk mengantar si wanita merah muda. Sakura baru saja hendak menolak—melihat bagaimana pria itu kemudian menatap datar Sakura begitu ibunya memintanya mengantarnya ke klinik; selain itu ia juga nampak tengah sibuk dengan urusan pekerjaan.

Tapi anehnya pria itu segera bangkit dari tempat duduknya dan menyambar jaket yang tergantung di sofa belakangnya. Beranjak keluar tanpa mengatakan apapun. Sakura hanya bisa menggerutu dalam hati melihat tingkahnya, sebelum akhirnya menyerah untuk mengikuti si pria raven setelah mengucapkan salam perpisahan pada sang Nyonya rumah.

Uchiha Mikoto hanya bisa terkikik kecil melihat kepergian keduanya; kemudian melanjutkan kembali bacaannya.

Sementara itu, Sakura dengan susah payah berusaha mengejar langkah-langkah panjang si bungsu ke mobil lamborgini hitam metaliknya.

Drrttt!

Sebelum mereka berdua masuk ke dalam mobil, ponsel Sakura bergetar pelan; menandakan adanya panggilan masuk. Dengan sedikit mengernyit pelan begitu membaca nama penelponya, Sakura kemudian mengangkat telpon tersebut.

"Halo?"

"SAKURA!"

Sakura segera menjauhkan ponselnya begitu suara yang melengking nyaring itu terdengar dari seberang telfonya

"Astaga Karin, kau tidak usah berteriak begitu." Gerutunya pelan. Bisa-bisanya temannya itu sekalinya menelpon hendak membuatnya menjadi tuli secara permanen.

"Oh maafkan aku. Aku terlalu bersemangat memberitahumu soal ini. Ino, dia sudah melahirkan." Mendengar itu, seulas senyum penuh keterkejutan terlukis di wajah wanita merah muda. Ah, rupanya sudah waktunya teman pirangnya itu melahirkan ternyata.

"Benarkah?"

"Ya, tadi aku sudah mencoba menghubungimu. Tapi handphone mu sibuk terus. Aku saat ini sudah di rumah sakit bersamanya." Wanita di seberang panggilan menggerutu pelan, tapi jelas dari nada suaranya ia pun juga sangat antusias menyambut kelahiran anak pertama sahabat mereka.

"Maaf, aku tadi sedang menangani pasien. Dimana dia dirawat?" Sambil melirik pria raven dari ekor matanya, Sakura bertanya sambil tersenyum. Akhirnya ia punya alasan untuk menolak diantar oleh pria itu. Ah, bicara soal kebetulan yang menyenangkan.

"El'Madre Tokyo; kamar no 27. Cepatlah kemari, dia dari tadi terus merengek untuk menelponmu, aku bisa mati bosan mendengar rengekannya yang seperti nenek-nenek ini."

"Baiklah. Aku segera kesana."

Setelah mengatakan itu, sambungan itu diputus. Sakura tersenyum kecil ketika mengingat baru kemarin rasanya si pirang berisik itu mengabari dirinya bahwa ia tengah mengandung anak pertamanya.

"Siapa?"

Sakura menoleh ketika mendengar pertanyaan bernada datar tersebut.

"Oh, teman baikku. Dia baru saja melahirkan anak pertamanya." Sambil menahan setengah senyuman ia menjawab lugas. Ia baru saja hendak menolak tawaran 'diantar' oleh pria itu ketika pria itu sudah lebih dahulu mendahuluinya.

"Biar ku antar."

Hah? Apa telinga Sakura tidak salah dengar?

Pria ini baru saja menawarkan diri untuk mengantarnya mengunjungi teman baiknya yang baru saja melahirkan—yang jelas-jelas tidak ada hubungan apapun dengan si raven.

Apasih yang sebenarnya ia pikirkan? Sakura terheran-heran.

"Oh tidak usah, aku naik taksi saja." Tapi ia masih cukup waras untuk berprilaku sopan dengan menolak halus tawaran manis yang jarang-jarang diinisiatifkan oleh pria itu.

"Aku berkeras."

Tapi sepertinya Sasuke tidak mau banyak berdebat, karena ia kemudian segera mendudukan dirinya ke kursi kemudi dan membukakan pintu di seberangnya untuk Sakura. Sebelum dengan satu tarikan mantap mendudukan Sakura di kursi penumpang.

"A-Apa? Hei! Hei! Sasuke-san, tunggu, Sasuke-san!"

Dan bersamaan dengan itu, lamborgini hitam metalik itu berderu menembus jalanan kota Tokyo yang padat.

.

Kriet

"Oh, hai Nara."

Begitu Sakura membuka pintu kamar rawat inap tersebut, wajah malas seorang pria berkuncir mirip nanas adalah hal pertama yang menyambutnya.

"Oh, kau Haruno. Masuklah. Dari tadi si pirang itu tak henti-hentinya meributkanmu." Keluh si pria sambil menutup kulkas di ruang tunggu tamu tersebut setelah tadi memasukan satu buket buah ke dalamnya.

"Bagaimana proses persalinannya?" Sakura mengikuti pria tersebut sambil bertanya dengan penasaran.

"Lancar. Kalau saja dia tidak terus-terusan menghajar dan menyumpahiku selama persalinan." Si pria bermata kelam menggerutu di akhir kalimatnya, sedangkan Sakura hanya bisa tergelak kecil mendengarnya sebelum menimpalinya pelan.

"Kalau tidak begitu bukan Ino namanya."

"Tentu saja."

Kriet

Begitu pintu ruangan lainnya di buka, beberapa buah kepala serempak menoleh ke arah mereka. Seperti yang dikatakannya di telfon, Karin sudah ada disana, duduk di kursi dekat ranjang Ino yang tengah menggendong bayinya yang baru lahir. Di belakang Karin, di sofa lembut sewarna krem, suami wanita bersurai merah itu duduk bersandar sambil memangku putri kecil mereka.

"Kau punya tamu." Umum si pria berambut nanas pelan sambil berjalan pelan masuk ke ruangan.

"Oh Sakura kah? Cepat suruh dia masuk!" Mendengar itu, si wanita pirang nampak sedikit melonjak antusias di atas tempat tidur pasiennya. Si pria berwajah malas nampak menunjukan raut penuh ketidak setujuan melihat tingkah istrinya yang keliwat hiperaktif tersebut.

"Astaga, aku kira kau baru saja habis melahirkan." Keluh Sakura pelan sambil mendekati ranjang wanita itu.

"Memang; dan biar ku beritahu padamu, itu sakit sekali. Tapi meski begitu, semuanya sepadan untuk ini." Si pirang—Ino, berkomentar dengan penuh semangat untuk kemudian setelahnya tersenyum lembut sambil memperlihatkan bayi dalam gendongannya. Kulitnya masih sedikit kemerahan karena baru saja dilahirkan beberapa jam yang lalu. Dan rambut hitam yang cukup tebal menutupi kepala mungilnya. Sakura tak bisa melihat warna mata anak itu karena ia masih memejamkan mata; tapi secara keseluruhan, bayi itu sangat mirip dengan ayahnya.

"Aku tahu apa yang kau pikirkan. Tidakkah ia sangat mirip dengan ayahnya?" Celetuk Karin seolah-olah bisa membaca pikiran Sakura. Sakura mengangguk pelan pada wanita bersurai merah tersebut.

"Keterlaluan memang." Dengus Ino menimpali. Karin dan Sakura serentak terkekeh pelan mendengar keluhan si pirang.

"Hei, aku dengar itu." Shikamaru masuk ke ruangan dengan baki penuh cangkir teh; meletakkannya di meja, kemudian menawarkannya dengan sopan pada semua yang ada diruangan itu sebelum duduk dengan manis di samping ranjang istrinya lalu membelai lembut kepala anaknya yang baru lahir.

"Laki-laki atau perempuan?" Sakura mendekat pelan ke ranjang dan duduk pada ujung kaki ranjang Ino; di sisi ranjang dimana Karin duduk berseberangan dengan Shikamaru.

"Laki-laki. Dan sangat tampan." Jawab Ino dengan penuh semangat sambil menciumi pucuk kepala bayinya yang baru lahir. Wajahnya yang cantik jelas masih terlihat lelah; masih sedikit merah dan beberapa bulir keringat masih nampak di dahinya. Tapi jelas sekarang ini ia terlihat seperti wanita paling bahagia di muka bumi.

"Kukira kau baru saja mengeluhkan bagaimana ia begitu mirip ayahnya." Kekeh Sakura pelan dan dibalas dengusan geli si gadis pirang.

"Apakah Mira nanti juga akan dapat adik laki-laki?" Sakura menoleh pada anak perempuan berambut perak sebahu yang duduk pangkuan ayahnya. Kristal rubynya yang senada dengan ibunya mendongak meminta jawaban pada sang ayah yang tengah memangkunya.

"Hmm, mungkin saja. Tapi kita belum tahu." Jawab si pria berambut perak sambil tersenyum pada si gadis kecil. Mendengar itu, si gadis kecil hanya bisa menggembungkan pipinya—merasa tidak puas dengan jawaban ayahnya.

"Hei cantik, apa kabar?" Sakura mengulurkan tanganya untuk mengangkat si gadis kecil dari pangkuan ayahnya dan memindahkannya dalam gendongannya.

"Mira baik-baik saja Bibi. Oh, Bibi Haruno, apakah bibi juga akan segera punya bayi?"

Oh ya ampun.

Darimana datangnya pertanyaan tersebut?

Sejenak keheningan canggung tercipta dari pertanyaan super polos tersebut.

"Oh astaga, Mira. Itu tidak sopan." Ibunya adalah orang pertama yang meneggur si gadis kecil, tapi Sakura buru-buru menggeleng pelan pada si wanita berambut merah.

"Hahaha, tidak apa Karin. Lagi pula, siapa yang bisa marah pada anak semanis ini. Dan tidak sayang, Bibi sepertinya belum akan punya bayi dalam waktu dekat ini." Jawab Sakura sambil terkekeh pelan.

"Oh benarkah? Sayang sekali. Bibi tahu kalau Mira akan jadi kakak?" Kembali si gadis kecil bertanya dengan antusias, kali ini Sakura bisa melihat kedua ruby gadis itu tengah berbinar penuh pengharapan.

"Oh tentu saja. Kau akan jadi kakak termanis yang pernah dimiliki adikmu." Ujar Sakura kemudian sambil menciumi pipi ranum bocah tersebut. Mira hanya bisa terkekeh senang mendapat perlakuan seperti itu.

"Oh kau terlalu memanjakannya." Karin mengerling bosan sebelum Sakura menyerahkan kembali gadis itu ke pangkuan ibunya.

"Sai tidak datang?" Sakura bertanya pelan setelah mendapati keabsenan satu-satunya teman pria mereka.

"Tadi dia menelpon—video call, saat ini dia sedang berada di Roma bersama Yakumo. Dia minta maaf tidak bisa datang menjenguk, tapi dia berjanji akan berkunjung begitu urusannya sudah selesai. Sepertinya jadwal pameran lukisan tunggal mereka akan segera dimulai akhir bulan ini. Jadi mereka sudah harus mulai siap-siap." Jelas Karin panjang lebar, Sakura hanya mengangguk satu kali sebagai jawaban. Sayang sekali temannya yang satu itu tidak bisa datang. Lagi pula, Sakura cukup merindukan sahabatnya itu semenjak ia akhirnya menikah dan memutuskan keliling dunia untuk melakukan pameran.

"Atau dia takut datang kemari karena tuan Nara kita yang terhormat ini nampaknya masih suka menunjukan sikap bermusuhan padanya." Celetuk Ino jahil sambil sedikit menyenggol suaminya.

"Kau masih melakukan itu?" Ruby cemerlang Karin memincing menatap Shikamaru yang duduk di seberangnya dengan tatapan tidak percaya.

"Aku tidak pernah melakukan apapun." Pria itu mendecih pelan sambil bersikap tak acuh; tapi jelas Sakura bisa menangkap raut jengkel di wajahnya yang biasanya terlihat malas.

"Lihat? Sekarang dia merajuk."

Semua yang ada di ruangan itu tergelak, sementara Shikamaru hanya mendengus pelan. Kemudian netra emerald Sakura jatuh pada sosok Sasuke—yang anehnya masih berdiri diluar ambang pintu sehingga tidak disadari keberadaannya oleh siapapun di ruangan tersebut. Dan itu mengingatkan Sakura betapa kejamnya dia karena telah membiarkan Sasuke berdiri mematung sendirian di ambang pintu selama beberapa saat untuk menontoni percakapan mereka.

Ia pun kemudian buru-buru berdiri dan menuntun Sasuke masuk sambil menahan senyuman canggung begitu melihat seisi ruangan nampak terperangah melihat siapa yang tengah ia seret masuk.

"Oh ya ampun! Maafkan aku. Aku sampai lupa mengenalkan seseorang pada kalian. Ini—"

"Sasuke-san?" Tapi belum sempat Sakura menyelsaikan kalimatnya, suami Karin sudah terlebih dulu mengucapkan seruan tidak percaya.

"Oh, kalian sudah saling kenal?" Sakura menoleh bingung secara bergantian pada si pria raven dan kepala keluarga Hozuki tersebut.

"Hn. Kami rekan kerja. Hozuki." Sasuke mengangguk sopan pada Suigetsu yang masih menatapnya dengan tatapan terperangah.

"Apa yang dia lakukan disini?" Sakura dapat mendengar bisikan samar-samar Karin yang ditujukan entah pada siapa.

"Ehem, perkenalkan, Uchiha Sasuke, dia yang sudah mengantarkanku kemari. Aku membantu merawat ibunya selama beberapa bulan belakangan ini." Jelas Sakura cepat, berusaha sesingkat dan sejelas mungkin sehingga ia berharap kedua teman wanita ini takkan berani berpikir macam-macam padanya.

"Hn."

Hening canggung.

"Selamat atas kelahiran anak kalian." Ucapan Sasuke itu kemudian memecahkan keheningan aneh tersebut; sambil menoleh pada pasangan yang tengah berbahagia di ruangan itu, ia sedikit membungkuk sopan—yang mana membuat Sakura hampir tak percaya.

"Terimakasih." Ino tersenyum kecil menanggapi sementara Shikamaru hanya membalas dengan anggukan singkat.

"Hei, kalian sudah punya nama?" Sakura kemudian bertanya dengan antusias, sambil kembali ke posisinya semula; berusaha mengalihkan perhatian semua orang dari pria asing yang baru saja ia kenalkan pada orang-orang di ruangan tersebut.

"Sudah. Kami berniat menamainya Kiyoshi. Nara Kiyoshi." Shikamaru jadi yang pertama menjawab sambil tersenyum kecil.

"Kau tahu, kanji Ki untuk pohon; Yo untuk generasi; dan Shi untuk permulaan. Bukankah itu nama yang bagus? Si Nanas busuk ini yang memilihkan nama." Timpal Ino senang.

"Aku suka nama itu." Balas Sakura tulus sambil tersenyum kecil. Dengan lembut ia mengelus pelan kepala bayi dalam dekapan ibunya tersebut. Astaga, ia tak menyangka si pirang cerewet ini akhirnya menjadi seorang ibu.

"Kalian menamai anak kalian seperti sebuah soal ujian." Gerutu Karin pelan menimpali; tapi ia pun mau tak mau ikut tersenyum lembut setelahnya.

"Hahaha, tapi itu memang nama yang bagus." Sakura tergelak pelan sambil kembali menatap bayi lelaki yang kini tengah terlelap tersebut. Tentu saja ia akan diberi nama yang rumit begitu mengingat ayahnya adalah satu-satunya orang yang tak pernah bisa Sakura kalahkan semasa duduk di sekolah menengah.

"Mira tidak sabar untuk punya adik juga! Kita akan namai dia siapa? Tapi jangan pakai kanji yang sulit ya, nanti Mira lupa bagaimana cara membacanya."

Semua orang tertawa.

Suasana di ruangan itu begitu hangat dan menyenangkan. Untuk pertama kalinya, Sakura tidak merasakan 'kecemburuan' yang biasanya ia rasakan ketika melihat kebahagian keluarga kecil kedua sahabatnya. Kalau boleh jujur, itu cukup aneh. Karena jelas, ia masih sangat menginginkan keluarga kecilnya sendiri.

Tapi entah mengapa sekarang ia sama sekali tidak keberatan berada disana dan tertawa bersama mereka. Apa karena saat ini ia tidak menjadi satu-satunya orang asing disana? Diam-diam ekor matanya melirik si pria raven yang kini duduk dengan setia di samping suami Karin.

Dan untuk pertama kalinya, Sakura melihat sebuah kilat yang lain dalam mata onyx Sasuke yang biasanya datar dan dingin.

Itu adalah kilatan penuh damba yang asing.

Sudut-sudut bibirnya yang kaku sedikit melengkung keatas—hanya sedikit. Siapapun mungkin akan luput melihat itu; tapi Sakura tidak. Pria menyebalkan itu tengah tersenyum. Tersenyum.

Untuk beberapa detik yang ganjil, Sakura yakin ia lupa bernafas untuk itu.

Dalam beberapa bulan ini mengenal si bungsu Uchiha, Sakura akhirnya mulai bertanya-tanya; apa yang sebenarnya tengah pria itu pikirkan.

.

.

"Selamat pagi."

Pagi ini Sakura kembali pada rutinitasnya selama tiga setengah bulan belakangan ini; pergi berkunjung untuk mengecek kesehatan Uchiha Mikoto di mansion megahnya.

"Oh! Sakura! Selamat pagi."

Dan seperti biasa, wanita itu menyambutnya dengan seulas senyum lembut. Ia tengah duduk di atas sofa santai warna krem di ruang tamu; di temani secangkir teh herbal aroma lemon dan beberapa tumpuk biskuit yang sepertinya baru saja diangkat dari oven. Wajahnya terlihat jauh lebih berwarna daripada saat Sakura terakhir kali berkunjung kesana.

"Bagaimana kesehatan anda hari ini Ibu?" Sakura segera mengambil duduk di sofa lainnya di sebelah sang Nyonya Uchiha. Sang wanita tampak memerintahkan seorang pelayan di ruangan tersebut untuk menyiapkan teh sebelum menoleh pada wanita bernetra emerald itu sambil menimbang pertanyaannya.

"Hmm, sudah jauh lebih baik. Untuk pertama kalinya aku tidak mendapatkan serangan apapun selama hampir tiga minggu. Bisa kau bayangkan itu? Aku merasa jauh lebih sehat sekarang ini." Tawa lembut mengakhiri kalimat sang Nyonya rumah. Mendengar itu, Sakura ikut tersenyum. Menurut catatan kesehatannya, kesehatan Uchiha Mikoto memang naik cukup pesat satu bulan belakangan ini. Dan ia berharap dengan begitu ia sudah mulai bisa mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi wanita itu.

"Senang mendengarnya. Tapi anda masih belum boleh melonggarkan perawatan anda. Apakah anda sudah minum obat pagi ini?" Sambil mengeluarkan perlalatan untuk pemeriksaan rutinya, Sakura kembali bertanya.

"Sudah. Katakan, apa kau sudah sarapan? Ayo sarapan bersama kami. Kau sudah bersusah-susah datang mengecekku sepagi ini. Akan jahat sekali kalau aku tidak menawarimu sarapan." Sambil membiarkan Sakura memeriksanya, sang wanita menawari si gadis merah muda untuk sarapan bersama. Mendengar itu Sakura hanya bisa tersenyum canggung sambil berusaha untuk tidak meringis.

"Terimakasih Ibu. Tapi saya takut saya harus menolak tawaran anda. Saya kebetulan ada janji temu dengan pasien lainnya pagi ini. Tapi sebelum itu saya berpikir untuk mengunjungi anda dan memastikan sendiri keadaan anda hari ini. Senang rasanya melihat anda sudah menjadi lebih baik." Tentu, tawaran wanita itu sangat murah hati—terlepas apapun alasan lain dibaliknya selain hanya sekedar ucapan terimakasih. Tapi sungguh, Sakura tak enak hati apabila selalu ikut bergabung di meja makan keluarga Uchiha untuk sarapan setiap kali ia datang untuk mengecek kesehatan sang Nyonya. Dan lagi pula ia tidak berbohong, ia memang memiliki janji temu lainnya di klinik hari ini.

"Oh kau sangat perhatian. Tapi sayang sekali kau tidak bisa ikut sarapan. Oh! Kau mau salah satu putraku untuk mengantarmu? Mereka akan dengan senang hati melakukannya." Sakura bisa melihat binar di kedua onyx lembut wanita itu ketika mengatakan itu. Dan Sakura sekali lagi, berusaha untuk menahan ringisannya mendengar tawaran tersebut.

"Ah, tidak usah Ibu. Tidak usah repot-repot. Saya naik taksi saja." Tolaknya halus setelah selesai mencatat hasil pemeriksaan sang Nyonya pada file rekam medisnya sebelum mulai merapikan perlengkapannya.

"Oh Sakura-chan, selamat pagi."

Kedua wanita itu menoleh pada sumber suara. Seorang pria dalam balutan jas kantor rapi sewarna kopi nampak tengah menuruni tangga. Rambut hitamnya yang agak panjang diikat sedikit di bagian tengkuk dan wajah rupawannya tak berhenti tersenyum ramah ketika mendapati keberadaan si gadis merah muda. Itu si sulung. Melihat penampilannya yang sudah sangat rapi, sepertinya ia hendak berangkat kerja.

"Selamat pagi Itachi-san." Sakura membalas sapaan tersebut sambil tersenyum pelan dan mengangguk sopan. Tentu saja, melihat si sulung rasanya jauh lebih baik daripada melihat kedatangan si bungsu yang menyebalkan; tapi tetap saja, hal terakhir yang Sakura inginkan hari ini adalah berakhir di dalam salah satu mobil kedua pria itu—yang sepertinya akan sulit untuk dilakukan.

"Itachi sayang, kau mau ke kantor kan? Bisakah kau memberikan Sakura tumpangan ke kliniknya." Tentu saja begitu melihat salah seorang putranya muncul dan bergabung dalam obrolan mereka, sang ibu langsung dengan cepat meminta putranya untuk 'berbaik hati' mengantar Sakura kembali ke kliniknya. Jelas sudah jika Uchiha Mikoto memang hendak menjual salah seorang putranya padanya.

"Tentu saja." Setelah mengecup pelan pipi ibunya sebagai ucapan selamat pagi, si sulung Uchiha tersebut segera berbalik menghadap Sakura sambil tersenyum sopan; tentu saja ia takkan pernah menolak permintaan ibunya.

"Ah, sungguh tidak perlu Ibu, Itachi-san. Merepotkan saja. Saya bisa memesan taksi." Bukannya bermaksud jahat; tentu saja tawaran tersebut sangat murah hati. Tapi selain berakhir di meja makan untuk sarapan bersama, Sakura juga agaknya enggan untuk satu mobil dengan anak laki-laki Uchiha mana pun. Terlebih lagi, dua minggu yang lalu sang Ibu telah membuat si sulung dan dirinya untuk pergi 'berkencan', yang mana membuat Sakura masih merasa tidak enak hati terhadapnya.

"Jangan sungkan. Kau sudah sangat membantu ibukku dan aku berhutang budi seumur hidupku karena itu. Naiklah, mengantarmu ke klinik tidak seberapa dibanding dedikasimu untuk merawat ibuku." Itu adalah hal termanis yang pernah diucapkan seseorang padanya; dan untuk beberapa detik yang ganjil, Sakura merasa kalau apa yang ia kerjakan adalah sesuatu yang sangat berarti. Meski begitu, penghargaan yang sangat tulus itu sayangnya masih belum mengubah pendirian Sakura untuk terlepas dari keharusan satu mobil dengan si sulung Uchiha.

"Tapi—"

"Biar aku yang antar."

Ketiga kepala itu kemudian segera menoleh ke sumber suara. Seorang pria lainnya muncul dari atas tangga; berbeda dengan kakaknya, pakaiannya sedikit lebih santai—ia hanya mengenakan sweather rajut hitam dan celana kain abu-abu serta sepatu senada dengan sweathernya.

"Ara, Sasuke. Selamat pagi nak." Sang Nyonya Uchiha menjadi yang pertama buka suara melihat kedatangan putra bungsunya tersebut.

"Hn." Sasuke menunduk pelan untuk mengecup pelan pipi Ibunya sebagai ucapan selamat pagi—persis seperti apa yang tadi kakaknya lakukan; sebelum menoleh ke arah Sakura dengan tatapan datar yang tidak ingin dibantah.

"Biar aku yang antar." Ulangnya sekali lagi. Dan belum sempat Sakura bereaksi apa-apa atas tawaran itu, Sasuke sudah lebih dulu mengamit tangannya dan menariknya pergi.

"A-Ah! Sasuke-san. Tunggu. Ah, saya pamit dulu." Sakura tidak yakin apa yang harus ia lakukan dalam situasi demikian. Karena jujur saja, ia tak menyangka bahwa salah satu putra sang wanita akan dengan sukarela mengantarnya tanpa permintaan dari ibunya. Dan mengingat bahwa si bungsu ini takkan melepaskannya dan tak menerima penolakan, ia pun terpaksa mengikutinya ke halaman depan.

"Hati-hati!" Uchiha Mikoto berseru pelan kepada kedua orang itu sambil terheran-heran. Karena bagaimana pun, ia sendiri terkejut putranya—terlebih lagi ini Sasuke yang sedang kita bicarakan, akan dengan sukarela pergi mengantar seorang wanita tanpa perlu diminta.

Begitu Sasuke dan Sakura menghilang dibalik pintu ganda ruang tamu mansion tersebut, Mikoto menoleh pelan kepada putra sulungnya yang kini tengah menyunggingkan senyum jahil sambil menatap kepergian adikknya.

"Apakah menurutmu aku akan segera memiliki cucu?"

"Mungkin saja." Si sulung kemudian menjawab seadanya sambil disertai kekehan pelan. Lucu sekali melihat tingkah adiknya yang tak terduga itu. Jelas ia sendiri sadar bahwa ibunya hendak menjodohkan salah satu dari mereka dengan sang dokter muda cantik bertalenta; dan jujur saja, Itachi tak berkeberatan untuk itu. Tapi jelas ia tak sepenuhnya tertarik dengan ide itu, karena baginya, karir dan keluarganya sendiri masih menyita penuh perhatiannya. Namun sepertinya adiknya punya pendapat berbeda.

"Tapi kau juga harus cepat-cepat memberiku cucu, Itachi." Kendati senang setidaknya putra bungsunya kini mungkin tertarik untuk mencari seorang pendamping, sang Nyonya Uchiha tetap saja lebih menginginkan cucu dari putra sulungnya yang gila kerja ini.

"Oh ibu, aku sangat menyayangimu." Mendengar itu, Itachi hanya bisa kembali mengecup pelan pipi ibunya sebelum berlalu dengan cepat—enggan mendengar keluhan wanita yang telah melahirkannya itu mengenai pendamping hidup dan anak-anak. Karena sungguh, Itachi masih belum berpikir untuk itu.

Setidaknya, tidak untuk saat ini.

"Hei, Itachi! Huh, dasar anak-anak itu."

.

"Kau tidak perlu repot-repot mengantarku ke klinik Sasuke-san."

"Hn."

Sakura mengerlingkan matanya bosan mendengar jawaban datar pria yang kini tengah mengemudikan mobil mereka itu.

Sudah beberapa menit berlalu sejak mobil lamborgini sport warna hitam metalik itu meninggalkan perkarangan luas mansion Uchiha yang megah dan Sakura mendapati dirinya menatap malas pada trotoar jalanan yang dilewatinya.

Dan jujur saja, ia tidak bisa berbohong bahwa ia tidak memikirkan pria di balik kemudi di sebelahnya dengan gelitik rasa penasaran yang lebih dari pada biasanya.

Tiga setengah bulan yang lalu, Sakura akan meruntuk habis-habisan mendapati situasinya yang terpaksa terjebak satu mobil dengan bungsu Uchiha yang dingin—ia mungkin malah akan mimpi buruk setelah itu.

Tapi ketika sekarang ini mereka duduk berdampingan dalam keheningan yang—anehnya, tidak canggung dan malah terkesan menyenangkan, Sakura tak bisa untuk berhenti berpikir sejak kapan hatinya telah berubah.

Tentu, si pria Uchiha yang sombong itu masih meyebalkan; kadang-kadang seolah mengabaikan keberadaanya, dan tak pernah menyahuti niatan baik Sakura untuk mengobrol dengan lebih dari dua kata.

Meski demikian, mereka berdua pun sama-sama tahu; ada yang berubah di antara hubungan professional mereka yang kaku dan tak bersahabat. Atau setidaknya, Sakura merasa begitu.

"Bagaimana kondisi ibuku?" Pertanyaan itu tercetus beberapa menit setelah keheningan singkat dari perkcapakan mereka yang pertama.

Sakura menoleh pelan untuk melihat onyx yang awas itu tengah memperhatikan dengan seksama jalanan di depannya. Dan kemudian dengan semangat yang agak sedikit terlalu menggebu mulai memberikan laporan mengenai kondisi kesehatan ibu pria itu.

"Kondisi Nyonya Mikoto sudah jauh lebih baik. Dari setiap pemeriksaan yang aku lakukan, sejauh ini kondisi kesehatan beliau normal-normal saja. Tapi sayangnya aku masih belum berani mengurangi dosis obatnya. Tapi jangan khawatir, aku rasa dalam beberapa minggu kedepan, kalau keadaan beliau sudah lebih stabil lagi, kita bisa mengurangi dosis hariannya."

"Hn."

Tapi tentu saja si bungsu tidak banyak berkomentar seperti biasa. Tidak masalah, Sakura rasa ia sudah mulai terbiasa—setidaknya ia menggumamkan sesuatu, daripada ia tidak menyahut sama sekali.

"Sudahkah beliau banyak minum air?" Tapi bercakap-cakap dengannya juga tidak terlalu buruk; dan setidaknya, Sakura mulai menyukai ide untuk mengobrol lebih lama dengan pria itu.

"Hn. Sesuai anjuranmu."

"Syukurlah." Sakura tersenyum setelah mengatakan itu. Ada dua hal yang membuatnya tersenyum; pertama, ia senang pasiennya ini tidak 'bandel' dan mengabaikan semua anjuran dan larangannya; kemudian, setidaknya ia sudah berhasil mengorek lebih dari sekedar gumaman 'hn' dari mulut pria berambut raven di sebelahnya.

Mobil yang mereka naiki melambat di depan sebuah bangunan dua lantai warna putih yang terlihat elegan dan tegas; sebuah papan bertanda 'Klinik Haruno, ahli bedah syaraf' tertempel di dindingnya yang kokoh.

Begitu mobil itu berhenti sepenuhnya, Sakura segera membuka pintu dan melempar tubuhnya ke trotoar—beberapa orang yang mengenalinya nampak menaruh minat pada kedatangannya dengan mobil sport hitam tersebut. Mungkin menerka-nerka apakah sang dokter muda akhirnya punya pacar.

"Terimakasih karena sudah mengantarku. Hati-hati di jalan, Sasuke-san." Sambil sedikit menunduk, Sakura melongok ke jendela mobil tersebut—menyampaikan salam perpisahan sambil tersenyum kecil.

Untuk beberapa detik yang ganjil, Sakura bisa melihat bibir atas si pria sedikit berkedut—nampaknya hendak menahan senyum. Sakura kira, gestur tersebut sangat manis; pria ini sungguh menjaga tinggi harga dirinya. Wanita berambut merah muda itu mengira si bungsu hanya akan menggumamkan kata 'hn' andalannya sebagai jawaban seperti biasanya. Namun apa yang kemudian diucapkan pria itu malah membuat emeraldnya membulat terkejut.

"Terimakasih."

Dan setelah mengucapkan itu tanpa memberikan kesempatan pada Sakura untuk mengatakan apapun lagi, pria itu sudah menginjak gasnya dan berlalu pergi.

Meninggalkan Sakura dengan sejuta pertanyaan akan ucapan 'terimakasih' paling ganjil yang pernah ia terima selama karirnya menjadi seorang dokter.

"Apa itu tadi?"

.

.

Ini malam yang dengan anehnya cukup hangat di awal bulan November.

Sakura baru saja selesai melakukan pemeriksaan rutin terhadap kondisi Nyonya Uchiha yang semakin hari sudah semakin membaik. Sekarang, serangan kejangnya sudah sangat berkurang, dan wajah tegang Sasuke kini mulai melunak melihat kondisi ibunya yang berangsur-angsur membaik.

"Ini malam yang aneh. Tidakkah kau merasa hari ini sedikit agak hangat?"

"Hn."

Sakura mengerucutkan bibirnya setengah kesal saat pria yang kini tengah duduk di balik kursi kemudi itu tak banyak menggubrisnya. Tapi kemudian ia tersenyum sambil ikut menatap jalanan di depannya.

Sakura tidak tahu sejak kapan kekesalannya akan keangkuhan dan sikap dingin si bungsu Uchiha ini lenyap. Tentu, ia kadang-kadang masih sebal dengan sikap irit katanya—tapi sepenuhnya ia telah membuang sikap bermusuhannya dengan pria itu.

Mungkin sejak ia melihat betapa Sasuke sangat menyanyagi ibunya, atau mungkin juga sejak Sasuke dengan baik hati selalu mengantarnya pulang setelah selesai memeriksa ibunya; tanpa diminta oleh siapapun. Dan jujur saja, sikapnya itu membuat Sakura sedikit tersanjung.

Yang pasti, mereka jadi sering menghabiskan waktu bersama, seperti sekarang ini; dan kalau boleh jujur, menurut Sakura itu tidaklah terlalu buruk.

"Aku sering melihat wajahmu di majalah."

Sakura menoleh dengan satu alis terangkat. Ini bukan pertama kalinya si bungsu memutuskan untuk memulai percakapan dengannya, tapi tetap saja, Sasuke hampir tidak pernah memulai percakapan yang bukan berhubungan dengan kondisi ibunya; dan menurut Sakura, topik yang dilemparkan pria itu terasa cukup ganjil di malam yang juga terasa ganjil ini.

"Ah, yang dengan Sabaku-san dan Sasori kemarin? Itu hanya gosip murahan. Tolong abaikan saja." Sakura membalas seadanya. Dan anehnya, ia merasa wajahnya sedikit memanas karena ditanyai demikian. Sungguh, jika Karin dan Ino yang bertanya, Sakura hanya akan melengos sambil lalu ketika membicarakan dua wajahnya yang terpampang di majalah beberapa bulan yang lalu tersebut. Sakura mengenal kedua pria yang disebutkan itu—Sabaku Gaara dan Akasuna Sasori, sama seperti pria yang tengah mengemudi di sampinya ini; hubungan mereka professional. Dan ketika ia telah selesai membantu kedua pria itu, mereka dengan baik hati menawarinya makan malam.

Sialnya, ketika itu media sedang menggandrungi sang investor asing tampan dan si model papan atas terkemuka; sehingga dirinya pun ikut terseret dalam pemberitaan yang malah sekarang kesannya sangat memalukan ketika disinggung kembali oleh si bungsu Uchiha di sampingnya.

"Hn." Itu gumaman yang bisa Sakura dengar, Sakura kira topik itu sudah akan berhenti disana, tapi si pria kembali melanjutkan, "tidakah kau ingin segera menikah? Kau wanita."

"Hei, itu tidak sopan." Sakura tidak tahu apakah ia merasa tersinggung atau geli dengan pertanyaan itu. Maksudnya, yang benar saja, kenapa mereka jadi membicarakan kehidupan percintaanya sih? Tapi Sakura tetap saja menimbang-nimbang bagaimana ia akan membalas pertanyaan aneh itu.

"Tentu saja aku ingin menikah. Tapi sepertinya aku belum seberuntung sahabat-sahabatku." Dan itu adalah jawaban yang ia pilih; dan tentu saja itu memang benar. Sakura memang ingin menikah, tapi ia belum punya calon. Sesimpel itu.

"Kau pemilih."

Tapi balasan si pria raven malah membuat beberapa sudut siku-siku muncul di dahinya.

"Bukannya begitu, hanya aja aku rasa aku belum bertemu pria yang tepat." Dengan setengah gusar Sakura kembali menyahut; pria ini sekarang malah jadi terdengar seperti ibunya. Ya ampun, Sakura tidak sepemilih itu.

"Seperti apa pria yang tepat itu?" Itu pertanyaan yang sebenarnya Sakura sendiri tak pernah bisa menjawabnya. Manik emerald yang cemerlang itu mencuri pandang dari ekor matanya, memperhatikan si pria raven yang meskipun terus menatap datar jalanan di depannya, masih saja getol melemparkan pertanyaan-pertanyaan—yang menurut Sakura tak lebih dari sekedar pertanyaan iseng, mengenai kehidupan pribadi dokter muda tersebut.

"Entahlah," Sakura membalas lemah setelah jeda lebih dari setengah menit. Tentu saja, banyak pria yang dengan sukarela antri di depan kliniknya setiap hari untuk mengajaknya berkencan. Tapi Sakura sendiri tidak terlalu tertarik dengan mereka. Bukan berarti ia pemilih, karena pada dasarnya ia tidak pernah ada di posisi untuk menjadi pemilih.

Dan kemudian, entah darimana ia mendapatkan ide seperti itu, sambil tersenyum ia menoleh menatap si bungsu Uchiha sambil melanjutkan, "tapi, kalaupun aku harus dipaksa menikah, aku rasa kau bukanlah pilihan yang buruk."

Mobil itu kemudian berhenti ketika mereka sudah tiba di depan apartemen Sakura; udara malam itu hangat dan percakapan mereka yang aneh ini jadi terasa makin aneh saat keheningan yang ganjil menggantung di antara mereka selama beberapa menit. Cahaya bulan yang jatuh di atas aspal jalanan dan sela-sela lampu jalan membuat suasaan malam itu nyaris magis.

"Aku pun berpikir," Si bungsu Uchiha menyahut hati-hati, dan untuk satu dan beberapa alasan yang menurut Sakura tidak masuk akal, jantungnya mulai menciptakan debar halus di telinganya.

"Menikahimu bukanlah hal yang buruk."

Begitu saja.

Si bungsu Uchiha berbalik sepenuhnya ke arahnya dengan tatapan paling serius yang pernah emerald-nya lihat pada pria hidup manapun.

Dan ia tersenyum. Tersenyum.

Benar-benar tersenyum—bukan senyum kaku yang seperti saat pertama kali Sakura kira ia lihat pria itu tersenyum.

Itu adalah sesuatu yang tak pernah Sakura bayangkan bisa diciptakan oleh pria ini. Ribuan kupu-kupu serasa beriak di perutnya, membuatnya kesulitan bernafas. Dan sebentar lagi ia merasa lututnya akan berubah menjadi agar-agar.

"Jadi,"

"Jadi?"

"Menikahlah denganku."

Dan saat itu juga Sakura yakin—seratus persen yakin, bahwa memang inilah debaran yang selama ini ia nanti-nantikan.

.

Fin

.

Demikian, lengkaplah sudah rangkaian cerita Monochrome Trilogy's Side Stories.

Sampai jumpa di cerita-cerita lainnya.

Thank you for reading.

Sign,

Lin