Halo semuanya, akhirnya re boleh balik lagi (lebih tepatnya abis maksain diri buat balik XD) weks..gila..re telat banget yah buat AMnya wewh...tp ya udah deh, makasih yah semuanya buat reviewnya dan untuk kali ini, Re persembahkan chapter selanjutnya yang udah ditunggu - tunggu *ditabok* Selamat menikmati~

Disclaimer : semuanya properti hoshino katsura

Warning: Gejheness 100% dijamin, bhs indo yg jelek serta spelling yg sangat salah


New world, anew future

-Heal-

Rumor dan bisikan – bisikan beredar dengan cepat melalui seluruh laboratorium. Mengisi kosongnya lorong – lorong dengan banyak tawa serta pertanyaan – pertanyaan terlontar ke sana ke mari. Berita yang menyebar bagai angin ribut itu tak cepat mereda, bahkan setelah beberapa bulan berlalu…


"Hey, hey liat…" Satu lagi suara dan satu lagi manusia tidak berguna. "Itu 001." Aku tahu bisikan – bisikan itu takkan pernah hilang. Bahkan meskipun dunia ini berubah menjadi gelap sekalipun, aku dengan sangat jelas bisa mendengar semua perkataan mereka. Bodoh.

Aku yakin salah satu dari mereka sedang menunjuk ke arahku, menggunakan tangan kotornya sedangnkan yang lainnya memandang dengan jijik. Mereka tertawa terkekeh – kekeh, menyangka bahwa aku tidak berbahaya sama sekali. Dibalik kegelapan dan terlalu terserap oleh suara tawa mereka sendiri, aku tahu mereka tidak bisa melihat seringai yang menghiasi wajahku, apalagi merasakan aura pembunuh yang kupancarkan…

Aku berhenti tepat disamping mereka dan dengan segera mengetahui bahwa senyuman yang menghiasi wajah kedua orang tersebut telah sirna dan sekarang mereka berbicara terbatah – batah.

"0-001! Ka-Kami tidak tahu kau berada di sini..aha..ahahahaha…." tentu saja mereka tidak tahu, aku bersembunyi dibalik pilar dimana kalian berbicara dengan lantang idiot! Aku mencekek salah satu dari mereka dan dengan sengaja menghantamkannya dengan dinding batu. Terdengar bunyi retak dari arah di mana aku menghantamkan orang bodoh ini ke dinding dan segera disusul dengan mengalirnya cairan hangat dan lengket turun ke atas pergelangan tanganku.

Dahiku berkerut dan aku melepaskan viktimku, mendorongnya jatuh menyerusuk ke atas lantai. Sejak beberapa hari ini pendengaranku sudah menjadi lebih tajam daripada sebelumnya dan suara – suara yang tidak bisa didengar oleh manusia lain, seperti suara bisikan dikejauhan dan suara menjerit – jerit para hasil tes percobaan yang disimpan di lantai paling bawah dari gedung inipun bisa kudengar dengan seksama. Terkadang suara mereka memekikan telinga, memecahkan keheneningan ditengah malam gulita, menggangu tidurku dikala waktu.


Pintu kamarku terbuka –atau lebih tepatnya dibuka oleh seseorang, diiringi dengan suara langkah derak sepatu yang sangat kukenali.

"YUU-CH-" aku melemparkan pisau buah ditanganku tanpa pandang bulu sebelum sang penyusup misterius –tetapi aku punya dugaanku sendiri- sempat melantunkan nama terkutuk itu.

Pisau tertancap dan aku memandang ke arah asalnya teriakkan, kosong tidak menunjukkan sedikitpun emosi. Aku berdiri, meletakkan apel yang sedang kukupas itu diatas meja kecil ditengah ruangan dan lalu berjalan ke arah dimana aku melemparkan pisau buah itu. Aku tahu bahwa sebilah besi yang kulemparkan itu luput dari sasaran yang sebetulnya dan sekarang hanya bergantung pada dinding tua, meninggalkan goresan yang takkan terlihat kecuali orang tersebut betul – betul memperhatikan dengan seksama.

Aku menarik pisau itu tanpa rasa ragu , duduk kembali di atas kursi kayu reyot yang selalu berdecit setiap kali digerakan dan kembali mengupas kulit buah apel yang sebelumnya kutinggalkan. Kulitnya jatuh ke atas lantai dingin berdebu tetapi aku menghiraukannya, nanti juga akan ada yang membersihkan.

"Daripada kamu bengong seperti itu," Aku mengambil salah satu apel muda yang berada di dalam keranjang dan melemparkannya ke arah keberadaan lain di ruangan ini.

"Lebih baik kamu mengupas apel itu." Lavi menangkapnya dengan mudah, dan aku merasakan senyuman lemah menghiasi wajah ovalnya. Yah, aku tidak bisa melihat, tetapi berdasarkan pengalaman hidupku bersama si orang bodoh ini, aku tahu bahwa ia pasti sedang tersenyum bodoh seperti tidak ada apapun yang terjadi.

Aku mendengar suara kursi diletakkan disampingku dan keberadaan tubuh lain dibalik hadapanku. Mengupas apel yang sama seperti yang sedang aku makan sekarang. Air buahnya yang terasa sedikit asam dan sepat mengucur turun dari bibirku, turun hingga kebawah gusi. Aku meraba pinggir meja, berusaha mencari secarik kain yang sudah kusiapkan.

Pergelangan tanganku dicengkeram oleh Lavi dan ia menaruh secarik kain diatas kepalan tanganku yang terbuka.

"Ini, kamu mencarinya kan?" Aku meringis dan segera menyambar tanganku dari kepalan tangannya. Kenapa semua orang memperlakukanku seperti seorang anak kecil yang tidak bisa melakukan apa – apa!? Aku sangat sadar terhadap keadaanku saat ini, terhadap kekurangan vatal yang kumiliki dan terhadap keadaan disekitarku. Tetapi aku lelah dengan segala perilaku para ilmuwan – ilmuwan yang berusaha membantuku. Aku tahu mereka tidak bermaksud jahat, tetapi aku tidak akan menerima kebaikan mereka secara cuma – cuma ketika aku sedang berusaha untuk menjalani hidupku sendiri.

Tetapi, kenapa lelaki ini juga harus ikut campur!? Kupikir Lavi, yang hanya memiliki satu mata saja, akan mengerti setidaknya setengah dari bebanku. Che, tetapi sepertinya aku sudah salah menilai. Ia sama saja dengan para ilmuwan lain yang memperlakukanku seperti boneka kecil yang rapuh. Dan aku tidak akan berdiam diri saja dan memuaskan mereka.

"Kenapa, kamu menolongku?" Aku menggigit bagian dalam mulutku, kekhawatiran dan kekesalan bergejolak di dalam tubuhku, siap untuk keluar meledak – ledak dalam rupa kemarahan yang tak terelakkan.

Suasana hening. Tidak ada hembusan angin ataupun suara dari nafas kami. Semuanya hanya diam diiringi dengan bunyi jam yang bergeser. "Tik tok, tik tok.." dan terus berlanjut hingga ia memberikan bunyi yang memecah keheningan. Sepertinya jarum panjang telah berdentang tepat pada pukul 12, tetapi aku tidak tahu dengan tepat pukul berapa sekarang semenjak aku bahkan tidak peduli dengan waktu.

Kursi berdecit dari arah Lavi dan pria itu mendesah berat, kelelahan terdengar dengan jelas dari suaranya. "Berapa kali aku harus mengatakan ini kepadamu," Kanda menatap lurus ke arah suara sahabatnya itu, seolah – olah ia sedang menatap secara langsung meskipun apa yang ia pandang tidak lebih dari warna hitam gulita.

"Kita..." Suara Lavi berhenti dan diganggu dengan suara alarm tanda bahaya yang berbunyi dengan keras, mengagetkan dua orang yang berada dalam ruangan tersebut. Gumaman dan pertanyaan terlempar ke sana ke mari, bertanya – tanya kepada satu sama lain apa yang sedang terjadi.

"Bagi semua ilmuwan dan karyawan Black Order, kami mohon maaf atas segala kerusuhan yang terjadi." Suara wanita yang diperkirakan berusia 12 tahun berbicara dengan lantang di mikrophon, sekali – sekali tertawa seakan – akan ini merupakan keadaan yang menarik.

"Tetapi sayangnya, eksperimen utama kami," Aku merasakan kejanggalan yang aneh dari gaya bicaranya, dan firasat buruk melimpahiku. Semoga bukan dia, semoga bukan di- "Allen Walker, telah melarikan diri." Jantungku terasa terhenti di saat sang pembicara tertawa. Sepertinya ia menikmati memberikanku sakit jantung tanpa ia sadari.

"Dan seperti yang kalian ketahui, karena ia merupakan subjek utama kami, kami menginginkannya agar kembali segera. Barang siapa yang bisa menangkapnya akan mendapatkan hadiah khusus." Para karyawan dan ilmuwan tertawa dengan girang, memikirkan hadiah macam apa yang akan diberikan oleh ketua mereka itu. Mungkinkah uang? Ataukan kenaikan pangkat? Yang pasti bila subjek yang bernama Allen Walker ini sangatlah penting, maka mereka harus segera bergegas mencari.

Aku hanya berdiri dan mendengarkan, amarah bergejolak kembali di dalam darah dan dagingku. Saat ini yang kupikirkan hanyalah perihal tentang keberadaan Allen. Aku berlari keluar, segera membuka pintu dan mendorong karyawan – karyawan yang berkumpul di depan lorong, berteriak marah ke arahku sembari diiringi oleh teriakan seserang yang kukenal dengan jelas.

"KARENA KITA ADALAH TEMAN!!"

Aku berseringai.


Di dalam sebuah ruangan gelap dengan sedikit pancaran sinar berwarna hijau jauh di dalam tanah, seorang remaja berdiri di depan sebuah bongkahan batu ukir yang sudah kehilangan beberapa bagian dari dirinya. Tangan mungilnya yang tertutupi oleh sepasang sarung tangan putih terbuat dari sutera mengelus bongkahan itu, mengikuti alur – alur dari ukiran – ukiran gambar dan tulisan dalam bahasa yang tidak pernah diketahui oleh peradaban sampai saat ini.

Ia memandang dengan takjub, seakan – akan ia bisa membaca bongkahan batu tersebut dan memahami makna dan isinya secara utuh tanpa kesulitan apapun. Di saat membaca ukiran – ukiran itu pula, ia mendengar senandung lemah jauh di dalam kepalanya. Senandung dari sebuah lagu yang menceritakan tentang cinta seorang anak dan orang tuanya. Tentang rasa rindu yang jauh terpendam di dalam arti dari lagu tersebut. Lagu yang menyayat hati pendengarnya.

Ia merasakan bahwa pintu terbuka, mungkin itu salah satu dari para ilmuwan atau karyawan. Tetapi bisa saja itu adalah Tyki yang akan membawanya kembali ke ruangan gelap dan suram, di mana ia menjalani berbagai macam eskperimen – eksperimen menyakitkan.

Ketika ia berpaling dan melihat siapa pendatang baru di dalam ruangan tersebut, matanya hanya bertemu kepada kejutan.

Orang yang paling ingin ia temui diseluruh dunia ini sedang berdiri dihadapannya. Meskipun ia buta dan tidak bisa melihat, tetapi Allen tetap merasakan keangkuhan dan keanggunan yang menyelubungi seluruh tubuh Kanda Yuu, sang eskperimen gagal.

"Kanda..." Allen memanggilnya, dan lelaki itu berjalan mendekat, melewati beberapa benda yang berserakan di atas lantai. Orang pasti tidak akan pernah menyadari bahwa ia buta kecuali melihat dari dekat.

"Aku sudah menduga kamu akan kemari." Kanda mengucapkan dengan tenang ketika ia berjalan dan berdiri di samping Allen, memandangi –meskipun tidak bisa melihat- ke arah bongkahan batu itu. Tangannya dan Allen saling terkunci dalam sebuah ikatan sempurna yang tidak akan bisa lepas.

Allen hanya tertawa ringan mendengar perkataan Kanda. Inilah, tempat Allen pertama kali bertemu dengan lelaki ini. Sebuah tempat yang memiliki banyak kenangan bagi hidupnya yang terasa singkat. Hidup yang tidak pernah jauh dari kesedihan dan penderitaan. Tetapi, di dalam tangan Kanda lah ia menemukan kebahagiaan sejati diikuti serta dengan Lavi.

"Kanda, kemarilah." Alleh menarik lengan Kanda sehingga lelaki yang lebih tua itu berdiri satu tinggi dengan Allen. Allen memberikan kecupan lemah di bibir lelaki itu, ketika air perlahan – lahan keluar dari artifak di samping mereka. Air dengan cepat naik, membasahi seluruh lantai, menggenang hingga selutut.

Allen memangkuki tangannya dan mengambil air tersebut, menuangkannya di atas kepala Kanda –yang menggerutu marah karena kebasahan- sebelum ia meminum air itu dan segera mencium Kanda, tepat dibibir. Kali ini Kanda tidak ragu, dengan mudah ia memasukan lidahnya yang piawai ke dalam mulut Allen yang dipenuhi oleh air, yang terminum sedikit oleh Kanda.

Mereka berhenti, dan Allen sekali lagi mencium lelaki itu, bukan di bibir melainkan di atas dahinya dan lalu kedua matanya. Sedangkan Kanda merasakan sensasi aneh seperti sedang disetrum oleh listrk bermuatan tinggi.

Di saat Kanda akan menanyakan apa yang sedang dilakukan oleh Allen, mendadak suara hentakan kaki mulai memasuki ruangan. Setidaknya ada lebih dari 5 orang dengan seragam tempur lengkap segera menangkap Allen dan Kanda. Kanda memberontak dan memperotes, menggerakkan tubuhnya kemana – mana, ketika ia menyadari....

Bahwa cahaya dan warna telah kembali. Warna hitam kelam yang biasa ia lihat kemanapun ia memandang, telah sirna ditelan oleh warna – warna lain yang dirindukannya. Dan ia melihat sepasang bola yang memandanginya dengan lekat. Sepasang berlian dengan warna keabu – abuan memandangnya dengan lekat, sebelum menghilang pergi.

Kanda pun ditinggalkan begitu saja, selagi orang – orang itu pergi membawa Allen.


Bulan bersinar terang, menunjukkan cahayanya yang tak kalah terang dengan bintang – bintang di langit. Tetapi suasana di dalam menara itu tidak berubah, tetap saja suram dan gelap tanpa adanya cahaya terutama didasar menara.

Lelaki itu, Kanda Yuu, telah menyusup ke dalam bagian paling dasar yang bahkan para karyawan pun takut untuk turun. Ia berjalan, dengan sebuah obor terang terekat di tangan kirinya dan Mugen di tangan kanannya. Sesudah ia mendapat berita dari Lavi pada malam itu pula bahwa Allen terkurung di salah satu penjara bawah tanah, Kanda segera pergi ke tempat itu tanpa berbicara.

Ia berdiri, tepat di sebuah sel yang bertuliskan A2, sel paling ujung kedua dan paling dasar. Udara di sana sangat dingin, bahkan Kanda bisa melihat hembusan nafasnya sendiri yang terus mengepul naik.

"Oi," Kanda memanggil dan melihat kedua tangan Allen dirantai pada kedua sisi tembok, wajahnya memar dan terdapat bekas sayatan benda tajam disepanjang tangannya. Lelaki itu memutuskan bahwa ia tidak suka ini.

Dengan mudah, Kanda memotong kedua belah besi itu dan membiarkan tangan Allen jatuh. "Ayo pergi." Tetapi, Allen menggelengkan kepalanya dan berusaha untuk tetap berada di sana, menghiraukan tarikan Kanda pada tangannya.

"Kamu tidak mau keluar?" Kanda menanyakan dan Allen hanya menggeleng lemah.

"Kenapa?" Kanda berjongkok disamping Allen, membasuh wajahnya dengan sarug tangan miliknya yang sekarang ternoda oleh darah. Sekali lagi Allen tidak menjawab dan hanya menggelengkan kepalanya.

"Kenapa kamu tidak berbicara!?" Kanda menghardik marah dan ia berdiri, tetapi suara maskulin dan berat menghentikannya.


Karena ia, tidak bisa berbicara... lagi...

Aku hanya memandang ke sesosok tubuh yang kesakitan...


Hehehehehe...sebegitu dulu yah XDD

Kalo ada kesalahan, jangan segan - segan kasih tau Re :D bakal Re benerin secepetnya kok, terus, jangan lupa review + flame + comment n kasih dukungan yah XD *ditabok* ehheeh becanda ;D

Sampai ketemu lagi~ (entah kapan)