Update… maaf kalau kemarin2 ada yang salah….lg g mood, sorry klo dkit -,-

Bleach = Tite Kubo

Rindupuccino = Zara Zettira ZR. & Effendy Wongso

Chapter 3

Aku Akan Tetap Menunggumu

Rukia tercenung menatap lembar-lembar diarinya. Belakangan ini dia seolah menorehkan kenangan biru dan kelabu semata. Biasanya, hari-hari yang dicatatnya adalah hari penuh bunga, penuh tawa dan canda ceria bersama Ichigo. Tapi kini?

Dihelanya napasnya yang kian hari terasa berat. Bahkan ada sekelumit rasa enggan untuk mengisi diarinya lagi.

Diari, tulisnya. Entah apa lagi yang akan terjadi esok, lusa, minggu depan, bulan depan, seratus hari lagi, dan... ratusan hari yang lain lagi. Ah, sepertinya semua mendadak hilang. Begitu tiba-tiba dan tanpa sisa untukku!

Apa yang tengah dilakukan Ichigo di panti sana? Apakah dia merasakan sepi yang menggigit nurani ini? Apakah dia juga tengah bergumul dengan keragu-raguannya? Apakah dia juga mulai bimbang? Ya, Tuhan! Kenapa petaka itu harus ditanggungnya?

Rasanya Ichigo berada jauh. Sangat jauh. Karena biasanya, tidak ada jarak di antara kami. Tapi sekarang? Hanya tiga puluh menit seminggu. Betapa singkatnya. Betapa pendeknya setiap detik yang berlalu untuk bertukar kasih dan sayang. Waktu seolah musuh yang menakutkan buatku! Waktu pulalah yang memisahkan aku dengan Ichigo. Aku benci, aku benci waktu! Rukia membatin pilu.

Tapi, apakah ini yang dinamakan cinta? Aku tidak tahu. Selama ini pikiranku belum sampai ke sana . Aku hanya kadang merasa takut kehilangan Ichigo. Aku rindu. Aku kangen. Tapi, aku bimbang...

Mungkin cinta memerlukan pengorbanan. Apakah aku siap menderita untuk Ichigo? Jawabnya masih kucari, entah di mana. Bahkan, di hari-hari belakangan ini pun aku mulai ragu. Apakah aku masih memiliki kesetiaan untuknya? Apakah aku masih harus setia menunggunya?

Kami masing-masing sudah menjauh. Tidak lagi saling mengetahui. Tidak lagi saling berbagi. Setiap perjumpaan, yang hadir hanyalah airmata kesedihan. Tidak ada lagi derai tawa. Tidak ada lagi senyum Ichigo yang membuatku rindu. Semua telah berubah...

Rukia menghela napas. Direbahkannya dirinya ke sandaran kursi.

"Ruki...," panggil Yachiru yang tiba-tiba saja sudah masuk dalam kamar.

"Ada apa?" Rukia menghapus dua titik airmatanya. Ditenangkannya dirinya. Dia tidak ingin Yachiru mengetahui kalau dia kembali menangisi Ichigo. Cowok yang sudah rusak segala-galanya di mata orang-orang.

"Boleh mengganggu?" Yachiru duduk di bibir ranjang. "Sudah selesai menulisnya?"

Rukia mengangguk. Menutup diari merah mudanya.

"Tadi aku ketemu Kira di Shinjuku. Kamu masih ingat dia? Katanya, teman SMA-mu."

Rukia termenung sesaat. Kira? Izuru Kira?

"Ya, ya. Aku masih ingat."

Rukia tersenyum. Siapa yang tidak kenal Kira. Anak bandel yang gencar mengejarnya itu. Dia cukup cute. Tajir. Royal. Dan yang pasti, dia anak pejabat berstatus sosial baik-baik. Rukia terkenang masa SMA-nya dulu. Waktu itu, semua tahu Kira tergila-gila kepadanya. Tapi itu dulu. Sebelum dia mengenal Ichigo. Meski Kira baik kepadanya, tapi ada sesuatu yang sama sekali membedakannya dengan Ichigo. Itulah sebabnya lantas dia lebih memilih Ichigo.

"Kira nanyain kabarmu," gugah Yachiru.

"Oya?" Rukia pura-pura cuek. "Dia masih ingat aku?"

Yachiru mengangguk mengiyakan.

"Katanya juga, salam buat Ichigo."

"Kira, Kira..." Rukia tersenyum kembali.

"Sebetulnya kenapa dulu kamu menolak Kira sih, Ru?" tanya Yachiru ragu.

"Kenapa? Aku juga tidak tahu kenapa. Kalau kamu kelak menghadapi masalah seperti aku, kamu akan mengerti sendiri, Yachiru."

"Tapi, Kira memiliki hampir segalanya," bantah Yachiru.

"Aku tahu."

"Lalu... ah, aku heran sama kamu. Padahal, Kira... Duh, kenapa sih kamu masih mengharap Ichigo?"

"Aku aku hanya bersikap dewasa,Yachiru! Berkomitmen dengan janji-janjiku kepada Ichigo selama ini. Terlepas dari semua itu pun, aku menemukan sesuatu dalam diri Ichigo yang sama sekali tidak dimiliki oleh cowok-cowok lain. Juga tidak dalam diri Kira," jawab Rukia dengan suara paruh tangis.

"Apa itu?" Yachiru bertanya sinis. Melecehkan.

"Kejujuran. Ichigo memang nakal. Bandel. Tapi, dia jujur. Dia tidak malu orang lain mengetahui tingkah-lakunya. Dia tidak menutup-nutupi apa pun dariku. Aku salut!"

"Kamu juga salut dong, dengan keberhasilannya masuk panti rehabilitasi?" serang Yachiru memojokkan.

"Ka-kamu..." tukas Rukia gusar. "Dia bukan junkies, Yachiru! Harus berapa kali aku bilang, kalau itu bukan salah Ichigo! Dia hanya ikut terjaring saat operasi berlangsung. Dia tidak tahu apa-apa!"

"Apakah kamu tidak memikirkan apa yang bakal terjadi padanya bila kelak dia keluar dari panti rehabilitasi itu? Dia akan terkucil, Ruki!" teriak Yachiru, berdiri dari duduknya. "Apakah kamu mau ikut-ikutan dikucilkan orang? Oh, Rukia, kakakku sayang! Berpikirlah rasional. Kamu terlampau sentimentil. Sok idealis tanpa memperhitungkan untung-ruginya."

"Cinta tidak pernah memperhitungkan untung-rugi, Yachiru!" Rukia menggigit bibir.

"Kamu kelewat mencintainya! Oh, betapa beruntungnya cowok itu, dicintai kakakku yang berhati bidadari."

Rukia tercekat. Setulus itukah cintanya kepada Ichigo? Padahal, sejujurnya dia mulai ragu dengan kesetiaan cintanya kepada Ichigo! Cuma cinta emosi, mungkin. Rukia mengusap wajahnya.

"Ruki, lupakanlah Ichigo-mu itu. Tinggalkan Ichigo sekarang, dan mulai lagi dengan harimu yang baru. Masih banyak kok, cowok yang lebih baik dari dia." Yachiru masih berusaha membujuk.

"Tinggalkan aku sendirian di sini, Yachiru!" pinta Rukia lemah.

"Oke, oke," Yachiru mengembangkan senyumnya sembari menjawil hidung kakak semata wayangnya itu, jelas untuk meringankan suasana hati. Kemudian dilangkahkannya kakinya dengan melompat-lompat kecil sampai ke bawah bingkai pintu kamar. "Tapi janji lho, kamu tidak akan nangisin Ichigo-mu itu lagi."

Rukia ikut tersenyum. Dan mengangguk perlahan.

"Eh, Ruki, Kira janji akan meneleponmu, lho," Yachiru menghentikan langkahnya di bawah bingkai pintu kamar Rukia. "Jangan marah, ya. Tanpa seizinmu, aku sudah ngasih dia nomor HP-mu."

Rukia kembali tersenyum.

"Dia sudah tahu semuanya tentang Ichigo. Sori, aku cerita semua kepadanya. Dia juga janji akan datang kemari untuk menghiburmu, kapan-kapan." Yachiru berlalu tanpa merasa bersalah.

Menghiburku?

Rukia tersenyum kecut. Satu-satunya hiburan bagiku adalah kembalinya Ichigo. Bersamaku, mengisi hari-hariku yang terasa hampa. Dan barusan Yachiru bilang Kira akan datang menghiburku. Untuk apa? Untuk melupakan Ichigo? Untuk menghapus namanya dari dalam hatiku? Tidak! Tidak ada yang bakal dapat menggeser posisi dia. Aku tidak bakal dapat melupakan dia! Bukankah aku sudah berjanji padanya untuk tetap setia? Menunggunya hingga dia keluar dari panti rehabilitasi seberapa lama pun? Tidak! Aku bukan cewek tukang ingkar janji. Aku bukan cewek tipe kutu loncat. Aku tidak bakal melupakan Ichigo hanya karena sekarang namanya telah tercemar.

Aku akan tetap menunggunya.

.

Kamu makin kurus saja, Ruki," ujar Rangiku sambil mengunyah permen karetnya. Mereka berjalan beriringan di antara para mahasiswa lain yang menuju ruang kuliah masing-masing.

"Ah, masa?" Rukia memperhatikan pergelangan tangannya. Dia selalu mengukur kondisi badannya dari pergelangan tangan. Dan dilihatnya tonjolan tulang di sana. Berarti Rangiku tidak salah. Badannya memang menyusut beberapa kilogram.

"Masih sering menjenguk Ichigo?"

"Tentu. Kalau bukan aku, siapa lagi?"

"Ibunya?"

"Ah, semua telah mengucilkan Ichigo. Padahal, Ichigo tidak bersalah," ujar Rukia seolah kepada dirinya sendiri.

"Tapi, itu kan pengakuannya terhadapmu?"

"Maksudmu, Ichigo berbohong sama aku?" Rukia menghentikan langkahnya sesaat. "Tidak mungkin!"

"Kamu begitu yakin?"

"Ya."

"Kamu tipe cewek setia,Ru," kelakar Rangiku.

"Setia? Rasanya pujian itu terlalu berlebihan. Kamu perlu tahu, Rangiku, akhir-akhir ini aku sering bimbang. Apakah aku harus terus bersedih? Atau, mulai berpikir untuk hari-hari dan masa depanku sendiri."

"Of course. Satu tahun bukan waktu yang singkat memang..." Rangiku ikut merenung.

Rukia mengerjapkan matanya.

"Sudahlah. Kuliah apa hari ini?" ujarnya, mengganti pokok pembicaraan. Semangatnya selalu surut setiap kali membicarakan soal Ichigo dan soal masa depannya bersama Ichigo. Juga soal kesetiaan. Soal apa pun tentang Ichigo hanya akan menumbuhkan kedukaan yang kian dalam saja. Makin membuatnya merasa bahwa hari penantian kian panjang dan tak berujung.

"Hari ini Kewiraan. Dua jam."

"Kewiraan lagi? Huh!" Rukia menghela napasnya.

"Pasti malas lagi. Bolos lagi?"

"Tauklah. Aku bosan sama Pak Ishida dan caranya mengajar itu. Setiap kali mata kuliah Kewiraan, aku hanya terkantuk-kantuk di ruang kuliah."

"Jadi?" Rangiku menghentikan langkahnya di pertigaan koridor. "Kamu terus atau ke kiri?"

Rukia melirik ke kiri. Rasanya lebih baik dia menghabiskan siang ini di kantin saja. Seorang diri, menghabiskan waktu sembari menanti Rangiku untuk pulang bareng nanti.

"Ke kiri saja." Senyum Rukia disambut cubitan jengkel Rangiku.

"Tunggu aku, ya?" pesan Rangiku sebelum berlalu.

Rukia melambai. Diayunkannya langkahnya ke kantin. Lantas dipesannya secangkir cappuccino dan sepotong roti keju bakar setibanya di sana. Ah, betapa segarnya badannya setelah beberapa hari dia menghindarkan diri dari tempat yang bernama kampus ini. Betapa jernih pikirannya setelah beberapa minggu dia menghindari tatapan orang-orang yang kebetulan tahu siapa dia dan siapa Ichigo.

Diteguknya kopinya dengan semangat begitu pesanannya tersaji di hadapan. Ah, mana tisu? Rukia mengorek-ngorek tasnya untuk mencari sepotong tisu guna memegang roti bakar yang berminyak dan agak panas itu.

Pluk. Sebuah benda terjatuh dari tasnya. Korek api Ichigo! Korek api yang dulu sempat disembunyikannya agar Ichigo tidak merokok di rumahnya.

"Punyamu?"

Ups. Rupanya Rukia kalah cepat dengan tangan kekar yang kini menyodorkan benda itu kepadanya.
"Ya." Ditatapnya si penolong itu. Seorang cowok berambut putih, berkemeja garis-garis dengan lengan baju yang dilipit rapi.

Cowok itu tersenyum simpatik.

"Terima kasih," ujar Rukia lagi.

"Sama-sama. Kamu kuliah di sini?" tanyanya lagi.

Rukia mengangguk.

Cowok itu menatap berkeliling. Rupa-rupanya kursi kantin telah penuh terisi. Rukia menatap cowok itu lantas mengambil inisiatif.

"Duduklah di sini kalau kamu mau."

"Oh, terima kasih. Kursi-kursi kantin selalu penuh pada jam-jam begini. Jam-jam lapar! Hahaha..."

Cowok itu tertawa. "Oya, kita belum kenalan. Saya Hitsugaya, Toushiro Hitsugaya. Fakultas ekonomi semester dua."

Rukia menyambut uluran tangan Hitsugaya. "Rukia. Rukia Kuchiki. Aku di fakultas psikologi. Baru semester pertama."

"Calon psikolog? Wah, saya harus hati-hati kalau begitu."

"Kenapa?"

"Katanya, psikolog bisa tahu apakah seseorang jujur atau berbohong hanya dengan menatap mata orang itu. Betul? Apakah ilmumu sudah sampai di situ?"

Rukia tertawa. "Ada-ada saja," kilahnya sembari menggeleng-gelengkan kepala.

"Eh, tapi ngomong-ngomong, rasanya saya memang sering lihat kamu dulu. Habis cuti kuliah?" tanya Hitsugaya.

Rukia menggeleng. "Sakit," dustanya.

"Oo." Hitsugaya manggut-manggut.

"Kamu tidak mesan apa-apa?" tanya Rukia.

"Nanti saja. Ngobrol dengan kamu membuat rasa laparku hilang."

"Oya? Jadi aku kamu anggap sejenis roti bakar, ya?" kelakar Rukia. Rasanya sudah lama betul dia tidak menemukan teman untuk diajak bercanda seperti ini. Mereka tertawa bersama. Keakraban terjalin begitu cepat.

"Keberatan kalau aku menganggapmu roti bakar?"

"Tidak. Tapi aku menyesal membiarkanmu duduk bersamaku kalau tahu kamu sebetulnya bukan perlu makanan, tapi perlu teman ngobrol saja saja," ujar Rukia santai.

"Jadi betul ..." desis Hitsugaya.

"Apanya yang betul?"

"Seorang psikolog bisa menangkap maksud seseorang hanya dari tatapan matanya."

"Jadi...?" Rukia mengernyitkan alisnya tidak mengerti.

"Kebetulan aku ketemu kamu. Aku sedang butuh teman bicara. Hm, aku tengah menghadapi persoalan dengan..."

"Pacarmu?" penggal Rukia yakin.

"Yap! Seratus lagi buat kamu!" Hitsugaya menjentikkan jarinya.

"Kamu percaya sama aku? Orang baru kamu kenal lima menit lalu?" pancing Rukia.

"Kenapa tidak? Tiba-tiba saja aku merasa menemukan orang yang tepat untuk nuangin unek-unek. Boleh?"

"No problem. Aku siap jadi waskom curhatmu, kok." Rukia tertawa.

Hitsugaya latah. "Begini, pacarku itu, hm... namanya Hinamori. Kami satu fakultas, satu ruang kuliah malah. Belakangan ini kami selalu ribut. Soal kecil bisa jadi besar. Karena itu aku jadi malas ketemu dia lagi. Nah, akhirnya ya begini. Aku keseringan bolos jam kuliah. Kamu tahu, Hinamori tidak pandang tempat! Kalau dia ngambek, di mana pun jadi. Nah, kalau kejadiannya di ruang kuliah, mau kutaruh di mana mukaku yang begini?" cerita Hitsugaya bersemangat.

"Lantas?"

"Lantas aku ingin menyadarkannya. Bahwa, cowok perlu juga dimanja sesekali. Jangan ditekan terus, jangan diomelin terus. Tapi, aku bingung mencari kalimat yang tepat." Hitsugaya mengusap-usap keningnya. "Dia terlalu egois dan mau menang sendiri! Susah ngatur dia!"

Rukia tersenyum. "Kamu merasa lebih lega sekarang?"

"Yah."

"Itulah. Lain kali kalau ada persoalan, ceritakanlah pada orang yang dapat kamu percaya. Walaupun belum tentu bisa mencarikan jalan keluarnya, tapi paling tidak dengan bercerita beban batinmu sudah sedikit berkurang," ujar Rukia sok tua. Mengutip kalimat dari literatur yang pernah dibacanya.
Hitsugaya hanya manggut-manggut. Matanya yang jenaka dan cara bicaranya yang polos mengingatkan Rukia pada seseorang. Seseorang yang kini jauh darinya. Ah, kerinduan selalu datang tiba-tiba.
Sekelebat dilihatnya Rangiku melambai dari kejauhan. Rukia bergegas merapikan tasnya lalu bersiap meninggalkan tempat duduknya.

"Hei... mau ke mana?" tahan Hitsugaya.

"Temanku sudah menjemput."

"Tapi, kamu belum memecahkan masalahku."

"Lain kali saja. Oke?" Rukia berdiri, siap untuk beranjak. "Aku sendiri sedang banyak masalah."

"Lain kali? Kapan?" desak Hitsugaya.

"Mungkin suatu hari di kantin ini kita ketemu lagi. Atau... entah kapan." Rukia mengangkat bahunya. Menatap roti bakar yang sama sekali belum disentuhnya.

"Kamu tidak ingin kita bersahabat?"

Rukia tersenyum, lalu melambai. "Sampai ketemu..."

"Hei, tunggu! Ini korek apimu!" panggil Hitsugaya.

"Oh... trims." Rukia menghentikan langkahnya di bawah bingkai pintu kantin. Bergegas disambutnya benda kecil bergrafer 'A' di depannya.

"Kamu merokok?"

Rukia menggeleng. "Milik temanku," jawabnya hambar.

Ditatapnya Hitsugaya sekilas. Dirasakannya ada kerinduan yang tertambat di mata Hitsugaya. Sepasang mata yang pernah diakrabinya. Ah, sebetulnya dia ingin menghabiskan beberapa saat lagi bersama Hitsugaya. Berbagi cerita. Bertukar canda seperti yang biasa dilakukannya bersama Ichigo. Tapi, tidak mungkin. Ada yang tengah menunggunya jauh di sana. Ada yang terperangkap dalam sepi. Ada yang menagih kesetiaannya.

"Sampai ketemu." Rukia melambai kembali lantas bergegas menghampiri Rangiku. Meninggalkan Hitsugaya yang tengah melongong, menatap langkah gegasnya yang melesat secepat camar.

"Pak Ishida tidak masuk," urai Rangiku tanpa ditanya.

"Tumben..."

"Eh, siapa cowok yang bersamamu di kantin tadi..."

.

"Halo." Rukia menyambut gagang telepon yang diberikan Yachiru kepadanya.

"Halo juga, Non. Masih ingat saya?"

"Maaf. Tidak. Ini dengan siapa, ya?"

"Kira. Izuru Kira. Masih lupa? Atau, perlu keterangan lainnya? Hahaha... apa kabar, Ruki?"

Cowok bersuara bariton di seberang sana terdengar tertawa. Dan saat itu baru Rukia teringat. Tawa Kira mengingatkannya pada masa-masa silam. Masa SMA-nya.

"Astaga! Apa kabar, Kira?"

"Baik. Kamu sendiri?"

"Baik."

"Masuk psikologi, ya?"

"Kok, tahu?"

"Yacchi yang cerita."

"Oh. Kamu sendiri?"

"Aku ambil komputer di San Fransisco. Sedang liburan, kembali ke Tokyo."

"Welcome back, kalau begitu."

"Thank's. Hei, Kamu sekarang sombong, Rukia. Tidak pernah nelepon. Tidak pernah mengabari aku lagi. Sampai-sampai aku harus mencari tahu kabarmu lewat teman-teman SMA dulu," ujar Kira dengan nada suaranya yang khas. Keras.

"Ah..."

"Bagaimana kabarnya, Ichigo?"

"Ba-baik!" Rukiaa terbata.

"Aku turu... turut apa, ya? Mendengar kabar Ichigo masuk panti rehabilitasi, aku ikut prihatin. Sungguh Ruki, aku tidak nyangka Ichigo seburuk itu. Aku..."

"Sudahlah!" penggal Rukia jengkel. "Kalau kamu hanya menelepon untuk membicarakan kejelekan Ichigo, lain kali saja!"

"Oh, maaf. Tunggu dulu, Ru. Aku hanya..."

"Semua selalu menuduh Ichigo yang bukan-bukan. Ichigo yang salah, Ichigo yang buruk, Ichigo yang junkies. Lalu buntut-buntutnya aku yang bodoh, yang mau saja menanti cowok bengal tukang teler yang sudah tidak punya masa depan lagi!" seru Rukia dengan isak tertahan.

"Rukia..."

"Beratus kali sudah kukatakan kepada semua orang. Ichigo tidak bersalah. Dan aku juga tidak salah menanti dia. Kesetiaanku selama ini bukanlah sesuatu yang tolol dan sia-sia. Kamu dengar itu?"
Klik.

"Hallo! Hallo! Ru, Rukia...!"

Tapi Rukia telah membanting gagang teleponnya. Menuntaskan setiap percakapan tentang Ichigo. Tentang kebodohan dirinya. Tentang penantiannya yang terasa sia-sia. Penantian yang tak berujung.
Benarkah tindakanku ini? Rukia bertanya kepada dirinya sendiri. Ditatapnya bayangan dirinya dalam cermin besar bufet di muka pesawat telepon. Ada seraut wajah tirus dengan sepasang mata sayu di sana. Ichigo telah pergi membawa hari-hariku. Akankah dia kembali? Haruskah kutunggu dia dan kubiarkan diriku sendiri hancur oleh penantian dan kerinduan yang sarat? Tidak bolehkah aku sedikit memikirkan diriku sendiri? Membenahi hatiku yang porak-poranda dan menata kembali hari-hariku? Mencari secuil keceriaan, tawa dan semangat dari orang lain?

Sekilas seraut wajah melintas di benaknya. Ah, Ichigo! Akankah semua usai dan berganti dengan hari-hari yang indah seperti dulu lagi?

.

Ruang tunggu di panti rehabilitasi Soukyoku masih sama seperti minggu-minggu yang lalu. Dua minggu sudah Rukia alpa menjenguk Ichigo.

"Apa kabar?" sapa Ichigo agak kering.

"Baik."

"Lama tidak kemari..."

"Kamu marah?" tanya Rukia hati-hati.

Ichigo menggeleng. "Tidak ada yang salah. Kamu berhak merasa jenuh..."

"Aku tidak jenuh, Go. Hanya saja... hanya saja kuliahku menuntut waktu yang agak banyak. Kamu tahu sendiri, beberapa waktu lalu nilaiku jeblok semua. Kini aku tengah memperbaiki segalanya. Memulai lagi dari awal, sendiri tanpa kamu. Kamu mengerti, kan ?"

Ichigo mengangguk. "Aku sudah banyak menyusahkanmu, ya?" bisiknya lembut, menepuk punggung tangan Rukia dengan lembut. Ada getar rindu yang tercetus di sana .

Rukia menggeleng.

"Aku tidak memaksamu datang setiap minggu. Sungguh. Kalau kamu mau, kamu boleh tidak datang. Kalau kamu sibuk... ah, siapalah aku ini! Aku mulai terbiasa berkawan dengan sepi, kok!"

"Jangan ngomong begitu, Go! Siapa bilang aku enggan datang? Aku sa-sama sekali..."

"Tidak ada pemaksaan..."

"Siapa bilang aku merasa terpaksa?"

"Lho? Kenapa kamu jadi mudah tersinggung seperti ini, Ru?" tanya Ichigo agak terkejut.

"Aku menyempatkan diri datang dengan maksud mendengar ceritamu. Untuk menceritakan apa yang terjadi pada diriku selama ini. Untuk melepas rindu, tapi kamu malah menuduh yang bukan-bukan. Kamu bilang, aku bosan. Aku jenuh. Aku enggan. Apa-apaan sih, ini?" pekik Rukia kecewa. Padahal, dia merasa sudah cukup banyak berkorban untuk Ichigo. Airmatanya mulai menitik.

"Rukia...!"

"Aku tidak ngerti, Go! Kamu seperti tidak peduli, betapa sulitnya aku menghadapi situasi di luaran. Aku sendiri dikecam banyak orang. Bahkan, Mama dan Ichigo pun ikut-ikutan mengecamku. Mengatakan aku bodoh, menanti sesuatu yang tidak pasti."

"Jadi, kamu mulai bimbang?"

"Ak-aku tidak bimbang. Ke-kenapa kamu menuduhku yang bukan-bukan. Kamu bilang aku bosan. Aku jenuh. Aku..."

"Sudah, Ru. Cukup!" potong Ichigo tandas. "Kalau kamu datang ke sini hanya untuk memaki-makiku, kamu boleh pulang sekarang!"

"Ichigo! Ka-kamu...!"

Ichigo melepaskan genggamannya. Dibuangnya pandangannya jauh ke taman panti. Cepat atau lambat, dia telah menduga hal ini akan terjadi. Sebenarnya dia telah mempersiapkan diri sejak awal dia direhab di panti ini. Dia sudah menyiapkan dirinya untuk kemungkinan ini. Kemungkinan yang paling buruk. Dia sudah siap untuk ditinggalkan. Karena selama ini memang semua telah meninggalkannya. Ayahnya, Ibunya, bahkan Ruki pun kini mulai bimbang. Mulai ragu. Mulai menjauhinya.

"Go, aku..."

"Sudahlah, Ruki. Maafkan kata-kataku yang kasar tadi..." Ichigo mengusap wajahnya seolah mengusir galau yang berkecamuk di benaknya.

"Aku maklum. Kamu kesepian di sini, Go. Tapi, kamu juga harus mengerti keadaan dan penderitaanku di luar..."

Ichigo mengangguk-angguk. "Aku mengerti semuanya. Aku juga mengerti kalau kamu mulai merasa penat dengan penantianmu..."

Ichigo tercenung. Penatkah dia? Sejauh ini dia masih berusaha untuk bertahan pada janji-janjinya. Bahwa menanti Ichigo bukanlah pekerjaan yang sia-sia. Bahwa kesetiaannya selama ini tidaklah percuma.

Tapi kini...

Sesaat mereka bertatapan. Berpelukan. Tapi rindu tak juga turut. Masih ada damba yang tersimpan.

Entah sampai kapan...

.

"Nah, ketemu lagi!"

Rukia tersentak. Dan puluhan mahasiswa lain yang berada di perpustakaan itu pun ikut tersentak.

Hitsugaya agak risih juga. "Maaf, aku mengejutkan kamu, ya?"bisiknya.

Rukia menggeleng, menunjuk pada sebilah papan bertuliskan: HARAP TENANG, RUANG BACA. Hitsugaya tersipu. Diambilnya tempat duduk tepat di hadapan Rukia.

"Apa kabar?" bisiknya. "Long time no see, yeah?"

Rukia tersenyum. "Apa kabar juga pacarmu? Siapa namanya?"

"Hinamori."

"Ah, iya. Hinamori. Bagaimana?"

"Justru aku yang mau tanya sama kamu. Bagaimana?"

"Oo, maksudmu bagaimana penyelesaiannya?" tukas Rukia sambil mengerling.

"Iya, tapi jangan pakai mengerling begitu, dong. Demi lirikanmu, rasanya aku rela meninggalkan Hinamori," goda Hitsugaya.

"Ah. Caramu bicara, caramu bercanda, mengingatkan aku kepada..."

"Ichigo?" potong Hitsugaya.

"Ka-kamu tahu?" Rukia terbelalak. "Dari mana..."

Hitsugaya mengangguk. "Aku tahu segalanya. Tentang kamu. Tentang Ichigo-mu. Tapi, saat ini aku tidak ingin membicarakan siapa kamu dulu. Atau, siapa Ichigo-mu. Aku tidak mau tahu semua itu. Aku hanya ingin berkawan denganmu. Dengan Rukia yang sekarang. Oke?" ujarnya, lugas namun tegas.

"Belum pernah ada orang seperti kamu sebelumnya," desah Rukia antara kagum dan terharu.

"Ah, sudahlah."

"Kamu mirip banget Ichigo, Hitsu," ujar Rukia sambil menatap lekat wajah di hadapannya.

Sesaat mereka saling memandang. Saling menelusuri apa yang ada dalam bayang binar mata masing-masing. Sampai akhirnya Rukia tertunduk jengah.

"Ma-maaf... aku teringat Ichigo." Rukia menyadari telah kelepasan omong.

"Aku mengerti." Hitsugaya tersenyum bijak.

"Jadi, apa yang bisa aku bantu sekarang?" Rukia menghela napas dan membelokkan arah

pembicaraan.

"Tidak ada."

"Lho?"

"Aku sudah tahu jawabnya. Aku harus mengambil sikap tegas. Aku akan meninggalkan Hinamori. Di antara kami sudah tidak ada kecocokan lagi."

"Secepat itukah kamu mengambil keputusan? Padahal, tadi ketika baru masuk kamu masih meminta saran dariku. Aneh!"

"Setelah aku menatap matamu, aku tahu, aku harus berpisah dari Hinamori. Banyak yang tidak kutemukan dalam dirinya, tapi kutemukan dalam dirimu."

"Maksudmu..."

"Aku tidak bermaksud apa-apa. Hanya... selama ini aku seperti merindukan suasana ceria. Santai. Tidak bertengkar melulu."

Rukia tercenung. Agaknya setiap orang memang memerlukan saat-saat seperti itu. Saat yang pernah jadi miliknya dulu. Bersama Ichigo. Ya, aku pun kehilangan saat-saat yang terindah dalam hidupku, Hitsu! desis Rukia dalam hati. Dan betapa inginnya aku merengkuh kembali hari-hari yang indah itu lagi. Dan untuk itulah aku menanti. Masih beratus-ratus hari lagi... dan aku mulai bimbang. Haruskah kujalani ratusan hari itu dengan penantian, sementara di sekelilingku banyak yang menjanjikan kebahagiaan itu sendiri?

Di satu pihak, Rukia merasa bersalah mengkhianati Ichigo. Tapi di pihak lain, dia merasa berhak memperoleh jalan hidupnya sendiri. Berhak melepaskan lingkar derita yang membelenggunya karena kesetiaan yang dipertahankannya.

"Kamu sudah makan siang?"

"Belum," geleng Rukia.

"Kalau begitu, aku yang meneraktirmu."

"Untuk apa kamu meneraktirku? Alasan apa yang membuatku harus menerima tawaranmu?"

"Ayolah..."Hitsugaya menarik tangan Rukia. "Untuk jasamu memberiku jalan keluar dari masalahku."

Rukia tersenyum. Lalu, sembari tertawa-tawa kecil mereka beriringan meninggalkan perpustakaan yang senyap. Sebuah cerita baru yang menjanjikan babak baru mulai terbit.

Agaknya...

Dengan langkah ringan Rukia melangkah menapaki jalan setapak menuju serambi rumahnya. Acara makan malam bersama Hitsugaya lumayan menyenangkan kalau tidak mau dibilang istimewa.

"Dengan siapa kamu pulang?" tegur Mama halus begitu Rukia menongolkan batang hidungnya di dalam rumah.

"Hitsugaya, teman sekampus," sahut Rukia ringan.

"Cowok bersedan merah itu lagi, ya? Sudah tiga kali kalau tidak salah kamu pulang dengan... siapa namanya?" sambung Yachiru sambil mengunyah popcorn.

"Hitsugaya. Namanya Toushiro Hitsugaya. Mahasiswa tingkat dua fakultas ekonomi." Rukiaa melepas sepatunya dan mencuci tangannya lalu beranjak ke dapur. Membuka kulkas dan menuang sebotol sirup jeruk dingin ke dalam gelasnya.

"Rasanya aku kenal Hitsugaya," Yachiru menyusul ke dapur. "Dia kan, seniorku ya?"

"Mungkin. Ya ampun, kenapa aku bisa sampai lupa kalau kamu juga di fakultas ekonomi? Aku selalu mengingat kamu anak teknik sebab waktu SMA dulu kamu kan, jurusan IPA."

"Yoi." Yachiru mengangguk-angguk. "Ivan. Hm, boleh juga. Lumayan dijadikan gandengan buat JJS."

"Dasar!" Rukia pura-pura sewot.

"Maksudku, kamu tidak salah memilih." Yachiru terkekeh.

"Siapa memilih siapa?" tanya Rukia, mencibir kemudian.

"Kupikir kalian..."

"Jangan macam-macam kamu. Kita cuma teman biasa. Tidak lebih dari itu. Kalau kamu mau tahu yang lebih dari sekedar teman, tidak ada nama lain selain Ichigo. Tahu?"

"Teman atau teman?" goda Yachiru lagi.

Rukia melotot.

"Tidak usah ngotot begitu, dong," sungut Yachiru sambil membuntuti Rukia keluar dari dapur.

"Habis, kamu picik betul, sih. Baru jalan bersama saja dibilang pacaran. Tidak semudah itu aku melupakan Ichigo! Memangnya aku gadis ABG seumur kamu yang tahunya cuma cinta monyet."

"Iya deh, yang cinta gorila!" Yachiru mencibir.

"Eh, ada apa ini?" lerai Mama. "Pulang-pulang kok, malah ribut sama adiknya."

Yachiru membanting dirinya di atas sofa di sebelah Mama. "Biasa, Ma..."

"Biasa apa?" Rukia melotot.

"Lagi kangen sama Ichigo, ditanya sedikit sudah marah-marah," jawab Yachiru dengan entengnya.

"Eh eh, ngaco kamu!" tukas Rukia marah.

"Huss... Rukia, sudahlah. Maksud Yachiru kan , baik. Lagipula, apa untungnya tetap memikirkan Ichigo? Lupakanlah dia. Bina hari esokmu sendiri. Kamu akan lebih baik tanpa Ichigo. Dengarlah kata-kata Mama, Ruki." Mama memijit-mijit pelipisnya. Dahinya mengerut membentuk lipatan tujuh.

Rukia terdiam.

"Kapan-kapan, kenalkan Mama sama Hitsugaya. Boleh, kan ?" ujar Mama lagi.

Rukia menggigit bibirnya. Mengapa semua orang seolah ingin memisahkannya dari Ichigo? Mengapa tidak seorang pun mendukungnya untuk tetap setia terhadap Ichigo? Apakah mereka tidak tahu bahwa dalam hatinya pun tengah berkecamuk perang antara tetap setia dan menggapai masa depan sendiri? Antara tetap setia atau berpisah? Mengapa tidak seorang pun meyakinkannya untuk tetap setia? Mengapa?

"Rukia...," panggil Mama.

Tapi Rukia tak peduli. Dilangkahkannya kakinya berlari memasuki kamarnya. Mengunci diri di sana. Membiarkan keheningan melarutkannya dalam lamunan. Dalam angan-angan kebimbangan, dia harus memilih. Tapi saat ini dia enggan memilih siapa pun.

Go, doakan agar aku tetap berpegang pada janji-janji yang pernah kita ucapkan bersama. Aku sayang kamu, Go. Aku rindu kamu. Tapi rindu yang seolah tak berujung ini malah menyeretku pada kebimbangan demi kebimbangan.

Rukia membatin galau. Setiap hari dia berdoa untuk Ichigo. Melakukan segalanya untuk Ichigo. Namun, akhirnya dia sadar. Dia hanya manusia biasa. Dia bukan bidadari yang memiliki kesetiaan tanpa batas.

TO BE CONTINUED

Hitsugaya: Kayaknya gue gentlemen amat. Bisa diganti gak? Jijik gue ma gue yang lembut gitu.

HitsuRuki: Gak bisa. Ini cerita udah dari sononya!

Rukia: Aku kok, kayaknya muram banget?

Ichigo: Kayaknya gue terlalu disalahin. Biasanya yang ngomong gitu gue hajar, tapi ini Cuma cerita buatan, toh… Ya udah.

Hitsugaya: Kurosaki, enak kamu tidak terlalu out of character! Itu sih, lo yang lagi sedih gak bisa jagain temen-temen lo!

Ichigo: Ya, ya.. Toushiro…

Hitsugaya & HitsuRuki: Kapten Hitsugaya!

Rukia: sabar, kapten Hitsugaya…

Hitsugaya: Baiklah…

Ichigo: iya iya…. KAPTEN HITSUGAYA!

HitsuRuki: kenapa jadi pada nyolot sih… mendingan minta review!

Semuanya: Review!

Hitsugaya: kalau gak review gue bankai!

HitsuRuki: kalo lo ngomong gitu ntar gak ada yang mau review jadinyaaa!

Hitsugaya: iya iya.

Please review, OK?