Your Black Wings

Chapter 22 : Sad Story in Your Past

Disclaimer : Bleach bukan milik saya melainkan punya Tite Kubo sensei, saya hanya meminjam karakter-karakternya untuk kepentingan pembuatan fic ini. Setelah itu saya kembalikan ke pemilik asalnya. Dan satu lagi, 'Sebasuchan Mikaerisu' dan 'Ciel Phantomhive (a. k. a. Priscilla Phantomhive dalam fic ini)' bukan milik saya, melainkan milik Yana Toboso sensei.

Warning! AU, OOC, tidak nyambung, jelek, ada—uhm, FemCiel, dan mungkin sedikit membosankan.

Note : Yang diitalic adalah flashback.

Pair in This Chapter : GgioSoi, slight GgioApache

Gomen ne, atas keterlambatan update fic ini. Udah 6 bulan saya keserang WB parah, baru sekarang bisa dilanjut. TwT. Semoga saja chapter ini tidak mengecewakan kalian semua yang sudah lama menunggu fic ini update, karena itu saya aktifkan TRIPLE UPDATE. Selamat membaca ya! Don't Forget to Review!

-###FGH&&HGF###-

Keranjang berisi kue Strawberry Short Cake-nya terjatuh begitu saja ke lantai. Bola mata azure-nya membulat sempurna, sementara kedua tangannya menekap mulutnya.

"Ti, tidak mungkin!" desisnya tidak percaya pada apa yang baru saja dilihatnya. Tepatnya pada seseorang yang ada di hadapannya. "Sebastian? !"

Suchan yang berdiri di depan gadis berambut biru tua keabu-abuan itu juga tak mampu menghilangkan rasa terkejutnya. "Ciel... Kau? ! Kenapa ada di sini? Dan... penampilan macam apa itu?" tanya Suchan seraya mendekat ke arah Priscilla. Darah di tubuhnya berdesir aneh. Aneh karena bertemu kembali dengan sosok yang dikangeninya, tapi nampaknya ada sesuatu yang salah dengan orang yang ada di hadapannya itu.

Priscilla mundur selangkah demi selangkah setiap kali butler iblis itu bergerak mendekatinya. "JANGAN MENDEKAT!" teriaknya histeris.

"Ciel... Saya..."

"KUBILANG JANGAN MENDEKAT!" bentak gadis itu kasar. Suchan menghentikan langkahnya, mata ruby-nya menatap sosok gadis belia yang ada di hadapannya dengan tatapan sedih.

"Ciel..." panggil Suchan lembut.

"JANGAN PANGGIL AKU DENGAN NAMA ITU!" Priscilla kembali meraung. Rahang kecilnya nampak mengeras, sementara bulir-bulir bening mulai turun di pipinya yang putih mulus. Suchan kembali menatap sosok itu dengan tatapan iba. Lama mereka berdua dalam diam, hingga gadis kecil itu berkata.

"Kenapa... kenapa aku harus bertemu lagi denganmu?" Suchan refleks menatap lurus ke arah gadis kecil itu, meski yang bersangkutan masih menundukkan kepalanya dan berusaha mengatur emosinya yang masih meledak-ledak karena shock. "Padahal kupikir dengan menjalani hidupku yang sekarang ini, aku tak akan lagi bertemu dnganmu. Tapi... KENAPA? !"

Baru saja Suchan akan mengatakan sesuatu ketika Hichigo datang ke tempat itu dan menanyakan pada mereka berdua. "Suchan? Priscilla? Ada apa? Kenapa kalian berdua ada di sini dan berteriak-teriak?"

"Tuan Shirosaki, dia ini..." belum sempat Suchan menyelesaikan kalimatnya, Priscilla telah berlari meninggalkan tempat itu dan membuka portal untuk menuju dunia manusia.

"Priscilla!" seru Hichigo, berusaha untuk mencegah gadis kecil itu pergi. Sayangnya, terlambat! Mata kuning Hichigo menatap geram ke arah Suchan yang masih mematung di tempatnya. Iblis berperingkat dua itu segera menghampiri Suchan dan mencengkeram kerah kemeja butler iblis itu. "Suchan! Aku sudah bilang padamu agar tidak berbuat macam-macam, kan? Tapi kenapa kau melanggar?" hardiknya marah.

Suchan memasang tampang innocent-nya dan menjawab dengan tenang. "Saya tidak berbuat macam-macam, kok! Tadi... dia sendiri yang datang ke ruangan ini. Saya tidak bisa melarangnya, kan? Lagipula saya tidak tahu kalau yang datang itu Tuan Muda Ciel."

"Namanya Priscilla, baka! Dan dia itu bukan 'Tuan Muda'-mu, aho!" sergah Hichigo jengkel. Wah, wah, dalam satu percakapan saja sudah keluar dua kata hinaan! Benar-benar tak tahu etika.

Suchan menghela nafas pendek. Dia melepaskan tangan Hichigo yang masih mencengkeram kerah kemejanya.

"Saya tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi... bisakah Anda jelaskan," Suchan berhenti sejenak untuk menarik nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Siapa dia sebenarnya?"

Hichigo menepuk dahinya pelan. Dia mengeluh keras. Benci dengan keadaan seperti ini. Dia paling sebal kalau disuruh menceritakan segala sesuatu yang tidak ia ketahui, seperti asal-usul gadis yang ia sukai itu.

"Kenapa kau nggak tanya saja sama Tuan Aizen? Beliau kan' orang yang paling dekat dengan Priscilla! Beliau pasti tahu banyak tentang dia," saran Hichigo akhirnya setelah berpikir sekian lama.

Suchan menimbang-nimbang usulan yang baru saja dilontarkan iblis berpenampilan serba putih itu. Setelah berpikir cukup lama, akhirnya sang Quatro Diablo menghela nafas.

"Baiklah, akan saya tanyakan pada Tuan Aizen," ucap Suchan pelan, ada nada pasrah dalam suaranya. Hichigo nyengir penuh kemenangan. "Tapi, temani saya ya, Tuan Shirosaki."

Hichigo serasa membatu di tempat seketika. Iblis berpenampilan serba putih dan bermata kuning itu menatap angker ke arah Suchan. Dan memberi tatapan 'kenapa gue mesti ngikut sama loe?' kepada iblis berpenampilan butler yang ada di depannya. Suchan tersenyum tipis dan berseru dengan polosnya.

"Yaah, setidaknya kalau saya diapa-apakan sama Tuan Aizen kan' ada teman buat mati bareng!"

Sekali lagi Hichigo benar-benar merasa ingin mengunyah Quatro Diablo itu hidup-hidup!

"Kalau aku tak ingat kau ini anak buah kesayangannya Tuan Aizen, kau sudah kusate buat makan malamku, Suchan!" gerutu Hichigo jengkel.

Suchan yang jadi 'tersangka utama' dalam masalah ini, malah cengar-cengir gaje. Nampaknya ia senang sekali menggoda Segunda Diablo itu, dan sepertinya ia juga lupa kalau beberapa saat yang lalu dirinya tengah dilanda kesedihan karena bertemu kembali dengan orang yang sangat disayanginya. Sekali lagi catat. DISAYANGI dan bukannya DICINTAI. Suchan pernah menyatakan pada Aizen sebelumnya kalau dia itu 'normal' dan bukannya gay, jadi tak mungkin dia mencintai seorang LELAKI.

Hichigo membalikkan tubuhnya dan berujar pada Suchan yang ada di belakangnya. "Jangan melamun saja! Ayo, cepat ikut aku! Dasar Kecebong Hanyut!"

Suchan segera mengikuti langkah kaki Hichigo menuju kamar pribadi Aizen. Mungkin dengan bertanya pada Demon Lord yang memungutnya, dia akan tahu banyak hal mengenai gadis misterius yang ada di depannya beberapa waktu yang lalu.

-&&&&FGH%##%HGF&&&&-

Kedua iblis berbeda peringkat itu terus berjalan menuju ke sebuah ruangan besar dan membuka pintunya. Saat Hichigo membuka pintu itu, tampaklah sebuah ruangan berbentuk oval dengan 2 buah rak buku di sisi ruangan. Berbagai buku-buku yang kelihatannya sulit berjejer rapi di dalam rak itu.

Hichigo memanggil penguasa kastil neraka yang saat itu sedang membaca sebuah buku di ruangan itu dengan sopan. "Tuan Aizen, ini saya Hichigo Shirosaki dan Sebasuchan Mikaerisu datang untuk menghadap Anda."

Aizen segera menutup buku menarik yang sedang dibacanya, dan menatap lurus ke arah suara itu berasal. Alis pria berambut coklat itu mengernyit heran. "Ada apa gerangan kalian berdua ke tempatku?Bukankah aku tidak memanggil kalian berdua?"

Hichigo mengedikkan bahu. "Eeeng, etooo... sebenarnya ada yang ingin kami bicarakan..." ucap Hichigo memulai pembicaraan. Ada keraguan dalam nada bicaranya, dan Aizen jelas menangkap sinyal aneh dari anak buah yang diandalkannya dalam penyerangan itu.

"Bicaralah yang benar, Hichigo. Aku tak paham dengan maksudmu," tukas Aizen masih dengan alis mengernyit. Dahinya yang mulus terlipat-lipat saking bingungnya.

Karena Hichigo masih bingung memilih kata-kata yang tepat untuk diutarakannya pada sang penguasa kastil neraka, maka Suchan segera menyela. "Saya ingin menanyakan tentang gadis cilik... bernama Priscilla, Tuan Aizen."

Aura iblis Aizen meingkat seketika, dan membuat seisi ruangan itu terasa sesak. Hichigo yang menangkap gelagat kurang baik dari sang penguasa, segera menengahi. "Kami hanya ingin tahu asal-usul gadis itu, Tuan. Jika Anda keberatan, tidak usah diceritakan!" seru Hichigo takut-takut.

Tekanan aura iblis Aizen perlahan melunak. Tubuh tinggi dengan postur sedang itu diajaknya berdiri dari tempatnya duduk. Iris coklatnya menatap lurus ke arah iris ruby dan citrine secara bergantian sebelum akhirnya menghela nafas dan berkata.

"Dia bernama Priscilla Phantomhive," Aizen berhenti sejenak dan memejamkan mata coklatnya perlahan sebelum melanjutkan. "Inkarnasi dari Earl Ciel Phantomhive, sekaligus Decima Diablo yang baru. Menggantikan posisi Yammy Riyalgo di jajaran pasukan iblisku." Aizen kembali duduk di kursinya dan menyesap teh hijau yang ada di mejanya dengan keanggunan seorang aristokrat. "Sekaligus roh manusia terakhir yang kau makan. Benar kan, Suchan?" tanya Aizen seraya menatap tajam ke arah permata ruby milik iblis berpenampilan butler itu.

"Saya tidak akan menyangkal, Tuan," jawab Suchan pelan. Nada bicaranya tetap tenang, meskipun diberi tekanan begitu berat oleh Tuannya sendiri. "Dan sudah merupakan tanggung jawab saya untuk menjawab semua pertanyaan Anda dengan jujur."

Aizen tersenyum nista. "Jika benar begitu, apakah kau juga akan mengakui kalau sebenarnya kau ada affair dengan gadis cilik kesayanganku itu?"

Alis Suchan mengernyit. "Affair? Maksud Tuan?"

Aizen membuang nafas cepat. "Tak usah berpura-pura, Suchan. Aku tahu kalau hampir setiap saat gadis-ku itu memikirkanmu. Bukankah kalian mangadakan pertemuan diam-diam tanpa sepengetahuanku?"

"Jangan asal menuduh, Tuan!" seru Suchan membela diri. Tak tahan lagi dengan segala tuduhan tak berdasar yang dilontarkan oleh pria berambut coklat itu. "Saya baru pertama kali bertemu dengannya! Bagaimana mungkin Anda bisa mengambil kesimpulan kalau saya sering bertemu dengannya?"

Aizen tertawa pelan. "Kupikir wajah sepertimu itu bukan tipe orang pemarah. Ternyata dalam sikap kalemmu, tersembunyi 'sesuatu' yang mengerikan ya, Suchan." Mata merah Suchan menatap tajam ke arah pria bermata coklat itu. "Lalu, apakah hanya itu yang ingin kau sampaikan padaku, Suchan?" tanya Aizen lagi, penuh nada intimidasi.

"Sebenarnya, tadi saya bertemu dengannya secara tidak sengaja. Dia datang ke ruang perawatan saya, bermaksud untuk menjenguk saya. Tapi, saya tidak tahu kalau yang datang itu adalah inkarnasi dari Ciel," Suchan menarik nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Saya ingin tahu banyak hal tentangnya, tapi sepertinya sekarang bukan waktu yang tepat untuk bertanya hal itu padanya. Sebab, dia langsung lari ke dalam portal setelah bertemu dengan saya. Rupanya dia sangat shock, dan tak mau menerima kenyataan yang ada di depannya."

Aizen tersenyum samar. "Sudah kuduga, hal seperti ini cepat atau lambat pasti akan terjadi. Fuuuhh, kalau sudah begini, mau tidak mau kalian berdua harus mencarinya di dunia manusia. Karena dia adalah gadis yang sangat berharga untukku. Kalian mengerti?"

"Yes, my lord," sahut Suchan sopan seraya meletakkan tangan kanannya di depan dada dan tangan kiri di balik punggungnya. "Akan saya usahakan Nona Priscilla kembali ke pangkuan Anda," ucap Suchan seraya tersenyum pahit.

"Baiklah, aku juga akan berusaha mencarinya, Tuan Aizen. Karena bagaimanapun dia sudah kuanggap seperti adikku sendiri," ujar Hichigo dibarengi helaan nafasnya yang khas.

"Laksanakan segera!" titah Aizen tak sabar.

Setelah keduanya memberi penghormatan. Kedua iblis berbeda peringkat itu segera membuka portal menuju dunia manusia dan menghilang dalam gerakan yang tak tertangkap oleh mata. Aizen mendengus kesal seraya menatap ke arah perginya kedua anak bahnya itu.

"Apakah kau masih menyimpan kenangan pahit itu dalam hatimu, Priscilla? Padahal aku selalu ada untukmu. Tak bisakah hanya aku saja yang ada di hatimu?" gumam Aizen perlahan, seolah ia berkata pada dirinya sendiri. Selarik perih tergores di hatinya. Api cemburu bergolak-golak di sana. Cemburu pada seorang pria yang disangkanya akan merebut gadisnya dari sisinya, Sebasuchan Mikaerisu.

-&&&&FGH%##%HGF&&&&-

Keesokan harinya... Ggio dan Soifon berjalan-jalan ke tengah kota. Mereka bermaksud melepas penat yang menghimpit dada, dan ingin refreshing dari pertempuran yang mereka lakukan beberapa waktu yang lalu. Sesekali mereka menatap ke arah pohon momiji yang terus-menerus menggugurkan daunnya di tepian-tepian jalan yang mereka lalui. Pemandangan yang khas di Jepang saat musim gugur.

Meski sudah memasuki akhir November, tapi udara terasa begitu dingin. Bahkan Ggio bisa melihat uap putih dari hembusan nafasnya. Tapi, itu tak menyurutkan keinginan mereka untuk meluangkan waktu mereka untuk berjalan-jalan di kota.

"Rasanya tenang sekali, ya? Rasanya hampir nggak percaya kalau sebentar lagi kita akan berhadapan dengan Raja Iblis Aizen," komentar Ggio saat mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kota.

"Ya, kadang ketenangan ini membuat kita lupa kalau kita ini adalah Pencabut Nyawa. Dari kemarin saja kita terus-menerus melakukan pekerjaan kita seperti biasa, kan? Mencabut nyawa orang-orang yang sudah dijadwalkan mati?" tanya Soifon penasaran.

Ggio tergelak. "Hahahaha, memangnya kau berharap apa dari pekerjaan kita? Libur selama seminggu penuh tanpa mencabut nyawa manusia? Itu sungguh tidak mungkin!"

Soifon menjitak kepalanya perlahan. Ia hanya bermaksud menggoda Ggio, dan pria bermata emas itu sudah tahu perilaku Soifon kalau sedang berdua saja dengannya. Mereka menelusuri jalan-jalan di kota itu tanpa menyadari bahwa ada sepasang mata tengah mengawasi mereka dari kejauhan.

"Tunggulah... Ggio! Kita pasti akan bertemu lagi," bisik siluet bayangan itu dan dia pergi secepat kilat sebelum kehadirannya disadari oleh pemuda bermata emas itu.

Mendadak Ggio merasakan firasat buruk. Pemuda bermata emas itu menoleh ke arah ia merasakan firasat itu. Sayangnya, tidak ada apa-apa di sana.

'Rupanya hanya perasaanku saja,' batin Ggio masih tetap menatap curiga ke arah yang tadi dilihatnya.

"Kau sedang lihat apa?" tanya Soifon ingin tahu.

"Tidak, tadi aku merasakan ada seseorang di situ," jawab Ggio jujur.

Soifon memicingkan matanya, mempertegas penglihatannya ke arah yang ditunjuk oleh Ggio. "Tak ada orang di sana," komentar gadis itu setelah melihat sekeliling tempat itu dengan seksama.

Ggio menghela nafas. "Mungkin hanya perasaanku saja. Belakangan ini, aku sering berpikiran yang macam-macam. Aku juga mulai bermimpi buruk belakangan ini," kata Ggio pelan.

"Mimpi apa?" tanya Soifon penasaran.

Ggio menggelengkan kepalanya perlahan. "Entahlah, aku tak dapat mengingatnya dengan jelas."

Soifon mencebikkan wajahnya, dan berseru kesal. "Pasti mimpi cewek! Iya, kan? Kamu mimpi cewek cantik dan sedang berpose seksi, ya?"

"Bukan, kok! Sungguh!" elak Ggio seraya mengkibas-kibaskan tangannya di depan wajahnya. "Eh, kalau mimpi cewek sih, iya. Tapi, bukan mimpi cewek berpose seksi." Ggio berhenti sejenak. Nampaknya ia tengah berusaha untuk mengingat-ingat sesuatu. Ingatan masa lalu yang sempat hilang, tapi dia lupa tentang apa itu sebenarnya. "Rasanya seperti... cewek muda yang sedang... sekarat," ucap Ggio ragu.

"Cewek sekarat? Mimpi firasat tentang manusia yang akan kau jemput beberapa hari lagi?" Soifon mencoba menerka apa maksud dari mimpi yang dialami oleh kekasihnya itu.

Sekali lagi, pemuda berambut gelap berkepang itu menggelengkan kepalanya. "Rasanya bukan tentang manusia yang akan kujemput beberapa hari lagi. Mimpi itu berasa begitu nyata. Seolah, aku ada di sana dan mencabut nyawanya."

"Apakah kau melihat dirimu yang mencabut nyawa gadis itu?" tanya Soifon lagi. Entah kenapa rasa penasaran begitu menguasainya hari ini, dan entah kenapa... ada selarik perih tergores di dadanya.

"Nope. Bukan aku yang mencabut nyawa gadis itu," jawab Ggio lirih. Hampir tak terdengar. Soifon sampai harus memasang telinganya dan memfokuskan pendengarannya untuk bisa mendengar ucapan Ggio itu.

"Lalu?" kejar Soifon tak sabar.

Ggio mendadak gelisah. Sungguh, ia tak tahu secara jelas apa yang ia lihat di dalam mimpinya. Wajah gadis itu begitu kabur, dan siluet benda tajam yang memotong rantai karma gadis itu... AAAGGGHH! Ggio benar-benar tak tahan untuk memikirkan itu semua. Ingatan-ingatan yang ia kubur dalam-dalam terasa begitu menyesakkan otaknya, dan itu membuatnya sangat stres.

Soifon segera sadar kalau sikapnya terlalu berlebihan. Ia harus segera mencari sesuatu yang bisa membuat Pencabut Nyawa bermata emas itu relaks dan sedikit melupakan beban pikirannya. Gadis bermata abu-abu itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling tempat itu dan tertumbuk pada sebuah toko.

'Itu dia!' seru Soifon girang dalam hati. Tanpa basa-basi lagi, gadis berkepang dua itu segera menarik tangan Ggio.

"Eh, eh, kita mau ke mana, Soi?" tanya Ggio heran.

"Ayo, kita ke sana! Mungkin ada sesuatu yang bisa membuatmu rileks!" jawab Soifon dengan riangnya.

Ggio mengernyitkan alisnya. Tak mengerti dengan apa yang akan gadis itu lakukan untuknya. Tapi, dia memilih untuk diam dan tak banyak bertanya. Ia percaya, alau gadis itu pasti akan melakukan sesuatu yang terbaik baginya.

Setibanya mereka di tempat yang dimaksud... "Toko roti?" Ggio kembali mengernyitkan alisnya.

"Iya! Mungkin saja di toko ini ada roti yang bisa mengusir kegelisahanmu itu!" seru Soifon masih dengan senyum manis terpampang di wajahnya.

"Kita memang tak punya rasa lapar, tapi bukan berarti kita harus selalu memakan sesuatu yang kita temui, kan?" tanya Ggio bingung.

"Sudahlah! Pilih saja roti yang kau suka! Aku yakin setelah memakannya, kau pasti akan bersemangat kembali!" jawab Soifon tak peduli.

Ggio akhirnya menyerah. "Baiklah!" ujarnya pasrah. Dia berjalan ke arah etalase tempat roti-roti dipajang. "Humm, pilih yang mana, ya?" gumam Ggio seraya melihat-lihat jenis roti yang di pajang di etalase itu.

Toko roti The Espada's yang mereka kunjungi menjual berbagai macam roti dari seluruh negara dunia. Tak hanya roti, kue-kue tradisional dan aneka cake juga dijual di sana. Cheese Cake, Muffin, Pai Apel, Black Forest, Croissant, Baguette... semuanya terpajang dengan apik di etalase toko itu. Bentuk yang cantik, bau yang menggiurkan, dan warna-warna yang menarik membuat air liur Ggio serasa mau menetes.

"Cepat pilih!" omel Soifon tak sabar.

"Habis semuanya enak, sih!" tukas Ggio seraya menjilat bibir.

Soifon jadi semakin jengkel dibuatnya. "Kalau begitu, beli saja semua yang kau suka!" titahnya tak sabar.

"Boleh, nih?" tanya Ggio dengan mata berbinar-binar.

"Iya, boleh," jawab Soifon dibarengi helaan nafas khasnya. "Tapi, bayar pakai uang sendiri, ya?"

"Nggak apa-apa, deh!" tukas Ggio ceria. "Waah, pilih yang mana, yaaaa?"

Mata emasnya melihat-lihat roti yang akan dia beli. Tiba-tiba pandangannya tertumbuk pada dua buah objek. Sinar matanya yang semula ceria, kembali meredup seperti beberapa saat sebelumnya.

"Maaf, saya beli ini dan ini," tunjuk Ggio pada dua jenis roti yang akan ia beli dengan tidak bersemangat.

Pelayan toko itu segera menjapit roti–roti yang dipesan oleh Ggio dan membungkusnya dengan kotak yang sangat cantik. Pelayan itu menata roti-roti itu dengan sangat rapi dan apik, membuat Soifon terkagum-kagum dibuatnya.

Setelah selesai membayar, mereka berdua keluar dari toko itu. Ggio memeriksa isi kotak roti yang ia beli tadi, dan tersenyum sedih saat menatap isinya. Butter roll dan Kouign Amann. Entah kenapa, melihat kedua jenis roti itu membuat pikirannya kembali melayang jauh. Kembali ke ingatan... yang sebenarnya sudah sangat lama. Ingatan, yang benar-benar ingin dilupakannya seumur hidup. Dan ia tak pernah berharap dirinya bisa mengingat hal itu lagi, sampai kapanpun...

-&&&&FGH%##%HGF&&&&-

Ggio's POV

Ini salah. Semua ini salah dari awal.

Aku menatap Apache dari kejauhan. Rambut biru safirnya berkilauan ditimpa sinar matahari. Kulit putih mulusnya dilindungi oleh bayang-bayang pohon maple yang ditanam di pinggir bakery. Celemek putih berenda yang diikat di pinggangnya yang mungil kini belepotan dengan krim kacang dan cokelat. Ia melangkah melewati kursi-kursi besi di sekitarnya dengan begitu ringan, seolah ia punya sayap di punggungnya.

Apache adalah anak seorang tukang roti di Champ Elysees. Apache adalah teman manusiaku yang tidak tahu apapun tentang identitas asliku. Apache adalah wanita yang kucintai.

Sekali lagi kutatap Apache melenggang ke luar bakery dan menata butter roll di etalase kecil. Aroma manis butter roll yang baru dipanggangnya mengusik hidungku. Kulit cokelatnya berkilat dan mengepulkan asap hangat. Aku memang tidak memiliki rasa lapar. Tapi butter roll buatan Apache selalu berhasil menggoda mulutku untuk mencoba melahapnya.

Aku berdiri menantang angin yang berhembus dan sayap hitamku kubentangkan. Kubiarkan diriku terjatuh dari ketinggian 15 kaki—dari puncak gedung Grand Lafayette—dan membiarkan sayap-sayapku mengepak perlahan. Aku pun membiarkan rambut gelapku yang dikepang pendek bergoyang terkena hempasan angin dan terakhir... aku membiarkan kedua kakiku menyentuh tanah tanpa suara. Apache terlonjak kaget ketika kutepuk pundaknya.

"Ggio! Kau mengagetkanku! Mau beli butter roll seperti biasa, ya?" tanyanya ramah.

Aku tersenyum dan mengangguk. "Seperti biasa, Apache. Tak usah dimasukan ke dalam kotak. Bungkus saja dengan tisu, akan kumakan sambil berjalan."

Apache menjapit dua butter roll dan menyimpannya di baki plastik. "Tunggu sebentar, ya!". Ia masuk lagi kedalam bakery dan membungkus dua butter roll pesananku dengan kertas tisu. Aku berjalan menelusuri sisi bakery, dan dari kaca transparan, kulihat para pekerjanya sedang membuat kue yang tak asing lagi untukku. Kue tradisional daerah Breton yang adonannya dipenuhi dengan gula dan mentega.

"Ini!" Apache menyerahkan dua buah butter roll dalam dua bungkus kertas tisu dan menolak uang euro yang kuberikan padanya. "Tenang saja, ini gratis untukmu. Kau kan sudah membantu membawakan belanjaanku kemarin!" serunya sambil–lagi-lagi–memamerkan senyuman manis yang selalu bisa membuat hatiku luruh.

"Terima kasih," Aku mengambil butter roll itu dan menunjuk kaca transparan yang menunjukkan aktifitas para chef de pâtisserie sedang memanggang kue yang harum. "Kalian sedang membuat Kouign Amann, ya?" tanyaku penasaran. Asal kau tahu saja, Kouign Amann adalah roti terenak yang pernah kumakan. Di dalamnya terdapat semacam puding yang manis dan lembut. Dan kurasa tak berlebihan jika aku mengatakannya sebagai 'roti isi gula-gula yang paling istimewa'.

Apache mengikuti arah yang kutunjuk dan menjawab riang. "Ya. Itu kan andalan bakery kami. Kemarin Ibu menemukan resep baru yang kurasa akan sangat disukai pelanggan kami. Rencananya, Kouign Amann special recipe ini baru akan launching pas jam makan siang nanti. Mau kubungkuskan juga?"

Aku menggeleng cepat. "Tidak, tidak perlu. Dua buah butter roll sudah cukup untuk sarapan."

"Apache, bisakah kau membantuku di dalam?"seru seorang wanita yang baru saja keluar dari dalam bakery. Ia ibu Apache, Madame Cirucci Sanderwicci.

"Bonjour, Madame,"sapaku.

Madame Sanderwicci, wanita bertubuh mungil dengan rambut ungu ikal itu menoleh dan membalas salamku sambil tersenyum. "Bonjour, Ggio. Terima kasih sudah membantu Apache kemarin. Apa kau akan memakan butter roll itu untuk sarapan?" tanyanya sambil melirik butter roll di tangan kananku.

"Iya, Madame."

Madame Sanderwicci menggeleng, "Anak-anak zaman sekarang makannya sedikit sekali. Apa kalian tidak merasa kasihan pada tubuh kurus kalian? Ya sudahlah, kalau kau rasa cukup. Maafkan aku Ggio, sebenarnya aku ingin menemanimu sarapan, tapi banyak sekali pelanggan pagi ini. Sampai jumpa nanti, ya! Apache, kutunggu kau di dalam," Lalu ia segera memasuki bakery dan bergegas menuju dapur.

Tiba-tiba Apache mengambil tanganku yang bebas dan menyerahkan kopi hangat dalam gelas kertas. Aroma kopi robusta yang kental menguar dari dalam, menggoda untuk segera diteguk.

"Untuk menghangatkanmu!" serunya.

Suara Madame Sanderwicci terdengar dari dalam bakery, memanggilnya.

"Iya, Ibu! Maaf Ggio, aku harus membantu Ibu. Sampai jumpa nanti!" serunya sambil masuk kedalam bakery.

Aku diam terpaku diluar, menatap sosoknya yang dengan sabar dan ramah melayani seorang ibu dan anak perempuannya yang rewel. Aku berbalik dan melangkah pergi. Kuhirup dalam-dalam udara pagi Paris yang segar. Kunikmati tiap hembusan angin yang menerpa wajahku dan ketika kakiku melangkah melewati Sungai Seine.

Saat menyusuri jalanan di sekitar taman, aku memberikan butter roll dan kopiku pada orang tua tunawisma yang sedang tidur di pinggir jalan. Kusunggingkan senyum tipis di bibirku dan kutatap bakery tempat Apache tinggal. Mata emasku berkilat bahagia. Aku ingin sekali merasakan kebahagiaan seperti ini selamanya.

-&&&&FGH%##%HGF&&&&-

Serpihan cahaya menghilang ke angkasa di hadapanku. Roh pria yang baru saja kucabut nyawanya sudah kukirim ke tempat yang semestinya. Kuhapus peluh yang membasahi keningku. Angin menggerakkan tiap helai bulu di kedua sayap hitamku.

Aku menarik napas panjang dan menikmati tiap udara yang mengalir melwati hidungku. Aku paling menyukai udara Paris, selalu membantuku kalau perasaanku sedang kacau. Mungkin sudah tercemar disana sini, tapi aromanya yang khas tak pernah bisa kuhilangkan dari benakku. Mereka bilang aku sudah kecanduan, dan kurasa mereka benar.

Aku pergi mencari tempat yang sepi, agar sayapku bisa segera kumasukkan kembali, dan aku tak perlu muncul mendadak di depan orang ramai, ketika sesosok pria dengan jubah hitam yang menutupi setengah wajahnya, muncul di hadapanku.

"Tugas yang agak sulit rupanya, Ggio?" tanyanya, setelah melihatku bermandi keringat.

Aku menatap Kenpachi—nama pria itu—dengan kesal. "Pria itu mabuk dan menusuk temannya. Lalu ia menusuk jantungnya sendiri. Sudah pasti ia histeris, ia bahkan mencoba menghajarku tadi. Aku harus berkelit dan memitingnya sambil berusaha memotong tali kehidupannya. Ada bagian yang terdengar mudah bagimu?"

Kenpachi menyeringai senang. "Itulah yang membuat tugas kita yang bersayap hitam lebih menarik. Bukankah tadi kau ditemani Isane?"

"Tugas Isane lebih mudah," jawabku sambil mencuci muka di pancuran air di dekat situ. "Dia bertugas membawa roh temannya si pemabuk. Rohnya hanya menanyakan beberapa hal sebelum dikirim Isane. Tugas Pencabut Nyawa bersayap putih memang lebih enak!" sungutku kesal.

"Ya, tapi tidak seru," ujar Kenpachi sambil meniup debu dari sela kuku-kukunya.

Aku duduk di bangku taman sebelah pancuran dan merebahkan diri sambil menutup mata emasku, mencoba menikmati udara Paris yang sangat kusukai. Angin bertiup pelan dan mengeringkan air di wajahku. Rasa dinginnya benar-benar membuatku nyaman. "Ada apa kau mencariku, Kenpachi?"

Pria bertubuh besar itu duduk di sebelahku, menyerahkan secarik kertas ke hadapanku. "Tugas berikutnya, dua jam lagi."

Kurenggut kertas itu dari tangan Kenpachi, dan baru kubuka kedua mataku ketika kertas itu tepat berada di hadapanku. Mata emasku terbelalak lebar. Aku langsung terduduk tegak dan menatap Kenpachi tak percaya. "Aku benar-benar harus mengambil nyawanya? ! HARUS? !"

Kenpachi mengernyitkan keningnya. "Tentu saja. Penjelasannya ada di belakang, seperti biasa. Kau ini kenapa, sih? Ingat! Dua jam lagi, tidak lebih, tidak kurang. Kau tahu peraturannya. Aku pergi dulu, masih harus memberi tugas pada yang lain."

Sayap Kenpachi terbentang dan ia dengan cepat menghilang ke angkasa. Meninggalkanku terduduk lemas, tak tahu harus berbuat apa.

-&&&&FGH%##%HGF&&&&-

Satu jam lima puluh lima menit kemudian, aku terdiam di depan bakery milik kelurga Sanderwicci. Sayapku mengepak dan membawaku ke lantai dua, ke lantai pribadi pemiliknya. Tubuhku menembus dinding bata di luar dan dalam sekejap aku sudah berada di sebuah kamar dengan kertas pelapis dinding berwarna jingga yang kusam. Seorang wanita tertidur di tempat tidur kecil di sudut. Celemek yang biasa ia kenakan, tergantung di dinding. Aku melirik jam saku yang tergantung di leherku. Dua menit lagi.

Aku menghampiri sisi tempat tidur. Aku melihat wanita yang sedang terengah-engah berusaha bernapas dan akhirnya mengeluarkan batuk darah dengan tatapan nanar. Nampaknya ia berusaha menahan penyakitnya selama ini. Aku kembali menatap jam saku-ku dengan enggan. Empat puluh lima detik lagi.

Telapak tanganku bersinar, dan ketika kuacungkan tanganku ke udara, kupanggil wakizashi-ku, senjata untuk memotong tali kehidupan. Wakizashi itu muncul di udara, perlahan, serpihan demi serpihan mulai menyatu dan membentuk wakizashi yang utuh. Kugenggam erat gagangnya dan kuayunkan wakizashi itu menghadap ke depan.

Aku menekan udara, tepat di atas tubuh wanita itu. Ia mengerang sedikit, tapi tetap tidak sadar bahwa sepotong rantai berkarat kini menghubungkan roh dan tubuhnya. Lagi-lagi ia mengeluarkan batuk darah. Aku semakin berharap waktu cepat berjalan, karena aku tak sanggup melihatnya begitu menderita.

Tiga…dua…satu…

Rantai kupotong dengan wakizashi di tanganku, bersamaan dengan pintu kamar yang terbuka.

"Ibu, aku membawakan teh hangat dan o…"

PRANG!

Apache menjatuhkan cangkir putih yang dibawanya ketika ia melihatku. Mata berbeda warnanya yang biasanya menatapku lembut, kini terbelalak ketakutan.

"IBU! Ggio, apa yang kau lakukan padanya?" Apache berlari menuju ranjang ibunya dan bersimpuh di samping tempat tidur. Sudah terlambat. Roh Madame Sanderwicci menjerit kencang, meminta agar dirinya diberi kesempatan hidup sekali lagi. Tapi entah bagaimana, rasa terkejut yang melandaku berhasil menutup kedua telingaku dan aku hanya mendengar sayup-sayup jeritannya.

"Kau... kau bisa melihatku?" tanyaku setengah gemetar.

Apache menatapku dengan mata—yang berbeda warna antara kiri dan kanannya itu—yang bersimbah air mata. "Tentu aku bisa melihatmu! Aku tahu kau sering melihat kami setiap pagi dari puncak Lafayette! Aku selalu melihat bayangan sayap hitam di punggungmu!" Apache terdiam sebentar untuk menarik napas dan akhirnya berteriak sekali lagi, "Aku tahu kau ini apa! "

Napasku seakan terhenti. Segala upaya yang kulakukan untuk mennyembunyikan identitasku, percuma rupanya. Apache sudah tahu siapa aku ini. Dan ia tidak takut padaku, tetap tersenyum padaku, tetap memberiku roti setiap pagi.

"Ggio... kumohon… kembalikan Ibu… aku tak bisa hidup sendiri… kumohon Ggio…" Apache kini memeluk kedua kakiku, memohon sambil membasahi celana panjang hitamku dengan airmatanya. "Atau kau tukar saja nyawa kami… Bawalah aku, menggantikan Ibu... Ggio, kumohon…"

Aku melompat cepat ke belakang, menghindari Apache. Kuarahkan telapak tanganku ke roh Madame Sanderwicci yang masih terus menjerit, memekakkan telinga. Kini tubuhnya bercahaya, dan pecah menjadi ratusan keping cahaya, yang dengan cepat menghilang di tengah kegelapan.

Aku berusaha membuka mulutku, menekan segala emosi yang menghantam dadaku, berusaha menjelaskan perihal kematian ibu dari gadis manusia yang kucintai ini, "Manusia tak boleh ikut campur urusan hidup dan mati, Apache. Ibumu ditakdirkan mati pada malam ini karena…"

Tapi Apache menutup kedua telinganya dan menjerit. "Tidak! TIDAK! Aku tak mau dengar! Kembalikan ibuku, Ggio! AKU MAU IBUKU!"

Kejadian berikutnya terjadi dengan sangat cepat. Aku baru akan berlari untuk memeluk dan menenangkannya, ketika sepotong rantai keluar dari tubuh Apache, memisahkan roh dengan tubuhnya. Tubuh manusia Apache tergeletak lemas, sementara rohnya terus menangis tanpa sadar akan perubahan yang baru saja terjadi.

Sebuah tombak hitam mengayun turun, memotong rantai dari tubuh Apache. Tubuh rohnya bercahaya—dan sambil menangis memanggil ibunya—roh Apache menghilang perlahan, sampai akhirnya tidak terlihat sama sekali.

Aku berdiri terpaku, menatap si pemilik tombak, yang masih berdiri di depanku, di depan tubuh kosong Apache. Dia Ulquiorra, teman sesama Pencabut Nyawaku.

"Lemah jantung sejak lahir. Jantung gadis ini tidak kuat menahan emosi, karena melihat ibunya meninggal," Ulquiorra ganti menatapku. Mata emerald-nya nampak menyimpan sesuatu yang aneh. Ada semacam... perasaan bersalah di pantulan matanya itu. "Kita bertugas pada saat yang sama. Untung aku tak perlu mengurus ibunya juga."

Ia berjalan menuju tempatku berdiri. Ketika ia melewatiku, ia berkata. " Mencintai manusia tidak pernah berakhir baik, Ggio. Kita tak boleh punya kontak emosi sedikitpun pada manusia. Aturan itu dibuat untuk kebaikan semuanya. Kurasa kejadian hari ini bisa jadi satu pelajaran berharga untukmu."

Sesampainya di depan jendela, ia membentangkan sayap dan terbang keluar.

Aku masih di kamar ini, menggenggam pedang pendekku, menatap tubuh gadis yang pernah kucintai, mengingat senyuman hangatnya yang selalu menjadi suntikan semangatku, mengingat roti hangat yang selalu diberikannya tiap pagi. Meneteskan air mataku yang pertama dan terakhir.

Sudah kukatakan ini semua salah dari awal. Karena itu aku memutuskan, bahwa aku... Tak mau lagi berurusan dengan manusia. Aku ingin agar semua kenangan pahit ini tertutup selama-lamanya, dan bila perlu... Aku tak mau mengingatnya lagi. Sampai kapan pun...

-&&&&FGH%##%HGF&&&&-

Normal POV

"Ggio? Ggio?" Soifon mengkibas-kibaskan tangannya di depan wajah Ggio, membuat pemuda itu tersentak kaget.

"Eh, iya? Ada apa, Soi?" tanyanya kikuk.

Mata abu-abu Soifon memancarkan perasaan heran pada pemuda berkepang pendek itu. Ia pun bertanya padanya. "Kau sedang memikirkan apa tadi? Wajahmu tampak begitu menderita."

Jantung Ggio serasa berhenti berdetak seketika. 'Jadi... ia memperhatikanku saat memori beberapa puluh tahun silam itu terbayang di kepalaku? Gawat!' pikirnya berusaha mengalihkan pembicaraan Soifon.

"Menderita? Aku? Masa, sih?" jawab Ggio sambil tertawa pelan. Tawa palsu untuk menyembunyikan kegalauan hati yang sempat merayap di hati sanubarinya.

Soifon menangkap adanya kebohongan dalam sikap Ggio. Dengan secepat kilat, tangannya telah memegangi bahu pemuda bermata emas itu dan berkata padanya dengan nada setengah mendesak.

"Kau bohong, Ggio! Apa yang kau sembunyikan?"

"Tak ada yang kusembunyikan!" jawab Ggio ketus. Ia memalingkan wajahnya dari Soifon, agar gadis itu tak melihat raut wajahnya yang memalukan saat ini. Tapi dengan cepat Soifon segera menahan kepala pemuda itu agar memperlihatkan wajahnya, dan betapa terkejutnya Soifon karena ia melihat gurat kesedihan di wajah Ggio.

"Kau bohong..." ucap Soifon pelan. "Wajahmu itu berkata kalau kau sedang bersedih. Kau menderita karena kehilangan sesuatu yang berharga. Kenapa kau tak mau menceritakannya padaku, Ggio!" teriak Soifon marah.

Ia begitu marah, dan kesal karena pemuda itu berani menyembunyikan kesedihan dan tak mau menceritakan padanya. Padahal selama ini, hanya Ggio-lah yang ia percaya. Tapi, kenapa Ggio tak mau mempercayainya?

Ggio menundukkan kepalanya, dia menarik nafas dalam-dalam sebelum berkata pada gadis berambut biru tua berkepang itu dengan suara yang amat sangat parau. "Aku bukannya tak mau menceritakannya padamu," Ggio terhenti lagi, wajahnya nampak sangat menderita. "Tapi, aku sendiri sudah bertekad untuk melupakannya. Agar aku tak lagi merasakan penderitaan, karena ditinggal oleh orang yang kusayangi."

Gadis itu mendengarkan ucapan Ggio dengan penuh perhatian. Ia tahu kalau memaksa seseorang untuk bercerita tentang masa lalunya itu salah, tapi... dia benar-benar ingin tahu apa yang dialami oleh Ggio waktu itu. Karena itu, gadis berambut biru tua itu mengajak pemuda berambut gelap berkepang itu duduk di bangku taman yang berada tak jauh dari pusat pertokoan.

"Kau bebas bercerita di sini," kata Soifon pelan. Meski terdengar biasa saja, namun ada nada perintah di dalam kalimat itu. Gadis Pencabut Nyawa berambut biru tua berkepang itu melipat tangan di depan dada, menunggu kalimat-kalimat yang dia inginkan keluar dari mulut Ggio.

Ggio menarik nafas dalam-dalam. Mata emasnya menatap lurus ke arah iris abu-abu Soifon. Haruskah dia menceritakan semuanya pada gadis ini? Apakah dia tak akan cemburu? Tapi...

"Dulu... aku pernah suka pada seorang gadis manusia," tanpa sadar, mulut Ggio mengeluarkan suara. Soifon mendengarkannya dengan seksama. "Aku tahu kalau seorang Pencabut Nyawa tak boleh menjalin hubungan batin dengan manusia, tapi waktu itu... Aku terpesona dengan kebaikan hatinya, dan juga senyum manisnya yang tulus. Berada di dekatnya, aku merasa nyaman. Aku selalu bersemangat bila ada di dekatnya," Ggio berhenti sejenak, menarik nafas lagi sebelum melanjutkan ceritanya. "Tapi, hari itu... semuanya berubah."

"Berubah?" tanya Soifon tak paham. "Memangnya apa yang terjadi saat itu? Kekasihmu itu meningal, dan kau yang ditugaskan untuk mencabut nyawanya?"

Ggio menggelengkan kepalanya. "Bukan. Meski dia meninggal di depan mataku, bukan itu yang menyebabkan semuanya berubah."

"Lalu?" kejar Soifon penasaran.

"Hari itu, aku ditugaskan untuk mencabut nyawa ibunya Apache. Aku tahu itu berat, tapi aku terpaksa menjalaninya. Aku sama sekali tidak merasa senang, karena bagaimanapun... dia ibu dari wanita yang kucintai," Ggio berhenti lagi. Nafasnya semakin tak teratur. Rupanya sambil menceritakan hal itu pada Soifon, ia berusaha untuk menahan gejolak perasaannya yang membuncah di dadanya. "Kupikir, aku bisa meyelesaikan tugasku dengan cepat tanpa ada hambatan. Tapi, aku salah. Aku salah, karena tepat pada saat aku mencabut nyawa ibunya Apache, gadis dengan bola mata berbeda itu memergokiku. Dan dia histeris."

"Lalu apa yang menyebabkan kekasihmu itu meninggal? Bunuh diri karena ditinggal ibunya? Itu kan bisa membuatnya mati sesat dan akan dihukum di neraka selama-lamanya!" ujar Soifon tanpa pikir panjang lagi.

"APACHE BUKAN ORANG SEPERTI ITU! DIA MEMANG LABIL, TAPI DIA TAK AKAN PERNAH MELAKUKAN HAL BODOH MACAM BUNUH DIRI!" Ggio membentak Soifon. Ada mendung menggelayut di pelupuk matanya, tapi ia berusaha keras untuk menahannya.

"Maaf, maaf. Aku kan tidak tahu! Jadi, wajarlah aku menduga seperti itu!" tukas Soifon, berusaha membela diri.

Ggio sudah kembali tenang, meski nafasnya masih terengah-engah karena menahan perasaan. Pemuda berambut gelap itu kembali melanjutkan ceritanya. "Dia histeris, karena ibunya meninggal. Dia memintaku untuk mengembalikan rohnya ke tubuh aslinya, tapi aku tak bisa mengabulkannya. Karena ibunya memang sudah ditakdirkan untuk meninggal pada hari itu. TBC akut sudah menggerogotinya sejak lama, dan Apache tak mau mendengarkan penjelasanku. Dia menangis, dan menjerit histeris. Waktu itu aku tak tahu apa yang terjadi, tapi tiba-tiba Apache roboh dan dia berubah menjadi roh. Aku berusaha untuk menenangkannya, tapi... tapi Ulquiorra menahanku, dan dia..." Ggio nampak sangat bingung untuk melanjutkan ceritanya, kesedihan yang begitu dalam menguasainya dan membuatnya kesulitan untuk melanjutkan ucapannya.

"...menebas rantai karma kekasihmu dengan tombaknya?" sambung Soifon, sekadar menebak kelanjutan cerita Ggio.

Ggio menganggukkan kepalanya. "Ulquiorra berkata padaku... kalau seharusnya sejak awal aku tak boleh mencintai manusia, karena itu hanya akan membuatku sedih. Dia memang tak salah, karena dia juga sama sepertiku. Pernah kehilangan seseorang yang sangat disayangi, dan mereka berasal dari kaum manusia..." Ggio menghela nafas panjang. Mata emasnya menerawang ke arah awan-awan yang berarak di langit, mencoba mengusir penat yang menggumpal di dada.

"Karena itulah, aku tak mau lagi bertugas di dunia manusia. Aku ingin mengubur dalam-dalam kenangan hari itu, dan berusaha untuk menjalani hariku yang baru bersamamu," ia berhenti lagi. Nampaknya berat sekali untuk mengucapkan kata-kata itu, tapi ia tak boleh menyimpannya lebih lama lagi. Dia harus menceritakan semua yang telah mengganjal di hatinya selama ini pada Soifon. Gadis yang selama ini telah berbagi segala hal dengannya, baik susah maupun senang. Maka ia tak ragu lagi untuk mengutarakan semua uneg-unegnya pada Soifon. "Kupikir, aku akan senang dengan melupakan semua itu dan tak mengingatnya lagi. Tapi ternyata, tak bisa begitu. Kenangan itu kembali muncul pada saat aku telah melupakannya. Pada saat aku telah menemukan kebahagiaanku yang baru! Apakah mungkin... dia dendam padaku?" ucapnya ragu pada dirinya sendiri.

"Tak mungkin dia dendam," jawab Soifon tanpa ragu. Membuat bola mata emas Ggio membulat dan menatap aneh ke arah gadis yang berada di sebelahnya itu. "Kita telah ditugaskan untuk mencabut nyawanya dan tak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan nyawanya. Kita hanya ditugaskan untuk mencabut nyawa manusia yang telah ditakdirkan untuk meninggal, dan juga membasmi iblis yang berusaha untuk memakan jiwa mereka. Hanya untuk itulah kita ada. Jika kita tidak menjalankan tugas kita, maka—"

"—Sayap kita akan dicabut dan kita hidup layaknya manusia biasa, kan? Menunggu hingga saatnya tiba ajal menjemput dan hidup dalam ketidak pastian," Ggio memotong kata-kata Soifon, membuat gadis itu terbelalak kaget akan ucapan pemuda bermata emas itu. "Itu kan yang mau kau katakan padaku, Soi?" tanya Ggio dengan tatapan penuh keyakinan.

Soifon tak bisa mengelak dari semua yang dikatakan oleh pemuda itu, karena semua yang dia ucapkan memang benar. Tapi, dia begitu penasaran. Apakah Ggio begitu mencintai gadis itu? Bahkan setelah pria itu berpacaran dengannya sampai sekarang, bayang-bayang gadis manusia itu tak jua hilang dari memori Ggio. Soifon sempat berpikir, jangan-jangan dia hanya pelampiasan Ggio saja. Tapi... entah kenapa, sudut hatinya mengatakan kalau itu mustahil. Ia tak percaya kalau Ggio sampai hati melakukan itu padanya.

'Ggio bukan orang macam itu,' pikir Soifon. 'Dia pasti hanya terbawa suasana, makanya ingatan masa lalunya menyeruak keluar. Dia tak mungkin hanya menjadikanku sebagai 'tong sampah'.'

Ggio menghela nafas panjang dan berat. "Sudahlah, Soi. Aku tak ingin lagi membahas soal itu," tubuh kurusnya ia ajak berdiri. "Ayo, kita kembali ke apartemen kita," ajaknya seraya mengulurkan tangan pada Soifon.

Soifon masih menatap ragu iris berwarna emas itu, tapi ia tetap menggenggam hangat tangan kurus Ggio. Gadis berambut biru tua berkepang itu bangkit dari duduknya dan beranjak dari tempat itu. Sempat ia melihat Ggio menoleh sekilas ke arah toko roti tempat pemuda itu membeli butter roll tadi. Pemilik mata abu-abu itu menghela nafas. Memang sulit bagi Ggio untuk menghapus kenangan lamanya dengan gadis manusia bernama Apache itu. Bahkan setelah dirinya mengisi hari-hari Ggio pun, bayang-bayang Apache masih melekat di memori pemuda bermata emas itu.

Ada perasaan aneh merayap di hati Soifon, tapi gadis itu tak tahu perasaan apakah itu. Mungkin yang bisa ia lakukan saat ini, hanyalah... tetap berada di samping Ggio sampai kapan pun. Tetap bersamanya walaupun bukan dia yang pertama kali hinggap di hati Ggio.

Nun jauh di kastil neraka... "Jadi, kali ini kau mau berhadapan dengannya? Apakah karena dendam lama?" tanya Aizen dibarengi senyum ramah palsunya.

"Ya, Tuan Aizen. Saya dendam sekali padanya," jawab seseorang yang ada di hadapan pria berambut coklat itu. "Saya ingin membuat perhitungan dengannya."

"Humm," pria muda itu nampak tengah berpikir keras. "Kau boleh pergi ke dunia manusia dan berbuat sesukamu..." Aizen berhenti sejenak dan menghirup teh hijaunya perlahan sebelum menambahkan. "...Apache."

**To Be Continued**

Rinne notes : Oh, F**K! Kenapa otakku macet di saat seperti ini? Cliffhanger di bagian-bagian yang sangat penting? Astaga! Ok, ini sudah kuperbaiki di sana-sini. Semoga tak ada lagi yang salah. Euh, dengan mata kiri minus 5 ½ aku rasa sulit untuk menemukan typo yang nyempil di antara ribuan kata.

Well, ketika mengetik chapter ini telingaku terus dimanjakan oleh lagu 'Look Through My Eyes' dan 'On My Way'-nya Phil Collins dan 'Bonamana'-nya Superjunior. Jadinya seperti ini deh, hasilnya! Tadaaaaa~!

Ok, deh. Karena tak ada balesan review di chapter ini (Ohya, ada di chapter depan! Maaf yang belum dibales repiu-nya! Belum ada waktu luang lagi, sih.), bolehkah kuminta sepucuk review-nya dari para readers sekalian? Please review, if don't mind! Kutunggu kehadiran kalian semua di chapter selanjutnya!

REVIEW! REVIEW! REVIEW! Karena review dari Anda semua sangat berarti bagiku. OK?