"Aku tidak mengerti, Ayah. Kenapa aku harus masuk ke rumah padahal anak-anak lain boleh bermain?!"

Sakura menjerit kesal menatap ayahnya yang sama sekali tidak menggubrisnya. Kizashi Hatake membersihkan jala yang baru saja dipakainya, sementara istrinya—Mebuki—menatap anaknya dengan perasaan tidak enak. Ia hanya bisa membalikkan tubuh dan kembali memandang kompor di dapur kecilnya, tidak tahu harus bagaimana menjelaskan masalah yang mereka hadapi ke Sakura.

Gadis itu bersidekap kesal. Ia benar-benar tidak tahan. Dari dulu, Sakura berusaha menjadi anak yang manis agar ia juga bisa bermain di pinggir sungai bersama anak-anak seusianya. Sakura tidak pernah menangis kalau ibunya memintanya mandi sebelum jam 4 sore, Sakura juga selalu dengan riang membantu membawakan buah-buah yang dibawa ibunya dari kebun. Ia kira ia bisa main juga kalau ummurnya sudah cukup besar. Tapi sekarang?

Kemarin ia baru saja berulang tahun yang ke 12. Dan ia belum boleh juga bermain!

"Kalau kau sudah lebih besar," ujar Kizashi sabar. "Kau boleh bermain keluar…"

"Ayah, ayah!" Sakura menjerit lagi. "Aku tidak mau menunggu lagi! Aku juga mau bermain bersama Ino!"

Setelahnya Sakura menangis histeris dan berlari ke kebun belakang rumahnya. Kizashi melemparkan tatapan lelah ke arah istrinya, yang disambut Mebuki dengan anggukan pelan. Wanita itu berjalan ke arah halaman belakang dan menemukan anak semata wayangnya tengah menangis sesenggukan di atas sebuah batu besar.

Mebuki berjalan mendekat. Ia membawa Sakura ke dalam dekapan dan mengusap kepalanya.

"Kau sudah cukup besar, Sakura." Ujar Mebuki halus. "Karena itu Ibu pikir kau akan mengerti cerita ini…"

Sakura mengangkat kepalanya. Mata hijau besarnya menatap sang ibu dengan raut penasaran.

"Delapan generasi sebelumnya, seorang anak bernama Misaki Nagawa membunuh seekor burung di gunung. Misaki adalah leluhur kita." Ujar Mebuki lembut. "Leluhur Ibu, lebih tepatnya. Misaki adalah nenek buyut… jauh sekali… Ibu."

"Lalu?" tanya Sakura tidak sabar.

"Yang Misaki tidak ketahui saat itu adalah, setiap tempat di bumi ini memiliki pelindungnya masing-masing. Baik itu laut, gunung, lembah, bahkan pohon kecil sekalipun," Mebuki menunjuk pohon randu kecil yang ada di belakang rumah mereka. "Mereka semua memiliki pelindung. Dan kebetulan, gunung tempat Misaki pergi saat itu dilindungi oleh Dewa Tora.

"Dewa Tora sangat marah karena ia mencintai semua makhluk hidup yang ada di gunung. Binatang, tumbuhan, bahkan udara dan tanah, semuanya juga sangat menyayangi Dewa Tora. Burung yang dibunuh Misaki saat itu berteriak sangat kencang sehingga Dewa Tora turun langsung dari atas langit untuk pergi ke gunung. Ia melihat Misaki, dan pada saat itu, memberikan kutukan pada Misaki dan keturunan-keturunannya…"

"Apakah itu berarti," Sakura berujar takut. "Aku juga terkena kutukan itu?"

Mebuki mengangguk. Raut wajahnya menyesal.

"Dewa Tora tidak membunuh Misaki saat itu. Tapi sebagai gantinya, ia akan membunuh siapapun keturunan Misaki yang pergi ke gungun." Ujar Mebuki lembut. "Walaupun kau bermain bersama Ino di sungai… pada akhirnya kau akan pergi ke gunung. Itu semua terjadi pada keturunan-keturunan yang lainnya, Sakura. Dengan kata lain, jika kita keluar dari rumah dan pergi terlalu lama, kita memang akan menjemput ajal."

Sakura berdecak kesal. Matanya sudah berlinang air mata kembali.

"Tapi… aku bahkan tidak tahu siapa itu Misaki sampai Ibu menceritakannya padaku!" jerit Sakura tidak terima. "Kenapa karena itu aku sampai tidak bisa bermain bersama Ino dan Hinata? Ibu tahu, kalau begini terus, bisa-bisa aku tidak punya teman…"

Sakura menangis kencang sementara Mebuki menariknya kembali dalam pelukan. Pikiran wanita empat puluh tahunan itu melayang ke masa-masa kecilnya, saat kakaknya dengan berani bermain sampai larut dan ia harus menyaksikan tubuh kakaknya tercabik-cabik hewan liar di hutan. Mebuki menutup matanya, lalu tersenyum kecil.

"Sekarang, kau sudah mengerti, 'kan?" ujar Mebuki. "Jangan marah pada Ayah… akhir-akhir ini dia sering sakit. Kau harus menjadi anak yang lebih baik, ya?"

Sakura tidak menjawab. Ia tetap menangis, merasa kesal pada leluhurnya yang menurutnya…

Bodoh.

.

.

"Ayolah, Sakura…"

"Tidak bisa." Sakura tersenyum tidak enak, melepaskan tangan Shino dan berjalan ke depan rumahnya. "Kau tahu sendiri, itu resikonya mengencaniku. Aku tidak bisa pergi keluar kecuali bekerja."

"Tapi ini haru ulang tahunmu!" kata Shino, masih setengah tidak ikhlas. "Dan kau juga sudah cukup dewasa untuk pulang malam…"

Sakura tersenyum masam. Ya, betul, hari ini hari ulang tahunnya yang ke 22 dan ia masih juga belum bisa pergi keluar, bahkan untuk minum di kedai pinggir sungai bersama Ino dan Tenten. Sepulang dari pekerjaannya di toko kecil miliki Tuan Shigari, ia harus langsung pulang sebelum larut. Setidaknya instingnya masih lebih tajam ketika matahari masih bersinar dan ia bisa memastikan dirinya sendiri untuk tidak melangkah ke gunung besar yang terletak jauh di belakang rumahnya.

"Sakura…"

"Shino…" ujar Sakura gemas. "Aku akan menemuimu besok sepulang bekerja. Aku janji."

Shino tahu kalau sudah begini ia tidak akan bisa berbuat apa-apa. Karena itu pria itu hanya tersenyum sekenanya, memberikan senyuman singkat ke Sakura, dan pergi dengan sepeda motor tua milik ayahnya dari pekarangan rumah keluarga Haruno.

Baru saja Sakura ingin melangkah masuk, seorang anak kecil berambut pirang berlari ke arahnya.

"Sakura-onesan!"

Sakura menoleh, menatap Tamako yang berlari ke arahnya. Pipi besarnya memerah sempurna dan baju anak kecil itu basah kuyub. Di belakangnya, Ino juga berlari tidak kalah panik dan beberapa orang berkerumun tidak karuan di depan rumah Tenten.

"Ada apa, Tamako-chan?" tanya Sakura.

"Apa Sakura-onesan bermain bersama Tenten?"

Sakura menggeleng ragu. "Uhm… tidak… memang ada ap—"

"SAKURA, TENTEN MENGHILANG!"

.

.

Sebelum Sakura sempat menyadarinya, ia sudah berlari kesana kemari sama seperti Ino—dan mungkin seluruh desa—untuk mencari Tenten. Akhir-akhir ini banyak sekali kasus orang hilang di seluruh Jepang yang berujung pada penjualan organ-organ tubuh, dan meskipun mereka tinggal di desa terpencil di perfektul yang juga terpencil, bukan tidak mungkin hal tersebut terjadi. Bahkan, mungkin lebih besar.

Ibu Tenten tidak berhenti menangis sementara Sakura dan Ino sekarang berlari menuju rumah teman-teman mereka, mencoba untuk mencari jejak terakhir Tenten sebelum menghilang. Sayangnya, setelah tiga jam mencari, hasilnya nihil.

"Ino," panggil Sakura, terengah-engah. "Aku… akan pergi ke rumah Temari. Kau coba cari ke rumah Hinata, ya?"

"Baiklah. Apakah aku perlu memanggil Shino untuk menemanimu?" tanya Ino khawatir.

Sakura menggeleng. "Kita butuh setengah jam untuk pergi ke rumah Shino. Aku akan baik-baik saja."

Sakura pada akhirnya berlari, terus berlari sampai paru-parunya sakit. Sedikit lagi, pikirnya saat melihat rumah sederhana dengan cat cokelat kusam di ujung jalan. Ia melihat gerobak tua miliki paman Temari terparkir rapi di depan rumah. Sakura pada akhirnya sampai di rumah tersebut, lalu dengan setengah tidak sabar mengetuk pintu tersebut.

"Temari?" panggil Sakura. "Temari! Tema—"

"Sakura?"

Temari muncul dari dalam pintu dengan raut wajah bingung, sama sepertinya saat Tamako berlari ke arahnya tadi.

"Ada apa?" tanya Temari.

"Apa kau melihat Tenten?" tanya Sakura langsung. "Tenten… menghilang…"

"Astaga, bagaimana bisa?" tanya Temari lagi, nadanya terdengar panik sekarang. "Sayangnya aku tidak melihatnya sama sekali. Terakhir kali aku melihatnya kemarin, di pasar, saat sedang membantu pamanku menjual daging sapi. Ia terlihat baik-baik saja. Tapi aku tidak melihatnya lagi…"

Sakura menghentakkan kakinya dengan kesal. Ia benar-benar tidak bisa menerima kalau sampai temannya benar-benar diculik dan dibunuh untuk diambil organnya. Pikiran buruk seperti itu terus menghantui Sakura, sehingga gadis itu tanpa basa-basi langsung berterima kasih dan berlalu dari rumah Temari secepat mungkin.

…sampai saat ia tersadar kalau dirinya sudah berada di tengah hutan.

Sakura benar-benar tidak mengingat bagaimana ia bisa sampai di hutan ini. Yang ia ingat, ia hanya berlari sekencang mungkin untuk mencari Tenten sesegera mungkin setelah ia keluar dari kawasan rumah Temari.

Gadis itu tersentak sendiri. Ia tersadar akan sesuatu.

Ia memang berlari sekencang mungkin, tapi ia berlari ke Utara.

Ke arah gunung.

Dan sekarang, ia berada di dalam hutan, di gunung.

"Haaaaah! Kenapa waktu begini aku harus tersesat seperti ini?!" jerit Sakura kesal. Ia memandang sekeliling, dan hanya ribuan pohon hijau menjulang tinggi yang didapatinya.

Kalau begitu, yang harus dilakukannya sekarang hanyalah menunggu orang-orang untuk menyadari kalau dirinya juga hilang. Namun jika yang ibunya ceritakan 10 tahun lalu adalah kebenaran, berarti yang ditunggunya bukanlah orang-orang desa.

Melainkan kematian.

.

.

"Akhirnya. Satu lagi keturunan Misaki Nagawa yang bisa kulenyapkan."

Sebuah suara menyadarkannya dari tidur yang sudah entah berapa lama. Sakura mengerjapkan mata, menyadari kalau dirinya masih berada di tempat yang sama. Ia melihat sekeliling dan tidak mendapati siapapun di sekelilingnya.

"Ugh…" gumam Sakura, kepalanya terasa pusing akibat berlari sepanjang hari. "Kurasa aku mendengar sesuatu…"

"Tentu saja. Aku disini."

Sakura tercekat. Ia menolehkan kepala ke kiri dan ke kanan, berusaha mencari-cari sumber suara.

Nihil.

"Sakura."

"Kau seharusnya muncul dan tidak bersembunyi seperti pengecut!" jerit Sakura marah. "Berhenti bermain-main denganku! Temanku hilang dan aku benar-benar le—"

Sebuah angin kencang menyapunya. Rasa dingin menjalar, menusuk tulang belakangnya. Sakura bergidik sendiri. Aku pasti sudah berada di lereng atau puncak gunung. Tidak ada angin sedingin ini di kaki gunung.

Dan permintaan Sakurapun dikabulkan. Seekor macan putih berloreng hitam muncul entah dari mana. Ia tampak samar, dan besar luar biasa. Apa yang dilihatnya antara nyata dan tidak nyata. Sakura kembali mengerjapkan matanya beberapa kali, mencoba mencerna hal yang dilihatnya di depan mata, lalu kembali kebingungan.

"Tora…" gumamnya tanpa sadar.

"Kau tidak terlalu penakut seperti yang lainnya." Ujar macan—bayangan—itu. "Dan tentunya, perkataanmu juga jauh lebih kurangajar dibandingkan keturunan Misaki Nagawa yang lainnya. Satu-satunya hal yang berbeda dari kalian hanyalah itu."

Sakura masih terkesima akan hewan besar di depannya. Pemandangan tersebut sebenarnya tidak akan bisa dicerna oleh manusia, dan karenanya Sakura terus-terusan menggelengkan kepalanya dengan bingung.

"Tora…?"

Sakura bergumam lagi, kali ini berusaha memastikan.

"Ya." Ujarnya. Suaranya dalam, dan luar biasa menenangkan. "Sakura."

Sadarlah, Sakura. Ujar Sakura dalam hati. Dia adalah seorang dewa. Dan kau akan dibunuhnya sebentar lagi.

"Jadi, bagaimana? Kau sudah siap untuk mati?"

"H—HEI!" jerit Sakura panik. "Apa-apaan! Kau bilang aku kurangajar, kau sendiri sadar tidak berbicara seperti itu?!"

Terdengar sebuah tawa. Sekali lagi, Sakura terpesona akan betapa menenangkannya suara tersebut.

"Kau sendiri menyadari kalau aku adalah Dewa. Jiwaku suci, tidak sepertimu." Ujarnya. Nada bicaranya berubah menjadi dingin, dan sialnya, begitu pula angin yang berada di sekeliling Sakura saat ini. "Manusia sepertimu hanya ingin membunuh, mengambil nyawa makhluk lain… beraninya kau berbicara seperti itu padaku."

"Aku tidak pernah membunuh siapapun seumur hidupku!" Sakura membela dirinya sendiri. "Kau bilang kau adalah Dewa, seharusnya kau tahu itu, 'kan?"

Tidak ada suara lagi yang terdengar dari sekelilingnya. Sebagai gantinya, angin kembali berhembus dengan kencang. Awan hitam bergulung-gulung—yang entah datang dari mana—menutupi puncak gunung dan memuntahkan hujan lebat beserta petir. Sakura segera berlindung ke pohon terdekat, namun belum sempat ia sampai di bawah pohon tersebut, banyak sekali ranting yang menyandung kaki.

"Oh, bagus. Jadi seisi gunung ini membenciku." Ujar Sakura frustasi.

Sakura sudah yakin sekali dirinya akan mati karena kedinginan sampai ketika hujan mulai berhenti, menyiksakan udara dingin yang membuat gigi Sakura gemetar dan mengantuk satu sama lain. Sakura terduduk di atas tanah lembab tanpa pelindung sama sekali, dan segera menoleh ketika ada sebuah suara datang dari belakangnya.

Dan disitulah ia melihat Tora. Seorang laki-laki tinggi dengan rambut perak, mirip seperti bulu harimau yang tadi dilihatnya, berjalan ke arahnya. Tubuhnya dibalut oleh yukata putih bersih dengan bordir emas di ujung-ujungnya.

"Wow…" ujar Sakura tanpa sadar.

"Kukira kau akan mati karena badai tadi." Ujar orang itu—Tora—sambil tersenyum kecil. "Ternyata tidak."

Sakura tersadar, lalu menggelengkan kepalanya. "Hei!" ujarnya kesal. "Kau… kau benar-benar melewati batas! Kau menghukum leluhurku karena membunuh burung, sementara kau sendiri membunuh keturunan-keturunannya semenjak saat itu! Berapa jiwa yang kau ambil? Dua ratus? Tiga ratus?!"

"Seribu dua puluh empat." Jawabnya tenang.

"Wah, benar-benar tidak bisa dipercaya." Sakura berdecak. "Bukankah mereka sudah cukup bagimu? Kenapa kau ingin membunuhku juga?"

"Kau tidak mengerti, rupanya."

Sakura tertegun ketika Tora berjalan mendekat.

"Kau, dan leluhur-leluhurmu… haus akan darah, Sakura." Ujarnya lirih. "Kalian akan membunuh, terus membunuh. Pertama-tama kalian akan memulai semuanya lewat semut. Lalu, ulat. Lalu tikus. Lalu anjing. Burung. Gajah. Dan pada akhirnya manusia."

Sakura menggelengkan kepalanya dengan kuat. "Aku tidak membunuh apapun! Begitu juga ayah ibuku!"

"Ya, kalian memang memiliki kontrol diri yang baik." Pujinya singkat. "Tapi apa jaminannya kau tidak akan membunuh selama beberapa tahun ke depan?"

Sakura terdiam. Dewa itu benar. Ia tidak memiliki jaminan apapun.

Mereka berhadapan dalam diam selama beberapa waktu ke depan. Sakura merasa seluruh dunia menjauhinya sekarang. Karena kesalahan orang yang bahkan tidak pernah ia temui, dan baru ia dengar beberapa tahun lewat dongeng ibunya—yang ia anggap hanya omong kosong belaka pada saat itu, namun sayangnya tetap ia taati sampai sekarang—. Sakura menghela nafas. Bagaimanapun, ia tidak akan bisa kalah dari seorang dewa.

"Baiklah."

Sakura angkat suara. Ia memandang Dewa di depannya dengan binar mata menyala.

"Silakan bunuh aku. Tapi aku memiliki syarat."

Tora tertawa kecil. "Manusia sombong. Kau pikir kau siapa?"

"Seribu lebih nyawa leluhurku sudah kau ambil, dan kau tidak bisa memberikanku permintaan?!" jerit Sakura kesal. "Bayangkan kalau mereka masing-masing meminta satu permintaan padamu, kau harus mengabulkan seribu dua puluh lima keinginan, 'kan?"

"Dan apa yang membuatmu berpikir aku akan mengabulkannya?" tanya Tora.

Sakura terdiam. Ia memandang lurus ke dalam mata Tora, lalu menghela nafas.

"Aku… hanya percaya."

Mereka kembali berhadapan dengan keheningan. Sakura tiba-tiba tersentak saat tanah gersang di sekelilingnya perlahan berubah menjadi hijau. Ranting-ranting yang tadi menyandungnya dan terus melukai kakinya merangsek masuk ke dalam pohon, dan muncul lagi sebagai ranting segar yang tumbuh dari cabang pohon-pohon tersebut.

Apakah Tora memaafkanku? Pikir Sakura bingung.

"Baiklah." Ujar Tora akhirnya. "Satu permintaan."

"Oh, ayolah…" Sakura memandangnya memelas. "Sepuluh?"

Gemuruh di langit kembali terdengar. Sakura membelalakkan matanya, lalu menggeleng.

"Lima?"

"Satu."

"Argh… tiga? Tiga saja, dan aku akan menyerahkan nyawaku tanpa mengeluarkan sepatah katapun!"

Tora pada akhirnya menyerah dan mengiyakan permintaan Sakura. Ia mungkin sudah mulai lelah karena tidak pernah sekalipun ia melihat manusia seberani, seberisik, dan semenyebalkan Sakura. Gadis itu tersenyum girang sebagai gantinya, dan seakan melupakan tubuhnya yang lelah bukan main, Sakura bangkit berdiri untuk menyodorkan tangan.

"Setuju?"

"Apa yang membuatmu berpikir aku akan menjabat tangan kotormu itu?" tanya Tora pelan. "Aku berjanji. Aku seorang Dewa, dan aku tidak pernah ingkar janji."

Sakura tersenyum. Ia pada akhirnya mengangguk, dan menatap Tora dengan pandangan yakin.

"Bantu aku menemukan Tenten."

.

.

Apa kau pernah menjadi tidak kelihatan?

Pasti tidak.

Tapi ketika kau memiliki sebuah persetujuan dengan Dewa, apapun bisa terjadi, 'kan?

Sakura tersenyum ketika angin menerpa wajahnya. Memang dingin, namun ia sudah mulai terbiasa dengan rasa dingin tersebut. Kakashi berada jauh di depannya, berjalan dengan sangat elegan tanpa ada seorangpun yang menyadari kehadirannya. Mungkin itulah mengapa Dewa ataupun Dewi tidak pernah terlihat. Kalau untuk Dewa yang satu ini, karena ada angin yang selalu membentenginya dan menghalangi penglihatan manusia biasa.

Sebuah dorongan besar muncul dari dalam dirinya dan Sakura terjatuh. Terusan putih lusuhnya sampai robek, betisnya terluka cukup dalam akibat goresan batu tajam dari tempatnya berpijak. Tora dengan cepat membalikkan tubuh, lalu berjalan mendekat ke arah Sakura.

"Seharusnya aku memperingatkanmu lebih awal." Ujar Tora. "Kau sudah berada di gunung selama empat hari. Pasti tubuh manusiamu tidak akan kuat."

"Empa hari?!" jerit Sakura tanpa sadar. Tiba-tiba saja tubuhnya terasa lemas, kepalanya terasa pusing.

"Kalau kau mati sekarang, temanmu tidak akan kutemukan." Ujar Tora tenang.

"Ugh… baiklah." Ujar Sakura. "Terima kasih sudah mengingatkanku… Tora."

Dewa di depannya bergeming. Sakura mengerutkan keningnya, lalu memandang Tora yang berdiri di depannya tanpa ekspresi. Saat seperti ini, terlihat jelas kalau ia hanyalah seorang manusia biasa yang terduduk jatuh di depan seorang Dewa.

"Aku akan menggunakan permintaan keduaku." Ujar Sakura.

"Huh? Cepat sekali." Ujarnya, tersenyum. "Apa itu?"

Sakura menatap Dewa di depannya sekali lagi. Ia menghela nafas, lalu memantapkan keinginannya.

"Namamu." Sakura bergumam, nyaris berbisik. "Aku ingin tahu namamu."

Pertanyaan tidak terduga itu mampu membuat Tora terkejut selama beberapa saat. Ia berusaha mencari intensi apa yang dimiliki Sakura sampai-sampai ia bertanya seperti itu kepadanya, namun yang ditemukannya hanyalah kekosongan. Sakura mungkin menanyakan itu hanya agar permintaannya tidak sia-sia sebelum ia mati nanti.

Tora menghela nafas. "Tora."

"Dewa tidak pernah berbohong." Ujar Sakura lirih. "Dewa selalu menepati janji…"

"Kakashi."

.

.

"TENTEN!"

Jeritan Ino mampu membuat beberapa orang yang mengerumuni Tenten menutup kedua telinga mereka. Tenten memeluk Ino dengan erat, air matanya membasahi kedua pipi tirus gadis itu. Sakura di sebelahnya tersenyum kecil, ikut masuk ke dalam pelukan mereka saat Ino juga menariknya masuk.

"Huuu… Tenten… aku tidak tahu harus apa kalau sampai kau tidak kembali…" ujar Ino sesenggukan. "Untung saja Sakura menemukanmu tepat waktu… aku benar-benar…"

Ino tidak dapat melanjutkan perkataannya dan kembali menangis. Sakura membiarkan Ino kembali melepas rasa rindunya pada Tenten, lalu ia berjalan keluar dari rumah itu dengan perasaan tidak karuan.

Ia dan Kakashi—Tora—menemukan Tenten di pelabuhan yang jauhnya ratusan kilometer dari desa mereka, menangis sesenggukan dan bersiap untuk menaiki kapal besar. Sepertinya benar apa yang Sakura pikirkan. Tenten, dan ratusan orang lainnya, akan dijual di pasar gelap untuk diperjual belikan organnya.

"Perdagangan manusia." ujar Kakashi waktu itu. "Manusia memang menyedihkan."

Sakura berhasil berlari ke kantor polisi terdekat—tiga kilometer—dan memastikan bahwa kapal itu tidak akan pernah kembali berangkat. Tenten berhasil dibawa pulang oleh Sakura, dan Sakura mengembalikan Tenten ke rumah dan desa mereka dengan selamat.

Tanpa sadar Sakura berjalan ke depan halaman rumahnya. Ia melihat ayahnya tengah membersihkan jala dan ibunya sedang memasak, kegiatan sehari-hari mereka. Mereka sempat hampir gila juga saat menyadari Sakura ikut hilang. Mereka pikir Sakura pergi ke gunung dan mati disana. Betapa bahagianya mereka saat Sakura datang bersama Tenten tadi pagi.

"Maafkan aku…" ujar Sakura lirih.

Sakura menahan air matanya dan berjalan lurus, ke Utara. Melewati deretan rumah berdekatan di jantung desa, sampai pada akhirnya rumah Temari kembali terlihat di ujung jalan. Sakura berjalan melewatinya tanpa menoleh sama sekali, hanya memberikan senyuman singkat pada temannya itu dari jauh.

Dan dengan penuh rasa ikhlas juga kesadaran, Sakura melangkah masuk ke dalam kaki gunung.

Rasa dingin yang familiar menyambutnya. Sakura menutup kedua matanya, tersenyum menenangkan.

"Semuanya akan baik-baik saja…" gumam Sakura pada dirinya sendiri.

Pada saat itulah sebuah rasa sakit menjalar di pinggang kirinya. Sakura berhasil menoleh, melihat seorang pria yang tidak ia kenal tengah menusuknya dengan sebilah pisau tajam. Matanya terlihat marah. Ia menarik pisaunya ke atas, lalu kembali menghujamkan pisau tersebut ke bagian belakang tubuh Sakura yang sudah terjatuh.

"Kenapa kau harus datang?!" jeritnya marah. "Kenapa kau harus mengacaukan semuanya?!"

Aku ingat orang ini… ujar Sakura pada dirinya sendiri, tepat sebelum kehilangan kesadaran. Ia orang yang menyuruh Tenten dan yang lainnya masuk ke dalam kapal…

Angin yang luar biasa dingin menyapu Sakura dan orang itu. Pria itu membelalak ketakutan saat seekor macan berukuran putih keluar, lagi-lagi entah dari mana. Pisaunya yang penuh darah jatuh ke tanah sementara matanya membulat sempurna.

"Manusia kotor…" ujar suara tersebut.

"Tora." Gumam Sakura lirih. "Ah, tidak… Kakashi."

Sakura menutup matanya. Nafasnya makin pelan, sampai akhirnya semua yang dirasakannya hanyalah hitam.

Kosong.

Mati.

.

.

Kakashi memandang orang di hadapannya yang membelalak ketakutan. Kematian adalah hukuman yang terlalu mudah baginya, dan lagipula ia tidak diperbolehkan untuk membunuh manusia lain kecuali keturunan Misaki Nagawa.

"Kenapa kau membunuhnya?" tanya Kakashi marah. "Apa hakmu membunuh manusia lain?"

"Dia menggagalkan rencanaku untuk mendapatkan uang!" jerit orang itu. "Dan, apa kau, siluman? Kenapa kau bisa berbicara?!"

Kakashi tidak menjawab. Sebagai gantinya ia melayangkan cakarnya, mengirim orang tersebut langsung ke tempat yang seharusnya.

Ia membuat perjanjian dengan dirinya sendiri sebelum melanggar sumpahnya sendiri sebagai seorang Dewa.

Orang tersebut membunuh gadis di depannya. Darah Sakura sudah diambil olehnya dan bukan Kakashi. Orang tersebut akan menggantikan posisi keturunan Misaki Nagawa yang seharusnya ia ambil nyawanya hari ini.

"Dan besok." Gumam Kakashi pada dirinya sendiri, berlutut disamping tubuh Sakura. "Dan seterusnya…"

.

.

Sakura mengerjapkan matanya dan merasakan rasa sakit luar biasa di kepalanya. Apakah ia sudah berada di surga?

Atau mungkin neraka?

Wajah kedua orang tuanya adalah hal pertama yang dilihatnya.

"Ibu?" gumam Sakura bingung. "Ayah?"

"Oh, Kizashi… Sakura sudah sadar…"

Suara tangisan Ibunya memastikan Sakura kalau ia tidaklah sedang berada di surga ataupun di neraka. Bunyi derikan dipan tuanya juga mengkonfirmasi kebingungan Sakura ini. Ia berusaha duduk, namun rasa sakit yang tiba-tiba muncul di sepanjang punggung kirinya membuat Sakura berhenti. Gadis itu mengerang sebentar, menatap ibu ayahnya dengan bingung.

"Jangan bergerak dulu, Sakura." Ujar Mebuki dengan hidung memerah. "Bagaimana keadaanmu? Kau ingat sesuatu?"

"Ya… kurasa." Jawab Sakura lirih. "Aku ditusuk berkali-kali oleh seseorang, dan Kakashi…"

Sakura tersadar akan sesuatu.

Ya. Bukankah seharusnya ia sudah mati?

"Orang itu sudah ditemukan tidak bernyawa, Sakura. Ia tercabik binatang buas." Ujar Kizashi menenangkan. "Untungnya kau masih hidup dan tidak dilukai oleh binatang itu. Kurasa pada saat itu, Dewa benar-benar menyertaimu."

"Uhm… ya, sepertinya begitu." Sakura menimpali, membenarkan perkiraan ayahnya itu.

"Baiklah, bukankah kita harus membiarkan Sakura beristirahat?" tanya Mebuki, menarik suaminya untuk keluar. "Ibu akan kembali saat sarapan besok dan membawakan bubur. Istirahatlah dengan baik, Sakura."

Sakura menerima kecupan pada keningnya dan tersenyum ke arah ayah dan ibunya. Gadis itu meletakkan kepalanya kembali ke atas bantal yang sudah tidak terlalu empuk, lalu memikirkan kejadian yang terjadi padanya beberapa waktu yang lalu.

Tengkuknya merinding saat merasakan angin dingin berhembus di sekitarnya. Dengan cepat Sakura berusaha untuk duduk, namun sebuah tangan menahannya.

"Kakashi…" ujar Sakura tidak percaya.

Kakashi tersenyum ke arahnya. Orang itu—Dewa itu—masih belum melepaskan tangannya. Dengan lembut ia membantu Sakura untuk kembali berbaring, masih dengan ekspresi bingung yang terpampang di wajah gadis itu.

"Bagaimana…"

"Maafkan aku." Ujar Kakashi pelan. "Kalau aku menyembuhkan lukamu pada saat itu juga, banyak orang yang akan kebingungan dan kau pasti juga tidak akan bisa menjelaskannya."

"Bukankah seharusnya aku sudah mati?" tanya Sakura tanpa basa-basi.

Kakashi bergeming. Ia terus memandang kedua mata gadis itu, berusaha mencari sesuatu yang juga tidak ia temukan.

"Apa… apa yang kau lakukan disini…?" tanya Sakura lagi, ketika tidak mendapatkan jawaban.

"Aku juga tidak tahu." Jawab Kakashi jujur. "Mungkin aku hanya ingin memberitahu, bahwa aku tidak akan membunuh keturunan Misaki Nagawa lagi mulai sekarang."

Sakura mengerutkan keningnya. "Benarkah? Kenapa?"

Kakashi masih lekat memandangi gadis di depannya. Sebuah senyuman tipis pada akhirnya muncul di wajah pria itu.

"Karena salah satu keturunannya berhasil membuktikan padaku…" ujar Kakashi lembut. "Bahwa tidak semua manusia sama seperti yang lainnya. Bahkan mereka yang berbagi darah sekalipun."

Sakura merasakan hatinya menghangat. Pengakuan dari Kakashi benar-benar membuatnya bahagia. Kenyataan bahwa keturunannya kelak juga tidak akan dihabiskan oleh Dewa tampan itu juga membuat Sakura tidak dapat menahan senyumnya. Ia melupakan luka-luka yang ada dipunggungnya pada saat itu.

"Terima kasih." Ujar Sakura lirih.

Sakura menarik Kakashi dalam pelukan. Kalaupun Kakashi akan mencoba untuk membunuhnya kali ini, tidak apa-apa. Setidaknya orang lain tidak akan dibunuhnya tanpa alasan lagi. Yang membuatnya kaget adalah, sepasang tangan hangat milik Kakashi melingkar di tubuhnya dengan hati-hati, mencoba untuk tidak menekan lukanya yang sekarang ditutupi oleh perban.

"Aku tidak akan mengecewakanmu." Bisik Sakura.

"Aku tahu." Balas Kakashi. "Tapi aku tetap harus mengawasimu."

"Aku tidak keberatan sama sekali." Sakura tersenyum, melepaskan pelukannya. "Apakah aku harus mengunjungimu setiap hari?"

Kakashi tertawa kecil.

"Tidak perlu. Aku akan tinggal."

Sakura mengerutkan keningnya dengan bingung. Ia mengamat-amati wajah Kakashi di depannya, mencoba mencari maksud tersirat dari perkataannya. Seperti mengerti, pada akhirnya Kakashi memberikan jawaban yang dicari oleh Sakura.

Sakura merasakan sentuhan hangat yang diberikan Kakashi lewat bibirnya. Rasa kagetnya berubah menjadi debaran tidak karuan yang merambat dari jantung, bergerak menuju pipinya. Kalau pipinya bisa berdebar, pasti mereka sudah ikut berdebar tidak karuan sekarang. Nyatanya kedua pipinya hanya berubah menjadi sangat merah, lebih merah lagi saat Kakashi dengan lembut menyentuh salah satu pipinya.

"Kau…"

"Ya." Ujar Kakashi. "Kau benar."

Sementara itu, Mebuki menimbang-nimbang apakah ia harus memberikan kue beras yang baru saja dibuatnya ke kamar Sakura. Ia berjalan menuju Kizashi yang sedang mengasah sebilah bambu tajam, duduk di samping suaminya dengan ekspresi bingung.

"Apakah aku harus memberikannya? Sakura mungkin sudah tidak makan sejak beberapa hari yang lalu…"

"Berikan saja kalau memang kau tidak tenang. Sakura akan memakannya kalau memang lapar."

Mebuka mengangguk. ia berjalan menuju kamar Sakura, lalu mengerutkan keningnya saat sinar cukup terang memancar dari bawah pintu.

Wanita itu membelalakkan matanya sendiri saat melihat putrinya tertidur dengan tenang. Sebuah senyuman muncul di wajahnya, tangannya bersandar pada dada seorang pria dengan yukata putih bersih berbordir emas yang sekarang sedang memandang lurus ke arahnya.

"Dewa Tora…" ucapnya tanpa sadar.

Kakashi tersenyum. "Mebuki."

"Kau… menyelamatkan Sakura." Ujar Mebuki penuh haru. "Terima kasih, karena tidak membunuhnya."

"Tidak." Kakashi menggelengkan kepala pelan. "Terima kasih karena tidak menyerah."

Pikiran Mebuki melayang ke peristiwa dua puluh tiga tahun lalu, saat dirinya berumur masih sangat muda dan mengetahui dirinya tengah hamil anak dari Kizashi, kekasihnya pada saat itu. Ia memang berniat untuk menggugurkan kandungannya beberapa kali. Tapi entah kenapa, perbuatannya itu tidak pernah ia realisasikan.

Pada saat Sakura lahir, betapa semua omongan jahat tentang dirinya hilang begitu saja. Melihat seorang bayi bersurai merah muda lembut dan mata sebening batu emerald pastel menatapnya dengan lekat membuat Mebuki benar-benar luluh.

"Kau melawan keinginanmu sendiri untuk menghilangkannya." Ujar Kakashi, di hadapan Mebuki yang sekarang menangis tersedu-sedu mengingat perbuatannya dulu. "Kau melawan darah Misaki Nagawa."

Mebuki menganggukkan kepalanya. "Terima kasih, Dewa Tora…"

"Teruslah hidup dengan baik." Ujar Kakashi. "Dan beristirahatlah."

.

.

"…ini adalah pohon yang dipercaya tumbuh setelah Sakura Haruno meninggal."

Anak-anak SMU Nozomu memandang ke arah sebuah pohon Sakura besar yang dilindungi pagar kayu kokoh di sekelilingnya. Mereka sedang melakukan studi lapangan ke Museum Nasional Gunung Tora, yang terletak jauh sekali dari sekolah mereka di pusat Tokyo. Pohon Sakura itu masih berdiri tegap dengan bunga-bunga merah muda menawan di setiap cabangnya.

"Dan juga, pohon Sakura pertama di Jepang." Ujar pemandu wisata tersebut. "Orang-orang menamainya sesuai dengan nama Sakura Haruno, karena warna bunganya sama seperti warna rambut Sakura Haruno."

"Lalu apa yang terjadi setelah itu?" tanya seorang siswa penasaran.

"Sakura Haruno adalah pengantin pertama Dewa Tora." Ujarnya dengan nada yang sangat sabar. "Mereka hidup bersama di desa. Dewa Tora memutuskan untuk menjadi manusia selama Sakura Haruno masih hidup."

"Wow. Lalu, apa yang dilakukan setelah Sakura Haruno meninggal?"

Pemandu wisata tersebut merentangkan kedua tangannya. "Dewa Tora dipercaya membawa Sakura Haruno ke atas gunung ini sehari sebelum dia pergi, dan mereka menghabiskan waktu menatap seluruh Jepang disini." Ujarnya. "Maka dari itu, Museum ini didirikan bukan hanya untuk melestarikan budaya perfektur ini, tapi juga legenda tentang Dewa Tora dan pengantinnya."

"Sakura Haruno." Ujar seorang siswa.

"Betul sekali." Sang pemandu wisata tersenyum. "Baiklah, apa ada pertanyaan lain?"

"Apa kami boleh mengambil foto?" tanya siswa di belakang.

"Tentu saja."

"Aku ada pertanyaan!"

Seorang siswa laki-laki berjalan ke depan. Tubuhnya yang jauh lebih tinggi daripada teman-temannya membuatnya cukup mencolok. Ia berjalan dan berhenti tepat di depan sang pemandu wisata tersebut, bersikap seolah-olah pertanyaannya sangatlah rahasia.

"Apakah permintaan ketiga Sakura Haruno?"

Pemandu wisata tersebut tersenyum. Pertanyaan tersebut sudah dipastikan sering sekali ditanyakan.

"Permintaan ketiga Sakura Haruno adalah," ujarnya sambil tersenyum. "Agar Dewa Tora terus menjaga keturunannya… keturunan mereka."

Anak tersebut mengangguk-angguk, begitu juga dengan teman-temannya.

"Hei, Kakashi! Cepat kesini, ini sangat keren!"

Anak tersebut segera membalikkan tubuh. "Baiklah, aku akan kesana!"

Pemandu wisata tersebut tertegun sebentar, lalu ia berbisik kecil pada seorang anak disebelahnya.

"Siapa nama anak tadi?" tanyanya lembut.

"Oh, yang tinggi tadi?" tanyanya balik. "Kakashi Hatake, Bu."

.

.

Sakura merasakan sentuhan hangat yang diberikan Kakashi lewat bibirnya. Rasa kagetnya berubah menjadi debaran tidak karuan yang merambat dari jantung, bergerak menuju pipinya. Kalau pipinya bisa berdebar, pasti mereka sudah ikut berdebar tidak karuan sekarang. Nyatanya kedua pipinya hanya berubah menjadi sangat merah, lebih merah lagi saat Kakashi dengan lembut menyentuh salah satu pipinya.

Tangannya yang tanpa sadar berada di dada pria itu bergetar pelan saat menyadari sesuatu.

"Kau…" Sakura memandangnya tidak percaya. "Apa kau… jatuh cinta padaku?"

"Ya." Ujar Kakashi. "Kau benar."

.

.

Cerita permintaan maaf karena setahun tidak muncul.

TEMAN TEMAN MAAP SEKALI KARENA TBJ HARUS AKU TAKE DOWN KARENA KEHABISAN INSPIRASI!

AKU JANJI BAKAL RAJIN NULIS LAGI. JGN SEBAL YA SAMA AKU.

Oh ya gimana kabar kalian? Semoga selalu dilindungi dimanapun berada ya. Stay safe, jangan lupa cuci tangan, semoga kita semua selalu sehat ya!