Auhtor's note : Senangnya saya bisa menuliskan ini. Idenya super fresh dari relung hati saya ketika saya mencoba memaksakan diri memikirkan sebuah konsep cerita untuk challenge Seven Deadly Sin*telah mengalami kegagalan berulang-ulang, untung kali ini ada hasilnya*. Pertanda lain yang mengirim lampu hijau untuk semakin melaksanakannya adalah tanggal deadline nya diundur!*nyalamin Farfu*
Saya tidak tahu bagaimana mengaplikasikan tema secara kreatif, yang pasti saya berusaha menulis. Jadi maafkan atas segala keambiguan saya dalam karya ini, setiap pembaca boleh mempertanyakannya, dan saya bersedia menjawabnya dengan senang hati. Yang pasti tema-temanya mildly implied. Tidak perlu ragu menebak, karena saya akan memberi tema dari chapter sebelumnya di chapter berikutnya, berikut alasannya. Dan mungkin akan ada ambigu tema karena semua chapter diakusisikan sebagai satu kisah. Namun yang diutamakan adalah menonjolkan satu tema di antara tema lain yang ikut 'nampang':D
Conditions applied : Saya membuat AU untuk kisah ini, berarti ada pengkondisian yang saya rubah demi kepentingan cerita, tapi ada juga yang saya pertahankan. Misalnya umur, gender, dan karakteristik. Namun di sini tidak ada kisah-kisah fenomenal luar-logika seperti keberadaan Death Note sendiri. Semuanya murni manusia. Demikian juga dengan status-status karakter, ada perubahan di sana. Mudah-mudahan pembaca bisa memaklumi dan mengampuni kebiadaban saya mengubah-ngubah setting paten. Peace, turunkan kembali semua senjata Anda: )
Fandom : Death Note ©Tsugumi Ooba dan Takeshi Obata.
Rating : Errr…T+ ?
Warning :
1. Subtle or OBVIOUSly yaoi. Perhatikan yang satu ini baik-baik. Bagi yang tidak suka yaoi, harap meninggalkan saya tetap 'terhormat'XD.
2. Ada switching time line atau POV. Keep alert, Minna!XD
Pairing : RaitoxL, LXRaito
Diusir dari Nirwana,
menyusul ke neraka,
aku bersedia.
Seven is Enough
----Page 1----
Satu untuk awal
Saya kembali ke sana.
Ruangan itu kosong. Tidak ada apapun tersembunyi. Namun sesungguhnya berjuta-juta hal berahasia di sana.
Rahasia yang selama ini tidak ingin dia ungkapkan. Dikubur jauh bersama bibir-bibir yang telah memutih.
Saya tahu ini akan terjadi, saya yang patut disalahkan. Saya yang lengah. Menyadari khayalan utopis bermetamorfosa sempurna menjadi animo ambisius, namun tidak menanganinya secara tepat. Apakah saya patut menangis atau masih sempat menyesal?
Tidak dan tidak.
TIdak ada yang bisa mencegah ulat bertransformasi menjadi kupu-kupu. Suatu yang alamiah tidak dapat dihentikan dengan intervensi apapun. Melihat sayap kupu-kupu yang masih basah mendispersikan cahaya ultraviolet, siapa tak terhenti untuk menggugahnya? Perlahan rangkanya semakin menguat, siap terbang.
Bila itu terjadi, hanya ada satu jalan untuk mengentikannya.
Hancurkan sayapnya.
---HF-Smile---
Ketika saya datang, ia memiliki segalanya.
Masih berusia delapan tahun, tapi menyandang nama salah satu keluarga legendaris yang memegang erat wilayah-wilayah regional karena perekonomiannya, selain karena keturunan ningrat tertentu mengakar dari awal peradaban sosial monarkhi.
Semuanya jelas dalam pohon silsilah keluarganya. Tidak akan ada yang menyangkal.
Memakai sepatu di lantai marmer membuat saya merasa ganjil. Merasa tidak pantas mengotori bebatuan indah itu dengan debu atau kotoran lain yang menempel di sepatu, menggores flek tidak pantas. Atau mungkin kaki saya jauh lebih kotor daripada sepatu yang saya kenakan sehingga mau tak mau ia memakaikan saya sepatu? Pengasuh saya kalau Anda bingung dengan subyek 'ia'.
Kalau saya katakan ia memiliki 'segalanya', itu berarti demikian adanya. Saya tidak suka melebih-lebihkan, saya hanya memverbalkan apa yang saya tangkap secara visual.
Ia berdiri di samping ayahnya, tidak nampak malu pada jati dirinya. Dengan cara sendiri mengerahkan kekuatan untuk menandingi pijar kuasa kemenangan sang tetua dari waktu yang menempa. Muda, menyimpan gelora dalam bola mata selembut dan semengalir madu.
"Apakah ini anaknya?" saya tetap tidak bisa mengalihkan perhatian darinya, tapi saya tetap mencoba menangkap pembicaraan antara pengasuh saya dengan ayahnya.
"Ya, ini anaknya," pengasuh saya meremas bahu saya, seolah mengirim sinyal kebingungan. Mungkin takut saya tidak sesuai dengan bayangan sang ayah meskipun telah dipermak sedemikian rupa, hanya agar tampil menipu beberapa jam.
Suara gumaman memenangkan kesunyian.
"Maafkan, Tuan. Tapi anak ini jauh lebih baik dari…Apa yang terlihat," pengurus saya berusaha meyakinkan. Namun ia tetap terdengar bodoh. Sesungguhnya saya tidak keberatan kembali ke sana, ke tempat penampungan. Tidak ada yang tidak memperhatikan saya, tapi juga tidak terlalu memperhatikan. Saya cukup nyaman dengan situasi itu. Telah bertahan 15 tahun dengannya. Hanya karena orang ini sepertinya ingin menyumbangkan secuil perhatian pada kondisi akademik anak-anak terlantar, menyeimbangkan gilang-gemilang karirnya dalam dunia ekonomi penuh politik dan pergulatan status dengan sumbangsih sosial; alasan saya berada di sini.
Menunggu dalam gelombang frekuensi ketegangan yang berbeda-beda, pria hampir setengah abad itu tersenyum lembut, "Bukan itu yang saya cemaskan. Dia memang nampak berbeda dari apa yang saya bayangkan, tapi bukan berarti saya tidak menyukainya."
Pengurus saya melepaskan nafas yang sedari tadi tertahan di dadanya. Setelah ketegangan mereda, ia bisa berceloteh lebih santai, "Ya, ya, Tuan. Dia sudah sangat mandiri, jadi Tuan tidak perlu terlalu memberatkan perhatian padanya. Bahkan dia cepat belajar, dia bisa banyak membantu, misalnya," matanya berpindah ke sosok tanggung berwajah menawan, sosok yang dari tadi menyabotase penglihatan saya, "Membantu mengurus, mungkin, putra Anda."
Pria beribawa itu bertukar pandang dengan lelaki kecil di sampingnya. Pembicaraan kasat mata mengalir dari sorot mata keduanya. Pria itu kembali mengalihkan perhatiannya pada pengasuh saya secara spesifik, dan saya pada umumnya. Kerutan tipis tersembunyi kurang sempurna di balik arsiran gelap bingkai kaca matanya, seolah tersenyum, meskipun bibirnya tidak, "Mengingatkan saya. Ini memang putra saya, Raito. Saya tidak yakin dia bisa 'diurus' seperti yang Anda bicarakan. Saya cuma bisa bilang Raito bukanlah anak biasa."
"Oo-h," pengurus saya buru-buru membungkuk, "Maafkan atas kekasualan saya." Saya tidak mengerti apa pengurus saya benar menangkap apa yang dimaksudkan sang ayah, sepertinya ia hanya tahu tidak menyinggung nama yang bisa menentukan hidup-mati. Saya pun bergeming, menanti reaksi selanjutnya.
"Itu tidak benar, Otou-san," suara kanak-kanaknya bergemerincing seperti riak embun, "Aku akan sangat senang memiliki kakak laki-laki."
Senyum sopan terpatri dalam di wajah manisnya. Jejak itu mustahil tidak saya tangkap, saya bisa mengartikan lain, yang lebih harafiah, senyum itu: arogansi. Ia ingin menguji saya.
Saya tidak mungkin kalah dari bocah yang belum genap sepuluh tahun kan?
Isu itu menggelitik sekaligus menggugah. Menimbulkan ketidaknyamanan sekaligus kontra batin. Saya hanya percaya akan kalah dari mati, itu pun karena tidak dapat dielakan. Saya tidak suka bertaruh, tapi saya lebih tidak suka kalah. Saya tidak mungkin kalah dari bocah menawan ini, afirmatif, biarpun itu artinya saya akan ditendang dari kemewahan beasiswa yang disodorkan tepat di hadapan hidung saya.
"Benar juga. Kau tidak perlu pergi ke bimbingan lagi, kau akan punya kakak yang bisa mengajarimu," cetus Shuuichiro, sang ayah, mengangguk-angguk.
Jadi itu, jadi itu spesifikasimu? Otak encer. Saya sedikit geram. Dan beberapa keunggulan lain yang tidak saya miliki, seperti wajah malaikat dan suara seperti nyanyian putra-putra Poseidon, seperti saya peduli mencari autentikasi dari suara putra Poseidon. Yang pasti saya juga cukup percaya diri dengan kapasitas otak saya. Kali ini saya tidak bisa tidak menjawab. Haruslah dengan gagah saya memasuki kancah peperangan, "Saya tidak terlalu yakin, tapi setidaknya saya melalui tahun-tahun sekolah menengah. Saya bisa memberi gambaran."
Matanya sedikit membesar, meretas benang ketenangan, efek menjawab tiba-tiba yang saya lancarkan.
"Bukankah itu kedengaran menjanjikan, Raito?" Shuuichiro beretoris. Menerima cukup naïf tantangan liar berbalut kerendahan diri.
Sorot matanya tegang meskipun bibirnya melengkungkan senyuman. Setidaknya ia tidak berbohong soal keenceran otaknya. Kami sepertinya bisa berkoneksi lewat telepati, tanpa kata yang dapat dilafalkan atau huruf untuk ditorehkan. Tidak perlu rangkaian frase atau strukturisasi kalimat karena semuanya akan menjadi omong kosong.
Saya akan mengerti apa yang ada di dasar hatinya tanpa semua itu.
Ironisnya, ia pun akan seperti itu.
Kami bersiaga pada tabuh pertempuran non-audio yang menggetarkan gendang telinga kesadaran.
---HF-Smile---
"Aku sudah mengerti itu," ia berucap serius.
Saya tahu ini cepat atau lambat akan terjadi. Raito seperti pasir hisap, menelan masuk semua pelajaran ke dalam relungnya yang tidak berdasar. Diajari apapun, ia bisa menguasainya tidak kurang dari semalam. Rekor tercepat adalah tiga menit, tepat setelah menjawab soal latihan pertama.
Saya tidak mengharapkan kurang dari itu. Saya tidak meremehkan apa yang sanggup ia kerjakan. Bila ia sudah berkata dengan nada kebosanan, saya mengeluarkan beberapa soal simpanan, mahakarya yang tidak mungkin ia kerjakan kurang dari tiga menit. Itulah kemenangan saya. Sampai saat ini saya masih di atas angin, tapi sepertinya ia tidak membiarkan dirinya 'diperkosa' begitu. Perlahan tapi pasti ia mulai menimbulkan riak di permukaan tenang.
"Kau tidak akan tahu sebelum kau mengerjakannya, Raito-kun."
Tanpa melirik kembali soal di hadapannya, ia tetap memangku dagunya. Hampir sehalus bulu, rentetan jawaban yang ekivalen dengan hasil akhir dijabarkannya.
Tercengang, sedikit. Saya tersenyum masam, "Jadi apa topik berikutnya?"
Ia melemparkan punggungnya ke sandaran, roda kursinya berguling beberapa senti ke belakang, ia bergeming sambil melipat kedua tangannya ke belakang, "Entahlah. Eksata itu selain menyediakan jalan berbeda, hasilnya tetap saja sama. Aku lebih suka yang praktis, yang hasilnya tidak bisa kuprediksi, tapi bisa kuatur sedekat mungkin untuk mencapainya."
"Ilmu sosial, kalau begitu?" saya pura-pura tidak tanggap, saya tahu ia memaknai pernyataannya lebih dari sekedar ilmu eksata dan non-eksata yang legal diajarkan di sekolah.
Matanya tiba-tiba menghujam dengan intensitas, penuh kepolosan, "Praktis! Dunia nyata! Pekerjaan ayahku misalnya."
"Kau masih terlalu muda untuk berbicara itu," saya menandas.
"Aku jauh lebih tahu," ia menyipit konspiratif, "Maksudku, ayah memang berkuasa saat ini. Rezimnya sulit digoyahkan, tapi bukan berarti tidak ada buih pergolakan. Tidak signifikan, terlalu bijak kata orang-orang, yang sebenarnya ingin menggulingkannya."
"Kau berbicara seolah saya tahu semua rahasia gelap ayahmu," wajah saya kaku, tanpa ekspresi. Tapi memang demikian adanya. Saya bingung kalau ada yang bisa membedakan saya dari mengantuk dengan lapar.
Tapi ia malah mencibir, balik bertanya, "Seperti hal itu bukan prevalensi?"
Saya menggerakan bola mata. Faktanya saya sedang bicara dengan anak yang menggunakan 'prevalensi' sebagai sinonim 'lazim' atau 'hal yang umum', lebih lanjut Raito sepertinya bisa membedakan saya menginginkan permen atau gula-gula. Namun prinsip saya; hindari percakapan privasi. Saya adalah fitur paling sempurna mahluk terisolasi.
Aksi protes saya malah dianggapnya sebagai jalan tol, ia semakin bersemangat. Menegakan punggungnya dan menaruh tangannya di atas meja, "Kalau aku, aku yakin bisa mengekspansi kekuasaan ayahku sampai taraf nasional. Aku bisa memikirkan cara-cara untuk membungkam riak pemberontakan, tapi tentu saja dengan persuasi yang tidak bisa diintrogatifkan."
"Bisa saya kembalikan ke Ilmu Sosial? Kau telah memberi contoh sempurna untuk paham Marxisme," saya berupaya mematikan bibit liar ini. Tapi susahnya punya murid yang sulit dididik karena ketajamannya.
"Prinsip Persamaan?" ia malah menyela, "Tidak seperti itu. Di sana masih banyak celah yang bisa menimbulkan perpecahan. Kemalasan dari pihak yang kurang karena disubsidi, ketidakpuasan dari pihak yang mensubsidi. Tidak ada introgatif, tidak ada pertanyaan. Itu konsep fundamentalku. Aku akan membuat semua yang ada di wilayahku seperti bernafas, tidak akan hidup tanpa itu. Sebagai pencetusnya, aku akan membentuk koloid yang kohesif." Kedua tangannya menangkup bola fluida kasat mata.
Lucu kalau ia bercanda, bencana kalau ia serius. Terutama karena animo itu ada di kepala anak sepuluh tahun. Entahlah, mungkin baru angan, belum pantas disebut animo. Karena dalam 'animo' probabilitas kehendak untuk melakukan lebih tinggi dari angan.
Biasanya ada cara konvensional, tapi cukup ampuh untuk mengenyahkan bibit-bibit angan yang tabu digantungkan setinggi langit; menakut-nakuti. Saya tidak yakin berhasil, tapi lebih baik daripada saya mencoba melompat ke pergantian subyek ilmu, yang tadi sudah terbukti ketidakberhasilannya.
Saya meletakan telunjuk saya di bibir saya yang terkatup, "Sssh." Saya memicingkan mata, menyergap luapan percaya diri yang membombardir dalam kilat-kilat di matanya, "Kau bisa saja masuk neraka karena pikiran jahatmu itu."
Ia terpaku, terombang-ambing dengan mulut setengah ternganga.
Saya berhasil.
Raut wajahnya seperti berkeriut karena perubahan. Lama-lama ia tertawa histeris. Saya tidak ingat momen terakhir saya membuat lelucon. Yang pasti tidak beberapa menit atau detik yang lalu.
"Lawliet-niisan, aku bukan Sayu."
Baiklah, saya berhasil menciptakan pernyataan yang terdengar lucu untuk Raito.
Pintu menjeblak terbuka, Sayu menghambur masuk, membawa keriangan dan kedangkalan yang seharusnya dimiliki anak-anak, "Raito-niisan, sampai kapan kau mau menggunakan Lawliet-niichan? Bukankah jam belajarnya sudah habis?"
"Oh ya," Raito menutup bukunya satu persatu. Menumpuknya kemudian, "Kami sudah selesai." Saya menggigiti kuku, sampai sekarangpun saya tidak habis pikir kenapa saya yang mendapat sufiks 'chan'.
Mata Sayu berbinar, yang sekarang jauh lebih mengancam daripada ide brilian, gelap Raito bagi saya. Kedangkalan itu ironisnya mencekik dan menenggelamkan saya, "Kalau begitu, Lawliet-niichan harus bermain denganku. Aku sudah menyiapkan set rumah-rumahan di halaman…."
Mata besarnya sedikit mengejang karena sikap 'duduk' saya, atau mungkin lebih tepat didefinisikan 'jongkok' di atas kursi. "Tapi Lawliet-niichan tidak boleh duduk seperti itu," komentarnya kritis.
"Tapi kursi mainan terlalu kecil untuk saya?" saya mencicit, percayalah saya mencicit. Saya lebih takut serbuan antusiasme seperti ini. Cara duduk saya ini lebih kompeten dari cara apapun untuk membuat otak saya tetap rasional. Memang aneh, tapi menjadi darah daging. Saya tidak bisa menjelaskan kapan atau kenapa kebiasaan ini muncul, tapi saya sudah tidak dapat lepas darinya.
Sayu nampak berpikir, tapi tidak panjang, "Oh, baiklah!" Meskipun demikian, ia tetap memicingkan matanya pada saya. Alam bawah sadarnya tidak menerima, tapi logikanya tertipu.
Tangan kecilnya berusaha menyeret saya, saya bergerak dengan enggan. Ingin menolakpun, saya tidak punya cara jitu. Seandainya saja saya bisa berkata 'tidak' tanpa dilempari berbagai benda yang sanggup digapai tangan kecilnya.
"Raito-niisan, tidak ikut dengan kami?" tanya Sayu sesampai di batas kamar dengan selasar di depan kamar.
"Nanti, Sayu. Kalau aku sudah selesai belajar," Raito tersenyum menyesal.
Lagi, tanpa pikir panjang, Sayu menjawab antusias, "Baiklah!" Lalu mengedikan bahu pada saya. Ia kembali menarik seraup katun putih pada pergelangan tangan kaus saya.
Saya mengikuti di belakangnya, seratus persen percaya Raito tidak akan bergabung. Menyesali diri sendiri tidak punya senyum malaikat yang bisa mengentaskan komplikasi atau efek samping hororisme penolakan.
---HF-Smile---
