Fandom: Death Note.
Disclaimer: Death Note ©Tsugumi Ooba dan Takeshi Obata. But this fic is mine:)
Type: drabble, jadi jangan heran tiba-tiba saya mogok bikin*dikejar pake golok*
Tidak hanya berfokus pada Raito dan L. Akan muncul karakter-karakter lainnya. AU menjadi pilihan saya, karena kisah ini tidak akan terwujud bila saya mengikuti plot sebenarnya*dijotos sama Ooba-sensei*
Kalau otak saya memang waras dan cukup waras selama menuliskan drabble ini, maka saya akan menghindari lemon/lime, supaya dapat dinikmati lebih banyak orang *kecuali bagi yang tidak menyukai yaoi*. Tapi kalau suggestive scene, saya tidak bisa mengelakkannya*kabur sebelum disambit para orang tua*.
Alert: Berhati-hatilah karena cerita ini PLOTLESS, I swear! Cuma memenuhi sisi gila dan absurb saya. Selalu membuat kisah bertema gelap dan berat membuat kadar crack saya berkurang drastis sampai minus! Saya perlu mengasahnya kembali*padahal biasanya humornya juga standar…Euhhh*.
Our Now
Little Trick
Persaingan mereka adalah abadi
Kedua pasang mata terpekur dalam kancah pertempuran mini.
Meskipun tidak ada gerak spesifik yang dibebankan ke otot, sungguh terdengar bunyi klik-klik hasil mekanisme kekuatan pikiran.
Masih dalam keadaan imbang, gagah saling menyerang, kukuh bertahan. Sang raja tak pernah sekalipun berpikir untuk bergerak dari posisi asalnya.
"Ada apa, Lawliet?" satu sudut bibirnya tertarik ke atas menghasilkan cengiran sombong, Raito mengintimidasi, "Mau kau sudahi?"
Lawliet menggigiti kukunya, tak merasa dipojokan, tapi visi jauh ke depannya sudah melihat adanya keputusan yang akan menggugurkannya. Dan dia telah salah langkah yang menuntunnya masuk ke pintu jebakan.
Tapi menyerah juga bukan gayanya, apapun pertaruhannya, dia harus membalikkan posisi terdesak ini. Ia mengulum senyumnya, menatap pemuda di hadapannya dengan lugu. Segala pertaruhan harus dicobakan.
Kerisihan menggelayuti Raito karena Lawliet memandangnya terlalu lama, "Apa?"
"Ah, lihat," Lawliet memajukan tubuhnya, menyeberangi meja di hadapannya, satu tangan rampingnya bertumpu pada bagian tengah papan catur, tempat pertempuran pikiran mereka berlangsung. Selewat, Raito menangkap bayangan gelap yang disapukan sempurna pada kulit dada Lawliet di balik tulang selangka yang kelewat menonjol. Bibir Raito bergetar ketika sapuan kelembutan jemari Lawliet beradu dengannya, bergerak di sepanjang garis bibirnya.
Ia kembali ke kursinya, duduk semestinya di sana –yang artinya sama dengan berjongkok-, menjilat jemarinya yang baru saja menelusuri bibir Raito sambil mengurungnya lekat-lekat dalam sorot yang menebarkan isyarat, "Ada lapisan gula di mulutmu."
Raito menelan ludah. tercenung rikuh.
---HF-Smile---
A little footnote: Semedi saya untuk menyelesaikan Seven is Enough malah menghasilkan drabble nista ini…Ya ampun, Mama ampunilah anakmu!