Terimakasih sudah memejret link fanfic ini, gue sangat menghargainya. Dua Sisi merupakan fanfic pertama yang gue beranikan untuk dibaca orang lain, jadi kritik dan saran amat terbuka.

Fanfic ini sudah melewati satu proses editing lagi karena gue ingin menyinkronkannya dengan lini masa fanfic gue yang lainnya: Harry Potter dan Sosok Masa Lalu. Ada perubahan yang sangat besar pada latar waktu. Dua Sisi versi baru mengambil latar tahun ke-6 dan bukan tahun ke -7.

Rating M untuk sumpah serapah dan sekuen yang agak-agak. #eh


Disclaimer: Not mine, nor even wish.


BAB 1

Hermione Granger melihatnya ketika gadis itu memasuki Aula Besar. Keberadaannya tak mungkin tak disadari. Apalagi dengan rambut itu—pirang-brengsek-platinum itu.

Kebencian itu telah jauh meresap ke dalam setiap sel darah dan menyalakan alarm dari setiap kehadirannya. Mata biru-kelabu itu seperti pemangsa yang sanggup menembus, membaca pikirannya seperti buku yang terbuka, membuat darahnya mendidih dengan rasa panas dalam pembuluhnya. Ya, hanya dengan menatap sosok itu— kebencian itu mampu menyeruak dan tak sanggup ia sembunyikan.

Pemuda itu tersenyum sinis. Tak heran. Mungkin hanya itu yang bisa dilakukannya selama dia hidup.

Draco Malfoy.

Pemuda itu menatapnya dengan pandangan benci yang sama—pandangan benci yang tak dapat diketahui siapa yang lebih besar antara sama lain. Dan seolah tak ingin menyimpan kebencian itu untuk dirinya sendiri, ia berbisik kepada kedua sahabatnya, Crabbe dan Goyle, lalu seringai terulas di wajah mereka.

Merlin, kebencian ini takkan pernah berakhir.

Gadis itu sering berkata demikian, walaupun ia kerap bertanya-tanya dalam hati, "Haruskah demikian?" Ia selalu menjadi salah satu dari mereka yang percaya bahwa manusia itu abu-abu; tak ada yang hitam dan tak ada yang benar-benar putih. Bahwa yang terjahat pun dalam dunia ini mempunyai sedikit sisi putih dalam diri mereka. Namun segala hal mengenai Draco Malfoy seperti sebuah pengecualian. Ia pangeran Slytherin. Iblis. Arogan. Tak ada yang baik dalam dirinya.

Batas antara dirinya dan Malfoy sungguh jelas. Semua orang dapat melihat batas itu sejelas refleksi diri dalam cermin. Kedua sisi itu begitu nyata. Begitu berbeda. Begitu berlawanan. Begitu—

Terpisah.

"Apa tujuan Draco Malfoy diciptakan ke dunia ini?" geram Ron apabila mereka baru terlibat konflik. Ia dan Hermione menghadiri rapat-rapat prefek rutin tiap minggu dan terpaksa mereka harus lebih sering bersinggungan dengan pemuda Slytherin itu. Hermione tentu selalu berusaha menenangkan Ron dan mengatakan untuk jangan menghiraukan pemuda keparat itu—walau ia sendiri tahu bahwa ia tak mungkin mengacuhkan keberadaannya. Karena ia memang nyata. Ia eksis di dunia dan di masa yang sama.

Ya, bagaimanapun Ron benar.

Demi Merlin, apa tujuan Draco Malfoy diciptakan ke dunia ini?

Mungkin 'anak perempuan' memang tidak terlalu sependapat dengannya. Mereka yang mengerling dan cekikikan setiap Slytherin itu lewat. Seolah rambut pirang dengan mata kelabu itu menyerap segala keindahan yang ia lewati. Namun, bukan berarti Hermione buta dan tidak mengakui ketampanan pemuda itu. Hanya saja—oh Tuhan—ia sangat membencinya. Ia pun tak pernah keberatan terus mengulangnya dalam hati.

Aku benci dia.

Hermione tahu ia berhasil menarik perhatian beberapa pemuda lainnya setelah pesta dansa tahun ke empat. Sejak saat itu beberapa pemuda mulai menatapnya, diam-diam melirik saat ia lewat. Terkadang ia pun menikmatinya, hanya untuk membuktikan bahwa 'aku ada'. Tapi, betapa inginnya Slytherin itu juga mengakui keberadaannya. Menyadari betapa cerdas dan berharga dirinya. Namun ternyata Malfoy tidak pernah mencintai orang lain, memperhatikan orang lain, seperti ia memperhatikan dirinya sendiri. Tatapannya tak pernah lebih dari batas angkuh dan merendahkan. Seperti yang juga dilakukannya terhadap para 'darah lumpur'.

Draco Malfoy tak perlu mengatakan apapun untuk membuatnya muak. Yang perlu dilakukannya hanyalah memandangnya dan tersenyum di sudut bibirnya yang seolah berkata—

"Aku memandangmu rendah."

Aku benci padamu.

Begitu mudah mengatakannya. Dan yang paling menyedihkan, ia tak tahu kapan harus berhenti mengatakannya karena ia tahu sangat buruk membenci seseorang seperti itu. Ya, tetapi kecuali untuknya.

Karena ia tak keberatan untuk mengulang kata-kata itu untuk Malfoy.


"Nah, kita sudah membicarakannya dan kita sudah mengetahui tanggungjawab masing-masing," kata prefek Gryffindor, Hermione Granger, selaku wakil pemimpin rapat saat itu menggantikan ketua murid perempuan dari Ravenclaw, Felicity Eastchurch. "Sebelum bubar, aku harap kalian telah mencatat semua inti pembicaraan kita hari ini untuk rekan kalian yang mungkin tidak dapat hadir."

Dalam pertemuan prefek. Sore hari.

"Rebecca," kata Hermione.

"Ya?" jawab prefek Ravenclaw kelas lima itu.

"Tadi kau mencatat, bukan?" tanya Hermione. "Tolong beritahu jadwal patroli kepada Heather karena ia harus menghadap Profesor Sprout saat ini."

Mengangkat bahu. "Baik."

"Terimakasih," sahut Hermione lagi sambil merapikan beberapa perkamen catatannya sembari menghadap prefek-prefek lainnya. "Kurasa sudah selesai. Kuharap kita bisa saling bekerjasama sehingga—"

"Jangan berlagak segalanya baik-baik saja, Granger, tidakkah kau harus memberikan penjelasan?"

Terdengar sebuah suara laki-laki di antara prefek dalam pertemuan itu. Hermione menghela napas—karena mengetahui siapa pemilik suara tersebut. Ia menoleh dan memandang Draco Malfoy di sana. Pemuda itu bersandar di bangkunya, membalas tatapannya dengan senyum sinis. Hermione berusaha tidak terpengaruh dengan tingkah lakunya, namun semua tahu ia gagal total.

"Aku sudah menjelaskanmu segalanya, Malfoy."

"Katakan sesuatu, Higgs," sahut si Slytherin kemudian kepada rekan Slytherinnya.

Terrence Higgs si Ketua Murid Laki-Laki—si kacung raja—menghela napas untuk berkata, "Granger…"

"Ya?" dengus Gryffindor itu setengah jengkel.

Higgs memandang tuannya lagi.

"Tidakkah kalian sadar kita mempunyai sesuatu yang lebih penting untuk diurus saat ini?" potong Hermione tak sabar sambil mengetuk-ketuk jemari di atas meja. "Ini terlalu kekanak-kanakan."

Malfoy segera berdiri dan menghadap prefek-prefek lain. "Maafkan aku atas interupsinya, ladies and gentlemen, dan maafkan aku beserta Mr Zabini—atau mungkin Heather yang tidak dapat hadir saat ini—atas keterlambatan tadi," ia berkata dengan lagak formal. Bahkan sempat berdeham sejenak untuk mengumpulkan wibawa. Ya, Tuhan. "Percayalah masalah ini takkan muncul apabila salah seorang dari kita bertanggungjawab secara moral untuk menyampaikan amanah kepada seluruh anggota prefek Hogwarts yang terhormat. Tiada anggota yang akan salah jadwal, tiada anggota yang tidak hadir." Lalu mengerling ke Hermione dengan pandangan menyalahkan.

"Malfoy…," geramnya tak sabar.

Seperti biasa pemuda itu tak peduli. Ia pun terus bicara. "Sebagai anggota prefek seperti kalian semua, kita ingin setiap orang bisa mengintegrasikan perbedaan di antara kita. Dengan mengesampingkan rasa benci, misalnya," Demi Merlin— 'mengesampingkan rasa benci'… ia pasti bercanda. "Ia harus bertindak secara profesional dan bertanggungjawab agar tidak mencampuradukkan perasaan pribadi dengan tugas."

Malfoy terhenti lagi untuk memberikan efek dramatis. Saat ini wajah Hermione Granger sudah merah padam. Ia tahu jika pemuda itu terus bicara, ia hampir tak dapat menahan kekesalannya lagi.

"Kurasa tadi kita sudah membahas masalah itu sejelas-jelasnya, Malfoy," katanya sesopan mungkin, namun dengan segala kemarahan tertahan dalam setiap kata-katanya. "Aku sudah memberitahukan jadwalnya kepadamu dan Zabini."

Ron pun mengangkat tangan dan seketika itu orang-orang pasti langsung mengetahui ini takkan berakhir dengan cepat. "Hermione memang sudah memberitahumu—di koridor itu," timpalnya. "Aku takkan menyalahkanmu apabila kau tidak terlalu mendengarnya karena kau terlalu sibuk cekakak-cekikik dengan gadis Ravenclaw. Jangan bilang kau tidak ingat."

"Oh, benarkah, Weasley?" tanya Malfoy sopan, namun gestur mencondong dengan kedua telapak tangan di atas meja.

"Ya, Malfoy."

"Maaf, pesan apa?"

"Perihal waktu dan tempatnya," sahutnya. "Pesan tentang rapat prefek diadakan di kelas transfigurasi pukul lima sore." Selengkap mungkin agar pemuda itu tak memiliki celah untuk berkilah.

"Ooooh, itu," angguknya seolah baru ingat. "Maksudmu ketika Miss Granger menabrak bahuku, buku-bukunya berjatuhan, wajahnya semerah kepiting rebus, lalu menyemburkan kumur-kumur dari bibirnya?"

Beberapa murid tertawa cekikikan. Terence Higgs tertawa. Hermione melemparkan pandangan galak ke arah semuanya.

"Kau sudah di sini sekarang, Malfoy," tukas Ron. "Jangan bawel."

"Jangan apa,Weasley?" tatapnya kepada Ron, mencoba konfrontasi. "Bagaimana jika kau kembali ke perut ibumu saja dan berharap kau dilahirkan saat kau sudah cerdas?"

Hermione mengatupkan rahangnya, mulai merasakan pertanda ini takkan berakhir dengan cepat. Ia sudah hidup bersama mereka selama enam tahun, ia sudah mengenal bagaimana api bisa terpercik dan berkobar dalam hitungan detik.

"Dan kau yakin kau cukup 'pintar'?" dengus Ron.

"Tentu. Aku tidak heran apabila kau tidak sanggup menyimpulkan demikian. Karena kau bego."

"Hentikan," potong Hermione.

"Jika kau berani—"

"Kau bego, Weasley. Semua tahu."

"Oh, demikianlah kata anak kaya manja kesayangan orangtua."

"Hahaha, kaya? Lalu itu salahku kalau keluargamu miskin?"

"Jangan bawa-bawa keluarga—"

"Lihat siapa yang hipokrit hari ini?"

"HEENTIKAAAN!" teriak Hermione lebih keras dari yang diharapkan. Wajah memerah. Napas berat. "Tutup mulut kalian berdua."

Ketua Murid Laki-Laki hanya mendengus. Prefek-prefek lain menggelengkan kepala. Rasa pening menyerang kepala Hermione saat seharusnya ia harus mulai terbiasa dengan semua ini.

Demi Merlin, satu tahun sebagai prefek seharusnya sudah cukup lama untuk membiasakan diri. Apalagi enam tahun sudah berlalu. Namun, saat itu ia menyadari sepenuhnya bahwa mungkin seumur hidup ia takkan pernah terbiasa dengan semua konfrontasi ini. Yang diinginkannya hanyalah jalan menunju ambisinya berjalan mulus. Ketua Murid Perempuan. Ia tahu ia telah menggenggam hati setengah dari jumlah para profesor. Tak ada anak perempuan lain yang dapat menandingi popularitasnya. Kecerdasannya. Ia dikatakan murid terpintar dalam generasinya bukan tanpa alasan. Tinggal selangkah lagi untuk memperoleh jabatan itu apabila segalanya tiada hambatan. Namun, ternyata 'tiada hambatan' keinginan yang sulit sekali.

Draco Malfoy telah menjadi bisul di pantat secara permanen. Ia takkan diam saja apabila rapat dipimpin oleh Hermione yang dimintai bantuan ketua murid dan para guru. Tentu saja pemuda itu takkan diam saja. Tak ada dalam kamusnya untuk tunduk kepada Gryffindor. Kepada 'darah lumpur'. Maka di sini Terrence Higgs pun nyaris tiada guna sebagai Ketua Murid Laki-Laki. Ia seorang Slytherin. Slytherin tidak akan berpihak pada orang lain selain asramanya sendiri. Ia takkan berani menghalangi atau menegur Malfoy. Ia mengekor Draco Malfoy dan Draco Malfoy membenci Gryffindor sepenuh hati.

Maka di sinilah mereka. Hermione, Ron, Zabini dan Malfoy memperlihatkan pertahanan terbaik mereka dalam setiap pergelaran rapat yang ada. Prefek lain hanya penonton karena segalanya menjadi begitu menyedihkan.

Hermione berdeham untuk mengembalikan kewibawaannya.

"Okee…," menghela napas.

Malfoy mengalihkan pandangan sambil mendengus.

"Well, terimakasih, rapat sudah berjalan baik, Granger, akan aku ambil alih dari sini," ujar Terrence Higgs dengan nada mengejek. Lalu ia mengalihkan pandangan ke anggota prefek lain, "Lakukan saja tugas kalian dengan baik."

Hermione berdeham lagi. "Ya, dan barangkali ada pertanyaan—"

"Rapat bubar," Higgs memotong.

Brengsek.

Hermione mengatupkan rahangnya rapat. Semua tahu pasti ia sedang dipermalukan. Pipinya terasa panas lagi—apalagi melihat seringai di wajah Malfoy. Namun, ia tidak mengatakan dan melakukan apapun selain membereskan tumpukan berkas di atas mejanya dan menatap para prefek membubarkan diri. Rasa lelah mendadak menggelayuti pundaknya.

Ron bergabung dengan Hermione dan Hermione memotongnya sebelum pemuda itu sempat berkata.

"Lebih baik diam saja," sahutnya menumpuk berkasnya yang terakhir lalu menyumpalkannya ke dalam tas.

"Aku belum mengatakan—"

"Apapun yang ingin kau katakan, telan lagi saja."

"Aku marah, Hermione."

"Aku bisa melihatnya. Aku nyaris bisa melihat asap dari kepalamu."

Jeda sesaat dan kedamaian nyatanya hanya berlangsung beberapa detik. Ron tidak dapat menahan diri lebih lama lagi dan memutuskan untuk mengeluarkan sumpah serapahnya. "Bajingan," tukas pemuda itu lagi.

Hermione tidak mengatakan apapun selain menyampirkan tasnya ke bahu, meninggalkan ruang kelas dan menelan semua rasa keki dalam hatinya.

"Aku harap ia terbakar di neraka."

"Ron," tegurnya, walaupun ia nyaris tidak memiliki tenaga lagi.

"Setelah peristiwa racun Scarpyon kemarin, takkan ada yang bisa membuatku mendoakan keselamatannya."

Hermione memperhatikan kulit di punggung tangan Ron. Yang diingatnya kemarin sore di sana sisa-sisa kutil dari racun Scarpyon masih memerah. "Sudah membaik?"

"Yeah. Tetap saja tidak membuat Malfoy sesuci Santa Claus."

"Tapi berhentilah menggerutu."

"Aku tidak menggerutu."

"Kau baru saja melakukannya."

Pembicaraan ini tidak akan mengarah ke manapun. Jika ini diteruskan, ini takkan berakhir hingga kiamat menjelang. Maka Hermione memutuskan untuk tidak menyiramnya lagi dengan bensin dan padam dengan sendirinya.

Mereka tiba di depan lukisan Nyonya Gemuk lalu Hermione mengucapkan kata kuncinya ("Genolus busuk."). Seperti kemarin, mereka berdua tertahan sebentar di depan sana.

Dalam beberapa hari terakhir Nyonya Gemuk membuang-buang waktu para murid dengan memaksakan mereka mendengarkan suaranya saat bernyanyi. Masalahnya tidak semua memandangnya sebagai suatu seni bernilai tinggi melainkan melihatnya sebagai upaya pemecah gendang telinga. Lengkingannya seakan ingin mengalahkan empat oktaf nada teriakan Peeves dan mereka baru bisa lolos setelah mengerahkan beberapa upaya ("Genolus busuk! Oh Merlin, genolus busuk!").

Setibanya di dalam, mereka merasakan hawa yang familier. Ruang rekreasi Gryffindor selalu terasa nyaman dan hangat, namun tidak terlalu ramai saat itu. Warna merah mendominasi ruangan. Cahaya hanya berasal dari perapian dan obor sihir. Sofa-sofa yang terjejer di depan perapian diduduki beberapa anak kelas lima. Banyak dari mereka yang sudah turun ke Aula Besar untuk makan malam dan hanya ada beberapa anak tingkat tiga yang sibuk mengerjakan PR di sudut ruangan. Seamus dan Dean duduk di dekat jendela sambil bermain catur, sementara Neville menonton mereka.

Harry duduk di depan perapian sambil menggosok Firebolt dengan kain, walaupun sudah tampak bersih mengilap. Pemuda itu tak menyadari kedatangan mereka. Matanya fokus ke sapu seperti menatap kekasih yang tersayang.

"Mate," sahut Ron.

Harry hanya menoleh singkat. "Hei."

Hermione melambaikan singkat kepada Seamus dan Dean sebelum menghempaskan diri ke atas sofa di samping Harry.

"Bantai dia, Harry," kata Ron kemudian.

"Huh?" Harry hanya melongo mencerna kata-kata Ron yang tanpa introduksi itu, namun Hermione langsung tahu pembicaraan ini akan mengarah ke mana.

"Bantai dia."

Pengulangan itu tak membantu apapun. "Bantai siapa?"

"Dia membicarakan Malfoy," sahut Hermione sambil mengambil buku pelajaran dari dalam tasnya.

Harry mulai paham. "Dia brengsek lagi?" dengusnya. Pemuda itu mengenal baik rutinitas yang terjadi seusai rapat Prefek. Semua konflik dan situasi.

"Please, jangan hiraukan dia, Harry," sahut Hermione membuka halaman 231. "Aku sangat menginginkan ketenangan malam ini."

"Kalahkan Slytherin telak."

Harry tidak menghiraukannya, melanjutkan menggosok sapunya dengan tenang.

"Ron," tegur Hermione.

"Ambil Snitch itu sebelum dia dapat berkedip," kata Ron membandel. "Aku tahu kau bisa melakukannya semudah kencing di pagi hari."

Harry tertawa pelan.

"Jangan biarkan—"

"Pasti, Ron. Sabar," tukas Harry. "Kini kau menggangguku."

"Bagus," sahut Ron.

Harry menatap Hermione lalu memutar bola matanya.

"Jadi," kini giliran Hermione bersuara di sela-sela membaca barisan kata dan kalimat dalam buku pelajarannya. "bagaimana latihanmu?"

"Aku rasa harus melakukan tes kualifikasi anggota Quidditch secepatnya. Slytherin membuatku waspada."

"Kau pasti bisa menang," sahutnya optimis. "Kau Harry Potter. Anak-yang-bertahan-hidup. Seeker termuda abad ini. Pemenang Turnamen Triwizard."

"Kau belum menyebutkan aku anak-yang-hidup-dan-diuber-uber-terus-Kau-Tahu-Siapa-dan-mungkin-besok-mati," ujarnya.

"Harry," tegur Hermione, "jangan paranoid."

"Hanya berpikir realistis," ujar Harry datar sembari mengemas peralatan perawatan sapu miliknya. "Situasi makin runyam dan kau tahu itu. Kau sudah dengar Voldemort menyerang lagi di utara London? Mereka melayangkan Tanda Kegelapan," katanya suram.

"Ya, aku baca di Daily Prophet sebelum makan siang."

"Dan tadi aku mendengar ada yang mengundurkan diri lagi dari Hogwarts ngomong-ngomong."

"Quirke?" tanya Ron.

"Entahlah siapa— anak Ravenclaw."

"Ya, Orla Quirke dari Ravenclaw," sahut Hermione. "Kami mendengarnya di rapat prefek tadi."

"Sudah dua murid pergi dalam seminggu ini," dengus Harry.

"Tiga."

"Oh well- semakin sepi then."

"Kita akan baik-baik saja. Yang mengundurkan diri hanya orang-orang paranoid yang meragukan kemampuan Dumbledore," sambung Ron sambil menyodok-nyodok kayu di tepi perapian dengan kakinya. "Aku lebih mengkhawatirkan Malfoy. Dia baru dapat sapu baru."

Yang diinginkan Hermione sekarang yaitu berhenti kembali membicarakan pemuda keparat itu. Ada banyak yang ingin dilakukannya sekarang selain mengingatkannya lagi kepada kejengkelannya sore tadi. Ia tahu jika kejengkelan itu tidak pernah menghilang dengan cepat, maka sebaiknya jangan mulai dibahas.

"Ya ampun, Ron," geram Hermione nyaris tidak dapat menahan kekesalannya lagi. "Sampai kapan kau mau membicarakannya?"

"Yeah, jangan membicarakannya. Memikirkan Windflash membuatku makin waspada," sahut Harry.

"Windflash?"

"Sapu baru bocah itu, Hermione," tukas Ron dengan pandangan seolah tidak mengetahui nama sapu terbaru dalam dunia perquidditchan merupakan aib terbesar di dunia.

"Oh."

"Kalahkan dia, Harry. Aku tahu kau bisa."

"Ron," tegurnya lagi.

"Aku ingin mereka kalah telak."

"Harry pasti mengalahkan Malfoy, Ron. Sekarang diamlah."

"Jangan biarkan dia—"

"DIAAAMM!"


"Lebih cepat lagi!"

Draco berseru dari atas sapu terbangnya sambil menatap semua anggota timnya bermanufer. Semua bergerak cepat dan hanya terlihat sekelebatan-sekelebatan buram di udara. Ya, inilah tim terbaik yang pernah dimiliki Slytherin. Sudah enam tahun mereka menunggu untuk memiliki tim seperti ini. Semua diletakkan pada posisi yang tepat dengan masing-masing keahlian. Semua dibekali dengan sapu-sapu yang pantas. Ini sempurna. Mereka sudah terlalu lama dikalahkan oleh Gryffindor, tapi tidak tahun ini.

Ya, tidak tahun ini.

"Oper terus!" seru pemuda itu kepada para Chaser. "Jangan biarkan Quaffle berada di tangan kalian lama-lama."

Mereka menginginkan kemenangan ini. Ia menginginkan kemenangan ini. Sudah terlalu lama ia berada dalam bayang-bayang kekalahan dan rasanya seperti manisnya permen lolipon yang tak mampu kau miliki.

"Gibb!" tukas Draco. "Sudah aku katakan untuk memberikan umpan singkat. Umpan singkat!"

"'Dengar, Gibbs, umpan singkat!'" Combs membeo Malfoy, mengolok seorang chaser mereka.

"Diam, Combs," tukas si Chaser.

Stuart Combs terkekeh lalu melajukan sapunya. Mereka kembali tenggelam dalam beratnya latihan.

Draco sudah menelan semua gosip bahwa Slytherin tidak pernah menang lagi setelah ia bergabung. Atau gosip bahwa ia menjadi Kapten Quidditch hanya berkat nama besar keluarga dan tambahan enam buah sapu Nimbus Dua Ribu Satu. Ia menelannya dengan pahit. Tapi ia tahu, semua akan berubah tahun ini. Orang-orang itu akan menelan semua kata-kata yang pernah mereka ucapkan dan sumpalkan lagi ke dalam pantat mereka.

Mereka sering mendiskusikan strategi Gryffindor. Cecurut-cecurut itu selalu mengandalkan strategi klasik Quidditch: mereka pasti menitikberatkan ke posisi Seeker—yang berarti kepada Santo Potter. Semua Gryffindor pasti berharap kepala codet itu segera menangkap Snitch begitu bola itu dilepas, sehingga mereka dapat memenangkan pertandingan dengan tambahan 150 angka.

Tsk, maumu.

Betapa inginnya mereka berusaha mematahkan strategi itu bagaimanapun caranya. Draco bahkan mengubah posisi menjadi Chaser. Semua pemain cepat Slytherin dialihkan ke Chaser. Tugas mereka membaca situasi kapan harus bergerak, siapa mengoper ke siapa, atau ke mana harus bergerak secepat mungkin. Yeah, ini bukan lagi permainan Seeker. Ia bersumpah ini akan menjadi permainan Chaser.

Draco terbang dengan melewati para pemain cadangan yang dipasang sebagai lawan latihan. Sapu yang hebat. Windflash. Begitu cepat, sehingga deretan bangku di stadion hanya berupa bayangan warna-warni kabur ketika ia melewatinya dengan berkecepatan penuh.

Windflash tidak mampu mengalahkan Firebolt, tapi tidak ada yang pernah bilang Firebolt dapat mengalahkannya. Ia sudah lama menunggu sapu seperti itu karena ia takkan sudi membeli sapu yang sama dengan Potter. Ia ingat betapa bahagianya ketika melihat sapu itu pertama kali di etalase. "Aku harus memilikinya," katanya saat ini. Beberapa hari kemudian ia pun mendapatkannya.

"Langit sudah gelap, Kapt," kata Joe Cole, Seeker Slytherin, di sela engah-engahnya. "Aku lapar berat."

Draco mengelap keringat dari wajahnya. "Sebentar lagi."

Tapi sepertinya Joe benar, semua anggota timnya sudah kepayahan. Namun, ini belum cukup, brengsek, batin Draco. Kekalahannya tahun lalu sungguh menyakitkan seperti duri yang tertelan dalam perut. Ia ingin sekali menang tahun ini.

"Setengah jam," sahutnya kepayahan. Nafasnya pun sudah terengah-engah.

Mereka melakukan sapunya lagi. Quaffle melayang-layang lagi dari tangan ke tangan. Bludger terhantam dengan kekuatan penuh. Seruan-seruan memenuhi udara. Dan keringat-keringat bercucuran di atas sana.

Banyak penonton menonton latihan mereka. Mayoritas para gadis. Setengahnya Draco tahu mereka sedang menonton dirinyasang Kapten dalam jubah Quidditch Slytherin berwarna hijau—yang menikmati melihatnya berambut basah oleh keringat, berhias memar-memar kecil, noda-noda tanah. Terengah-engah. Hal-hal yang membuat mereka gila.

Menggelikan.

Anak Gryffindor tidak mungkin berada di sana untuk mematai strategi mereka. Harga diri mereka terlalu tinggi untuk mengadaptasi konsep 'curang'. Oleh karena itu Draco tidak pernah terlalu khawatir.

Setengah jam akhirnya berlalu dan saat itu ia merasa energi benar-benar telah terkuras habis. Mereka duduk-duduk sejenak di atas rumput dan melepas keletihan. Setiap sendi meneriakkan lelah. Akhirnya beberapa saat kemudian pemuda itu beranjak ke dalam kastil tanpa berganti dahulu di ruang ganti Quidditch. Siapa yang ingin melewatkan makan malam saat perut sedang memberontak seperti ini, hm? Mungkin ia akan mandi di dalam kamar mandi prefek. Baknya lebih nyaman. Banyak pilihan aroma terapi busa sabun yang menenangkan. Dan yang terpenting, tak ada orang lain yang mengganggu.

Draco memasuki kastil sambil menenteng sapu. Jejak tapak kaki bernoda tanah tertinggal di atas lantai ketika melangkah. Ia tahu ia akan langsung mendapatkan masalah apabila bertemu dengan Filch. Tapi rasanya ia terlalu lelah untuk peduli.

Ia melirik Aula Besar. Langit-langit aula menggambarkan awan mendung. Obor-obor menyala menerangi ruangan. Deretan meja sudah dipenuhi dengan berbagai makanan. Denting sendok, garpu dan pisau terdengar di tiap sudut. Bangku-bangku aula hampir dipenuhi anak-anak yang kelaparan.

Langkahnya terhenti ketika aroma makanan menggodanya. Mendadak perutnya berbunyi. Pemuda itu melintasi deretan meja panjang dan duduk bergabung dengan teman-teman Slytherinnya.

"Malfoy," sapa Greg sebagai pengganti 'hai'.

"Kau terlihat menyedihkan," timpal Blaise. Matanya memandang seluruh kemasan sang kapten saat itu.

"Aku lapar."

Draco memindai tumpukan makanan di atas meja. Salmon panggang, babi goreng dengan tomat dan rosemary, kentang tumbuk dan lain-lain yang semuanya tampak menggugah selera. Ia menelan ludahnya dan perutnya semakin bergejolak. Ia menghabiskan satu piala penuh sari jeruk segar sebagai permulaan. Lalu diambilnya sebuah garpu dan memindahkan sepotong babi panggang ke atas piringnya. Tangan kotor menjadi urusan belakangan saat itu.

"…akhirnya ia bertanya, 'Lihat tiang listrik dekat jalur kereta itu?'" terdengar Vincent berkelakar kepada Slytherin lainnya.

"Aku tahu cerita ini," Greg menyahut—yang segera di-ssttt-kan bersama oleh lainnya.

"Vampir satu dan kedua menjawab, 'Ya, kami melihatnya.' Vampir ketiga berkata, 'Aku habis membenturnya!'"

Blaise tertawa terbahak-bahak sampai jus yang diminumnya nyaris menyembur dari mulutnya. Draco tertawa lalu melempar serbet kepada pemuda itu ("Geez- Blaise, bersihkan mulutmu..").

Pada malam seperti ini hampir seluruh murid tumpah di Aula Besar. Tentu saja karena di sini satu-satunya tempat untuk memadamkan kelaparan. Tidak akan heran apabila ruangan itu dipenuhi riuh dan suara denting perkakas makan yang sedang menari. Suara tawa terdengar pula di sana-sini.

Maka tak heran tak jauh dari meja mereka juga terdengar tawa dari meja Gryffindor. Gumpalan rambut hitam, merah dan coklat itu mencolok di antara murid Gryffindor yang lain. Santo Potter, salah satu stok anak keluarga Weasel dan darah lumpur Granger. Mereka seperti hama. Mereka beredar di mana-mana. Yeah, tidak heran. Tapi, suara-suara itu tidak pernah gagal mengganggu gendang telinganya.

Draco mendengus.

"Kau harus melihat Hermione Granger kemarin," sahut Blaise di sebelahnya sembari melahap sebutir apel.

"Huh?" Memasukkan sepotong daging babi ke mulutnya.

"Rumah kaca sedang panas. Setiap orang merasa gerah," ujar pemuda itu sambil mengunyah. "Kemudian dia melepas kancing kemejanya yang paling atas... lalu yang kedua…"

Draco mengernyitkan dahi. "Dan apa hubungannya denganku?"

"Dia hot."

"Jangan membuatku tersedak," lalu meminum dari pialanya.

"Dia pasti sudah tidak perawan lagi," ujar Blaise random kemudian.

"Kutu buku dan kebanggaan-seluruh-Hogwart seperti dirinya?" gumam Draco dalam tawa. "Kau bercanda."

Blaise mengangkat bahu. "Kenapa tidak? Dia sudah dewasa. Semua orang dewasa ingin merasakannya. Dia pasti menyadari bahwa banyak laki-laki yang putus asa dan menatap penuh hasrat ke arahnya," ujarnya lagi. "Jadi, Weasley atau Potter? Atau Krum?"

"Sebenarnya bukan urusanku."

"Threesome mungkin," ia menjawabnya sendiri. "Atau Weasley yang tampak seperti anak anjing yang hilang bila sedang bersamanya."

"Dia masih perawan."

"Barangkali kau benar. Radarmu selalu tepat."

"Demi Salazar, kau menyedihkan, Zabs," dengusnya dalam tawa. "Dia darah lumpur."

Ia benci untuk mengatakannya, tapi darah lumpur itu entah bagaimana telah berhasil menggoda pandangan para pemuda. Vince dan Greg sering membuat lelucon seksual mengenai dirinya-yang-tegang dalam beberapa kesempatan. Ketika roknya tersingkap karena angin pada pelajaran Pemeliharaan Satwa Gaib. Ketika ia menunduk untuk mengambil pena bulu. Demi Salazar, dari berbagai sudut pandang ini terdengar salah sekali.

Tak lama kemudian terlihat Pansy dan Millicent menghampiri mereka. Ia duduk di sebelah Draco lalu memberikan komentar singkat, "Kau bau keringat," namun gadis itu tetap duduk di sebelahnya.

Pansy Parkinson memoles lip balm dari dalam saku seragamnya. Ia memang selalu memperhatikan penampilan. Ia cukup cantik dan ia tahu bagaimana merias diri. Peralatan konsmetiknya selalu lebih berat dibandingkan buku-buku pelajaran dalam tasnya. Saat ini pun ia langsung memamerkan busana yang yang baru dibelinya dan Millie di Paris akhir pekan kemarin saat mereka diam-diam pergi ke Hogmaede lalu menyambung portkey dari London ke Paris.

Sementara itu kini Vincent dan Greg sedang bergantian melontarkan lelucon. Draco terlalu lelah untuk menyumbang cerita, maka hanya membiarkan mereka menjadi pusat perhatian. Millie tertawa paling keras. Lusinan set mata langsung mengerutkan kening melirik ke meja mereka. Segalanya semakin riuh dengan lempar-lemparan anggur di antara mereka. Ada kejar-kejaran antara Blaise dan Vincent. Draco tertawa memandang mereka berlari sampai keluar aula.

Lalu mata kelabunya tak sengaja menangkap sosok itu.

Hermione Granger.

Gadis itu tak menyadari pandangan Draco karena sibuk dengan kawan-kawan singanya. Saat itu Draco pun mendengus dan langsung mengalihkan pandangannya. Perutnya langsung terasa muak.


Note:

Gue bikin sejumlah OC tim Quidditch Slytherin yang sifatnya hanya supporting character (karena gue males buka buku HP lagi untuk mencari satu-satu murid yang tinggal di Hogwarts). Well, here they are : Will Harper (Seeker), Joe Cole (Keeper), David Gibb, Stuart Combs (Chaser), Hayden Grant, Michael Griffin (Beater).