KEJUJURAN

Disclaimer : J.K Rowling

Pair : Draco Malfoy – Harry Potter

Rate : M

Genre : Romance

WARNING : No war, OOC, OC

-O-O-O-O-O-O-O-O-O-O-O-

O-O-O-O-O-O-O

-O-O-O-O-O-O-O-O-O-O-O-

"Minggir kau, Potter," hardik Draco Malfoy.

"Kau tak bisa berjalan lebih ke pinggir sedikit atau memang kau sedang ingin ribut denganku, Malfoy," jawab Harry dingin.

Draco melipat tangannya di depan dada dan wajahnya terangkat angkuh, "itu urusanku, jadi minggirlah sedikit karena aku tak ingin bersentuhan denganmu."

"Kata-katamu menjijikkan sekali Mr. Congkak," balas Harry dan melangkah keluar dari kelas. Dia tak melihat kilat aneh di mata Draco.

Harry Potter dan Draco Malfoy adalah musuh sejak pertama mereka bertemu, entah siapa yang memulai sehingga hubungan mereka menjadi seperti itu. Harry memandang Draco sebagai anak bangsawan yang angkuh dan Draco memandang Harry sebagai si pencari perhatian karena dia bisa dengan mudah disukai orang, dan lagi alasan asrama yang dari turun temurun selalu tidak pernah akur, Harry di Gryffindor sedangkan Draco di Slytherin, mereka berdua di kelas 6. Padahal orang tua mereka berteman baik. Pekerjaan James Potter di kementrian sebagai Auror membuatnya sering bertemu dengan Lucius Malfoy yang juga sebagai salah satu pejabat di kementrian sihir. Hal itu membuat hubungan mereka lumayan baik terutama para ibu-ibu yang sering bertemu. Begitu juga dengan adik-adik mereka yang berteman akrab, Annabell Potter dan Andros Malfoy. Anehnya posisi asrama adik-adik mereka terbalik. Annabell, gadis berambut merah dan bermata coklat dengan wajahnya yang cantik seperti ibunya, Lily Evans-Potter, yang tegas dan pandai berada di Slytherin sedangkan Andros yang berambut pirang dan bermata biru yang bersinar ramah juga seperti ibunya, Narcissa Black-Malfoy, berada di Gryffindor, mereka berdua sekarang berada di kelas 4. Hal yang langka mengingat keturunan Malfoy yang selalu berada di Slytherin dan keturunan Potter yang selalu berada di Gryffindor.

"Harry…" seru suara di belakangnya, tampak Ron dan Hermione -dua sahabat dekatnya sejak tahun pertama yang kini sudah menjadi sepasang kekasih- itu berjalan cepat menghampirinya.

"Hai…" sapa Harry.

"Kau bertengkar lagi ya dengan Draco? Aku melihatmu tadi di depan kelas," tanya Ron.

"Dia yang selalu menyulut pertengkaran denganku," jawab Harry malas dan mereka melanjutkan berjalan ke Aula besar untuk makan malam.

"Harry…" panggil sebuah suara dari arah meja Slytherin saat dia memasuki aula itu dan melihat adiknya melambai kearahnya.

Ron dan Hermione terus menuju ke meja Gryffindor sedangkan Harry menghampiri adiknya yang duduk di depan…Draco. "Ya Bell, ada apa?" tanya Harry dan dia melirik sekilas kearah Draco yang ternyata juga sedang memandangnya. Saat itu Harry merasa ada yang mengetuk lembut jantungnya dan membuatnya bergetar halus, lalu dia kembali memandang adiknya.

"Aku merindukanmu, dua hari kita tidak ngobrol," kata Annabell manja.

Harry tertawa dan mengacak rambut adiknya, "besok setelah makan siang aku tunggu di danau ya?" kata Harry.

Annabell mengangguk setuju dan tersenyum saat kakaknya menepuk pipinya lembut dengan penuh sayang sebelum meninggalkan mejanya. Teman-teman perempuan yang duduk di sebelahnya terkikik geli dan bilang kalau mereka iri pada Annabell yang memiliki kakak seperti Harry.

Entah kenapa obrolan gadis-gadis di depannya itu membuat nafsu makan Draco menghilang, Annabell yang menyadari itu tersenyum penuh arti.

.

Di ruang rekreasi murid-murid Gryffindor berkumpul dan melakukan aktifitas masing-masing secara berkelompok. Harry, Ron dan Hermione yang lebih di kenal dengan sebutan Trio Gryffindor itu memilih duduk di sofa di sudut ruangan yang agak menjauh dari kumpulan anak lainnya. Mereka berbincang santai setelah mengerjakan essay dengan di bantu Hermione, tiba-tiba seseorang memotong obrolan mereka.

"Apa aku mengganggu kalau duduk disini bersama kalian?" tanya suara itu.

Mereka mendongakkan kepalanya dan melihat si pemilik suara, "Andy, duduklah," kata Harry pada Andros, adik Draco.

"Mmmh…sebenarnya aku ada kesulitan di essay DADA, kau bisa membantuku, Harry?" pinta Andros.

Harry tertawa dan menerima perkamen yang disodorkan juniornya itu, "aku tak seberapa pandai tapi akan ku bantu sebisaku. Hei, 'Mione, bantu kami," katanya pada sahabat perempuannya yang memiliki otak cerdas itu. Dan akhirnya mereka semua membantu Andros menyelesaikan essay nya.

"Terima kasih," kata pemuda itu tanpa beranjak dari duduknya disebelah Harry.

"Aku heran, bagaimana kau bisa memiliki sifat yang sangat terbalik dari kakakmu itu?" tanya Harry mendengus.

Andros tertawa kecil, "Draco itu mirip sekali dengan Dad, jarang bicara dan terkesan dingin. Aku saja jarang ngobrol kalau sedang liburan. Dia lebih suka mengurung diri di kamar dan sangat benci keramaian," jawabnya.

"Iya sih aku tahu, tapi yang aku heran kenapa dia selalu ingin mencari gara-gara denganku ya?" tanya Hary bingung.

Andros melirik pada Hermione dan tersenyum simpul.

.

Di kamar asramanya Draco tak bisa tidur, dia memikirkan Harry yang entah sejak kapan selalu mengganggu malam-malamnya. Pertengkaran mereka selama 6 tahun ini seperti sebuah topeng bagi Draco untuk menutupi perasaannya. Dia tak ingin siapapun tahu tentang apa yang dia pikirkan selama ini. Sejak pertama kali kedua orang tuanya memperkenalkannya dengan Harry dia langsung suka pada pemuda itu. Draco suka dengan aura hangat yang ditebarkan pemuda berambut hitam berantakan itu, Draco suka melihat mata hijaunya yang bersinar bagai emerald, tapi sikapnya yang memang tak bisa mengungkapkan apa yang dia rasakan menciptakan jurang diantara mereka. Dan melihat begitu banyak orang yang mengelilingi pemuda itu membuat Draco kesal dan menjadi sebal dengan keberadaan mereka, dia ingin Harry hanya melihatnya. Oleh karena itulah dia bersikap menyebalkan pada Harry, sikap yang hanya dikenal Harry dari seorang Draco, hanya agar Harry selalu mengingatnya.

.

Harry berlari-lari di koridor menuju aula besar untuk sarapan, dia terlambat bangun dan sebalnya Ron justru membiarkannya tidur. Tadi malam dia begitu asik berbincang dengan Andros sampai lupa waktu. Harry terus berlari sambil membetulkan dasinya yang belum tertata rapi, sampai di tangga terbawah dia menyenggol bahu seseorang dan terhuyung, tapi dia merasakan cekalan di lengannya sebelum dia terjatuh, "maaf," katanya.

"Pernah tidak sih kau menggunakan matamu dengan baik, Potter?" kata suara orang yang di tabraknya itu ketus.

Harry terkejut melihat siapa yang di tabraknya tadi, "Malfoy…" katanya pelan, tangan pemuda itu terasa panas di lengannya dan mengirimkan getaran halus di dadanya.

Mata hijau itu membuat Draco terpaku dan tak bisa mengalihkan pandangannya, ingin rasanya dia memeluk tubuh didepannya itu.

"Apa yang kau lihat?" tanya harry membuyarkan lamunannya.

Perlahan Draco melepaskan lengan Harry dan berjalan masuk ke aula besar tanpa bicara sepatah kata pun.

Harry masih termenung di tempatnya berdiri, dia masih menikmati getaran halus yang dikirimkan tangan Draco di lengannya tadi, rasa panas masih terasa disana, dan mata abu-abu itu…, 'kenapa dia menatapku seperti itu?' pikir Harry.

.

Siang itu Trio Gryffindor dan Andros menikmati semilir angin di tepi danau, mereka bersantai setelah kelas di hari jum'at itu berakhir.

"Harry…" teriak Annabell dari kejauhan dan langsung duduk di samping Harry dan menyapa semuanya.

"Bagaimana kelasmu?" tanya Harry.

"Sudah selesai," jawabnya.

"Ah Bell, ini bukumu, terima kasih," kata Andros mengulurkan sebuah buku pada Annabell.

Gadis cantik itu tersenyum manis pada Andros dan membuat kedua pipinya tampak merah.

Trio Gryffindor itu saling melempar pandang seakan penuh tanda tanya, sedangkan Hermione hanya tersenyum sambil mengangkat bahu.

"Ah… Daddy mengirimi kita surat," kata Bell pada Harry.

Harry mengerutkan keningnya heran, karena tak biasanya ayahnya yang mengirim surat, dan bukan ibunya. Dia mengambil secarik perkamen yang di ulurkan adiknya itu, membaca isinya dan setengah terkejut.

"Apa kata ayahmu, Harry?" tanya Ron penasaran.

Harry mengembalikan surat itu pada adiknya, "Liburan nanti Dad dan uncle Lucius akan bertugas ke luar negeri dan akan mengajak Mum serta Aunt Cissy, jadi dia meminta aku dan Bell tinggal di Malfoy Manor atas permintaan uncle Lucius.

"Benarkah…" teriak Andros, aku senang mendengar ini setidaknya aku tidak berdua saja dengan kakakku yang dingin itu, "ouch…" teriaknya lagi saat merasakan pukulan di kepalanya.

"Adik macam apa kau ini?" tanya Draco yang sudah ada disana bersama dua sahabatnya, Theo dan Blaise. "Ini surat dari Dad, isinya sama," kata Draco singkat. Sebenarnya Draco ingin segera pergi dari situ tapi Blaise dan Theo sudah terlanjur duduk dan berbincang dengan Ron dan Hermione, mereka memang cukup akrab, tidak seperti dia dan Harry. Draco lalu duduk bersandar di batang pohon di samping Harry agak ke belakang.

Semua yang melihat pemandangan itu berusaha keras menahan tawa, mereka tidak ingin mengacaukan suasana damai ini dengan pertengkaran 'bos-bos' mereka. Dan lagi ini adalah sesuatu yang langka dimana Draco dan Harry bisa berdekatan tanpa mengeluarkan tongkat sihir mereka.

"Jadi bagaimana?" tanya Bell pada kakaknya.

Harry menghela nafasnya, "memangnya Dad dan uncle Lucius bisa dibantah?"

Annabell tertawa senang begitu juga dengan Andros.

Harry tak melihat kalau di belakang bahunya Draco pun tersenyum mendengar jawaban Harry.

"Hei, kau tahu, Harry? Adikmu ini jadi incaran para pemuda Slytherin," goda Theo.

"Bohong…," bantah Annabell cemberut.

Harry tertawa, "tidak heran, karena dia memang cantik," pujinya sambil memandang adiknya yang tersipu malu itu.

"Dia mirip kau, selalu jadi pusat perhatian," kata Theo lagi.

"Itu bukan mauku, Theo. Salahkan keberuntunganku," canda Harry.

Semua tertawa dan Theo meninju bahu Harry yang membuatnya setengah tersungkur ke belakang. Tanpa sengaja tangannya menyentuh tangan Draco yang sedang memainkan rumput yang dia duduki. Jubah besar mereka menjadikan hal itu tak terlihat. Harry ingin menarik tangannya tapi dirasakannya Draco malah menggenggamnya erat. Jantung Harry seakan melompat tinggi, detaknya tidak beraturan. Harry membiarkan saja, menikmati getaran yang selalu terjadi saat mereka bersentuhan.

Draco meremas jemari itu, membelainya lembut dan menikmati kehangatannya. Dadanya bergemuruh senang karena Harry tak menepiskannya. Tangan mereka berdua bertaut dalam besarnya jubah, memberikan kedamaian yang langka yang tak pernah mereka dapatkan.

"Sebaiknya kita kembali ke dalam sekarang, anginnya mulai terasa dingin," ajak Hermione. Dan semua setuju.

Dengan enggan Draco melonggarkan genggamannya dan menyentuh ujung jari itu lembut sebelum benar-benar melepaskannya. Lalu dia berdiri dan berjalan mendahului yang lain tanpa menoleh sedikitpun ke arah Harry.

Entah kenapa saat itu Harry merasakan sedikit kecewa dan perih di dadanya, padahal dia sangat ingin Draco melihat ke arahnya dan ingin tahu bagaimana reaksi Draco setelah 'tadi'.

.

Bingung dengan kejadian tadi siang akhirnya malam ini Harry memutuskan untuk berada di perpustakaan, dia ingin membaca buku apa saja asal bisa melupakan kebingungannya akan sikap Draco tadi. Sedang sibuk memilih-milih buku tiba-tiba pandangannya terpaku ke sudut ruangan di ujung rak buku paling belakang, dia melihat Draco dan seorang gadis sedang berciuman, lengan Draco memeluk pinggang gadis itu begitu erat. Jantung Harry seakan berhenti dan merasakan ada yang terkoyak di dadanya. Kakinya terasa lemas dan buku yang di pegangnya terjatuh, matanya tak lepas dari adegan itu.

Mendengar ada suara Draco langsung mendorong gadis itu menjauh dan dia melihat Harry berdiri disana dengan wajahnya yang berubah pucat dan matanya yang memandang kosong.

Gadis itu terkejut dan langsung berlari meninggalkan perpustakaan, Harry tidak mengenal gadis itu, mungkin dari asrama lain, dan dia melihat ada bekas air mata di pipinya.

"Melihat sesuatu yang menarik, Potter?" tanya Draco dingin. Padahal saat itu dia ingin mendekap Harry dan menjelaskan semua, tapi sekali lagi sikap dasarnya mengalahkan otaknya.

Pandangan Harry kembali fokus dan menatap tajam pada Draco, "ku pikir kau sedang menjalin hubungan dengan si Parkinson itu, Malfoy?" sindir Harry. Gosip kalau Draco Malfoy berkencan dengan Pansy Parkinson dari Slytherin sudah menyebar luas. Bahkan gadis yang memiliki sifat buruk itu selalu mengumbar kemesraannya dengan Draco di depan umum. Pansy selalu menyakiti gadis yang berusaha mendekati pangeran Slytherin itu. Bahkan Harry pernah hampir mengutuk gadis itu karena dia nyaris mencelakai Annabell yang berbincang dengan Draco.

Draco bersandar malas pada dinding di belakangnya, "bisakah sekali-sekali kau tidak mengurusi urusan orang lain, Potter?" kata Draco mencibir.

Harry mendengus, "kau sama memuakkannya dengan kekasihmu itu, Malfoy. Mungkin kesamaan sifat kalian itu yang membuat kalian berjodoh," kata Harry menyembunyikan rasa sakit yang dirasakannya. Harry terkejut karena tiba-tiba Draco mendorongnya keras menabrak rak buku di belakangnya yang membuat buku-buku berjatuhan.

Tangannya mencengkeram depan jubah Harry dan menatap marah padanya, "diam kau, apa yang kau tahu tentang kami?" desis Draco.

Harry balas menatap mata abu-abu itu tajam, "aku tahu, Malfoy. Kau dan Parkinson sama-sama parahnya, berhubungan hanya untuk gengsi dan kesenangan," balasnya dingin.

Tanpa sadar Draco memukul telak wajah Harry, membuatnya terjengkang ke belakang, sudut bibirnya berdarah.

Harry yang terkejut langsung berdiri dan balas menyerang Draco, mereka bertengkar layaknya muggle, tanpa tongkat sihir. Harry mendorong tubuh pemuda pirang itu ke dinding dan siap melemparkan pukulan yang sama kalau saja Madam Pince dan Profesor Snape yang kebetulan ada di perpustakaan tidak datang dan melerai mereka.

"Segera ke ruanganku Mr. Potter, Mr. Malfoy," perintah Snape.

Dan kedua pemuda itu mengikuti guru ramuan mereka yang terkenal dingin dan galak itu.

.

"Jelaskan!" kata Snape setelah mereka tiba di ruang pribadinya di bawah tanah. Dia bersandar dan menatap tajam pada kedua pemuda yang duduk tertunduk di depannya itu.

"Tidak ada apa-apa, sir," jawab Harry singkat.

Snape menautkan jari-jarinya di depan dadanya, "jadi ini hanya pertengkaran iseng saja, begitu maksudmu, Harry? Draco?" tanyanya sedikit melunak. Dia dan kedua orang tua pemuda itu bersahabat baik, terutama dengan Lily Evans, ibu Harry. Sejak sekolah dulu Severus Snape jatuh cinta pada Lily, tapi dia tak bisa berbuat apa-apa disaat Lily lebih memilih bersama James Potter dari pada dengannya. Dia tetap menganggap Lily sebagai sahabat terbaiknya walau hubungannya dengan James tak bisa di bilang akrab, tapi kedua pria itu saling menghormati satu sama lain. Bahkan Lily menunjuk Severus sebagai ayah baptis anak perempuannya, Annabell. Sedangkan ayah baptis untuk Harry adalah sahabat baik James, Sirius Black. Sedangkan dengan Lucius, mereka memang sudah berteman sejak dulu. Dia sudah menganggap keempat anak mereka sebagai anak-anaknya sendiri tapi tetap saja dia heran kenapa dua anak sulung ini saling bermusuhan.

Draco menoleh kearah Harry berusaha menjelaskan hal ini pada Severus tapi dia tercekat melihat bekas pukulannya di wajah Harry tadi sudah menjadi memar yang berwarna biru, sudut bibirnya yang terluka membengkak dan merah. Dada Draco langsung dipenuhi penyesalan, tadi dia begitu emosi mendengar kata-kata Harry. Karena selama ini hanya dia saja yang tahu bagaimana sakitnya memendam perasaan pada pemuda berambut hitam berantakan itu, bagaimana sakitnya hanya bisa melihat orang yang dicintai dari kejauhan.

Terdengar ketukan di pintu, Severus yang mungkin sudah tahu siapa yang datang langsung memberi ijin masuk.

"Daddy Sev, maaf aku mengganggu," kata Annabell pada ayah baptisnya itu di depan pintu.

Severus tersenyum pada Gadis yang merupakan duplikat Lily itu, "masuklah, Bell."

Annabell masuk dan tercekat melihat luka di wajah Harry, "kalian benar-benar berkelahi?" tanyanya tak percaya. Annabell langsung berlari ke ruangan ayah baptisnya saat mendengar berita kalau kakaknya dan Draco berkelahi di perpustakaan dan di bawa ke ruangan Professor Snape.

Draco dan Harry saling melempar pandang lalu mengangkat bahu.

"Kalian ini kenapa sih? Ada masalah apa sebenarnya? Setiap kali bertemu selalu bertengkar," teriak Bell jengkel. "Kau juga, Draco, tak perlu kan kau sampai memukul Harry!"

"Kakakmu duluan yang mencari masalah," jawab Draco ketus.

Harry memandang tajam pada Draco dan bersiap membalas, tapi kata-katanya terpotong oleh omelan adiknya lagi, "cukup, aku akan adukan ini pada Dad dan uncle Lucius. Aku bosan melihat pertengkaran kalian," ancam Bell sambil berkacak pinggang.

"Dasar pengadu," gerutu Harry pada adiknya.

"Terserah!" bentak gadis berambut merah itu.

Severus tak bisa menahan senyumnya, Annabell benar-benar mengingatkannya akan Lily. Hanya Lily lah yang bisa mengatasi kenakalan James dan gank Maraudersnya yang berisi empat pemuda biang keusilan di Hogwarts. "Kembalilah kalian ke asrama, dan aku harap aku tak mendengar atau melihat lagi pertengkaran kalian lagi," kata Severus.

Lalu kedua pemuda itu pun beranjak meninggalkan ruangan bersama Annabell yang sebelumnya menyempatkan diri untuk mencium pipi ayah baptisnya itu dan mengucapkan selamat malam.

.

Di sepanjang koridor Draco dan Harry saling diam dan menjaga jarak, Annabell yang melihat itu hanya menggeleng saja. "Tak adakah yang harus kalian selesaikan?" tanya gadis itu gemas.

Harry dan Draco berhenti berjalan lalu saling memandang, sekali lagi Draco merasakan penyesalan yang dalam begitu melihat wajah Harry. Ingin rasanya dia membenturkan wajahnya sendiri ke tembok dan merasakan sakit yang sama seperti yang dirasakan Harry.

Annabell berdecak lalu meninggalkan kakaknya dan draco. "Awas kalau bertengkar lagi," ancamnya sebelum pergi.

"Maaf…" bisik Draco lirih.

Harry terkejut dengan pernyataan itu, tuan muda yang sok bangsawan ini menundukkan kepalanya dan meminta maaf. Harry yang tak menyangka akan sikap Draco ini hanya diam saja, bingung tak tahu harus menjawab apa. "Sudahlah," kata Harry singkat dan berlalu menjauhi Draco. Sekali lagi Harry terkejut saat Draco menahan lengannya. Dia menatap mata abu-abu Draco dan melihat penyesalan yang dalam di sana. Harry seakan terhipnotis oleh kilau itu dan terpaku saat Draco mengecup singkat sudut bibirnya yang terluka lalu meninggalkannya dengan keadaan shock begitu saja.

Draco mencoba untuk tidak menari kegirangan, senyum mengembang di wajahnya. Bahkan saat masuk asrama semua memandangnya heran.

"Bell, apakah hukumannya tadi sangat menyenangkan sampai dia melayang begitu?" tanya Theo pada Annabell yang duduk bersamanya dan Blaise.

Annabell hanya mengangkat bahunya, tapi bibirnya sekali lagi tersenyum penuh arti.

.

.

"Dad…tidak adakah pilihan lain? Biar aku dan Bell di rumah saja, tak usah ke Malfoy Manor," pinta Harry pada ayahnya saat liburan sekolah telah tiba.

"No, Son…kau harus kesana agar ibumu tidak cemas dengan kalian selama kami pergi," kata James.

"Come on, Dad… kami sudah besar," rayu Harry lagi.

James menghela nafasnya, "bagaimana denganmu, Bell?"

"Kalau Harry maunya begitu, ya sudah," katanya ketus dan memandang Harry dengan kesal.

Harry yang tahu kalau adiknya tidak setuju dengannya akhirnya mengalah, karena memang dari dulu dia tak pernah menang melawan gadis itu, "iya…iya baiklah, aku akan ke Manor," jawab Harry akhirnya. Dan dia bisa melihat senyum senang di bibir Bell.

.

"Hallo uncle, aunty…" sapa Harry dan Bell saat mereka tiba di Manor.

"Selamat datang Harry, Bell…" kata Narcissa menyambut mereka ramah. Nyonya rumah itu langsung terus memeluk Bell, karena dia memang sayang pada adik Harry tersebut. "Kalau kalian disini kami akan bisa pergi dengan tenang," kata Cissi lagi.

Harry hanya tersenyum kecil, lain dengan Bell yang justru terlihat nampak bahagia. Harry memandang berkeliling dan tidak mendapati sosok Draco maupun Andros disitu.

Seakan tahu apa yang dipikirkan Harry Narcissa pun menjelaskan, "Andy ada di halaman samping, sedangkan Draco…mungkin ada di perpustakaan keluarga."

Tak berapa lama muncullah dua pemuda yang mereka bicarakan tadi, dada Harry bergetar dan jantungnya seakan berlomba saat dia bertemu pandang dengan Draco. Sejak kejadian di koridor itu sebisa mungkin Harry ingin menjauh dari Draco, bukannya benci atau tidak suka tapi dia takut perasaannya terbaca oleh pemuda itu.

Setelah mereka menyapa keluarga Potter, Andros menunjukkan kamar yang akan di tempati oleh Harry dan Bell di lantai atas. Kamar Harry bersebelahan dengan kamar Draco di sayap kanan, sedang Bell di sayap kiri di samping kamar Andros.

.

Menjelang sore kedua orang tua mereka berpamitan untuk segera berangkat ke luar negeri, dan tinggallah keempat anak itu di Manor yang besar ini.

Andros dan Bell berbincang berdua di ruang tengah, sedangkan Harry duduk sendiri di halaman samping di bawah sebuah pohon yang rindang dengan penerangan sebuah lampu taman. Dia membaca sebuah buku yang baru saja dibelikan oleh ayah baptisnya sebelum dia dan Remus Lupin –guru pertahanan terhadap ilmu hitamnya yang juga salah satu anggota Maruders- berlibur entah kemana, hal itu juga yang membuat Harry mau tidak mau menghabiskan liburannya di Manor untuk satu minggu ke depan.

"Apa tak sakit matamu membaca dalam gelap begini?" tanya Draco mengejutkan Harry. Lalu pemuda pirang itu duduk disampingnya dan menyandarkan punggungnya pada batang pohon.

Harry tak menjawab tapi juga tidak meneruskan membacanya. Keberadaan Draco di dekatnya seperti ini otomatis membuyarkan semua konsentrasinya. Getaran itu datang lagi, tapi entah kenapa Harry selalu menikmatinya dan membiarkan jiwanya melayang bersama angannya akan Malfoy muda itu. Bahunya bersentuhan dengan bahu Draco, mengirimkan satu aliran yang hangat dan lembut. Tubuhnya sedikit gemetar merasakan sensasinya bersama Draco.

Perlahan Draco menggenggam tangan Harry lalu mempereratnya saat dia merasakan keterkejutan Harry, dia tak ingin Harry melepaskannya. Setelah merasa kalau harry sudah bisa menerimanya Draco pun membelai jemari itu lalu mengangkatnya ke wajahnya dan menciumnya lembut.

Dada harry berdesir merasakan hangatnya bibir Draco di tangannya, jantungnya berdetak begitu cepat dan perutnya seperti bergejolak menahan rasa. "Draco…" bisiknya tanpa sadar memanggil nama depan pemuda itu.

Draco menatapnya terkejut, ada sinar hangat muncul dari tatapan matanya, dia menyentuh halus pipi Harry dan mendekatkan wajahnya.

"Harry…" panggil suara di belakang mereka.

Draco mendengus kesal melihat Annabell dan Andros berlari menghampiri mereka. Tapi dia merasa hangat saat mendengar Harry terkekeh pelan di sampingnya. "Ini masih akan berlanjut, Harry," bisik Draco pelan sesaat sebelum adik-adik mereka bergabung, dan dia yakin dia melihat rona merah di pipi Harry.

"Aku senang melihat kalian bisa tenang dalam jarak sedekat ini," sindir Andros pada kakaknya dan Harry saat mereka sudah bergabung.

Draco memukul kepala adiknya pelan, dan mereka mengobrol ringan berempat.

.

Malam semakin larut dan Harry tetap tidak bisa memejamkan matanya, dia terus memikirkan Draco. Dia membuka pintu kamar yang menghubungkan ke balkon yang menjadi satu dengan kamar Draco. Dia menikmati pemandangan taman belakang Manor yang terbentang di depannya. Dia dikejutkan oleh pintu kamar sebelah yang terbuka dan mendapati Draco keluar dari dalamnya.

Draco memandang heran pada Harry, "kau belum tidur?" tanyanya kemudian mendekat menghampiri pemuda berkaca mata itu yang bersandar pada tembok balkon.

Harry mendadak menjadi salah tingkah melihat penampilan Draco malam itu, celana panjang hitamnya masih melekat di kakinya dan kemeja putihnya yang agak longgar masih dipakai, hanya saja bagian pinggangnya sudah keluar dari celana panjangnya, lengannya yang panjang terlingkis sampai batas siku dan dua kancing teratas dibiarkan terbuka. Harry menelan ludahnya berusaha membasah tenggorokannya yang kering. "Belum," jawabnya singkat sambil memalingkan wajahnya dari pemandangan indah di depannya.

Draco menyeringai mendapati rona merah itu lagi di wajah Harry, dia sengaja semakin mendekatkan tubuhnya pada Harry ingin tahu lebih lanjut bagaimana reaksi pemuda berkaca mata itu.

Jantung Harry berdetak semakin kencang saat merasakan aura hangat yang di alirkan Draco yang berdiri begitu dekat di belakangnya, dia bisa mencium aroma tubuh pemuda berambut pirang itu. Harry tersentak saat merasakan tangan Draco memeluk pinggangnya dan semakin melemas saat Draco menundukkan kepalanya dan mencium bagian belakang telinganya yang sensitif. Tanpa sadar Harry memiringkan kepalanya meminta lebih, dia mengerang saat merasakan bibir Draco mengecup lembut lehernya.

Draco memutar tubuh Harry dan langsung menyerang bibir pemuda itu dengan ciuman yang liar. Tangannya memegang dua sisi wajah Harry, menahannya agar tidak mengelak, sebenarnya itu tidak perlu karena Harry sendiripun mencengkeram erat depan kemeja Draco.

Mereka berciuman dengan begitu rakusnya seakan masing-masing ingin memuaskan dahaganya selama ini. Bibir Draco menuntut bibir Harry agar terbuka untuk memasukkan lidahnya dan membelai rongga mulutnya. Erangan Harry saat hal itu terjadi membuat Draco semakin lupa diri. Dia menyerang leher Harry, melukis tanda merah di setiap kecupannya disana. Dia merasakan reaksi tubuh mereka yang berdekapan lalu dengan tubuh gemetar dia memeluk Harry yang juga bergetar menahan gairah, "oh Merlin…Harry, I want you," bisik Draco parau.

Harry mendongak menatap mata abu-abu yang memandangnya itu, lalu dia mengalungkan lengannya ke leher Draco membawanya mendekat dan kembali mencium lembut bibir itu, gelombang gairah telah membuatnya lupa akan hubungan buruk mereka selama ini, "I want you too, Draco," bisiknya pelan.

Dan sekali lagi mereka tenggelam dalam ciuman yang memabukkan, entah bagaimana caranya mereka berdua sudah ada di dalam kamar Harry. Draco mendorong tubuh Harry ke ranjang sambil tak berhenti membuainya, kaca mata Harry sudah terlepas entah kemana. Tangannya menyentuh semua yang bisa di sentuh, bibirnya menjelajah dada Harry dan tersenyum saat merasakan Harry tersentak ketika dia menggoda satu titik di dadanya yang telanjang itu dengan lidahnya. Draco menahan pinggul Harry yang dari tadi bergerak gelisah di bawahnya, ciumannya pindah ke perut Harry yang rata dan merasakan tubuhnya bergetar akibat sentuhannya. Dengan cepat dia membuang semua yang melekat di tubuh mereka. Matanya menatap mata hijau itu, mata yang selalu membuatnya gila di setiap malamnya karena rindu yang menyesak. Draco mengecup kelopak mata itu pelan lalu mencium lagi bibir Harry agar dia tidak terkejut saat merasakan apa yang akan dilakukan Draco selanjutnya. Dan benar saja jeritan Harry tertahan oleh bibir Draco saat pemuda itu menyentuh pusat tubuhnya yang memanas dan membuainya dengan lembut. Draco merasakan tubuh Harry yang bergetar di bawahnya, lalu dia menciumi pipi pemuda itu. Nafas mereka tersengal, butiran keringat muncul di wajah mereka.

Harry menatap wajah Draco setengah kabur karena gelombang kenikmatan yang diciptakan Draco pada tubuhnya. Pemuda itu terus membuainya, melonjakkan akalnya ke langit tertinggi, menenggelamkan jiwanya dalam pusaran kenikmatan yang tiada henti. Dadanya berdetak semakin kencang saat Draco tersenyum begitu hangat padanya. Harry melesakkan kepalanya diatas bantal saat merasakan Draco memposisikan tubuhnya, dia mencengkeram bahu Draco dengan keras disaat dia merasa kalau Draco perlahan memasukinya. Dia menggigit bibirnya, menahan rasa sakit yang mengoyak dan membakar tubuhnya, tapi buaian Draco pada tubuhnya semakin meringankan rasa sakit itu dan akhirnya hilang sama sekali. Nafasnya semakin tersengal saat draco bergerak perlahan, membawa mereka ke sebuah dunia penuh warna yang begitu indah. Tak ada ciuman hanya mata yang saling menatap meyakinkan mereka kalau ini nyata. Gerakan Draco semakin cepat menghentak membuat Harry semakin erat mencengkeram bahunya, mulutnya terbuka merasakan pusaran yang semakin kuat menjeratnya dan menariknya dalam putaran arus yang hebat, dan akhirnya mereka menyerah oleh gelombang hasrat yang menyeruak keluar mengosongkan peti gairah yang terasa menyesak selama ini.

Draco memeluk tubuh Harry di bawahnya, tubuh mereka bergetar hebat. Dia menyurukkan wajahnya pada lekuk leher Harry berusaha meredakan getaran yang menggoncang tubuh mereka barusan. Setelah keduanya tenang Draco menggulingkan tubuhnya di samping Harry, memeluk pinggang pemuda itu erat dan berbisik, "I love you, Harry."

Banyak yang ingin ditanyakan Harry tapi rasa lelah dan ngantuk mengalahkan segalanya, dia hanya bisa tersenyum dan terlelap dalam pelukan Draco, merasakan rasa nyaman dan damai yang menyelimutinya.

.

Sinar matahari pagi yang masuk melalui jendela kamar membangunkan Harry dari tidur lelapnya. Dia mengerang pelan saat merasakan sakit di sekujur tubuhnya, matanya mengerjap mencoba focus pada bayangan kabur di depannya. Lalu dia merasakan ciuman lembut di bibirnya yang langsung melonjakkan detak jantungnya, "Draco…" bisiknya.

Draco menyerahkan kaca mata pada pemuda itu dan tersenyum saat Harry telah memakainya, "morning…" sapa Draco hangat. Dia sudah berpakaian rapi.

Harry bisa merasakan wajahnya yang memanas dan menatap Draco jengkel saat dia mendengar pemuda itu terkekeh.

"Jangan berwajah seperti itu, aku lebih suka ekspresimu tadi malam," bisik Draco menggodanya. Dan sekali lagi dia tertawa melihat wajah Harry yang memerah.

"Ooh…diamlah, Draco," katanya mendorong Draco menjauh dan beranjak ke kamar mandi yang terletak di dalam kamar dengan berbalut selimut untuk menutupi tubuhnya.

"Kutunggu kau di bawah, sarapan sudah siap," kata Draco sebelum Harry menutup pintu kamar mandi.

.

"Morning, Harry," sapa Annabell yang sudah duduk di meja makan bersama Andros dan Draco.

Harry menghampiri adiknya dan mengacak sayang rambut merahnya, "Morning…" jawab Harry sambil duduk disamping adiknya, di depan Draco dan Andros.

"Tumben kau bangun kesiangan?" tanya adiknya.

Harry melirik Draco yang berusaha menyembunyikan seringainya dengan menunduk menatap piringnya, "aku tak bisa tidur semalam," gerutu Harry.

Bell dan Andros bertukar pandang lalu diam-diam keduanya tersenyum simpul.

.

Siang itu diisi dengan kesibukan masing-masing, Annabell dan Andros entah ada di bagian rumah sebelah mana, sedangkan Harry dan Draco menghabiskan waktu di perpustakaan keluarga. Bukan untuk membaca tapi hanya sekedar berbincang. Draco berbaring miring di sofa yang di letakkan Narcissa di tengah ruangan, sedang Harry duduk bersila di lantai membelakangi Draco dengan beralaskan karpet bulu yang tebal. Draco memainkan rambut Harry yang berantakan itu dan mengelus halus tengkuknya.

"Draco…stop it," erang Harry.

Draco terkekeh pelan, dia menaikkan punggungnya dan malah mencium lembut tengkuk Harry.

Sekali lagi Harry mengerang pelan merasakan getaran di jantungnya.

Draco mengarahkan wajah Harry supaya menghadapnya lalu mencium lembut bibir yang semalaman itu terus diciumnya.

"Kau harus menjelaskan ini, Draco," bisik Harry saat Draco melepaskan ciumannya.

Kembali Draco mengecup bibir itu singkat lalu merebahkan tubuhnya lagi di sofa, "panjang kalau aku harus menjelaskan semuanya," desah Draco.

"Tapi aku…" kata-kata Harry terpotong oleh pintu perpustakaan yang terbuka.

"Draco…" panggil Andros.

"What…" jawab Draco singkat tanpa melihat kearah pintu.

"Si Parkinson mencarimu, dia ada di ruang tamu sekarang," kata Andros lagi.

Kali ini Draco melompat duduk dan melihat kearah adiknya, "kau biarkan dia masuk?" tanya Draco marah.

Dada Harry serasa pecah, sakit dan perih saat mendengar berita itu.

"Aku tak menyuruhnya masuk, dia saja yang menerobos tanpa sopan," bantah Andros.

"Sebaiknya segera temui dia, Malfoy," kata Harry dingin dan berdiri lalu beranjak keluar dari perpustakaan.

Andros melihat sinar mata kecewa dan sakit saat Harry berjalan melewatinya.

"Harry…" panggil Draco, tapi tak ada jawaban dari mulut pemuda itu dan dia tetap berjalan menjauh.

.

"Hai Drakie…" kata Pansi manja.

Harry yang berada di ruangan sebelah dengan adiknya dan Andros saja sampai bisa mendengar suara cemprengnya yang melengking itu.

"Dasar nenek sihir, mengganggu liburan kita saja," gerutu Annabell.

Andros menepuk lembut punggung gadis cantik itu, "kita kerjai saja dia biar cepat pergi dari sini."

Annabell mengangguk semangat.

"Sudahlah, biarkan saja…kan dia itu kekasih kakakmu, Andy," kata Harry pahit.

"What…? Siapa yang sudi punya kakak ipar seperti itu?" teriak Andros.

Harry memelototi pemuda itu menyuruhnya diam agar tak mengganggu Draco di ruang sebelah.

"Mau apa kau kesini?" terdengar suara Draco yang bertanya dengan nada dingin pada Pansy.

"Oh come on, Drakie…aku merindukanmu," jawab Pansy merayu.

Dada Harry semakin sakit dan panas mendengar itu lalu dia memutuskan untuk pergi ke kamar saja, dia ingin tidur dan melupakan semua. Mau tidak mau dia harus berjalan melewati ruang tamu untuk naik ke lantai atas dan sekali lagi jantungnya mendapat ujian berat saat dia melihat Pansy memeluk Draco.

"Aah…kenapa ada Potter disini?" tanya Pansy ketus.

Draco sontak mendorong tubuh Pansy menjauh dan menoleh kearah Harry berdiri, dia sangat menyesal melihat mata itu, mata hijau yang selalu dipujanya itu bersinar dingin dan penuh luka. Ingin rasanya dia memeluk Harry dan menjelaskan semuanya, tapi pandangan Harry seakan menghentikan langkah Draco, 'dia tak ingin di dekati', begitu pikir Draco.

"Drakie… kenapa ada Potter disini?" tanya Pansy tak sabar.

Draco menyentakkan tangan pansy yang memegang lengannya, "bukan urusanmu," bentak Draco. Dan hatinya semakin tidak karuan melihat Harry meninggalkannya disana tanpa berkata apa-apa.

.

Harry menggeliatkan badannya, dia sempat tertidur sebentar gara-gara sakit hati dengan kehadiran Pansy disini. Tanpa sengaja tangannya menyenggol tubuh yang berbaring di sampingnya, "Draco…" kata Harry terkejut melihat siapa yang ada disana. Dia langsung berdiri menjauhi Draco tapi kalah cepat dengan cekalan tangan yang menariknya dan membuatnya kembali berbaring di samping pemuda itu. "Tak menemani kekasihmu, Draco?" tanya Harry dingin sambil menatap langit-langit kamar yang berwarna putih.

"Dia sudah ku usir pulang, dan dia bukan kekasihku, Harry, ingat itu," jawab Draco yang memiringkan badannya dan menyanggah kepalanya dengan satu tangan menatap Harry.

Harry diam saja tak menjawab, entah kenapa dia begitu sakit melihat kebersamaan Draco dan Pansy. Padahal dengan kejadian semalam dia yakin kalau Draco mencintainya, tapi sekarang…Harry merasa di khianati oleh pemuda itu. Dia merasa bodoh dan tolol mengingat Draco memang tidak pernah serius berhubungan dengan para gadis, apalagi dengannya.

"Bicaralah, Harry…kumohon," kata Draco serak. Tapi tetap tak ada reaksi dari Harry, dan akhirnya Draco pun mencium bibir Harry dengan lembut. Dia ingin melunakkan hati pemuda bermata emeralad itu.

Tapi ternyata ciuman Draco kali ini belum mampu membuat Harry luluh, dia terlalu sakit dan merasa dibohongi atas sikap Draco akhir-akhir ini. Harry tak membalas bahkan tak memejamkan matanya. Dia membiarkan saja Draco menciumnya.

"Please, Harry…aku tak ada hubungan apa-apa dengan Pansy atau gadis manapun," kata Draco jengkel saat mengakhiri ciumannya seakan bisa membaca pikiran Harry.

Harry mendorong tubuh Draco lalu dia beranjak ke balkon dan duduk di kursi kayu disana.

Draco mengerang kesal dan mengikuti Harry. "Baiklah…akan ku jelaskan semuanya padamu, dengarkan aku," kata Draco berdiri di depan Harry dan menatap mata hijau itu dengan tajam. "Aku menyukaimu sejak dulu, sejak Dad memperkenalkan kita untuk pertama kalinya. Aku suka mata hijaumu dan semua yang ada di dirimu. Tapi aku kesal karena aku tak pernah bisa mendekatimu. Aura selebritismu selalu berhasil mengumpulkan banyak orang di sekelilingmu sedangkan aku tak pernah nyaman dengan keadaan seperti itu. Akhirnya aku memutuskan untuk selalu bersikap menyebalkan padamu agar kau punya alasan untuk selalu mengingatku, jelas…!" kata Draco panjang lebar.

Kali ini Harry membalas tatapan mata Draco dan tiba-tiba dia tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi Draco yang aneh dan tak sabar saat menjelaskan semua padanya.

"W-what…?" tanya Draco tak mengerti.

Harry berusaha keras menghentikan tawanya, setelah mereda dia lalu meraih tangan Draco dan mengecupnya singkat.

Draco masih memandang heran pada Harry tapi hatinya telah kembali hangat melihat perubahan sikap pemuda itu.

Harry mendongak menatap mata abu-abu Draco, "jadi selama ini kau diam-diam memujaku dari kejauhan?" goda Harry dengan cengiran lebar khasnya.

"Sebaiknya kau diam atau aku akan menyerangmu disini," ancam Draco.

"Manis sekali kau, Draco," goda Harry lagi.

Draco langsung menarik tangan Harry sampai membuatnya berdiri lalu memeluk tubuhnya erat, "sudah ku bilang, diam, kan?" kata Draco yang langsung mencium bibir Harry dengan Posesif. Dia senang mendengar erangan Harry saat lidahnya menyapu rongga mulutnya. Lalu perlahan dia melepaskan ciumannya dan menatap ke dalam mata hijau itu, "I love you, Harry…believe me," bisik Draco di bibir Harry.

Kali ini Harry yang berinisiatif mencium Draco, memanjakan dirinya dalam getaran halus yang dikirimkan pemuda berambut pirang itu melalui bibirnya, membiarkan jiwanya tenggelam dalam pusaran arus yang memabukkan, "thank you, Draco…I love you too," bisik Harry tersengal saat dia telah melepaskan ciumannya.

Terdengar tawa terkikik dari balkon sebelah dan wajah Harry langsung memerah setelah tahu kalau perbuatan mereka tadi dilihat Annabell dan Andros. Dia langsung mendorong tubuh Draco yang masih memeluknya tapi tenaga Draco lebih kuat dan menahan Harry tetap di pelukannya.

"Hei, Bell…aku mencintai kakakmu, kau setuju tidak?" tanya Draco blak-blakan.

"Draco…" bentak Harry berusaha mendorong tubuh Draco yang terus mendekapnya, tapi tetap saja sia-sia.

Annabell dan Andros tertawa geli melihat mereka, "tidak masalah, asal kau juga tidak keberatan kalau aku dan Andy menjalin hubungan," balas Bell sambil memeluk pinggang Andros.

"Oke, deal…" jawab Draco tertawa.

"WHAT…?" teriak Harry. "Kau dan Andy…" kata-kata Harry terpotong oleh bekapan tangan Draco di mulutnya.

Draco menyeretnya ke dalam kamar karena dia tak mau Harry semakin histeris mengetahui hubungan adiknya dengan Andy, Karena dia tahu betapa sayangnya Harry pada adik perempuannya itu.

"Draco…sejak kapan mereka…" kata Harry yang lagi-lagi terpotong, kali ini oleh ciuman Draco yang langsung membuyarkan semua akal sehatnya.

"Jangan pikirkan yang lain, Harry…saat ini adalah milik kita," jawab Draco yang kembali mencium bibir Harry.

Dalam hati Harry telah memutuskan akan mengoceh selama berjam-jam dengan adiknya, setelah ini, setelah waktunya bersama Draco.

The End

Ampuuuuuuuuuun…cerita yang sungguh-sungguh ga jelas, maafkan aku. Aku ngetik ini diantara lalu lalang para pengunjung café yang hilir mudik tak tentu arah *dilempar gelas gara-gara kebanyakan ngomel*

Sebenernya aku mau ganti nama adeknya Draco tapi ga kepikiran nama laen

Andros artinya Laut tapi sifat mananya dia yang mirip laut ya? *headbang*

Sekali lagi maafkan atas ketidakjelasan ku ini, semoga masih ada yang bersedia meluangkan wakatu membaca dan meripiu fic ku.

Terima kasih…