-xx-

Kisah Kita

A Naruto fanfiction by Mrs Shiranui

Naruto © Masashi Kishimoto

Bab 19

-xx-

Warning!

OC, OoC-ness, Non-Uchiha Massacre, AU-ish, romance gombal, etc…

-xx-

Suara dengung pembicaraan yang dilakukan dalam suara rendah langsung terhenti begitu suara ketukan pelan terdengar dari arah pintu ruang berbentuk semi oval itu. Wanita cantik berambut pirang yang duduk di belakang meja utama mengalihkan pandangannya dari selembar gulungan laporan misi yang sedang didiskusikannya bersama salah satu shinobi-nya. Begitu pula dengan sang shinobi yang kini menegakkan diri dan menoleh ke arah pintu.

"Masuk!" perintah Sang Hokage tegas.

Pintu kayu ruang kerja Hokage itu berayun terbuka. Seorang kunoichi medis berambut merah muda melangkah masuk.

"Anda memanggil saya, Shi—" Kata-kata sang kunoichi mendadak terputus begitu pandangannya bersirobok dengan sepasang mata gelap shinobi yang tengah berdiri di depan meja kerja Tsunade.

Sakura segera merasakan gelombang kerinduan menyapu dirinya. Baru beberapa saat yang lalu dia memikirkan Tenzou dan bertanya-tanya kapan pria itu akan pulang dari misi –dan sekarang, kekasihnya itu ada di sana. Di depan matanya, tengah menatapnya dengan seulas senyum dan sorot mata hangat.

Sakura dengan susah payah menahan dirinya melakukan hal-hal gila seperti melompat memeluk pria itu di depan Hokage dan memaksa dirinya tetap bersikap profesional. Dengan dehaman kecil, gadis itu segera memusatkan kembali perhatiannya pada sang mentor.

"Anda memanggil saya, Shishou?"

Tsunade yang menyadari kegugupan tersirat dalam suara sang murid, mengerling Tenzou sebelum berkata tenang, "Aa. Masuk dan tutup pintunya, Sakura. Aku perlu bicara padamu sebentar, setelah itu kau bebas melakukan apa pun dengan Yamato."

Wajah Sakura seketika memerah, tapi gadis itu tidak mengatakan apa pun dan segera memenuhi perintah gurunya tersebut. Sementara di samping meja Sang Hokage, Tonton menguik senang dalam gendongan Shizune yang tampak menahan tawa. Tenzou sendiri tampak malu, tapi juga tak berkomentar apa-apa—hanya meringis.

"Sekarang anggap saja dia tidak ada di sini, supaya kau bisa lebih berkonsentrasi," Tsunade mengibaskan tangan ke arah Yamato setelah Sakura mendekat ke mejanya, semakin membuat wajah gadis itu merah padam. Mata cokelat madu wanita itu berkilat.

"Tsunade-sama!"

Tsunade mengabaikan teguran Shizune yang tampak malu, meraih sebuah gulungan dari dalam laci meja kerjanya. "Ada misi untukmu, Sakura," beritahunya, seraya mengulurkan gulungan itu pada Sakura yang segera menerimanya. "Suna meminta bantuan tenaga instruktur untuk ninja medis dari Konoha," ujar Tsunade melanjutkan, sementara muridnya mempelajari detail misi yang tertera dalam gulungan—yang rupanya ditulis langsung oleh Kazekage, Sabaku no Gaara, sendiri.

"Mereka kekurangan orang akibat konflik yang terjadi di Kaze no Kuni akhir-akhir ini. Gaara menginginkan penambahan personel untuk ninja medis, tapi masalahnya mereka juga kekurangan instruktur. Sebagai sekutu terdekat Suna sekarang ini, aku ingin memberikan bantuan yang terbaik—seseorang yang tidak hanya memiliki kemampuan dan pengetahuan yang luas tentang teknik pengobatan, fuinjutsu, obat-obatan herbal dan racun, tetapi juga berkompeten dalam pertarungan. Dan aku memilihmu, Haruno Sakura, untuk ditempatkan di Sunagakure no Sato sebagai instruktur iryoo-nin sementara."

Sakura terdiam sementara mencerna informasi tersebut. Matanya terpacang pada deretan huruf di atas lembar gulungan yang terbuka tanpa benar-benar membacanya. "Berapa lama, Shishou?" ia bertanya kemudian, ragu-ragu mengangkat wajahnya.

Sang Hokage menautkan kedua tangannya di bawah dagu, menatap muridnya. "Selama yang dibutuhkan. Bisa hanya beberapa minggu, atau bahkan berbulan-bulan."

Sakura menahan diri untuk tidak melirik Yamato. Memang bukan pertama kali bagi mereka harus terpisah karena misi, tetapi memikirkan harus tinggal di Suna dalam waktu yang lama membuat hatinya terasa dibebani beban berat. Gadis itu bertanya-tanya apakah Tenzou juga merasakan hal yang sama setiap kali diharuskan meninggalkan desa—meninggalkan dirinya?

"Yamato sudah memberitahuku mengenai niat kalian untuk menikah dan dia tidak keberatan menunda untuk sementara setelah kau menyelesaikan misimu," tambah Tsunade seraya mengerling Yamato. Di sampingnya, Tonton menguik lagi di pelukan Shizune yang tersenyum penuh arti.

Kedua mata Sakura membulat, menatap sang mentor dengan terkejut. Selama beberapa saat dia seakan kehilangan kata-kata. Wajahnya merona merah ketika dia akhirnya menoleh menatap pria yang belum lama ini melamarnya. Tenzou juga bersemu seperti dirinya kendati tampaknya berusaha untuk tetap bersikap tenang. Pria itu menunduk, tersenyum hangat pada Sakura, lalu mengangguk kecil sebagai pembenaran atas apa yang disampaikan Tsunade sebelumnya.

Namun bukan itu yang membuat Sakura begitu terkejut, melainkan keberanian Yamato mengungkapkan niatnya menikahi dirinya pada Tsunade secara langsung. Rumor tentang pinangan pria itu pada murid Sang Hokage memang sudah tersebar ke seluruh penjuru desa dan tak diragukan lagi Tsunade sudah mendengarnya juga—terimakasih pada Yamanaka Ino untuk itu. Tetapi memberitahu Hokage secara langsung, itu adalah hal lain.

Tsunade adalah mentor Sakura, orang yang sudah menuntunnya menapaki jalannya sekarang sebagai seorang Iryoo-nin. Wanita itu sudah seperti keluarga, pengganti orangtua yang sudah tak dia miliki lagi. Dan meminangnya langsung pada Tsunade, menunjukkan bahwa Yamato tidak main-main dengan niatnya.

"Kenapa kau tidak memberitahuku sejak awal, Sakura?" suara tegas Tsunade mengembalikan perhatian Sakura pada Sang Hokage.

"A—Ah… Etto…" Sakura tergagap. Wajahnya yang sudah memerah semakin memanas. Jujur saja belum pernah terlintas dalam pikirannya untuk memberitahu Tsunade tentang pinangan Yamato yang begitu tiba-tiba. Dia sangat bahagia sehingga tidak memikirkan hal lain selain menunggu kepulangan pria itu.

"Haah… Sudahlah," Tsunade mengibaskan tangannya dengan sikap tak sabar, meskipun senyum tetap tergambar di bibirnya, "Yang penting aku sudah memberikan izinku dan kalian boleh menikah begitu Sakura sudah menyelesaikan misi yang kuberikan. Kuharap kalian bisa bersabar sampai saat itu—kalau kalian mengerti maksudku."

Kata-kata Tsunade kontan membuat suasana menjadi kikuk. Yamato mengeluarkan tawa canggung seraya menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. Sementara Sakura wajahnya sudah sangat memerah.

"Tsunade-sama!"

Shizune menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan jahil Sang Hokage. Tonton menguik pelan.

"Ano… Shishou," Sakura segera menyela suasana canggung itu dan kembali bersikap profesional, "Mengenai misiku ke Suna, apakah aku akan berangkat sendiri?—Maksudku, apakah aku boleh membawa seseorang?"

"Maksudmu kau ingin Yamato ikut denganmu?" goda Sang Hokage.

Sakura menahan diri untuk tidak termakan godaan mentornya. "Maksudku," katanya sabar, "Bolehkan aku mengajak Shiori?"

"Kau boleh mengajaknya, itu pun jika Naruto mengizinkan Shiori membatalkan keikutsertaannya dalam ujian Chunnin. Kau harus ingat bahwa gadis itu bukan hanya muridmu, Sakura. Dia masih berada di bawah bimbingan Uzumaki Naruto."

"Ah…" Sakura mengangguk paham, berusaha untuk tidak terlihat terlalu kecewa. Lagipula dia memang tidak bisa membawa gadis Gennin itu bersamanya. Shiori sudah sangat menantikan ujian ini, tidak mungkin Sakura sampai hati mengorbankan gadis itu demi keinginannya.

"Kau tidak perlu khawatir, Sakura," kata Tsunade kemudian, "Secara teknis ini memang misi tunggal untukmu, tetapi kau tidak akan pergi ke Suna sendirian. Kau akan pergi sebagai tim empat orang. Mereka bertiga—"

Sakura terkesiap begitu merasakan kehadiran tiba-tiba sosok-sosok lain di belakangnya. Serta-merta dia menoleh dan mendapati tiga sosok tegap berseragam ANBU sudah berdiri di sana. Topeng porselen bermotif binatang menutupi wajah, menyembunyikan identitas mereka sebagai pasukan rahasia yang bekerja langsung di bawah komando Hokage. Meski begitu, ketiga sosok itu tampak tidak asing bagi Sakura. Terutama…

Kedua matanya membulat. Sakura merasakan hatinya mencelos.

"—akan pergi bersamamu. Buka topeng kalian!" perintah Tsunade tegas pada ketiga ANBU.

Mengikuti perintah Sang Hokage, ketiga sosok ANBU tersebut membuka topeng masing-masing—dan segera mengkonfirmasi ketakutan Sakura.

Berdiri di sisi paling kiri di barisan kecil itu, adalah kakak sepupu Hinata, Hyuuga Neji. Sepasang mata keperakannya menatap lurus pada Sang Hokage, siap menerima perintah. Di sebelahnya, adalah mantan anggota ANBU divisi Root yang beberapa tahun belakangan sempat ditempatkan dalam tim yang sama dengan Sakura—Sai. Shinobi yang juga seorang seniman itu mengerling padanya, mengulas senyum simpul.

Lalu dia… Orang yang paling tak ingin Sakura temui sekarang.

Uchiha Sasuke.

Sasuke sama sekali tidak menoleh ataupun melirik padanya. Bahkan pria itu tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia menyadari keberadaan Sakura di sana. Tatapan lurus ke depan. Kaku. Pucat. Seperti sebuah boneka porselen yang sangat tampan—dan dingin.

Oh, Kami…

Sakura merasakan firasat yang tidak enak mengenai ini. Dia mengerling Yamato cemas, ingin tahu reaksi calon suaminya itu mengenai orang yang dipilih Tsunade untuk menyertainya ke Suna. Yamato tampak sedikit tegang. Mata gelapnya terpacang pada Sasuke selama beberapa saat sebelum berpaling. Meski begitu, Yamato sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda terkejut dengan kehadiran Uchiha muda itu di sana. Tampaknya Tsunade juga telah membicarakan ini sebelumnya dengan Yamato.

"Ini adalah misi non-ANBU," kata-kata Tsunade memaksa Sakura kembali memusatkan perhatian pada Sang Hokage. Wanita berambut pirang itu mengulurkan sebuah gulungan tersegel lain sementara Hyuuga Neji melangkah mendekati meja kerjanya. "Sebagai kapten, kau tahu apa harus kalian lakukan, Hyuuga Neji. Semuanya ada di gulungan itu. Laporkan semua yang kalian temukan padaku—juga pada Kazekage. Usahakan jangan sampai terjadi konflik yang tidak perlu."

"Saya mengerti, Godaime-sama," Neji menyahut, mengambil gulungan yang diulurkan padanya, lalu menyelipkannya dengan aman di kantung senjata.

"Sakura," Tsunade kembali menatap muridnya tajam. "Ini memang di luar tugas resmimu, tapi kau harus membantu setiap kali mereka membutuhkan bantuanmu. Kau mengerti? Tidak ada pengecualian."

"H—Hai'!"

"Baiklah," Tsunade menarik napas panjang, memandang satu persatu wajah personel tim yang baru dibentuknya. "Aku harap kalian berempat bisa bekerja sama dengan baik. Aku tidak menolelir kegagalan dalam misi ini."

"Hai!"

.

.

"Sejak tadi saya bertanya-tanya, Tsunade-sama," Shizune memecah keheningan setelah para shinobi itu meninggalkan ruang kerja Hokage.

Tsunade yang sedang menyesap teh hijaunya mendongak memandang asistennya tersebut. Kedua alisnya yang tipis terangkat. "Hm?"

Shizune menurunkan Tonton dari gendongannya. "Apakah ada sesuatu yang sedang Anda rencanakan? Maksudku, menempatkan Sakura dan Uchiha Sasuke dalam satu tim. Bukankah Tsunade-sama sudah tahu kalau—"

"Ya, ya, aku mengerti apa yang kau pikirkan, Shizune," Tsunade menyelanya, menghela napas. Diletakkannya kembali cangkir tehnya yang masih mengepul di atas meja. "Tidak. Aku memang menginginkan Sakura untuk misi ini, dan Uchiha Sasuke," wanita itu menghela napas lagi, "Pemuda malang itu butuh meregangkan otot setelah apa yang terjadi. Dan dia mata-mata yang sempurna, terlepas dari sikapnya yang terkadang emosional."

"Hanya itu?" Shizune memandang atasannya tidak percaya.

"Apa kau bermaksud mengatakan aku berbohong?" Tsunade mendadak terdengar galak.

Shizune berjengit. "Aa—Iie! Aku tidak bermaksud mengatakan itu, Tsunade-sama," dia buru-buru membantah. Bertahun-tahun melewatkan waktu dengan berada di dekat cucu Shodaime itu rupanya tidak membuatnya kebal pada kengerian yang diakibatkan oleh kegalakan Tsunade.

"Aku tidak akan mengintervensi kehidupan pribadi para shinobi-ku," ujar Tsunade kemudian, seraya membelai-belai Tonton yang telah melompat ke pangkuannya. "Lagipula Sakura adalah kunoichi profesional. Aku percaya dia tidak akan mencampuradukkan perasaan pribadi ke dalam misi."

"Tapi…" Shizune tampak ragu sejenak, "Tapi ini adalah Uchiha Sasuke. Dan Sakura…"

"Sudah pernah menjadi rekan satu tim selama bertahun-tahun," sela Tsunade, "Seharusnya tidak sulit bagi mereka untuk kembali beradaptasi sebagai tim. Mereka cukup solid sebelumnya. Dan aku harap kali ini pun begitu."

"Tsunade-sama…"

Tsunade mendengus pelan, menatap asistennya. "Kau seharusnya lebih memercayai imouto-mu, Shizune. Seperti Yamato."

Shizune menurunkan pandangannya. Masih segar dalam ingatannya bagaimana perjuangan adik seperguruannya melewati saat-saat yang sulit, dengan terlalu banyak sakit hati dan air mata—dan itu karena seorang pemuda bernama Uchiha Sasuke. "Saya hanya mengkhawatirkan Sakura."

Tsunade tidak menjawab selama beberapa saat. Dia memutar bangkunya sehingga menghadap langsung ke jendela yang menampakkan pemandangan desa Konoha. Mata cokelat madunya menatap ke langit yang bersih tanpa awan, menerawang. "Sakura sudah bukan gadis kecil lagi. Dia terlalu kuat untuk kita khawatirkan terus-menerus, Shizune."

Tonton menguik pelan di pangkuannya.

.

.

Yamato mengamati Sakura diam-diam dari sudut matanya ketika keduanya menyusuri lorong di menara Hokage. Gadis itu tampak murung. Pandangan matanya menerawang—jelas bagi Yamato bahwa Sakura masih memikirkan misi yang baru saja diterimanya.

Kejadian seperti ini pun tidak seperti yang dibayangkan Yamato saat bertemu kembali dengan Sakura setelah misi yang panjang. Dia terus memikirkannya sepanjang perjalanan ke Konoha: rencananya meminang Sakura secara langsung pada Hokage, kemudian mereka bisa melewatkan waktu bersama-sama merencanakan masa depan. Tapi rupanya yang terjadi di luar perkiraannya. Tsunade memberi misi ke luar desa untuk Sakura praktis segera setelah Yamato meminang gadis itu padanya. Dan Yamato tak bisa berbuat apa-apa selain menerima keputusan Sang Hokage.

"Jangan terlalu dipikirkan," Yamato berkata lembut, berusaha mengalihkan perhatian Sakura dari pemikiran tentang apa pun yang sedang mengganggunya. "Ini bukan misi yang sulit. Kau hanya menjadi instruktur, seperti yang biasa kau lakukan dengan Shiori. Hanya tempatnya saja yang berbeda."

Sakura mengangkat wajahnya memandang Yamato. "Sebenarnya bukan itu—"

"Ini tentang Uchiha Sasuke, kan?" sela Yamato, memberi kekasihnya senyum jenaka. "Kalau kau masih saja memikirkannya padahal aku baru saja pulang dari misi, bisa-bisa nanti aku cemburu."

"Apa kau tidak khawatir?" tanya Sakura cemas.

Yamato menghentikan langkahnya. Dahinya berkerut, pura-pura berpikir keras beberapa saat sebelum kembali tersenyum dan berkata, "Aku baru akan khawatir kalau kau berhenti memikirkanku, Sakura."

Sakura merajuk, "Aku tidak pernah berhenti memikirkanmu. Aku merindukanmu sepanjang waktu, tahu!"

"Kalau begitu, teruslah seperti itu, Sakura," Yamato berkata dengan suaranya yang dalam. Tangannya terulur untuk menyentuh sisi wajah Sakura dengan lembut. Ditatapnya mata emerald gadis itu dalam-dalam. "Pikirkan aku saja, tidak perlu memikirkan yang lain."

"Tenzou-kun…"

Kemudian Yamato mengulurkan tangannya, merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya. "Aku percaya padamu, Saku-koi. Jangan pernah lupakan itu," bisiknya lembut. "Selama kau terus memikirkanku dan aku memikirkanmu, kehadirannya bukanlah ancaman bagi kita. Jadi kau tidak perlu terlalu khawatir. Lakukan tugasmu dengan baik dan ingatlah ada aku yang selalu menunggu kepulanganmu ke Konoha, seperti kau yang selalu menunggu kepulanganku setiap kali aku pergi."

Sakura tertegun mendengar kata-kata kekasihnya itu. Pengalaman pahitnya dengan Sasuke yang pernah nyaris membuatnya kehilangan Yamato benar-benar telah membuat gadis itu terguncang. Dia tak bisa melupakan pengkhianatan yang telah dilakukannya dan Sakura masih menyalahkan dirinya sendiri karena itu kadang-kadang. Yamato memang memercayainya—dan itu berarti segalanya bagi Sakura—namun gadis itu sulit untuk memercayai dirinya sendiri.

Sakura lantas membalas pelukan Yamato, mencari ketenangan dalam dekapan hangat pria yang amat dirindukannya itu. "Gomenasai…" ucapnya dengan suara teredam.

"Iie," Yamato melepaskan pelukannya, memegangi kedua bahu Sakura sementara dia menatap kedua mata kekasihnya itu. "Jangan meminta maaf. Katakan saja kalau kau akan berusaha sebaik mungkin."

Sakura mengangguk, berusaha tersenyum. "Aku akan berusaha!"

"Ganbatte!" Yamato mengepalkan tangannya, mengangkatnya ke udara.

Sakura mau tak mau tertawa, lalu ikut mengacungkan tinjunya. "Ganbatte!"

"Begitu jauh lebih baik," kata Yamato, tertawa, seraya mengacak-acak rambut merah muda di puncak kepala Sakura. Dan sebelum gadis itu sempat memrotes, Yamato menghapus jarak di antara mereka sekali lagi dengan sebuah kecupan lembut perlahan di dahi. "Dan aku juga merindukanmu sepanjang waktu, Sakura…"

Sakura dapat merasakan wajahnya merona merah. Entah bagaimana, hanya dengan tindakan sesederhana itu dari Yamato, beban di hatinya terangkat sedikit demi sedikit. Digantikan oleh gelombang kasih sayang yang semakin besar terhadap pria itu. Gadis itu pun tersenyum lebih lepas setelahnya.

"Aah… perutku lapar sekali…" Yamato mengusap-usap perutnya ketika mereka melangkah keluar dari menara Hokage. "Makan semangkuk ramen miso yang hangat sepertinya enak. Bagaimana menurutmu?"

"Eeh—bukannya Tenzou-kun tidak suka makan makanan yang berminyak?" Sakura melempar tatapan heran pada kekasihnya itu.

Yamato terkekeh. "Setelah sekian lama bergaul dengan maniak ramen seperti Uzumaki Naruto, sepertinya aku mulai terbiasa dengan makanan berminyak. Ayo."

Dan keduanya pun melenggang bersama menuju Ichiraku Ramen, membicarakan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Konoha selama Yamato absen sambil bergandengan tangan. Sakura tersenyum sepanjang waktu, seolah telah melupakan misi yang harus dijalaninya esok hari.

.

.

Rupanya Ichiraku Ramen sedang penuh ketika mereka tiba di sana. Keberadaan Uzumaki Naruto yang notabene adalah pelanggan tetap di tempat itu bukanlah kejutan besar. Namun rupanya dia tidak sendirian. Hyuuga Hinata, juga ketiga murid genin-nya ada mengisi bangku-bangku di kanan-kirinya.

"Aa! Sakura-sensei!" Shiori-lah yang pertama melihat mereka. Gadis kecil yang juga calon ninja medis asuhan Sakura melambai penuh semangat pada mentornya itu. Sepertinya dia langsung menuruti kata-kata Sakura yang menyuruhnya minta traktir ramen pada Naruto setelah mereka menyudahi latihan tadi.

Kepala semua orang kontan menoleh ke arah Sakura dan Yamato datang. Hinata tersenyum dan menyapa mereka sopan, sementara Naruto langsung berseru dengan mulut penuh ramen, "Sakuwa-cwhan! Yamaho-haihou!"

"Eek—Naruto-sensei jorok!" protes Shiori yang duduk tepat di sebelahnya, tampak malu dengan kelakukan sensei-nya itu.

"Wari wari…" kekeh Naruto setelah menelan ramen dan mengusap bibirnya dengan saputangan yang diulurkan Hinata padanya. Pria itu nyengir pada kedua orang yang baru datang. "Hisashiburi, Yamato-taichou. Baru pulang misi, eh?"

"Aa. Hisashiburi, Naruto-sensei." Yamato berjalan ke belakang Naruto, menepuk pundaknya. "Masih sibuk dengan persiapan ujian Chunin, hm?" Mata gelapnya melirik ketiga murid Naruto penuh minat. "Kudengar dari Tsunade-sama, timmu sukses dengan misi kelas A pertama kalian."

"Begitulah," sahut Naruto, tertawa bangga.

"Bukan cuma sukses saja, Yamato-san!" seru salah satu murid Naruto yang lain, Uchiha Arashi. "Kami sukses BESAR! Dan itu karena ak—Ittai! Shiori-chan, hidoi…" keponakan jauh Uchiha Sasuke itu mengusap-usap kepalanya yang baru saja dijitak rekan perempuannya dengan tangannya yang tak dibebat perban tebal.

"Urusai, Arashi! Kau itu cuma beruntung! Kalau Naruto-sensei tidak menyelamatkan bokongmu di saat terakhir gara-gara kelakuan nekatmu itu, kau pasti sudah kehilangan kepalamu!" omel Shiori, menunjuk tangan Arashi yang terluka.

Arashi mencibirnya. "Kepala itu yang ini, Shiori-chan," selorohnya sambil menunjuk kepalanya dengan tangannya yang sehat, "…bukan yang ini. Huu… katanya iryo-nin. Masa tak bisa membedakan mana tangan mana kepala?"

Wajah Shiori langsung merah padam. "HUUH! ARASHI-NO BAKA!"

"Yare-yare…" Nara Kazuya menghela napas berat seperti kakek-kakek, lalu melanjutkan makannya dengan tenang tanpa menghiraukan kedua rekannya yang mulai bertengkar.

"Ne, ne, Yamato-taichou," kata Naruto, mengabaikan pertengkaran kedua muridnya. Cengirannya melebar saat dia mengerling Sakura yang sudah mengambil tempat di bangku kosong di samping Hinata. "Hinata-chan sudah cerita padaku soal kau dan Sakura-chan. Kuucapkan selamat untuk kalian berdua."

Mendengar itu, Sakura bertukar senyum dengan Hinata. Wajahnya yang merona tampak berseri-seri, sementara Yamato tersenyum pada mantan bawahannya. "Arigatou, Naruto-kun. Kuharap kami juga bisa segera mendapatkan kabar baik yang sama dari kalian berdua."

Kini Hinata yang bersemu merah. Terlebih ketika Naruto berkata penuh percaya diri, "Tenang saja. Tidak akan lama lagi kami akan menyusul dan kalian bisa melihat Uzumaki-Uzumaki kecil berkeliaran di Konoha. Pasti—ini adalah janjiku sebagai seorang pria. Ne, Hinata-chan?"

"Na-Naruto-kun…" Hinata tampak malu. Terutama karena Naruto mengucapkannya keras-keras di depan ketiga muridnya.

Semua yang ada di sana tertawa—termasuk Teuchi dan Ayame.

"Dasar, kau ini. Sama sekali tidak pernah berubah!"

.

.

"Kukira ini sudah cukup." Hyuuga Neji menutup gulungan di atas meja dan menyegelnya, mengakhiri diskusi mereka mengenai misi ke Suna esok hari. Pria pemilik doujutsu Byakugan itu lantas beranjak dari duduknya di bangku salah satu ruangan tertutup di markas jounin dan menatap kedua rekan satu timnya. "Kalian berdua sebaiknya pulang dan beristirahat. Besok kita akan melakukan perjalanan yang cukup jauh, jadi usahakan kondisi kalian baik—terutama kau, Sasuke."

Sasuke yang selama Neji berbicara selalu memandang kosong ke arah jendela, menoleh memandang sang kapten yang balas menatapnya tajam. "Aku baik-baik saja, Neji-taichou," ucapnya datar.

Neji mengabaikan kata-kata Sasuke. "Kau pikir kapan terakhir kali kau pulang ke rumahmu untuk beristirahat, eh? Menjadi ANBU bukan berarti bekerja sepanjang waktu. Bukankah Godaime sudah memberimu libur kemarin?"

"Kurasa kita tidak perlu terlalu khawatir, Neji-san," sela Sai seraya menampilkan senyum palsunya. "Kalau terjadi apa-apa dengan Sasuke-kun, kita punya iryou-nin hebat dalam tim. Dia punya pil prajurit yang kujamin akan membuat Sasuke-kun terjaga seminggu penuh."

"Kita tidak bisa terus-menerus tergantung pada Sakura, Sai," Neji mengingatkan, jelas tidak menangkap gurauan Sai. "Dia punya misi khusus yang harus dijalankan."

Mendengar nama Sakura disebut, Sasuke membeku. Kembali menjalani hari-harinya sebagai shinobi Konoha setelah semua peristiwa itu, Sasuke tidak pernah bermimpi Hokage akan kembali menempatkannya dalam satu tim bersama Haruno Sakura. Terlebih ini adalah misi yang memakan waktu cukup lama, dan itu berarti mau tidak mau mereka akan sering berinteraksi satu sama lain. Pertemuan singkat mereka tadi saja sudah cukup membangkitkan gelombang kepedihan yang ditimbulkan oleh rasa bersalahnya. Sasuke tak bisa membayangkan siksaan macam apa yang akan dia rasakan jika mereka terus bersama-sama.

Dan Sakura… Sasuke tak dapat melupakan cara gadis itu menatapnya tadi. Dan ia entah bagaimana tahu bahwa Sakura belum bisa melupakan apa yang pernah ia lakukan pada gadis itu.

Alih-alih menanggapi kedua rekannya, Sasuke bangkit dari duduknya dan mengumpulkan kembali barang-barangnya. "Kalau kalian sudah selesai mengoceh, sebaiknya aku pergi sekarang," katanya, seraya mengenakan kembali topeng ANBU-nya.

"Sasuke—"

Namun sebelum Neji menyelesaikan apa pun yang ingin dikatakannya, Sasuke sudah melesat pergi.

.

.

Senja sudah turun di langit Konoha ketika akhirnya Sasuke tiba di Distrik Uchiha. Sosoknya yang masih terbalut seragam ANBU hanya terlihat seperti bayangan hitam sementara dia melompat dengan kegesitan luar biasa dari satu atap ke atap yang lain. Akan tetapi sebuah bayangan yang tertangkap oleh matanya membuat langkahnya tiba-tiba terhenti di salah satu atap rumah tak jauh dari tempat tujuannya.

Seorang pemuda berusia tiga belas tahun baru saja muncul sambil berlari-lari kecil dari gerbang utama distrik itu. Pemuda kecil itu mengenakan kaus berkerah tinggi dengan lambang kipas merah di punggungnya, seperti yang umumnya dipakai oleh anak-anak Klan Uchiha. Salah satu lengannya yang terbungkus perban tebal digendongkan ke bahunya. Dan dari hitaiate yang dikenakannya, Sasuke langsung mengenalinya sebagai genin asuhan Naruto.

"Arashi-kun baru pulang?" sapa suara seorang wanita paruh baya yang atap rumahnya kini menjadi tempat Sasuke berpijak.

Pemuda bernama Arashi itu menjawab riang, sembari mendekat arah suara pertama dan menghilang di dalam rumah, "Aa. Konban wa, Uruchi-obaasan!"

"Konban wa…" balas wanita bernama Uchiha Uruchi, dengan nada penuh kasih sayang—seperti yang Sasuke ingat selalu diberikan padanya dan Itachi saat mereka jauh lebih muda dulu. "Ini dia… pesanan ibumu sudah siap."

"Arigatou, Obaasan," ucap Arashi. Dan tak lama kemudian bocah itu muncul lagi dengan membawa sebuah bungkusan kain di pelukannya.

Arashi baru saja melangkah beberapa meter dari kedai senbei itu ketika Sasuke mengeluarkan suara siulan panjang. Pemuda itu berhenti dan menoleh ke sana-kemari, mencari asal suara. Hingga akhirnya dia menoleh ke belakang dan melihat apa yang dia cari. Mata onyx-nya melebar ketika mendapati sosok jangkung ANBU bertopeng memberi isyarat tangan padanya supaya naik ke atap.

Berusaha tetap tenang, Arashi melompat ke atap tempat sang ANBU berada. Mau tak mau dia merasa gugup karena ini adalah kali pertamanya berurusan dengan seorang ANBU—dan biasanya urusan itu tidak berarti baik, apalagi bagi seorang genin seperti dirinya. Bisa gawat urusannya kalau gurunya sampai tahu dia bermasalah dengan seorang ANBU.

"Ano—"

"Uchiha Arashi?" sela Sasuke tajam, membuat pemuda kecil di hadapannya sedikit berjengit. "Genin asuhan Uzumaki Naruto?"

"H—hai'," sahut Arashi takut-takut.

"Ikut aku."

"Eh—" Arashi mengerjap bingung. Namun sebelum dia sempat bertanya lebih jauh, ANBU itu sudah melompat pergi. Mau tak mau, pemuda itu bergegas mengikutinya.

Mereka lalu berhenti di sebuah rumah paling besar di distrik itu. Sasuke melompat turun di halaman belakangnya, sementara Arashi berhenti di dinding pagar yang membatasi halaman tersebut. Matanya terbelalak ngeri ketika menyadari sekelilingnya.

"Apa yang kau lakukan di situ?" kata Sasuke. "Cepat turun."

"Demo, ANBU-san…" sahut Arashi lemah, "Ini rumah Fugaku-sama. Nanti aku bisa dimarahi kalau sembarangan masuk ke situ."

"Turun!" perintah Sasuke tajam, sekali lagi membuat pemuda itu berjengit.

Arashi mengerang. "Hai, hai. Aku akan turun."

Mengalah, dia lantas melompat ke samping sang ANBU, menatapnya agak jengkel. Sampai akhirnya ANBU tersebut membuka topeng yang menutupi wajahnya, Arashi terbelalak, terkejut akan apa yang dilihatnya.

"Sasuke-ojisan?" Arashi tak dapat menahan dirinya berseru.

Sasuke mengeluarkan suara dengusan kecil mencemooh. "Semakin lama kau semakin mirip dengan si Usuratonkachi itu, Arashi. Berisik."

Namun tampaknya Arashi tidak begitu keberatan dengan sindiran pamannya itu. Pemuda itu terlalu bersemangat setelah bertemu dengan salah satu anggota klan yang sangat dia kagumi—bahkan dia sampai melupakan kecemasannya karena telah menyelinap ke halaman belakang rumah pemimpin klan. Dan jelas Arashi tidak peduli pada kenyataan bahwa Uchiha Sasuke baru saja selesai menjalani hukuman karena telah mencoreng nama baik klan.

"A—Ano, Ojisan ada perlu apa denganku?"

Alih-alih menjawab, Sasuke melangkah menuju beranda belakang dan duduk di atas lantai kayu. Dia memberi isyarat pada salah seorang keponakannya itu untuk duduk di sampingnya, sebelum mulai melepaskan kaitan pada sandal ninjanya. "Bagaimana kabar gurumu?" tanyanya setelah beberapa saat diam.

Arashi yang terkejut karena Sasuke tiba-tiba menanyakan gurunya, mengerjap. "Naruto-sensei? Dia baik, bahkan setelah menghabiskan enam mangkuk ramen," sahutnya kemudian, menyeringai mengingat kelakukan gurunya itu—meski begitu, sama sekali tak mengurangi rasa hormatnya terhadap sang jounin-mentor. "Naruto-sensei itu seperti tidak pernah kehabisan energi saja. Luka-luka setelah menjalani misi kelas S sekali pun, tidak menghentikannya mengawasi latihan kami."

Sasuke menatap keponakannya. Sudut bibirnya sedikit terangkat dalam sebuah seringai tipis. Aneh memang. Setelah begitu lama membenci Uzumaki Naruto karena banyaknya persaingan sengit di antara mereka—dan salah satunya adalah mencintai wanita yang sama—mendengar sedikit kabar darinya dan mengetahui bahwa Naruto sama sekali tidak meninggalkan kebiasaan lamanya—keras kepala, penuh semangat dan gila ramen—entah mengapa membuatnya sedikit terhibur.

Meskipun sebenarnya ada rasa iri yang menelusup setiap kali dia memikirkan mantan rekan satu timnya itu. Bukan hanya karena cinta Hyuuga Hinata yang tak tergoyahkan terhadapnya. Tetapi juga karena bagaimana Naruto tampaknya tidak pernah membiarkan masalah sebesar apa pun membuatnya terpuruk. Naruto masih bisa tersenyum padanya bahkan ketika dia tahu Sasuke telah mengambil wanita yang dia cintai. Kepalanya tetap tegak dan pantang membuat dirinya menjadi tak berguna hanya karena masalah itu.

Pria yang dahulu dia sebut sebagai ninja paling bodoh itu ternyata jauh lebih bisa bersikap ksatria dibanding dirinya yang jenius itu.

"Ne, Sasuke-ojisan," suara Arashi mengembalikan perhatian Sasuke kembali padanya. Keponakannya itu tengah memandangnya dengan sorot penasaran. "Bukankah dulu Ojisan satu tim dengan Naruto-sensei? Apa dari dulu dia memang selalu begitu?"

"Hn. Si Dobe itu tidak pernah berubah," sahut Sasuke.

"Dobe?" Arashi mengatupkan mulutnya, menahan tawa mendengar panggilan pamannya pada sang guru. "Aku tidak tahu sensei begitu bodohnya sampai disebut begitu."

Sasuke tidak menanggapi itu. "Apa gurumu masih bersama… Hyuuga Hinata?"

Mendengar pertanyaan pamannya, Arashi berhenti nyengir. Sejenak dia tidak tahu harus menjawab bagaimana. Sedikit banyak dia sudah mendengar tentang cinta segitiga antara pamannya itu, Hyuuga Hinata dan gurunya—terimakasih pada Shiori-chan yang selalu mencekokinya dengan gosip-gosip semacam itu—dan tiba-tiba saja ia merasa serba salah.

"Etto… Aa—" pada akhirnya pemuda itu menganggukkan kepalanya agak ragu, "Hinata-sensei sering mengunjungi kami latihan, dan tadi pun kami makan siang bersama di Ichiraku. Bersama Yamato-san dan Sakura-sensei juga. Mereka suka sekali mebicarakan masalah orang dewasa—sangat membosankan," tambahnya, lalu buru-buru berusaha mengalihkan pembicaraan setelah melihat ekspresi kosong di wajah pamannya, "Ne, Ojisan. Aku baru saja berhasil mengaktifkan Sharingan-ku saat misi kemarin, lho!"

Sasuke kembali menoleh memandang pemuda yang duduk di sampingnya, menyunggingkan senyum samar. "Itu bagus."

"Demo…" Arashi menunduk, menggaruk pipinya sembari meringis, "Aku belum begitu menguasainya. Setiap kali aku mengaktifkannya, chakra-ku jadi cepat habis."

"Kau harus banyak berlatih lagi untuk meningkatkan level chakra-mu," saran Sasuke. "Doujutsu itu memang memakan banyak chakra, tapi sangat berguna untuk pertarungan. Bisa dibilang, shinobi Uchiha belumlah menjadi shinobi Uchiha kalau belum bisa menggunakan Sharingan dan Katon no jutsu."

"Hai!" seru Arashi penuh semangat. "Naruto-sensei juga berkata seperti itu padaku. Sekarang aku baru menguasai Katon no jutsu, dan tak lama lagi Sharingan pasti akan kukuasai. Aku…" mata pemuda itu menatap sang paman penuh tekad, "…ingin sekali menjadi sekuat Sasuke-ojisan dan Itachi-sama!"

Sasuke menanggapinya dengan meletakkan tangannya di puncak kepala Arashi. Pemuda itu memamerkan cengiran yang mengingatkannya pada Naruto saat mereka masih sama-sama genin dulu.

"Anosa…" kata Arashi kemudian, menatap Sasuke penuh harap. "Sebentar lagi ujian chunin akan dimulai. Kalau Sasuke-ojisan tidak keberatan, bisakah… un… mengawasiku berlatih? Maksudku, sebagai sesama pengguna Sharingan, mungkin Ojisan bisa mengajariku lebih banyak—"

"Aku tidak bisa," Sasuke menyelanya, menurunkan kembali tangannya. Arashi menampakkan ekspresi kecewa, tetapi tampaknya Sasuke tidak begitu memerhatikan. "Besok aku harus berangkat misi ke Suna. Berlatih saja dengan Naruto. Dia tahu cukup banyak tentang Sharingan. Seharusnya kau tidak meragukan kemampuan gurumu itu."

Arashi menunduk, tampak agak malu. "Summimasen…"

"Sekarang pulanglah. Jangan sampai membuat ibumu cemas," ucap Sasuke, mengerling bungkusan senbei di pangkuan sang keponakan.

Diperintahkan seperti itu, Uchiha muda itu pun melompat berdiri dan hampir menjatuhkan bungkusannya. Dia cepat-cepat membungkuk sebagai salam sebelum melesat pulang lewat pintu samping.

"Aku tidak tahu kalau kau bisa berinteraksi begitu baik dengan anak-anak, Sasuke," kata sebuah suara baritone di belakangnya. Sasuke mengerling dan melihat kakak lelakinya—yang sedari tadi memerhatikannya diam-diam—muncul dari dalam rumah.

"Nii-san," Sasuke menyapa sang kakak basa-basi.

"Okaeri," balas Itachi tenang. "Akhirnya kau ingat pulang ke rumah juga, Otouto."

"Hn." Sasuke beranjak, kemudian berjalan melewati Itachi menuju kamarnya tanpa menoleh lagi.

.

.

Malam itu Sasuke tidak bergabung bersama keluarganya untuk makan malam. Sejak hukuman yang diberikan klan terhadapnya, dia memang menjaga jarak dengan keluarganya—terutama dengan Sang Ayah. Sasuke tidak tahan melihat sorot kekecewaan di mata Fugaku. Juga Mikoto, yang selalu menatapnya dengan ekspresi sedih di wajahnya. Maka malam itu dia menyibukkan diri dengan mempersiapkan segala sesuatu untuk misi esok.

Sasuke baru saja selesai mengepak semua senjatanya ketika seseorang mengetuk pintu kamarnya, disusul suara yang tak asing. "Ini aku, Sasuke. Boleh masuk?" tanya suara Uchiha Itachi, sang kakak.

"Masuk saja," sahut Sasuke tanpa repot-repot menoleh.

Terdengar pintu digeser membuka, disusul suara langkah memasuki kamarnya. "Sedang bersiap-siap untuk misi?" Itachi bertanya setelah meletakkan nampan kayu berisi makan malam untuk Sasuke dan duduk di lantai tatami di seberang meja. Matanya yang identik dengan mata sang adik mengawasi ketika Sasuke memasukkan gulungan-gulungan berisi senjata ke dalam ransel.

"Kau bisa lihat sendiri."

"Makanlah dulu. Kau belum makan sejak pulang."

"Aku tidak lapar."

Itachi tersenyum lemah. Dia mengambil topeng ANBU berbentuk wajah hewan dari atas meja di samping sebilah katana milik sang adik, memandanginya dengan ekspresi seolah dia sedang mengenang sesuatu.

"Kau ingat dulu, waktu kau masih kecil, Sasuke?" tanya Itachi setelah beberapa saat hening di kamar itu. "Dulu, kau seringkali memintaku menemanimu berlatih jutsu atau sekedar bermain, tapi aku selalu disibukkan oleh misi. Lalu kau marah padaku dan menyebutku pembohong."

"Aku tidak tahu ke mana arah pembicaraanmu, Nii-san," sahut Sasuke, masih tak memandang Itachi.

"Kurasa sekarang ini posisi kita terbalik," kata Itachi sambil menatap Sasuke di seberang meja. "Sekarang kau lah yang sibuk, sementara aku… tak ada yang bisa kulakukan selain berkurung di rumah, beristirahat untuk memulihkan kesehatanku."

"Kau akan segera sembuh, Nii-san."

"Kalau kau tidak keberatan," Itachi berkata, mengindahkan ucapan Sasuke sebelumnya, "Temani kakakmu ini sebentar saja, Sasuke. Sudah lama kita tidak berbincang-bincang, bukan?"

Untuk pertama kalinya sejak Itachi masuk ke kamarnya, Sasuke menatap kakaknya itu. Tertegun melihat sorot pengharapan di mata sang kakak, akhirnya dia menjawab. Singkat, namun sudah cukup untuk membuat tatapan Itachi melembut.

"Hn."

.

.

Rasanya seperti kembali ke masa lalu, saat Sasuke kerap kali melewatkan waktu bersama sang kakak berdua saja seperti ini. Dulu mereka biasa duduk di beranda belakang rumah, menikmati pemandangan taman rumah mereka yang berhias kolam dan tanaman hias yang ditata dengan apik. Dengan kudapan dan ocha hangat racikan ibu mereka yang menemani obrolan kecil mengenai kejadian seru di akademi ninja. Hanya saja sekarang keadaannya sudah berbeda. Tak ada kudapan dan jelas tak ada lagi keceriaan khas bocah di antara mereka.

Alih-alih mengoceh seperti yang dulu kerap kali ia lakukan setiap kali duduk bersama Itachi, Sasuke lebih banyak diam. Matanya menatap kosong pada pantulan cahaya bulan pada kolam gelap di depan mereka. Wajahnya tak menampakkan ekspresi yang berarti.

"Jadi, kali ini berapa lama?" Itachi memecah keheningan.

Sasuke mengerling Itachi sejenak sebelum kembali berpaling. "Tidak pasti," jawabnya, langsung tahu maksud pertanyaan sang kakak, "Paling cepat kami akan kembali saat final ujian chunin."

"Tim tiga orang seperti biasa?"

Sasuke diam sejenak. "Empat. Dengan Sakura."

"Sakura?" Itachi tampak sedikit terkejut. "Haruno Sakura?"

Sasuke menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. "Haruno Sakura," dia membenarkan.

Hening selama beberapa saat. Walau sedikit, Itachi menyadari perubahan air muka Sasuke. Dan dia mengerti, semenjak kejadian dengan Klan Hyuuga, Sasuke telah menyimpan perasaan tertentu terhadap murid Godaime Hokage itu—entah perasaan bersalah atau mungkin lebih dari itu—Itachi masih belum lupa, saat malam pertama mereka kembali dari rumah sakit, dia mendengar adiknya mengigaukan nama gadis itu dalam tidurnya.

"Kau tidak masalah dengan itu, Sasuke?"

Sasuke menjawab dengan dengusan sinis, "Seperti aku bisa mengatakan keberatan pada perintah Hokage saja. Aku tidak seberharga itu, Nii-san."

"Sasuke…" Itachi sedikit tersentak. Sebelum ini Sasuke tidak pernah merendahkan dirinya seperti itu.

"Bahkan dalam keluarga ini sekali pun…" Sasuke menundukkan pandangannya, dan Itachi dapat menangkap nada getir saat adiknya kembali berbicara, "…aku sama sekali tak tahu apa arti eksistensiku di sini, Nii-san. Sejak dulu aku merasa keberadaanku tidak begitu penting. Apa pun yang kulakukan tak berarti apa pun. Bagi tousan, aku anak yang mengecewakan. Dan kaasan… aku selalu saja membuatnya bersedih."

"Sasuke—"

"Apa pun yang kulakukan, aku hanya berakhir melukai orang lain. Tousan, kaasan, kau, klan ini…" Sasuke berhenti sejenak, berusaha mengatur napasnya yang mulai tersendat-sendat oleh emosi. "Saat kupikir pada akhirnya aku bisa melakukan sesuatu yang bisa membuat tousan mengakuiku dengan menikahi Hinata, yang terjadi adalah aku melukai wanita yang kucintai, juga sahabatku. Naruto… si brengsek itu."

Kali ini Itachi tidak menyela. Dibiarkannya saja adiknya menumpahkan semua yang membebani pikirannya.

"Dan Sakura… Bukan hanya sekali aku melukainya. Berkali-kali… aku memanfaatkannya, mempermainkan perasaannya untuk keegoisanku sendiri dan menghancurkannya. Aku bertanggung jawab atas sekian banyak air mata yang sudah dia keluarkan. Sakura sudah berbuat begitu banyak, menyelamatkan kaasan, menyelamatkan nyawamu, tapi yang bisa kulakukan adalah membuat hidupnya seperti di neraka. Bahkan ketika aku berusaha memperbaiki kekacauan yang kubuat, aku melukainya lagi. Aku—"

Sasuke berhenti berbicara. Dia tak sanggup lagi melanjutkan sementara air mata penyesalan mengalir dari kedua matanya tanpa dia menghendakinya. Untuk pertama kalinya Itachi menyaksikan adiknya yang selama ini selalu menampakkan wajah tak peduli pada seluruh dunia, terhempas sedemikian rupa oleh gelombang penyesalan. Melihat adik yang sangat dikasihinya itu menyerah pada air mata, hatinya terasa sakit.

Dan dengan dukungan serta perlindungan yang bisa ditawarkan seorang kakak, Itachi merengkuh adiknya, membiarkan Sasuke menumpahkan semuanya di bahunya. Tak sepatah kata pun terucap dari bibir pria itu, sementara secuil rasa sesal menggelayuti hatinya. Sedikit banyak Itachi merasa dirinya punya andil sebagai penyebab penderitaan Sasuke. Kalau saja ayah mereka tidak begitu mengistimewakan dirinya dan mengabaikan Sasuke, adiknya itu tidak akan dikuasai nafsu untuk menarik perhatian semua orang. Kalau saja sejak dulu Itachi lebih banyak menghabiskan waktu dengan Sasuke, barangkali dia bisa mencegah semua kekacauan ini.

Tapi semuanya sudah terlanjur terjadi. Yang bisa dilakukannya sekarang hanyalah berharap akan balasan atas penderitaan yang dirasakan sang adik.

Tak ada kebahagiaan yang mutlak di dunia ini, Sasuke. Begitu juga dengan penderitaan. Dan aku percaya suatu hari nanti kebahagiaan akan datang padamu. Tetaplah kuat. Adikku pasti bisa melewatinya.

.

.

Matahari belum sepenuhnya terbit ketika keempat orang itu berkumpul di gerbang utama Konohagakure no Sato keesokan harinya. Tiga orang pria berseragam jounin dan seorang iryou-nin yang merupakan satu-satunya wanita dalam tim, tampak tengah melakukan persiapan singkat sebelum meninggalkan desa.

"Kalau begitu semuanya sudah siap?" Hyuuga Neji memastikan sekali lagi.

"Hai!" Uchiha Sasuke, Sai dan Haruno Sakura menjawab serempak.

"Bagus. Kita berangkat sekarang."

.

.

Bersambung…

.

.

A/N:

Yatta! Akhirnya bisa apdet juga setelah setahun fic ini terbengkalai. Rasanya legaaaa banget! :D

Tadinya agak ragu juga sih, mengingat fic ini lama ga disentuh dan aku agak lupa gimana cerita di chapter-chapter sebelumnya (:p), takutnya feel yang aku pinginin ga dapet. Tapi yah... nekad aja deh. Ada beberapa scene yang gaje sih, terutama yang terakhir-terakhir itu. Udah terbiasa sama ItaSasu yg ngelawak di L'aPT sih. Hehe... :p

Chapter kali ini kayanya lebih banyak nyorot ke Sasuke, yah? Setelah sekian chapter terfokus ke Sakura, mudah-mudahan yang ini memuaskan. Aku memang sengaja lebih nonjolin sisi personalnya Sasuke. Sedih juga pas kemarin-kemarin ada yang bilang kalau aku ngebikin Sasuke sejahat-jahatnya di fic ini-padahal maksudku sama sekali ga seperti itu.

Udahan den ngebacotnya. Sekali lagi makasih buat yang udah ngebaca, mereview, memasukkan ke fave list, dan menagih-nagih fic ini. Doakan semoga fic ini dan fic-fic aku yang lain bisa tetep jalan. Soalnya ini adalah salah satu fic yang aku sayang banget, fic pertamaku yang bener-bener terkonsep dari awal sampe akhir. Dan umur draftnya di kompie-ku lebih tua dibanding L'aPT! :D