Chapter terakhir ini aku persembahkan buat sahabatku, Almh Arnanda Indah (Kang Mas Neji Ganteng)

Warning: AU-ish (seperti biasa) n little lime… er… lemon, whatever.(:p) Sedikit lebih eksplisit di sini. Yang ngga mau baca lemon, sudah kutandai dengan *L*, skip aja bagian itu, oke? *wink* This is my first lemon, btw..

The last chapter… Enjoy!

.

.

Kata-kata bisa menyengat seperti apa saja, namun kebisuan menghancurkan hati—

(Phyllis McGinley)

.

.

Hela napas berat untuk kesekian kalinya meluncur dari bibir pucat wanita pemilik rambut merah muda itu. Matanya yang berwarna hijau redup memandang kosong ke luar jendela besar yang berada tepat di atas bangku tempatnya duduk di kedai itu. Langit malam itu tampak muram. Tak ada setitik pun bintang yang terlihat di atas sana, hanya sinar bulan yang sesekali mengintip dari sela-sela gumpalan awan gelap.

Malam ini adalah puncak purnama.

Tiba-tiba saja Sakura teringat pada sesuatu yang pernah dikatakan oleh Sayuri beberapa waktu silam. Segera saja terbayang olehnya keramaian yang sedang terjadi di Oni no Kuni—arak-arakan, lampion-lampion cantik yang terpasang di setiap sudut desa, pasar malam, kembang api… suasana yang biasa terlihat setiap kali festival diadakan. Pasti sangat menyenangkan jika bisa melewatkan malam bersama Neji di sana.

Neji-san… Bagaimana kabarmu? Apa kau sehat? Apa kau makan dengan baik? Tidur dengan baik? Apa yang sedang kau lakukan sekarang? Apa kau masih melakukan pekerjaanmu di istana? Apa kau… merindukan aku, Neji-san?

Sakura mengangkat tangannya untuk menyapu anak-anak rambut yang terjatuh di dahinya, mencengkeram helaian-helaian halus itu seraya memejamkan mata, mendesah berat.

Ia sungguh tidak tahu apa yang harus dilakukan. Sebagian dirinya—sebagian besar yang telah diyakinkan oleh kata-kata Ino bahwa kekacauan ini masih bisa diperbaiki—mendorongnya untuk kembali pada Neji. Seperti alasan dirinya meninggalkan apartemen Ino beberapa saat yang lalu. Tetapi sebagian dirinya yang lain masih dihantui ketakutan akan penolakan dari pria itu. Bagaimana jika perasaan Neji padanya telah berubah? Bagaimana jika Neji membencinya? Bagaimana jika Neji ternyata sudah memutuskan untuk memilih Shion dibanding dirinya? Terlalu banyak kekhawatiran sehingga hatinya menjadi ragu.

Dan lagi, Sakura tidak yakin apakah dirinya masih sanggup menerima kekecewaan lagi jika ketakutannya benar-benar terjadi. Sementara fisik dan mentalnya sudah terlampau letih jika harus menghadapi tekanan yang lain.

"Sumimasen, ini pesanan Anda."

Suara sopan yang terdengar kemudian segera membuyarkan lamunan Sakura. Seorang gadis pelayan berambut pendek datang untuk meletakkan sebuah guci sake dan sepiring asinan lobak yang ia pesan sebelumnya di atas meja.

"Arigatou," ucap Sakura dengan suara parau.

Gadis itu menegakkan diri dan hendak berbalik pergi ketika ia mendengar sang tamu mengeluh kecil seraya memijat-mijat pangkal hidungnya. "Ano… Bukannya bermaksud ikut campur, tapi…" Sejenak, ia tampak ragu sebelum melanjutkan dengan nada khawatir, "Apakah Anda baik-baik saja? Anda terlihat… tidak sehat."

"Ah, iie." Sakura segera memperbaiki posisi duduknya dan memaksakan seulas senyum yang tak mencapai matanya yang berkantung pada si pelayan. "Aku baik-baik saja, terimakasih banyak."

"Aah…" Gadis itu tampak ragu-ragu selama beberapa saat, seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi kemudian mengurungkan niatnya. Barangkali itu hanya pengaruh dari sake yang diminumnya, pikirnya. Akhirnya ia hanya mengangguk dengan sopan, sebelum berlalu dari sana sambil memeluk nampan kayunya.

Begitu gadis pelayan itu pergi, Sakura berpaling pada sekelompok pengunjung di sisi lain kedai. Seorang pria muda berambut cokelat terang baru saja bangkit dari kelompoknya, menghampiri seorang wanita yang duduk di kelompok lain. Wajah keduanya tampak malu-malu, tetapi raut sumringah karena telah mendapatkan pasangan terlihat dengan jelas sementara para pengunjung yang lain bersorak-sorai untuk mereka.

Kemeriahan acara gokon yang tengah berlangsung di sisi lain kedai kembali mengingatkan Sakura pada sebuah peristiwa yang menjadi awal dari segalanya. Di sana, tepat di meja yang sama. Gelombang emosi kembali menyapu dirinya ketika ia menelengkan kepalanya, memandangi tempat di mana Neji pernah duduk bersamanya berbulan-bulan yang lalu. Sebuah kombinasi yang menyakitkan antara perasaan bahagia dan penyesalan. Bahagia, karena di sanalah ia menemukan seseorang yang telah membuat hatinya kembali hangat oleh rasa abstrak bernama cinta. Penyesalan, karena itu adalah awal kesengsaraan yang ia timpakan pada orang itu.

Tanpa sadar air matanya mengalir lagi.

Mencoba untuk tidak terlalu memikirkan hal itu, Sakura lantas mengambil guci sake yang masih penuh di atas meja dan menuangkan ke dalam cawan. Kemudian menandaskannya dalam sekali teguk. Cairan beralkohol itu seakan membakar kerongkongannya. Kepalanya mulai terasa berat.

Dulu Neji pernah berkata padanya bahwa sake hanya bisa membantumu melarikan diri dari masalah, bukan menyelesaikannya. Tetapi sekarang, bahkan sake pun tak mampu membantunya lari kemana-mana.

Kali ini Sakura merasa sangat tidak berdaya.

.

.

GOKON

Neji-Sakura's fic

Naruto © Kishimoto Masashi

.

.

Chapter 20

.

.

"Neji-san, daijoubu ka?"

Sang chunin muda menatap khawatir Neji yang tampak kepayahan mengatur napasnya. Aura chakra yang menguar dari tubuhnya terasa lemah. Walaupun bukan seorang iryoo-nin, tetapi ia bisa merasakan bahwa kondisi jounin dari Klan Hyuuga itu tidak terlalu baik.

"Apa kita perlu membawanya ke rumah sakit?" tanya rekannya seraya mendekat.

"Tidak perlu." Neji mencengkeram bahu penolongnya, menggunakannya sebagai pegangan untuk menegakkan diri. Napasnya masih tersengal. "Aku baik-baik saja."

"Kelihatannya tidak seperti itu," gumam chunin yang memapahnya, tapi Neji menghiraukannya.

"Sakura—" sengalnya sambil berusaha menatap chunin itu. Kondisinya yang melemah membuat penglihatannya sedikit mengabur. Sejak memutuskan untuk menyusul Sakura ke Konoha, Neji memang belum sekali pun beristirahat. Bahkan berhenti untuk makan dalam perjalanan sekali pun dirasa hanya membuang-buang waktu. Neji hanya mengandalkan energi dari pil prajurit buatan Sakura yang ia temukan di rumah sebelum berangkat. "Hyuuga Sakura ada di Konoha, bukan?"

"Eeh—" pemuda itu mengerjap, lalu melempar pandang bertanya pada rekannya.

"Sakura-san ada di Konoha," rekannya itulah yang menjawabkan untuknya. "Sakura-san datang kira-kira dua malam yang lalu, saat kau sedang ada misi," ujarnya menambahkan pada kawannya yang masih tampak bingung.

Neji mengangguk. Seperti dugaannya, Sakura memang kembali ke Konoha—tempat penuh kenangan yang bagi Sakura adalah satu-satunya rumah yang ia miliki—Meski rasanya masih terlalu dini untuk berharap dapat memperbaiki semua kekacauan dalam rumah tangga mereka, setidaknya Neji masih memiliki harapan untuk bertemu dengan wanita yang sangat dikasihinya itu. Dan dengan berpegang pada harapan kecil itu, Neji menguatkan dirinya.

"Are—Neji-san—kau mau kemana?"

Tanpa menghiraukan kedua chunin itu, Neji melepaskan diri. Pada langkah pertama pijakannya sedikit goyah, tetapi saat berikutnya ia sudah melesat pergi. Dengan sisa chakra yang masih ia miliki, Neji mengaktifkan kekkei genkai-nya untuk mencari keberadaan sang istri.

.

.

Yamanaka Ino meninggalkan apartemennya dengan tergesa-gesa. Otaknya berputar cepat, mengira-ngira tempat yang mungkin dituju oleh Sakura, sementara ia berlari menyusuri jalanan di pusat desa Konoha yang sudah mulai lengang. Kediaman Klan Hyuuga langsung ia coret dari daftar—dalam situasi seperti ini, Sakura tidak mungkin pergi ke sana—Sakura juga tidak mungkin pergi ke tempat Naruto atau ke apartemen lamanya yang sudah ditempati orang lain.

Kemungkinan lain adalah Sakura nekat kembali ke Oni no Kuni untuk menemui Neji, meskipun Ino tidak sepenuhnya yakin mengingat pembicaraannya dengan sahabatnya itu tadi siang. Atau bisa saja Sakura melakukan tindakan yang lebih bodoh seperti kabur dari desa, atau… berusaha menghilang dari dunia.

Tak peduli apa yang sedang dilakukan Sakura sekarang, atau sedang berusaha ia lakukan, Ino harus segera menemukannya!

Tapi masalahnya, Ino tidak akan bisa melakukannya sendirian. Tanpa memiliki kemampuan yang cukup dalam pelacakan, seperti penciuman Klan Inuzuka, serangga pelacak Klan Aburame atau Byakugan milik Klan Hyuuga, mencari Sakura dalam situasi seperti ini sama mudahnya seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami.

Ino baru saja mempertimbangkan untuk meminta bantuan tercepat yang bisa ia dapatkan ketika tanpa sengaja matanya menangkap sosok yang tampak familiar bergerak cepat melompati atap-atap bangunan. Langkahnya seketika terhenti. Kedua mata biru aqua-nya melebar saat detik berikutnya ia mengenali sosok berambut panjang itu.

"Neji-san!" Ino refleks memanggil. Hatinya dipenuhi kelegaan.

Namun tampaknya Neji tidak mendengarnya. Atau ia sebenarnya mendengarnya, hanya saja perhatiannya tengah terpusat pada sesuatu yang lebih mendesak sehingga tidak mengindahkannya. Pria itu terus melesat, melompati atap demi atap tanpa menoleh sedikit pun. Tak menyerah, Ino lantas melompat ke atap dan bergegas menyusulnya.

"Neji-san!" panggil Ino lagi, lebih keras. Kali ini ia berhasil mendapatkan perhatian Neji.

Neji berhenti di atap salah satu toko kelontong dan menoleh ke belakang, mendapati kunoichi berambut pirang itu berhenti beberapa langkah di belakangnya. Pembuluh-pembuluh yang sebelumnya bertonjolan pelipisnya perlahan memudar. Neji tidak mengatakan apa pun saat itu, atau menampakkan keterkejutan ketika melihat Ino di sana. Namun bahkan di bawah sinar bulan yang redup sekali pun, Ino dapat melihat ekspresi tak sabar di wajahnya yang pucat dengan jelas. Pria itu tampak sedang tergesa-gesa—dan dugaan Ino semakin kuat bahwa Neji memang datang untuk mencari Sakura.

"Syukurlah kau datang," kata Ino sedikit terengah, "Sakura—Kau datang mencari Sakura, bukan, Neji-san?" tanyanya memastikan.

Mendengar nama sang istri disebut, ekspresi Neji berubah siaga. Ia memutar tubuhnya menghadap Ino. Dahinya berkerut, sementara kedua mata keperakannya menatap tajam wanita di depannya itu. "Dia ada bersamamu?"

Sejenak pertanyaan Neji membuat Ino bingung, sebelum kemudian ia benar-benar memerhatikan penampilan suami Sakura itu. Ino tak pernah melihat penampilan Neji yang begitu tidak keruan seperti itu—bukan dalam situasi setelah pertarungan hebat yang menghasilkan luka-luka parah atau sejenisnya.

Pakaian putih yang biasa ia kenakan tampak kotor, kulitnya yang pucat berkilauan oleh peluh dan lingkaran hitam di bawah matanya terlihat sangat jelas. Ia bahkan tidak menggunakan hitaiate-nya, sehingga simbol juinjutsu Klan Hyuuga miliknya terlihat. Belum lagi aura chakra-nya yang lemah dan ini menjelaskan sesuatu: kemampuan Byakugan menurun jika chakra penggunanya lemah, termasuk jarak pandang yang memendek. Hinata pernah memberitahunya soal itu.

Tidak mengherankan jika Neji pun belum menemukan keberadaan Sakura walaupun ia menggunakan Byakugan dalam kondisinya yang sekarang.

"Tadinya. Tapi sekarang tidak lagi." Ino menghela napas, seraya melempar pandang menyesal pada Neji. "Maafkan aku, Neji-san, seharusnya aku tidak meninggalkannya dalam situasi seperti ini."

Kerutan di antara kedua alis Neji semakin dalam. "Apa maksudmu? Situasi seperti apa—" Kedua matanya melebar dan mendadak pria itu tampak luar biasa cemas, "A—Apa Sakura…"

Ino menjawab pertanyaan Neji yang tak selesai dengan anggukan. "Sakura sudah ingat semuanya, Neji-san," beritahunya. "Kejadian pada malam ketika kalian berdua menikah—dia sudah mengingatnya. Dan Sakura jadi—"

Neji tidak benar-benar mendengarkan apa yang dikatakan Ino selanjutnya, karena sekarang pikirannya hanya tertuju pada informasi sebelumnya: Sakura sudah mengingat semuanya. Kekhawatirannya yang terbesar akhirnya terjadi. Kendati Neji telah menduga ini akan terjadi pada akhirnya, mengingat lemahnya segel yang ia gunakan dan kondisi Sakura sebelum ia pergi. Tetapi Neji sama sekali tidak mengharapkan Sakura mendapatkan ingatannya kembali dalam situasi seperti ini.

Neji merutuki dirinya sendiri. Kalau saja ia memiliki keberanian untuk mengungkapkan semuanya pada Sakura lebih awal—dengan menanggung segala resiko yang mungkin terjadi—mungkin hal seperti ini masih bisa dicegah. Tapi kenyataannya ia terlalu pengecut. Keegoisannya telah mengalahkan keinginannya untuk selalu melindungi Sakura. Ia memilih melarikan diri dan membiarkan wanita yang paling disayanginya menanggung penderitaan seorang diri.

Tapi sekarang bukan waktunya untuk menyesali keadaan. Prioritasnya sekarang adalah menemukan Sakura sesegera mungkin, sebelum semuanya benar-benar terlambat.

.

.

Dengan kondisi chakra yang terbatas, perlu waktu beberapa lama bagi Neji sampai akhirnya ia berhasil menemukan keberadaan Sakura dengan Byakugan-nya. Beruntung, ternyata Sakura belum benar-benar meninggalkan desa saat itu. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Neji segera meluncur ke tempat itu—sebuah kedai di pinggiran Konoha, tempat ia dan Sakura pernah bertemu dalam sebuah acara gokon—dengan Ino mengikuti dengan was-was di belakangnya.

Kedai itu tampaknya sudah akan tutup ketika kedua ninja itu akhirnya tiba di sana dengan napas terengah-engah. Seorang pengunjung pria yang kelihatannya sudah mabuk berat tampak terhuyung-huyung keluar dari kedai, dipapah oleh seorang pemuda yang tampaknya pelayan di sana. Si pria mabuk merancau tidak jelas memarahi si pemuda sebelum akhirnya muntah di depan pintu.

Ino mengernyit jijik menatap pria itu. "Kau yakin Sakura ada di tempat ini, Neji-san?"

Alih-alih menanggapi pertanyaan Ino, Neji bergegas menuju pintu kedai, melewati si pemuda dan pria mabuk. Ino tak punya pilihan lain selain mengikutinya, berhati-hati agar tidak menginjak kubangan muntah di dekat pintu.

Tempat itu sudah nyaris kosong ketika mereka masuk. Para pelayan tampak sibuk membereskan meja dan bangku, sementara beberapa pelanggan yang masih ada di sana sudah bersiap untuk pulang setelah mengurus pembayaran. Namun pandangan Neji segera tertuju pada salah satu bangku di sudut. Seorang gadis muda tampak membungkuk di sisi bangku, berusaha membangunkan salah seorang pengunjung yang sepertinya tertidur di sana. Rambut merah muda tampak dari balik lengan yukata gelap di gadis pelayan.

"Sakura!" Neji berseru, bergegas mendatangi meja itu.

Si gadis pelayan yang tampak terkejut dengan kehadiran mendadak pria berambut panjang itu, segera menyingkir untuk memberinya ruang. Neji menahan napas. Hatinya mencelos tatkala mendapati Sakura, wanita yang diam-diam telah menguasai pikiran dan hatinya selama bertahun-tahun, tergolek tak sadarkan diri di bangku. Rambut merah mudanya tampak berantakan, terurai ke depan wajahnya. Sakura tampak begitu kacau. Begitu… hancur. Dan itu karena kesalahannya.

"Sakura…" suara Neji bergetar ketika dia menghampiri istrinya, mencoba menarik bahunya untuk bangun. Kepala Sakura langsung terkulai lemas di lekukan lehernya. Selembut yang dapat dilakukan oleh tangannya yang gemetar, Neji menyeka rambut yang menutupi wajah Sakura, menyelipkannya di belakang telinganya. Kedua matanya terpejam, meski demikian Neji dapat melihat lingkar hitam di sekelilingnya, juga sisa-sisa air mata. Neji merasa seolah dadanya dicengkeram kuat, membuatnya sulit bernapas.

"Sakura, buka matamu…" bisiknya dengan suara tercekat. Memohon, seraya menepuk-nepuk lembut pipi sang istri yang terasa lembab oleh campuran antara keringat dan air mata. Saat itu Sakura hanya mengeluarkan suara erangan tak jelas sebagai jawaban—tetapi cukup jelas bagi Neji untuk mendengar namanya lah yang disebut.

"Apa yang terjadi?" Ino menanyai si pelayan, seraya mengawasi Neji yang masih berusaha membangunkan Sakura dengan sorot mata cemas. "Apa dia minum sake terlalu banyak?"

"Etto… Nyonya ini hanya memesan satu botol," jawab si pelayan pelan. "Hanya saja… sebelum itu ia juga sudah kelihatan tidak sehat."

Ino mengambil botol sake dari atas meja yang ditempati Sakura dan mendapati isinya masih tersisa separuhnya. Yang ia tahu, toleransi sahabatnya itu terhadap sake cukup kuat—mereka pernah adu minum sake saat pesta ulangtahun Ino beberapa tahun yang lalu dan Ino kalah telak. Ia sudah roboh di botol ketiga sementara Sakura masih cukup sadar untuk membuatkannya tonik pereda mabuk—Tapi sekarang, Sakura bahkan tidak menghabiskan satu botol.

Tanpa membuang waktu, Ino segera mendekati Sakura dan melakukan pemeriksaan singkat. "Kondisinya tidak terlalu baik, Neji-san," beritahunya pada Neji. "Sebaiknya kita bawa Sakura ke rumahku."

Neji yang saat itu terlalu kalut untuk berpikir jernih, menyetujui begitu saja kata-kata Ino. Tanpa buang waktu, ia melingkarkan lengan Sakura yang lemas ke sekeliling bahunya, lalu menyelipkan lengannya ke pinggang dan bawah lutut sang istri. Tubuh Sakura yang terasa ringan dan kurus dalam gendongannya kembali menghancurkan hatinya.

Sebelum mereka meninggalkan kedai itu, Ino menjejalkan beberapa lembar Ryo ke tangan si gadis pelayan.

.

.

Perjalanan menuju apartemen Ino bagaikan mimpi bagi Neji. Segala yang dilewatinya tampak seperti bayangan, ketika ia berlari sambil membopong tubuh Sakura yang tak sadarkan diri mengikuti sosok berambut pirang di depannya. Bermacam emosi yang campur aduk sama sekali tak memberinya ruang untuk memerhatikan hal lain kecuali wanita yang berada dalam gendongannya.

Sampai akhirnya mereka tiba di kediaman Sai dan Ino, Sakura mulai gelisah. Wajahnya mengernyit seperti orang yang sedang menahan sakit. Tubuhnya meronta dalam gendongan Neji sehingga perlu usaha lebih bagi pria itu untuk mempertahankan tubuh Sakura agar tidak jatuh, sementara Ino membimbingnya menuju kamar yang tadinya ditempati Sakura.

"Neji-san…" Sakura merancau, setengah terisak. Cairan bening bergulir dari sudut matanya yang terkatup. "Neji-san… Tidak… jangan tinggalkan aku…"

Saat itu Neji nyaris kehilangan kontrol dirinya kalau saja Ino tidak segera mendesaknya untuk membaringkan Sakura di tempat tidur. Ino bergerak cepat melepaskan sandal dan melonggarkan pakaian Sakura, sebelum kemudian membuat segel ninjutsu medis dengan tangannya. Pedar hijau kebiruan muncul dari kedua tangan Ino ketika ia menyalurkan chakra penyembuhnya ke dada Sakura yang gelisah, memanggil-manggil nama Neji dengan nada merana.

"Sakura, tenanglah," Ino berkata lembut pada Sakura. "Neji-san ada di sini. Dia tidak akan pergi kemana-mana lagi…" Mata biru aqua-nya mengerling Neji, tetapi pria itu seolah tidak menyadarinya. Perhatian Neji sepenuhnya terpusat pada Sakura. Pria itu tidak berkata apa pun, namun Ino dapat merasakannya kepedihan yang dirasakan pria itu dari matanya. Sorot mata terluka itu sama seperti yang dilihatnya di mata Sakura. Ino tak pernah melihat Neji seemosional yang dilihatnya saat itu. Perasaannya terhadap Sakura pastilah sudah sangat mendalam sehingga memengaruhi kontrol dirinya sedemikian rupa seperti itu, pikirnya. Meskipun jelas baginya, Neji sedang berjuang mati-matian agar tetap tenang.

"G-gomen… Neji-san…" Sakura mengigau lagi.

Kali ini Ino menyaksikan sendiri bagaimana pertahanan diri Neji akhirnya runtuh. Bulir bening luruh dari sudut mata keperakannya ketika ia membawa jemari Sakura ke bibirnya. Ino buru-buru memalingkan wajah ketika ia mendengar Neji mengeluarkan suara seperti tercekik. Tiba-tiba saja Ino merasa tak seharusnya ia berada di sana. Melihat pria itu—tetapi ia juga tak bisa meninggalkan Sakura dalam kondisi seperti itu sekarang.

"Maafkan aku," Neji berkata kemudian. Suaranya sudah kembali tenang. Saat itu Sakura sudah tak lagi gelisah, dan Ino menyadari kata-kata Neji tidak ditujukan pada Sakura, melainkan padanya.

Ino tersenyum kecil. "Tidak apa, Neji-san. Aku mengerti."

Neji menarik napas dalam-dalam. "Arigatou… karena telah menjaga Sakura."

"Sakura sudah seperti saudariku. Jadi tak perlu sungkan begitu."

Mereka terdiam beberapa saat.

"Apa Sakura akan baik-baik saja?" tanya Neji memecah keheningan.

"Dia akan baik-baik saja," sahut Ino, menghela napas. "Untungnya fuinjutsu yang kau gunakan padanya tidak meninggalkan kerusakan yang permanen," ujarnya sambil mengerling Neji dan mendapati kegelisahan di wajah pria itu—rasa bersalah. "Sekarang ini Sakura hanya tertekan. Penyakit yang disebabkan oleh kondisi psikis kadang memang tak dapat diprediksi, karena yang sakit bukan hanya tubuhnya, tapi juga batinnya."

Neji menelan ludah dengan susah payah. "Bisakah kau menyembuhkannya?"

"Aku hanya membantu mengobati sakit fisiknya saja. Dan aku akan mengusahakan yang terbaik untuk itu. Tetapi luka batinnya," Ino menatap Neji penuh arti. "Hanya kau yang tahu cara menyembuhkannya. Nah—" Pedar kehijauan di telapak tangannya meredup. "—sudah selesai. Sekarang Sakura sudah tidur nyenyak. Sebaiknya kau juga beristirahat, Neji-san. Kurasa tempat tidur ini cukup untuk kalian berdua, kan?"

"Aa. Arigatou."

Ino melempar senyum kecil terakhir pada Neji sebelum beranjak dari sana, menutup pintu perlahan di belakangnya.

Setelah Ino meninggalkan kamar, Neji kembali menatap wajah Sakura yang terlelap. Terlihat tenang, namun lingkar gelap di bawah matanya, juga pipinya yang tirus tak mampu menutupi apa yang sudah ia lewati. Neji merasakan gelombang emosi itu menyapunya, seperti yang kerap kali terjadi setiap kali dirinya diam-diam memerhatikan istrinya yang sedang tidur. Namun kali ini Neji tak berusaha menahannya.

Neji mencondongkan tubuhnya.

"Gomen…" bisiknya di dahi Sakura, mengecupnya.

"Gomen ne…" Napasnya menerpa kulit di pipi Sakura, menciumnya di sana.

"Gomenasai…" bisiknya sekali lagi di ujung bibir Sakura.

Tetapi Neji tahu dengan pasti bahwa kata maaf saja tidak cukup untuk membayar semua rasa sakit, penderitaan, kesepian dan keputusasaan yang telah ia timbulkan pada Sakura selama berbulan-bulan mereka menikah. Jika saja ada yang bisa ia lakukan untuk menghapus semuanya, membatalkan luka yang sudah terlanjur tertoreh, pria itu rela melakukan apa saja.

Apa saja.

.

.

Suara ketukan itu terdengar samar-samar, semakin lama semakin jelas. Merasa terusik, kedua kelopak mata itu akhirnya membuka, menampakkan iris putih tak berpupil di baliknya. Hal pertama yang tertangkap oleh penglihatannya adalah helaian-helaian halus berwarna merah muda.

Neji mengerjap, berusaha mengusir kantuk yang masih membebani matanya sementara ingatan tentang kejadian sebelum ia jatuh tertidur semalam perlahan kembali.

Sakura…

Neji menatap wanita yang masih terlelap di sampingnya. Tampaknya Sakura belum bergerak dari posisinya semalam. Selimut tipis masih membungkusnya hingga di bawah dagu sementara lengan Neji melingkari bagian tengah tubuhnya, memeluknya dengan protektif. Kedua matanya masih terpejam dan dadanya naik turun seiring irama napasnya yang teratur. Regulasi chakra-nya teratur dan terasa hangat. Ia sudah membaik, Neji membatin lega.

Suara ketukan yang kembali terdengar segera menyadarkannya. Neji menolehkan kepalanya dan memandang berkeliling. Matanya sejenak terhenti di jendela—sinar matahari menerobos masuk dari balik tirai tipis. Rupanya hari sudah pagi—sebelum beralih ke pintu, di mana suara ketukan itu berasal. Dengan hati-hati—supanya tak membangunkan Sakura—Neji menarik dirinya bangun dari tempat tidur.

Yamanaka Ino berdiri di depan pintu ketika Neji membukanya, tampak agak canggung. "Ohayou, Neji-san," sapanya, sementara mata birunya diam-diam berusaha memandang ke balik pintu. "Um… maaf kalau aku mengganggu—"

"Iie," Neji menyelanya, seraya membuka pintu lebih lebar supaya Ino bisa melihat Sakura yang masih terbaring di tempat tidur lebih jelas.

Ino tertawa gugup. Wajahnya merona. "Sepertinya Sakura belum bangun."

"Aa. Dia sama sekali tidak terbangun sejak semalam."

Ino mengangguk. Sejenak ia termangu di depan pintu, sebelum kemudian teringat tujuannya mengetuk pintu. "Ah, hampir lupa. Utusan dari kantor Hokage tadi kemari. Katanya Naruto ingin kau menghadapnya."

Neji yang sudah menduga hal seperti ini akan terjadi cepat atau lambat, tidak tampak terkejut. "Wakatta."

"Kau tidak bermaksud langsung menghadap Hokage sekarang, kan, Neji-san?" celetuk Ino ketika Neji berjalan melewatinya.

Neji menoleh, menatap wanita berambut pirang itu dengan dahi berkerut. Namun sebelum ia sempat membuka mulutnya untuk menyahut, Ino menyelanya,

"Kau mungkin tidak menyadarinya, tapi penampilanmu itu sangat tidak keruan."

Neji menunduk untuk memandang dirinya sendiri—pakaiannya kusut karena dipakai tidur dan tampak kotor di beberapa bagian setelah melakukan perjalanan tanpa henti dari Oni no Kuni. Menurutnya itu bukan hal besar, tetapi tampaknya Ino menolak diajak kompromi karena saat berikutnya ia sudah menyodorkan sepasang seragam shinobi Konoha berwarna hitam ke dadanya.

"Bersihkan dirimu dulu, Neji-san, dan pakai itu—karena kulihat kau tidak bawa pakaian ganti—Ukuran tubuhmu dan Sai-kun tidak jauh berbeda, dia pasti tidak akan keberatan."

Neji menatap pakaian Sai di tangannya.

"Dan sebelum berangkat, kau perlu makan sesuatu," kata Ino lagi tanpa memberi kesempatan pada Neji untuk bicara. "Suasana hati Naruto kelihatannya sedang buruk dan kupikir bukan ide bagus jika kau menemuinya dengan perut kosong. Kita tidak tahu apa yang bisa dilakukan Naruto setelah dia tahu tentang… yah—masalah kalian. Kau tahu seperti apa Hokage kita itu, kan?" Ino menghela napas dengan keras sebelum menambahkan, "Kau memerlukan tenagamu, Neji-san. Aku yakin Sakura juga setuju denganku."

"Apa Naruto menanyakan soal ini pada Sakura?" tanya Neji sebelum Ino sempat berbalik pergi.

"Tidak," Ino menjawab diiringi seulas senyum kecil yang membesarkan hati. "Tapi dia sangat penasaran."

"Begitu…" Neji mendesah lega.

Setidaknya Naruto cukup bijaksana untuk tidak menginterogasi Sakura, karena itu hanya akan membuat Sakura semakin tertekan. Lagipula ini memang sudah menjadi tanggung jawabnya. Neji sudah bersumpah pada Naruto untuk selalu melindungi dan tak membiarkan Sakura terluka, tetapi ia telah melanggar janjinya. Jika ada yang harus menerima hukuman, ialah orangnya.

Bukan Sakura.

.

.

Pintu kantor Hokage menjeblak terbuka dan tiga orang genin berlarian keluar dengan ribut, disusul seorang jounin-sensei berambut gelap yang dikucir tinggi. Sang jounin dari Klan Nara itu menghela napas panjang bernada bosan, namun ada senyum di matanya tatkala tatapannya mengikuti ketiga muridnya yang berceloteh riang membicarakan misi Kelas B yang baru saja mereka selesaikan dengan gemilang, hingga mereka menghilang di ujung koridor.

Nara Shikamaru menutup pintu di belakangnya dan hendak pergi ketika sosok jounin lain muncul dari arah ketiga muridnya menghilang beberapa saat yang lalu. Ekspresinya sedikit terkejut melihat Hyuuga Neji di sana, karena setahunya Neji tidak sedang berada di Konoha.

"Neji!" sapa Shikamaru sambil mengangkat sebelah tangannya sebagai salam.

"Shikamaru," balas Neji, memaksakan seulas senyum kecil.

"Kukira kau masih di Oni no Kuni," kata Shikamaru sambil lalu, seraya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku.

"Ada sedikit keperluan," sahut Neji, berusaha terdengar santai. "Kalau kau tidak keberatan." Ia mengerling pintu di belakang Shikamaru.

"Oh, yah. Tentu." Shikamaru melangkah minggir, memberi Neji jalan. "Kalau kau ada waktu, datanglah ke Yakiniku Q sore ini. Aku berencana mentraktir murid-muridku di sana. Perayaan keberhasilan misi, kau tahu kan?" Ia terkekeh kecil. "Aku tidak keberatan kalau kau mau bergabung. Sudah lama kita tidak mengobrol."

Neji pura-pura mempertimbangkan. "Terimakasih tawarannya. Tapi mungkin lain kali saja, Shikamaru."

"Baiklah," sahut Shikamaru setelah jeda beberapa saat. Kalau pun ia kecewa, ia tidak menunjukkannya. "Kalau begitu sampai ketemu lain kali, Neji." Dan detik berikutnya, Shikamaru sudah melesat pergi.

Setelah Shikamaru menghilang dari pandangan, Neji berpaling dan menarik napas dalam-dalam. Dengan tenang ia mengetuk pintu dua kali. Suara Naruto menyahut dari dalam, memerintahkannya masuk.

Naruto sedang menulis sesuatu di balik meja kerjanya ketika Neji memasuki kantor berbentuk semi-oval tersebut. Sang Hokage tidak sendirian. Istrinya, yang juga merangkap sebagai asisten pribadinya—setidaknya sebelum Hinata mengandung—juga berada di sana. Hinata tidak tampak terkejut melihat kakak sepupunya. Sebaliknya, ia malah memandang cemas pada suaminya yang bahkan belum mengangkat kepalanya dari apa pun yang sedang dikerjakannya.

"Naruto-kun, Neji-nii-san sudah datang," beritahu Hinata pada suaminya.

Naruto mengguman pelan sebagai jawaban, sebelum meletakkan alat tulis ke tempatnya dan menatap Neji. Mata biru langitnya menyipit. "Kau pasti sudah tahu alasanku memanggilmu kemari bukan, Neji?" Naruto memulai. Suaranya tampak tenang, tetapi air mukanya terlihat kaku seperti sedang menahan emosi yang bisa meledak kapan saja.

Tak sanggup menatap mata biru langit itu secara langsung, Neji memfokuskan pandangannya pada titik di hitaiate Sang Hokage. "Saya memiliki dugaan, Hokage-sama."

Kejadiannya berlangsung sangat cepat. Sesaat sebelumnya Naruto masih duduk di belakang meja kerjanya, menatap tajam sang kakak ipar dengan ekspresi sedingin batu. Dan detik berikutnya, Neji bahkan belum sempat mengambil napas ketika tiba-tiba saja tubuhnya terbanting ke lantai dengan keras, memaksa udara tersembur dari paru-parunya seiring dengan nyeri yang menjalar dari punggungnya. Kepalanya terlempar dengan keras ke kiri ketika tinju Naruto bersarang di bagian kanan wajahnya. Rasa amis menyebar di mulutnya.

"Naruto-kun!" Hinata memekik kaget.

Naruto mengabaikannya. Tangannya yang kuat mencengkeram bagian depan pakaian Neji, menariknya dengan kasar. "Teme…" geramnya. "Kau sudah bersumpah padaku, Neji—Kau bersumpah akan selalu menjaganya dengan nyawamu dan tidak akan membiarkannya terluka. Tapi apa yang kulihat justru sebaliknya, brengsek!"

Tinju Naruto kembali melayang. Kali ini Neji melihatnya, tapi ia sama sekali tak berusaha menghindar. Neji membiarkan saja Naruto melampiaskan kemarahannya. Ia merasa dirinya patut menerimanya. Sudah sepantasnya Naruto marah padanya setelah apa yang ia perbuat terhadap orang yang dianggapnya berharga. Dan pukulan itu bukan apa-apa dibandingkan penderitaan yang dirasakan Sakura.

"Naruto-kun—kumohon, hentikan!" pekik Hinata memohon, seraya maju untuk berusaha menarik Naruto dari atas tubuh Neji. "Naruto-kun—kau sudah janji padaku akan membicarakannya dengan kepala dingin, kan? Jadi kumohon, hentikan!"

Setelah bersusah-payah, akhirnya Hinata berhasil memisahkan Naruto dari kakak sepupunya. Dengan desakan lembut, Hinata mendorong suaminya mundur, membuat jarak yang aman antara Sang Hokage dan Neji yang masih terkapar di lantai, sebelum bergegas membantu sepupunya itu bangun.

"Neji-nii-san, daijoubu?" Hinata berusaha menyeka cairan merah pekat yang menodai sudut bibir Neji, tapi pria itu menepis tangannya dengan lembut.

"Daijoubu, Hinata-sama," Neji tersengal.

Hinata menatap sepupunya. Matanya menyiratkan keprihatinan, sebelum kemudian ia kembali berpaling pada Naruto yang masih melempar tatapan murka pada Neji. Wajah Naruto merah padam dan napasnya terengah-engah karena emosi yang menguasainya. Hinata lantas mendekati suaminya itu, membisikkan kata-kata menenangkan yang tak dapat didengar Neji. Sementara tangannya mengusap-usap dada Naruto dengan lembut. Sebuah tindakan sederhana yang nampaknya menimbulkan dampak cukup besar bagi Sang Hokage.

Naruto memejamkan matanya sejenak dan menarik napas dalam-dalam beberapa kali. Dan ketika akhirnya kedua mata biru langitnya membuka, ketegangan di wajahnya memudar. Ia mengerling pada istrinya yang tersenyum dan memberinya anggukan setuju.

"Jadi…" Naruto berkata kaku, seraya mengembalikan perhatiannya pada Neji. "Aku tidak akan meminta maaf atas pukulan itu, Neji. Kau pantas mendapatkannya."

"Saya tidak menyalahkan Anda, Hokage-sama," sahut Neji, masih belum berani menatap mata adik iparnya. "Saya mengerti."

"Tidak perlu seformal itu, Neji. Kita tidak sedang berada dalam forum resmi," ujar Naruto, nyaris terdengar bosan. "Lagipula aku sedang ingin bicara denganmu sebagai teman—keluarga."

"Hai."

Keheningan yang kaku memenuhi ruangan itu sementara Naruto terus menatap Neji dengan sorot dingin.

"Aku sangat kecewa padamu, Neji," ujarnya kemudian, memecah keheningan. "Kau tahu, Sakura-chan adalah wanita yang kuat—sangat kuat. Selama bertahun-tahun aku melihatnya bertahan melewati hidup yang sama sekali tidak mudah. Berkali-kali terjatuh, berkali-kali disakiti, tapi dia tak pernah menyerah sedikit pun. Bahkan peperangan beberapa tahun lalu tidak membuatnya kehilangan senyumannya—walaupun itu sangat sulit. Kau tahu maksudku, kan?"

Neji terdiam. Ia mengerti—Naruto sedang bicara tentang Uchiha Sasuke.

"Tapi kemarin, saat aku melihatnya seperti itu… aku tidak bisa membayangkan apa yang telah kau lakukan padanya sehingga membuat Sakura-chan—" Naruto terdiam, lalu menghela napas keras, tak sanggup mendeskripsikan apa yang ia lihat—dan rasakan—pada diri sahabatnya hari sebelumnya. Hanya dengan mengingatnya saja sudah membuat dadanya sesak. "—kau pasti sudah melihatnya sendiri, kan?"

Neji masih tak menjawab.

"Aku sama sekali tidak mengerti mengapa Sakura-chan selalu saja terlibat dengan pria-pria yang hanya membuatnya terluka?" Naruto melanjutkan dengan gusar. "Dulu Sasuke… lalu sekarang kau, Neji. Waktu kau mengatakan padaku bahwa kau mencintainya, kukira aku bisa memercayaimu. Kukira pada akhirnya Sakura-chan akan mendapatkan kebahagiaan yang layak ia terima. Tapi sepertinya tidak begitu."

Bahkan kali ini pun Hinata yang sebelumnya tak memihak, menampakkan ekspresi kecewa di wajahnya. "Neji-nii-san, apa kau tidak mengatakan mengatakan sesuatu pada kami?" tanya Hinata berhati-hati, "Aku sudah cukup mengenalmu, Neji-nii-san. Kau bukan orang yang bertindak tanpa alasan. Kali ini pun begitu, bukan? Kau pasti memiliki alasan yang masuk akal untuk menjelaskan ini semua. Benar, kan?"

"Kami sama sekali tidak bermaksud ikut campur, Nii-san," imbuh Hinata ketika Neji tidak kunjung mengatakan apa pun. "Sakura-nee-san dan Neji-nii-san, bagi Naruto-kun dan aku adalah orang yang sangat berharga. Ditambah lagi kita sudah menjadi satu keluarga, ibaratnya kita adalah satu tubuh. Ketika ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka anggota tubuh yang lainnya pun akan merasakan sakit." Hinata berhenti sejenak untuk menghela napas. "Jika kau mengizinkan, Nii-san, kami hanya ingin sedikit saja diberi kesempatan untuk bisa memahami situasi kalian berdua."

"Aku tidak bisa—" suara Neji sesaat tercekat di tenggorokannya. Ia menarik napas untuk menenangkan diri, sebelum mengangkat wajahnya menatap dua orang di depannya. Dan ketika ia mulai berbicara, suaranya lebih mantap. "Aku tidak bisa menampik apa yang mungkin kalian pikirkan tentang apa yang telah kuperbuat pada Sakura. Aku memang melakukan suatu kebodohan yang sudah melukainya, tapi…" Neji mengarahkan tatapannya langsung pada kedua mata Naruto. "…saat aku mengatakan aku mencintai Sakura, aku bersungguh-sungguh."

Hanya dengan melihat ekspresi di wajah Naruto, Neji langsung tahu bahwa Naruto tidak memercayainya. Neji tak bisa menyalahkan iparnya itu. Sikap Naruto mencerminkan apa yang ia lihat—dan yang ia lihat sama sekali tak seperti yang ia harapkan. Neji telah mengkhianati kepercayaan yang pernah ia berikan sekali. Bukan tidak mungkin Neji akan melakukan hal yang sama sekali lagi.

Ini akan menjadi pembicaraan yang panjang dan sulit bagi Neji.

.

.

Aku bermimpi…

Aku bermimpi Neji-san datang padaku. Aku bisa mendengar suaranya yang dalam… memanggil-manggil namaku.

Dia memelukku… rasanya hangat…

Neji-san…

Kami-sama… jangan biarkan mimpi indah ini berakhir. Aku tidak ingin bangun…

"Kau sudah bangun, Saki?"

Suara derit pintu yang dibuka, disusul oleh suara seorang wanita yang sudah sangat dikenalnya mengembalikan Sakura ke alam nyata. Ia menolehkan kepalanya yang masih terbaring di atas bantal, melihat Ino menghampiri tempat tidurnya. Sejenak Sakura tampak kebingungan.

"Ino?" suaranya terdengar sedikit parau—barangkali karena efek terlalu banyak menangis beberapa hari belakangan—Dengan susah payah Sakura menarik tubuhnya yang entah mengapa terasa sepuluh kali lebih berat untuk bangun.

Ino bergegas membantunya. "Kau baik-baik saja?" tanyanya khawatir.

Sakura mengerjap. "Ya…" desahnya. Ia memandang berkeliling, seolah baru menyadari di mana ia berada sekarang. "Apa yang terjadi? Mengapa aku ada di sini?"

"Ternyata kau benar-benar tidak terbangun semalaman, ya?" gumam Ino. "Pantas saja sunyi sekali."

"Apa?"

"Tidak ada," sahut Ino buru-buru, lalu menghela napas keras-keras sambil duduk di tepi tempat tidur. "Semalam kau pingsan di tempat gokon," jelasnya kemudian. "Dasar, kau ini… Berniat kabur? Membuat orang cemas saja."

Untuk beberapa saat Sakura terdiam. Sementara perlahan-lahan ia mulai mengingat apa yang terjadi sebelum semuanya menjadi gelap. "Aah…" Sakura menundukkan kepalanya. "Gomenasai…"

Ino mengabaikan permintaan maaf Sakura. "Apa kau tidak penasaran bagaimana kau bisa ditemukan dan berada di sini sekarang, Saki?" tanyanya sambil tersenyum.

Sakura mengangkat kepalanya, menatap sahabatnya bingung. "Kau… pasti berkeliling desa mencariku," tebaknya tidak yakin. Walaupun letaknya tersembunyi, Konoha adalah desa yang sangat luas. Rasanya tidak mungkin Ino bisa menemukannya dengan berkeliling desa dalam semalam seorang diri, ditambah ia tdak memiliki kemampuan lebih dalam tracking. Kemampuan seperti itu hanya dimiliki oleh orang-orang seperti Kiba, atau Shino, atau Hinata—Neji-san…

Senyum di wajah Ino melebar saat ia menyadari perubahan ekspresi Sakura. "Benar. Neji-san lah yang menemukanmu. Dia datang ke Konoha semalam, hanya untuk mencarimu."

"Neji-san…" –ternyata bukan mimpi. Neji-san benar-benar ada di sini.

"Ternyata perasaannya padamu sama sekali tidak berubah seperti yang kau pikirkan, Saki." Ino meraih tangan Sakura, menggenggamnya lembut. "Kau seharusnya melihat caranya memperlakukanmu. Dia sama sekali tidak meninggalkan sisimu semalaman. Neji-san masih mencintaimu—aku yakin."

Akan tetapi tampaknya Sakura tidak begitu mendengarkan kata-kata Ino. Ia terlalu sibuk mengedarkan pandangannya ke sana-kemari, seakan berharap melihat Neji bisa muncul di mana saja. "Di mana dia sekarang, Ino? Mengapa aku tidak melihatnya?"

"Tentu saja kau tidak melihatnya, dia tidak ada di sini sekarang," sahut Ino, terkekeh kecil melihat tingkah sahabatnya. "Dia sedang berada di tempat Hokage—Naruto memanggilnya."

"Di tempat… Hokage?" Sakura berhanti dan menatap Ino tak mengerti.

"Neji-san sudah pergi sekitar tiga jam yang lalu," ujar Ino, lalu sekali lagi menghela napas dengan dramatis. "Kalau sampai selama ini… aku yakin Naruto sedang menyiksa suamimu sekarang. Kau tahu seperti apa dia, kan—Hei!"

Mendengar kata-kata Ino, Sakura langsung panik—Bagaimana bisa Naruto memanggilnya sekarang!—Pemilik rambut merah muda itu dengan cepat beringsut ke pinggir tempat tidur dan hendak melompat bangun ketika Ino menahannya.

"Kau mau kemana?"

"Tentu saja ke tempat Naruto!" seru Sakura tak sabar, berusaha melepaskan diri dari pegangan Ino. "Neji-san tidak bisa menghadapinya sendiri! Aku harus ke sana seka—"

"Sakura!" Ino mendorong paksa sahabatnya yang keras kepala itu kembali ke tempat tidur. Sakura memelototinya, tapi ia mengabaikannya. "Dengar. Neji-san yang memintaku memastikan kau menunggunya di sini. Dia tidak mau kau menyusulnya, karena menurutnya dia lah yang harus bertanggung jawab," tambahnya dengan suara lebih pelan. "Lagipula kesehatanmu masih belum pulih benar. Bagaimana kalau kau tiba-tiba pingsan di sana? Itu akan semakin mempersulit Neji-san! Dan kalau kau belum tahu, rumor tentang kalian berdua sudah mulai menyebar—Terimakasih atas kemunculanmu yang dramatis semalam. Rupanya ada yang mengenali menantu Klan Hyuuga yang hebat berkeliaran di tempat gokon malam-malam, mabuk."

"Tapi—"

"Percayalah pada Neji-san, Saki. Dia priajenius, dia akan baik-baik saja. Yang harus kau cemaskan sekarang adalah dirimu sendiri," tandas Ino, menyela perkataan Sakura. "Lihat dirimu. Apa kau mau bertemu dengan Neji-san dengan keadaan berantakan seperti ini? Dan kau juga harus mengisi perutmu! Sejak kemarin kau belum makan apa-apa, kan?"

Sakura menatap Ino tak percaya. Bagaimana bisa ia memikirkan dirinya sendiri sementara Neji ada di luar sana, menghadapi entah apa yang bisa dilakukan Naruto! Tapi—suara lain dalam kepalanya berkata. Suara yang tak dikuasai rasa panik—Yang dikatakan Ino cukup masuk akal. Ia tidak pernah tahu apa yang akan terjadi jika ia muncul tiba-tiba di kantor Hokage. Dan hal terakhir yang diinginkannya sekarang adalah membuat Neji terjebak dalam kesulitan yang lebih parah.

Maka Sakura terpaksa menuruti kata-kata Ino.

Ino memaksanya berendam di air hangat. Rasanya nyaman di tubuhnya yang lelah, tapi tak cukup untuk menghentikannya mencemaskan Neji. Ino juga mendesaknya menghabiskan bubur yang sudah ia masak, namun Sakura sama sekali tak berselera. Alih-alih menghabiskan makanannya, Sakura malah berjalan mondar-mandir di ruang keluarga apartemen Ino. Berkali-kali matanya mengerling jam di dinding, bertanya-tanya kapan Naruto akan melepaskan Neji-nya.

Kalau terjadi apa-apa pada Neji-san, aku tak akan memaafkan Naruto. Sekali pun dia Hokage, aku tak peduli!

Ino yang sudah menyerah berusaha membujuk Sakura, hanya mengawasinya mondar-mandir sambil duduk di sofa. Sesekali menghela napas dan menggelengkan kepalanya dengan prihatin.

Hari sudah semakin sore ketika terdengar suara pintu depan apartemen diketuk. Serta-merta Sakura membeku di tempatnya dan menoleh ke arah pintu.

"Mungkin itu Neji-san," kata Ino, masih bergeming di sofa. Ia melirik Sakura, kedua alisnya terangkat melihat sahabatnya itu malah terdiam. Mendenguskan tawa kecil, Ino beranjak melewati Sakura untuk membukakan pintu depan.

Sementara itu Sakura merasakan jantungnya melonjak dan mulai berdegup sangat kencang tatkala suara Neji samar-samar terdengar berbicara dengan Ino di pintu. Rasa cemas yang semula menghantui Sakura berganti menjadi ketakutan. Tiba-tiba saja ia merasa belum siap bertemu lagi dengan Neji.

"…dia sudah gelisah menunggumu dari tadi…"

Samar-samar Sakura mendengar suara Ino. Dan saat berikutnya sosok jangkung pria berambut panjang itu melangkah memasuki ruangan. Neji tampak sama seperti yang diingatnya terakhir kali, sekaligus berbeda. Wajahnya tampak pucat dan matanya nanar ketika menatap lurus ke kedua mata istrinya. Sekilas Neji terlihat rapuh, seolah tidak tahu apakah kehadirannya akan diterima atau tidak.

"Sakura?" panggil Neji ragu-ragu. Suaranya terdengar dalam, sama seperti yang selalu Sakura ingat.

Udara seolah tersedot dari sekelilingnya, membuat Sakura sulit bernapas. Matanya mulai terasa panas ketika ia melihat Neji kembali melangkah, memperpendek jarak di antara mereka hingga hanya tinggal serentangan tangan. Dan saat itulah Sakura menyadari sesuatu. Luka di sudut bibir Neji, juga memar di pipi dan pelipisnya. Sebelah matanya sedikit bengkak. Napas Sakura tercekat. Rasa bersalah kembali menusuk-nusuk hatinya.

"Ano… Kalau begitu sebaiknya aku pergi sekarang," kata Ino canggung. Namun sepertinya tak ada seorang pun dari kedua tamunya yang mendengarnya. "Malam ini aku akan menginap di rumah orangtuaku, jadi kalian tidak perlu menungguku. Um… anggap saja rumah sendiri." –dan tak lama kemudian, terdengar suara langkah orang buru-buru meninggalkan ruangan, disusul pintu depan yang ditutup.

"A—Apa yang terjadi?" tanya Sakura akhirnya setelah menemukan kembali suaranya. Sangat pelan, nyaris berbisik.

Senyum samar menghiasi bibir Neji yang terluka. "Hanya mengurusi masalah kecil," sahutnya tenang. Ada kelembutan dalam suaranya.

Sakura melangkah maju. Tangannya terulur, menyentuh luka di sudut bibir Neji. Pria itu berjengit kecil, tapi tidak menepisnya. "Kau terluka…" bisik Sakura. Suaranya mulai terdengar aneh. Melengking. Menahan tangis. "Apa karena aku?" –Air mata yang sudah sedari tadi tertahan akhirnya tumpah ke wajahnya tanpa suara.

Neji meraih tangan Sakura yang terulur padanya, meremasnya lembut. "Iie…" ia menggeleng. "Ini bukan apa-apa."

"Mengapa—" Sakura menuntut di antara isakannya yang tertahan, "—mengapa masih saja berusaha melindungiku?"

Saat Neji merengkuh tubuhnya ke dalam pelukannya yang protektif, Sakura tak dapat menahannya lagi. Tangisnya pecah di bahu suaminya. Kedua lengannya melingkari tubuh pria itu, memeluknya sangat erat seakan ia menggantungkan seluruh hidupnya padanya.

"…jangan menangis lagi, Sakura…" Neji memohon dengan suara terluka. Aliran bening terpeta di wajahnya yang pucat. "Maafkan aku… Maaf—" Ketika kata-kata sudah tak sanggup lagi terucap, Neji membenamkan wajahnya di helaian rambut wanita yang teramat dikasihinya itu.

Untuk kali itu, keduanya membiarkan gelombang emosi yang hebat menggulung mereka bersama-sama.

.

.

"…tidak perlu melakukan ini. Tidak apa—"

Sakura menggelengkan kepalanya dengan keras kepala, mengabaikan desakan tangan Neji yang berusaha menurunkan tangannya yang tengah menyalurkan chakra penyembuh pada luka memar di dekat mata pria itu. "Matamu bengkak, Neji-san," ujarnya. Suaranya masih terdengar parau setelah menangis cukup lama.

Neji menatap wanita di hadapannya nanar selama beberapa saat sebelum akhirnya menyerah oleh kesungguhan yang tampak di wajah Sakura. Pria Hyuuga itu akhirnya menyandarkan sisi tubuhnya di punggung sofa tempatnya duduk bersama Sakura dengan nyaman, membiarkan istrinya itu melakukan apa yang ia inginkan. Lagipula—Neji memejamkan matanya—ia sudah sangat merindukan kehangatan seperti ini. Rasanya sudah lama sejak ia merasakannya terakhir kali.

Sakura selalu melakukan itu setiap kali Neji pulang ke rumah dengan membawa luka-luka. Tidak peduli hanya luka kecil atau memar, Sakura pasti akan menyembuhkannya seperti ini. Selama beberapa saat, Neji merasa segalanya kembali seperti saat Sakura belum meninggalkan Oni no Kuni.

"Seharusnya kau menungguku bangun," Sakura memecah keheningan, tanpa menurunkan tangannya yang memedarkan aura biru kehijauan itu.

Neji membuka matanya, kembali menatap sang istri—kali ini dengan sorot mata lembut. "Aku sama sekali tidak keberatan menerima pukulan," ujarnya pelan. Bibirnya yang terluka menyunggingkan senyum tipis. "Kurasa ini cukup adil."

"Tapi aku keberatan," bisik Sakura gusar, "dan ini sama sekali tidak adil."

Neji terdiam sejenak sementara ia mengamati Sakura, meresapi setiap emosi yang terpancar di sepasang bola mata hijau yang dicintainya itu. Hatinya dipenuhi rasa syukur, sekaligus rasa bersalah. "Ino memberitahuku kau sudah mengetahui semuanya—malam ketika kita menikah. Dia yang membuka segelmu?"

"Aku yang memintanya," Sakura berkata pelan. Mengingat apa yang telah diperbuatnya malam itu membuatnya tak sanggup menatap mata Neji.

"Maafkan aku—"

"Maaf untuk apa, Neji-san?" Sakura tersenyum pahit pada dirinya sendiri. Matanya kembali berkaca-kaca. "Maaf karena telah mencintaiku dengan tulus? Maaf karena telah melakukan pengorbanan begitu besar hanya untuk memenuhi permintaanku yang egois dan kejam? Harusnya aku yang meminta maaf padamu, Neji-san!" Sakura menarik napas, berusaha mengendalikan dirinya. Dan ketika ia berbicara lagi, suaranya melemah. "Lalu kau menyegel ingatanku… itu kau lakukan untuk melindungiku dari rasa bersalah, bukan? Kau membuat kesan seolah-olah kau lah yang telah memanfaatkan kondisiku yang mabuk dengan memintaku menikahimu. Padahal yang terjadi adalah sebaliknya."

Neji tampak sedikit terkejut ketika menyadari ternyata Sakura memahami situasinya lebih jauh dari yang ia bayangkan. Namun ia segera menguasai diri. "Sakura—Koishi… kalau kau bersedia mendengarkan dari sudut pandangku, aku akan menceritakan semuanya padamu. Aku berjanji tidak akan melewatkan satu kata pun."

Mendengar itu, Sakura serta-merta mengembalikan perhatiannya sepenuhnya pada Neji. Sakura begitu dipenuhi rasa ingin tahu sampai-sampai ia kehilangan konsentrasi. Jutsu-nya memudar. Menyadari hal itu, Neji lantas meraih tangan sang istri, sejenak menempelkan jemari Sakura di wajahnya sebelum membawanya turun ke pangkuannya, tanpa sekali pun melepaskan genggamannya.

"Ini bermula sekitar setahun setelah perang besar usai," Neji memulai, "Aku mendapatkan misi kelas-S dan kembali ke desa dalam keadaan sekarat. Kupikir saat itu aku akan kehilangan nyawaku dan bergabung dengan timku di alam baka, tapi ternyata Kami-sama masih menghendakiku hidup. Dan kaulah yang telah menyelamatkanku dari kematian, Sakura—atau setidaknya itulah yang kupikirkan mengingat wajahmu lah yang pertama kali kulihat saat aku tersadar. Para perawat yang merawatku yang memastikannya. Aku sering mendengar mereka membicarakannya sambil berbisik-bisik, bahwa aku bisa kembali adalah suatu keajaiban dan mereka menyebut namamu.

Saat itulah aku merasa telah berhutang nyawa padamu. Sejak itu aku ingin sekali bertemu denganmu, sekedar untuk mengucapkan terimakasih karena telah menyelamatkan nyawaku. Tapi kau tidak pernah muncul lagi. Dan kondisiku saat itu terlalu lemah untuk mencari tahu keberadaanmu. Aku bahkan tidak sanggup turun dari tempat tidur rumah sakit sampai beberapa minggu setelahnya." Neji berhenti sejenak dan tersenyum penuh arti pada Sakura. "Kurasa sejak saat itu tanpa kusadari aku mulai sering memikirkanmu, berharap bisa bertemu denganmu. Aku tahu kedengarannya memang tidak masuk akal, tapi itulah yang terjadi.

Ketika akhirnya aku keluar dari rumah sakit, aku mendengar kabar bahwa kau bergabung di kesatuan ANBU sebagai tim medis. Itu membuat kesempatanku untuk bertemu denganmu lagi menjadi semakin kecil. Kau nyaris tak pernah terlihat di desa, bahkan ketika aku menggunakan Byakugan untuk mencarimu."

"Tapi kita bertemu lagi," Sakura tak dapat menahan dirinya bicara. "Malam itu… di depan Tugu Peringatan Konoha…"

Neji mengangguk kecil. "Mungkin itu takdir—entahlah. Malam itu aku hanya berniat mengunjungi teman-temanku. Aku sama sekali tidak menyangka akan bertemu denganmu di sana. Kukira itu akan jadi kesempatanku untuk menyampaikan rasa terimakasihku, tapi aku tidak melakukannya. Aku terlalu terkejut dengan apa yang kurasakan saat aku melihatmu. Jantungku berdetak sangat kencang, perasaan yang sama sekali asing bagiku. Dan ketika kau mulai menangisi Uchiha Sasuke, dadaku seperti terbakar. Aku tidak menyukai perasaan itu, tapi anehnya, ada dorongan yang sangat kuat untuk tetap berada di sisimu, sampai kau berhenti menangis.

Bulan demi bulan berlalu sejak malam itu, aku tidak pernah melihatmu lagi. Sepanjang masa itu aku berusaha tidak memikirkanmu dan memfokuskan hidupku pada tugasku sebagai shinobi Konoha, meskipun tampaknya usahaku tidak sepenuhnya berhasil. Ada saat-saat di mana hal-hal kecil seperti kelopak bunga sakura yang beterbangan tertiup angin, mengingatkanku padamu. Dan beberapa kesempatan bekerja sama dalam satu tim denganmu setelah kau meninggalkan ANBU semakin membuatku menyadari perasaanku. Akhirnya aku bisa melihat apa yang Lee lihat darimu dulu. Dan semakin dalam aku mengenalmu, semakin aku tak bisa memungkirinya lagi, bahwa aku telah jatuh hati pada Haruno Sakura."

Sakura menatap pria di hadapannya dengan perasaan campur aduk. Ia sudah tahu bahwa Neji mencintainya, tetapi ada kegembiraan aneh yang ia rasakan saat mengetahui bahwa Neji telah memiliki perasaan itu jauh sebelum mereka bersama dan tanpa pernah ia sadari sama sekali.

"Mengapa kau tidak pernah memberitahuku?" tanya Sakura dengan suara yang seakan tercekat di tenggorokannya.

"Karena aku terlalu pengecut," jawab Neji getir, "Haruno Sakura mencintai Uchiha Sasuke sampai mati, semua orang tahu itu. Sekali pun aku memberitahumu, itu tidak akan berhasil. Dan egoku sebagai seorang pria mencegahku melakukan hal yang sia-sia seperti itu. Aku lebih memilih mencintaimu dari balik bayangan selamanya daripada harus menanggung malu karena ditolak.

Hingga suatu hari aku tak sengaja mendengar Yamanaka Ino memaksamu ikut gokon untuk mencari pengganti Sasuke… aku tak pernah merasa begitu marah pada temanmu itu dibanding saat itu. Tentu saja aku tidak bisa mengkonfrontasi Ino, karena itu hanya akan membuka rahasiaku. Tapi memikirkanmu bersama dengan pria lain, rasanya tak tertahankan. Untuk kali itu, peraasanku padamu mengalahkan egoku. Hampir setiap malam, jika tidak sedang disibukkan oleh misi, aku berusaha mencari tahu dan pergi ke tempat-tempat yang biasa mengadakan acara seperti itu. Namun kau tak pernah muncul. Aku mulai berpikir kau mungkin tidak akan mengikuti saran Ino, sampai malam itu aku menemukanmu di sana."

Dan di sanalah segalanya berawal…

"Gomenasai ne, Neji-san…" bisik Sakura parau seraya menunduk. Kenangan itu merasukinya, membuat Sakura kembali dihantui perasaan bersalah. Cairan hangat kembali terjatuh dari pelupuk matanya. "Kalau saja aku tidak begitu tolol—"

"Jangan berkata begitu," Neji menyelanya, seraya mengulurkan tangannya yang bebas untuk menyeka basah di wajah Sakura. "Kita memang tidak bisa memungkiri bahwa malam itu kita melakukan sesuatu yang sangat bodoh, tetapi itu bukan sepenuhnya karenamu. Aku juga turut andil."

Sakura menggeleng, masih berkeras kalau semua kekacauan yang terjadi karena keegoisannya. Air matanya tumpah semakin deras.

"Sakura—" Melihat istrinya kembali terisak, Neji merasakan hatinya mencelos. "Kemari…" Ia menarik Sakura agar merapat padanya.

Sakura mengalah pada desakan lengan suaminya yang kuat dan membiarkan dirinya bergelung dengan kedua kaki ditekuk di sisi Neji. Kepala bersandar di lekukan antara leher dan bahu Neji. Sakura memejamkan mata sejenak, merasakan lengan Neji yang memeluk bahunya. Sementara tangan Neji yang lain telah menemukan tangannya dan mengaitkan jari-jemari mereka. Dan saat itulah Sakura melihatnya—cincin pernikahan miliknya, tersemat di kelingking Neji, berdampingan dengan cincin milik pria itu di jari manis sebelahnya. Tenggorokannya serasa tercekat, dan Sakura membenamkan dirinya semakin dalam di pelukan suaminya.

Neji menekankan bibirnya perlahan di dahi Sakura. "Sudah merasa lebih baik?"

Sakura menjawab dengan anggukan.

Keduanya terdiam beberapa lama, sementara Neji mencoba menata kembali emosinya. Ia tidak boleh berhenti sampai di sana. Sakura berhak mengetahui segalanya, walaupun itu barangkali akan sedikit melukainya.

"Seperti yang kukatakan tadi, Sakura, aku juga turut andil," Neji melanjutkan. "Sebenarnya aku bisa saja menolak permintaanmu malam itu, dan melakukan sesuatu yang lebih masuk akal seperti menjadikanmu kekasihku—mungkin kita bisa berkencan, dan kalau aku beruntung, aku bisa membuatmu menyukaiku—Tapi aku tidak melakukannya. Kepalaku dipenuhi keinginan egois untuk dapat memiliki wanita yang telah lama menguasai pikiranku. Aku terlalu menginginkanmu sehingga rasanya aku telah kehilangan akal sehatku ketika kau pertama kali menciumku. Aku meyakinkan diriku sendiri bahwa aku melakukan hal yang benar dengan mengorbankan diri, dengan mengabaikan konsekuensi yang mungkin akan terjadi. Aku membodohi diriku sendiri dengan berpikir semuanya mungkin akan berhasil dengan menikahimu. Dan kupikir aku bisa mengatasi bayang-bayang Uchiha Sasuke di hatimu. Ternyata aku tidak sekuat yang kukira."

Neji berhenti untuk mengambil napas. Barangkali ini adalah bagian yang paling sulit baginya, saat ia memaksa dirinya untuk mengulang kembali peristiwa yang meninggalkan luka mendalam di hatinya.

"Ketika kau menyebut nama Sasuke malam itu, keyakinanku mulai goyah. Aku marah padamu, tapi aku lebih marah pada diriku sendiri yang tidak mengantisipasi hal itu dan membiarkan emosi menguasaiku."

Neji mengeratkan pelukannya saat merasakan tubuh Sakura gemetar oleh tangis. Ia bisa mendengar Sakura membisikkan maaf berkali-kali di sela-sela isakannya.

"Malam itu kau juga menangis seperti ini, Sakura." Suara Neji terdengar sedikit goyah saat mengatakan itu. "Dan itu menghancurkan hatiku lebih dari apa pun. Saat itulah aku membuat keputusan untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi darimu, untuk mencegahmu semakin terluka. Ketika kau tertidur, aku menyegel ingatanmu—dan seperti yang kau bilang tadi, membuat kesan seolah-olah akulah yang memintamu menikahiku. Meski begitu, aku ingin kau mengetahui satu hal Sakura, aku sama sekali tidak menyesali keputusanku menikahimu."

Sekali lagi Neji mencium dahi istrinya sebelum melepaskan pelukannya. Ditatapnya kedua mata Sakura yang sembab dengan penuh perasaan. Kemudian ia mengulurkan tangannya, menyusurkan jemarinya di rambut merah muda Sakura yang lembut.

"Jika saja kau tahu sejak dulu aku selalu ingin melakukan ini, menyusuri jari-jariku di rambutmu, wajahmu, untuk merasakan dirimu, untuk menyentuhmu, untuk selalu bersamamu," pria itu berujar pelan –nyaris berbisik. "Tapi aku terlalu takut melihat bayangan Sasuke di matamu, Sakura. Apa yang terjadi malam itu terus-menerus menghantuiku, tak peduli seberapa keras aku berusaha melupakannya."

"Bagaimana pun, Sasuke adalah pria pertama yang kau cintai," ujar Neji setelah beberapa saat terdiam. Perlahan—dan dengan amat enggan—pria itu menurunkan tangannya dari rambut Sakura. "Sedangkan aku hanyalah orang baru dalam kehidupanmu. Tak ada yang dapat mengubah kenyataan itu, Sakura, dan itu selalu membuatku merasa selalu berada di bawah bayang-bayangnya. Kau ingat saat malam penandaan?" Ia berhenti sejenak, sebelum melanjutkan ketika Sakura tidak menanggapi, "Saat itu kau memejamkan matamu, dan ekspresimu seolah kau tidak sudi jika aku menyentuhmu. Sementara kau menangis di depan nisan Sasuke sebelum kita berangkat ke Oni no Kuni seakan kau tidak rela meninggalkannya—dan kau membawa fotonya bersamamu. Aku merasa diriku tidak berarti…"

"Neji-san…"

"Karena itulah aku selalu menahan diriku, Sakura. Aku tidak bisa menyentuh wanita yang tidak mencintaiku." Neji tertawa kecil, pahit. "Meskipun ada kalanya sulit untuk mengontrol hasratku. Berada di dekatmu, tetapi tidak bisa menyentuhmu, rasanya sangat menyakitkan. Sementara seiring berjalannya waktu, juga dengan sebuah peristiwa yang membuatku nyaris kehilanganmu, perasaanku padamu semakin mendalam."

"Kau pasti menderita," komentar Sakura parau. "Apa kau tidak pernah memikirkan kemungkinan aku sudah jatuh cinta padamu?"

Neji memberinya senyum sedih. "Sejujurnya aku tidak berani memikirkannya. Lagipula aku sudah terlanjur meyakini bahwa posisi Uchiha Sasuke di hatimu tak tergantikan, dan apa yang kau lakukan untukku hanya karena kau merasa harus melakukannya—sekarang biarkan aku menyelesaikan ceritaku dulu," ujarnya buru-buru ketika ia melihat gelagat Sakura yang hendak membantahnya.

Sakura terdiam, lalu menangguk. Neji meraih tangan Sakura kembali ke dalam genggamannya, mengecup jemarinya sebagai pengganti ucapan terimakasih, sebelum melanjutkan,

"Lalu keadaan mulai berubah ketika segel yang kupasang pada ingatanmu melemah. Awalnya aku mencoba bertahan, tetapi melihatmu begitu menderita membuat keyakinanku goyah. Selama ini aku berpikir apa yang kulakukan—dengan menyegel ingatanmu—adalah hal yang benar, tetapi kemudian aku mulai meragukan segala tindakanku. Sempat terpikir untuk melepaskan segel itu dan membiarkanmu mengetahui kebenarannya. Tapi aku terlalu pengecut untuk melakukannya—aku takut kau akan membenciku."

"Itukah sebabnya kau menghindariku?" tanya Sakura, mulai memahami sikap aneh Neji padanya beberapa bulan terakhir.

"Benar…" Ekspresi Neji mengeras dan ketika ia melanjutkan, suaranya sarat emosi. "…dan aku juga tidak tahan mendengarmu kerap mengigaukan nama Sasuke dalam tidurmu. Aku tahu kau tidak memaksudkannya, tapi tetap saja itu membuatku cemburu. Sehingga tanpa sadar aku membalasmu dengan mengabaikanmu. Aku tahu kau sering menungguku pulang setiap malam, tapi aku sengaja tidak pulang. Aku melakukan hal-hal kejam yang tak pernah kubayangkan akan kulakukan padamu."

"Neji-san—"

"Dan aku sangat menyesalinya, Sakura…" ujar Neji tercekat. Sakura merasakan tangan pria itu yang menggenggam tangannya bergetar. Kedua bola matanya yang keperakan tampak berkilau oleh genangan air mata yang entah sejak kapan berada di sana. "Gomenna… Karena sikap pengecutku yang telah membuatmu harus melewati masa-masa sulit. Kupikir—kupikir kau tidak akan pernah bisa mencintaiku."

Selama beberapa saat, Sakura tampak kehilangan kata-kata. Hanya tangannya yang terulur untuk menyentuh sisi wajah pria itu dan ciuman yang ia daratkan di dahinya, yang mengungkapkan bahwa Sakura memahami apa yang dirasakan suaminya itu.

"Baka…" bisiknya parau. "Setelah semua yang kita lewati bersama-sama, mana bisa aku tidak jatuh cinta padamu, Neji-san? Benar, Sasuke-kun ada pria pertama yang kucintai. Tapi kau—kau telah menciptakan tempatmu sendiri di hatiku yang tak bisa dibandingkan dengan apa pun. Aku mencintaimu, Hyuuga Neji—Demi Kami-sama, aku sangat mencintaimu sampai rasanya dadaku mau meledak."

Mendengar kata-kata yang meluncur dari bibir sang istri, membuat wajah Neji melembut. Hatinya dipenuhi perasaan haru dan kelegaan. "Aku tahu" balasnya.

"Berjanjilah padaku, Neji-san…" Sakura menatap kedua bola mata Neji lekat-lekat, "Berjanjilah mulai saat ini kau tidak akan menyembunyikan apa pun lagi dariku. Kita akan membicarakan semuanya mulai sekarang, apa yang kau rasakan, apa yang aku rasakan, sekali pun itu sangat menyakitkan. Jangan pernah ada rahasia lagi."

Neji menjawab dengan anggukan. "Aa. Aku berjanji…"

Setengah terisak, setengah tertawa, Sakura melempar kedua lengannya ke leher Neji, memeluknya erat-erat dengan penuh rasa syukur. Ino benar, semuanya masih belum terlambat. Mereka masih memiliki kesempatan untuk menyelamatkan pernikahan mereka dan memulainya lagi dari awal. Dengan keyakinan bahwa mereka berdua saling mencintai, apa pun yang akan mereka hadapi kelak, mereka pasti bisa melewatinya.

"Ano…" Sakura mendadak teringat sesuatu ketika mereka saling melepaskan pelukan. "Bolehkan aku bertanya sesuatu, Neji-san?"

"Bukankah aku sudah berjanji tidak akan merahasiakan apa pun darimu?" sahut Neji sambil tersenyum lembut. Jemarinya yang panjang memainkan helaian merah muda di sisi kepala istrinya dengan penuh kasih sayang.

Sakura menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan sebelum berkata, "Tentang kau dan Shion-sama… sebenarnya ada hubungan apa?"

Mendengar pertanyaan yang dilontarkan sang istri, Neji tidak tampak terkejut. Agaknya ia sudah menduganya, cepat atau lambat Sakura pasti akan mengungkit hal itu. Dan Neji memang berniat menjelaskan semuanya.

"Tidak ada apa-apa antara aku dan Shion-sama," jawabnya kalem. "Hanya sebatas hubungan profesional antara shinobi yang dibayar dan kliennya. Atau hubungan pertemanan—kau bisa menyebutnya begitu—dan tidak pernah lebih dari itu. Apa yang mungkin kau dengar dari Sayuri, dan apa yang kau lihat di desa tempo hari, sama sekali tidak seperti apa yang kau pikirkan. Itu semua hanya salah paham."

Sakura menatap Neji keheranan. "Kau tahu tentang Sayuri?"

"Gadis itu sudah mengakuinya padaku dan dia sangat menyesal dengan kesalahpahaman yang dibuatnya," ujar Neji masih dengan nada tenang yang sama. "Dua malam setelah kau meninggalkan rumah, Shion-sama dan Sayuri datang menemuiku," jelasnya ketika ia melihat Sakura tampak tidak paham. "Sepertinya saat itu dia sudah menyadari apa yang terjadi—dengan kemampuan cenayang yang dimilikinya, itu bukanlah hal yang sulit—Shion-sama sangat mengkhawatirkanmu, Sakura. Dia tak bisa berhenti menyalahkan dirinya sendiri karena mengira yang telah terjadi di antara kita adalah tanggung jawabnya."

Sakura menelengkan kepalanya, mencoba memahami apa yang ingin disampaikan Neji.

"Begini, Sakura. Shion-sama meminta sedikit bantuan yang sifatnya pribadi dariku di luar misi resmi, dan dia tidak ingin ada seorang pun yang mengetahuinya, bahkan para pelayan pribadinya, termasuk Sayuri yang malang. Itulah sebabnya kau mendengar rumor bahwa kami sering menghabiskan waktu berdua saja di ruang pribadinya, supaya tidak ada yang mendengar." Neji terlihat sedikit geli, sementara Sakura semakin penasaran. "Shion-sama sedang menyukai seorang pria dan dia memintaku memberinya beberapa nasihat, karena dia pikir aku lebih berpengalaman karena sudah menikah, dan lebih kecil kemungkinan untuk menggosip di belakangnya."

"Benarkah?" Sakura terperangah.

"Aa." Sudut-sudut bibir Neji sedikit terangkat membentuk seringai kecil. "Namanya Nobuyuki-san, salah satu pengawal kepercayaan Sang Miko yang pemalu. Dia masih satu klan dengan Taruho-san—kau ingat dia, kan? Pengawal Shion-sama yang mengorbankan dirinya saat misi pertama kita di Oni no Kuni dulu sekali."

Sakura mengangguk. Bagaimana ia bisa lupa? Pengawal bernama Taruho itu tewas bisa dibilang karena kealpaannya.

"Shion-sama bahkan memaksaku berpura-pura menjadi Nobuyuki-san dengan henge supaya dia bisa berlatih mengutarakan perasaannya. Kedengarannya memang sedikit kenanak-kanakan, tapi itulah yang terjadi dan aku tidak bisa menolaknya, karena dia bilang ini adalah bagian dari misi. Kau tahu Shion-sama bisa jadi sangat keras kepala, bukan? Termasuk saat kau melihat kami di teater kabuki, dia memaksaku ikut bersama mereka."

"Mereka?" Sakura membulatkan matanya. "Maksudmu waktu itu kalian tidak hanya berdua?"

"Tentu saja tidak, Koishi…" sahut Neji sabar. "Nobuyuki-san juga bersama kami. Barangkali kau tidak mengenalinya di antara penonton teater yang lain karena kalian belum pernah bertemu, dan saat itu Nobuyuki-san juga tidak mengenakan seragamnya. Saat itu mereka baru saja resmi menjadi sepasang kekasih dan Shion-sama berniat merayakannya bersama-sama. Sebenarnya dia juga memintaku mengajakmu, tapi aku menolak," imbuhnya muram. "Maafkan aku, Sakura. Seharusnya aku tidak merahasiakannya darimu. Aku tidak menyangka jika itu akan melukaimu."

"Iie…" Sakura meletakkan tangannya di atas tangan Neji yang bertengger di lututnya, tersenyum kecil. "Lagipula Shion-sama yang memintamu merahasiakannya."

"Tetapi tetap saja…" Neji menghela napas berat. "Sebenarnya Shion-sama sudah mempertimbangkan kemungkinan ini sejak awal. Tetapi aku memintanya supaya tidak terlalu mencemaskanmu."

"Karena kau mengira aku tidak akan terpengaruh," imbuh Sakura getir.

Neji memberinya senyum sedih. "Maafkan aku…"

"Kau juga tidak memberitahuku kau mendapatkan libur dan tetap pergi. Apakah waktu itu kau juga sedang bersama Shion-sama?" tanya Sakura penasaran.

"Tidak," sahut Neji sambil menggeleng kecil. "Saat itu Shion-sama pergi menghabiskan waktu dengan kekasih barunya diam-diam. Sedangkan aku pergi ke tempat lain untuk menenangkan diri dan berpikir."

Sakura tertegun menatap suaminya. "Sepertinya aku telah membuatmu banyak bersusah hati, ya?"

Neji mengeluarkan suara tawa samar. "Tidak selalu seperti itu... Ada kalanya aku merasa sangat bahagia dengan keberadaanmu, terutama saat kau sedang tersenyum." Ia menyusupkan jemarinya di antara rambut merah muda di belakang telinga Sakura, sementara ibu jarinya mengusap lembut kulit di pipi wanita bermata hijau itu. "Melihatmu begitu antusias oleh hal-hal sederhana yang kuberikan padamu menimbulkan perasaan bangga pada diriku sebagai seorang suami. Dan kegembiraan yang kau tunjukkan itu selalu berhasil menghibur hatiku. Aku juga senang memandangi wajahmu yang sedang tidur. Kau terlihat seperti anak kucing yang tak berdosa—anak kucing yang sangat cantik."

Sakura merasakan wajahnya menghangat mendengar pujian yang dilontarkan suaminya—dan ia tak dapat menahan diri tersipu. "Kalau begitu, mengapa saat aku pergi kau tidak berusaha mencegahku?"

"Karena kupikir kau akan lebih bahagia jika tidak bersamaku," ujar Neji, seraya sekali lagi menghembuskan napas berat. "Sampai aku tersadar bahwa aku tidak bisa melepaskanmu. Aku tidak bisa kehilangan wanita yang kucintai."

"Itulah sebabnya kau menyusulku kemari," sambung Sakura sambil tersenyum.

"Aa."

Lama keduanya hanya saling bertatapan, meresapi perasaan satu sama lain. Kemudian Neji kembali menarik Sakura untuk kembali mendekat padanya. Dengan punggung bersandar nyaman di dada bidang milik sang Hyuuga prodigy dan kedua lengan kuat yang mendekap tubuhnya dengan protektif, Sakura mendesah kecil. Ia memejamkan mata, menikmati kehangatan saat-saat itu. Sesekali ia merasakan bibir Neji menyentuh kulit di sisi lehernya yang tak tertutup rambut.

Tanpa mereka sadari langit di luar telah berubah gelap, begitu pula dengan ruangan tempat keduanya duduk. Namun tak ada satu pun dari mereka yang berniat menyalakan lampu—rasanya terlalu berat untuk bergerak saling menjauh walaupun hanya sebentar—Maka mereka hanya mengandalkan cahaya lampu jalan dari luar jendela yang tirainya terbuka.

"Bulan purnama," celetuk Sakura kemudian. Matanya mengarah ke langit malam di luar jendela. Cahaya bulan tampak mengintip malu-malu dari balik awan—hanya saja bulan itu tidak bulat sempurna seperti malam sebelumnya. "Ah, ternyata sudah lewat… Sepertinya kita ketinggalan festival di Oni no Kuni."

Ia merasakan tawa Neji di kulitnya. "Kita bisa ikut festival tahun depan kalau kau mau," ujarnya. "Shion-sama ingin memperpanjang kontrak dengan Konoha untuk beberapa tahun ke depan."

Sakura menoleh. "Kalau begitu kita akan kembali ke Oni no Kuni?"

"Ya," Neji menyahut pelan, "Tapi tentu saja kalau kau bersedia ikut bersamaku. Aku tidak akan memaksamu ikut kalau kau tidak suka."

Sakura memandang suaminya ngeri. "Dan hidup jauh darimu selama beberapa tahun ke depan? Tidak mau! Tentu saja aku akan ikut denganmu."

Neji terkekeh kecil, lalu mengeratkan dekapannya supaya Sakura kembali bersarang dengan nyaman di dadanya. "Arigatou…" ucapnya penuh syukur.

"Kapan kita akan berangkat? Besok?"

"Mungkin beberapa hari lagi," Neji tampak berpikir sejenak. "Ada beberapa urusan yang harus diselesaikan sebelum kembali. Sepertinya akan memakan waktu."

"Urusan—apakah ini ada hubungannya denganku?" Tiba-tiba saja Sakura teringat kata-kata Ino tentang rumor yang sudah menyebar, dan ia mulai dihantui kecemasan. "Neji-san—apakah aku sudah membuat kesulitan lagi? Kudengar dari Ino rumor tentang kita sudah menyebar dan—"

"Sshh…" Neji menyela rentetan kata-kata Sakura. Sejenak Neji tampak ragu, tetapi kemudian ia mengingatkan dirinya sendiri pada janji yang diberikannya pada Sakura, untuk tak merahasiakan apa pun, sekali pun itu menyakitkan. "Benar, memang ini sedikit ada hubungannya itu. Rumor tentang kita sudah sampai ke telinga Hiashi-sama dan sepertinya itu tidak membuatnya senang. Perceraian adalah hal yang tabu di Klan Hyuuga dan kau tahu seperti apa kakunya para tetua kalau itu ada hubungannya dengan nama baik klan, bukan?"

Dengan panik, Sakura melepaskan diri dari dekapan Neji dan memutar posisi duduknya hingga berhadapan dengan pria itu. "Lalu bagaimana sekarang? Apa yang harus kita lakukan—Oh, Kami-sama…"

Melihat istrinya begitu panik, Neji hanya bisa tersenyum menenangkan. "Jangan khawatir. Naruto dan Hinata-sama ada di pihak kita. Dia akan membantu."

"Tapi Naruto sudah memukulmu—"

"Bukan berarti dia tidak memercayaiku—meskipun tidak mudah membuatnya memercayaiku lagi—Naruto dan Hinata-sama sudah menemui Hiashi-sama sore ini untuk memberitahunya jika alasan kita berdua kembali ke Konoha karena ada urusan mendesak dengan desa. Itu tidak sepenuhnya bohong karena aku memang menyampaikan pengajuan perpanjangan kontrak dari Shion-sama." Neji berhenti untuk menghela napas. "Barangkali sekarang mereka masih bicara. Naruto memang melarangku ikut supaya aku bisa menyelesaikan masalah di sini. Dan besok adalah giliran kita untuk menemui para tetua."

Meski begitu, kecemasan Sakura tidak sepenuhnya mereda.

"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Sakura…" Neji berkata lembut, "Anggap saja mereka adalah para orangtua yang mencemaskan anak-anaknya. Lagipula kita akan menghadapinya bersama-sama. Kau percaya padaku, kan?"

Sakura mendesah, sebelum akhirnya mengangguk seraya menyunggingkan senyum kecil. "Aku percaya padamu."

"Arigatou…" Wajah Neji melembut dan ia mencondongkan tubuh ke depan untuk mencium bibir Sakura dengan lembut.

Singkat, namun itu sudah cukup untuk membuat Sakura terdistraksi dan segala kecemasan yang sempat menghantuinya seolah terlupakan begitu saja. Ia masih menghela napas, bahkan ketika Neji sudah melepaskan bibirnya. Jantungnya berdebar-debar begitu kencang sehingga ia tak akan heran jika Neji bisa mendengarnya dengan jarak sedekat itu. Padahal ini bukanlah pertama kali mereka berciuman.

"Ah, hampir terlupa sesuatu yang penting," ujar Neji kemudian, memaksa Sakura mengalihkan perhatian dari bibirnya dan mengawasi suaminya itu melepaskan sesuatu yang tersemat di jari kelingkingnya—cincin pernikahan milik Sakura. Benda logam berukirkan lambang Klan Hyuuga itu berkilauan di bawah cahaya redup dari jendela. "Apa kau mau memakainya lagi untukku, Sakura?"

"Tidak perlu bertanya lagi, Neji-san…" Sakura tersenyum seraya mengulurkan jemarinya supaya Neji bisa memasangkan cincin itu di tempatnya semula. Ia merasakan wajahnya memanas saat merasakan pria itu menciumi satu demi satu jemarinya, sementara mata keduanya tak pernah lepas satu sama lain. "A—Apa aku boleh menciummu?" tanyanya dengan suara berat.

Sudut-sudut bibir Neji terangkat, sebelum mengembalikan kata-kata Sakura sebelumnya, "Tidak perlu bertanya lagi, Sakura…" Neji mengangkat wajah Sakura mendekatkan wajahnya sendiri dan menciumnya dalam-dalam.

Sakura refleks meletakkan tangannya di bahu pria itu, sebelum menyusup ke belakang lehernya untuk menariknya lebih rapat, balas menciumnya dengan gairah besar. Ia masih bisa mengecap darah yang tersisa dari luka di bibir Neji. Rasanya aneh—asin dan licin. Akan tetapi itu hanya membuatnya semakin haus akan sentuhan pria itu. Sakura sudah menahannya sekian lama, rasanya semakin sulit untuk menahan dirinya. Ia menginginkan lebih—tubuhnya menginginkan lebih. Dan ia yakin Neji pun merasakan hal yang sama sepertinya.

Melepaskan panggutannya, perlahan Sakura menarik dirinya bangun dari sofa. Bibirnya menyunggingkan senyum paling cantik yang bisa ia berikan pada suaminya, seraya mengulurkan tangannya para pria itu. Memahami isyarat yang diberikan istrinya, Neji meraih tangan itu dan mengikuti Sakura menuju kamar tamu yang mereka tempati semalam.

*L*

Neji memeluk istrinya rapat begitu pintu tertutup di belakang mereka.

"Aku merindukanmu, Neji-san…" Sakura berbisik padanya.

"Aku tahu," Neji balas berbisik di telinganya, sementara Sakura kembali menutup jarak di antara mereka. Neji menunduk, mencium bibir istrinya dengan lembut, dengan segenap perasaan yang sudah dipendamnya selama ini terhadap wanita itu. Sebelah tangannya yang bebas menemukan tengkuk Sakura, menariknya lebih rapat ke tubuhnya, memperdalam ciuman mereka.

Keduanya merasakan sesuatu yang berbeda dalam ciuman itu—tidak seperti yang pernah mereka lakukan, ciuman itu lebih hidup. Seakan belenggu yang selalu menahan gairah yang mereka rasakan satu sama lain terlepas sepenuhnya. Pagutan demi pagutan terasa begitu lembut, lidah mereka yang bersentuhan saling memanja seolah membentuk tarian memabukkan yang hanya tercipta untuk mereka berdua. Neji tidak ingin terburu-buru—ia ingin Sakura menikmati setiap detik momen itu. Dan di atas semua itu, ia ingin saat-saat ini berarti untuk mereka berdua. Setelah masa-masa sulit penuh luka yang pernah mereka lalui. Meskipun ia tahu ini bukanlah yang pertama bagi mereka berdua, namun ini adalah yang pertama bagi mereka sebagai dua orang yang saling mencintai.

Sakura merasakan tubuhnya gemetaran ketika tangan hangat yang semula memegangi wajahnya, berpindah ke bahunya, merayap di sepanjang lengannya, memeluk pinggangnya. Sementara tangan yang lainnya telah menemukan gundukan lembut di dada Sakura, membuat wanita itu mengeluarkan suara erangan lembut yang teredam di bibir mereka yang terpaut tatkala Neji meremaskan perlahan.

Neji memberinya tatapan bertanya apakah dirinya telah membuat kesalahan, ketika Sakura tiba-tiba melepaskan diri dan mengambil satu langkah menjauh darinya. Namun wanita itu hanya tersenyum penuh arti. Tanpa melepaskan tatapannya pada Neji, perlahan jemarinya menarik simpul di pinggang yukata tidur yang dipinjamkan Ino padanya. Membiarkan material berwarna ungu pucat itu melonggar, merosot dari bahunya yang putih, kemudian terjatuh ke lantai sampai akhirnya tubuhnya hanya terlindung oleh sedikit kain.

Neji menatapnya dan merasakan darahnya berdesir. Ingatan peristiwa di air terjun beberapa pekan yang lalu kembali terlintas dalam benaknya. Saat ini, Sakura sama memesonanya seperti saat ini. Membuatnya nyaris tak bisa bernapas. Membuatnya tersadar bahwa seharusnya tidak perlu ada keraguan lagi sejak awal. Dia mencintai Sakura, dan wanita itu pun mencintainya dengan sama besarnya. Kali ini, Neji tidak akan menghindar lagi. Kali ini, dia tidak akan berhenti. Sakura adalah miliknya. Selamanya miliknya.

Dan ketika Sakura kembali menutup jarak di antara mereka, kontrol dirinya terlepas pada akhirnya. Neji membiarkan hasratnya mengambil alih semuanya. Ia memeluk Sakura rapat, meresapi kehangatan tubuh istrinya di tubuhnya. Merasakan kulitnya yang halus di bawah sentuhannya. Menghirup aroma yang begitu ia rindukan sejak kali pertama ia merasakannya berbulan-bulan yang lalu. Menyentuh dan menjelajahi apa yang menjadi haknya dengan tangannya, bibirnya, lidahnya… cintanya.

"Ahn… Neji…" desah sensual itu terdengar lagi—Neji melepaskan pagutannya pada bahu Sakura yang telanjang, meninggalkan bercak kemerahan seolah untuk menandai teritorinya—miliknya—untuk kemudian mencium bibirnya lagi dengan gairah besar.

Sakura membuka bibirnya, membiarkan lidah mereka kembali bertemu dalam gerakan lambat yang sensual sementara dia melarikan jemarinya di atas bagian atas pakaian Neji, menariknya sehingga kulit di perut pria itu tersingkap. Neji membantunya meloloskan material kaus berwarna hitam itu dari atas kepalanya, sebelum Sakura kembali maju dan mencium dadanya, di sepanjang tulang rusuknya, lalu perutnya. Neji bernapas keras ketika merasakan jemari Sakura meluncur di garis pinggang celananya, melepaskan kancingnya.

"Sakura…"

Keduanya tidak begitu ingat bagaimana lembar demi lembar kain yang menghalangi mereka akhirnya tersingkap sepenuhnya. Saat berikutnya, Sakura sudah menemukan dirinya berbaring di atas bantal yang lembut dengan tubuh suaminya merangkumnya dari atas. Hangat. Sakura memejamkan kedua matanya dan mendesah, menikmati sensasi kehangatan saat kulit mereka yang telanjang saling bersentuhan, saling menekan. Ia menggigit bibirnya tatkala merasakan sentuhan bibir dan lidah sang suami di sepanjang garis rahang, leher, pundak, payudara, perutnya… Oh, Kami-sama… Sakura tidak pernah merasa begitu dekat dengan Neji seperti saat itu.

Sakura merasakan napasnya terasa semakin berat bersamaan dengan hasratnya yang semakin meninggi karena sentuhan Neji. Kedua tangannya mencengkeram bantal dengan erat ketika sentuhan itu sampai di sana—miliknya yang paling berharga. Mahkotanya yang hanya ia jaga untuk pria yang pada siapa ia akan menyerahkan seluruh hidupnya—Mengirimkan getaran tak tertahankan seperti tersengat listrik di sepanjang tulang belakang. Kepalanya terdongak menekan bantal. Kedua matanya terpejam rapat. Dan detik berikutnya erangan feminin yang terlepas dari bibir merah yang terbuka itu memenuhi kamar ketika Sakura mencapai puncaknya untuk pertama kali.

"Daijoubu?" Neji menatap dalam-dalam wajah istrinya yang merona, berkilau oleh peluh—namun terlihat luar biasa cantik di matanya—sembari menyeka sejumput rambut merah muda yang menempel di keningnya.

Sakura mengangguk, lalu memberinya kecupan kecil di bibir untuk menunjukkan ia sepenuhnya baik-baik saja. Napasnya berat.

Neji tersenyum, merasakan kebanggaan sebagai seorang pria—juga suami—memenuhi dirinya. Ia menyusuri lekuk wajah Sakura dengan hidungnya, mencium pipinya lembut. "Kau sangat cantik. Kau tahu itu, Sakura?"

Sakura menanggapinya dengan senyum sayu, seraya mengangkat sebelah tangannya ke wajah Neji, membelainya. Sementara tangan yang lainnya menyusup ke belakang leher pria itu, menariknya mendekat sehingga dahi mereka saling bersentuhan.

"Neji-san…"

Neji menatap dalam-dalam kedua bola mata emerald wanita di bawahnya, yang juga balas menatapnya dengan sorot mata penuh kerinduan. Tangannya kemudian menemukan tangan Sakura, menjalin jari jemari mereka dengan mesra di atas bantal.

"…Aishiteru, Sakura…"

Untuk kesekian kalinya bibir mereka menyatu dalam sebuah ciuman dalam yang terasa intim, bersamaan dengan satu hentakan lembut ketika Neji memasuki sisi terdalam milik Sakura yang hanya boleh disentuh olehnya. Erangan terlepas dari keduanya, teredam di dalam mulut mereka yang saling terpaut.

Neji tidak pernah merasa begitu benar seperti saat itu. Begitu alami, ketika merasakan dirinya melebur dalam kehangatan tubuh Sakura yang menggenggamnya rapat, seolah memang di sanalah tempatnya yang seharusnya. Pun ketika tubuh mereka mulai bergerak dalam harmonisasi yang memabukkan, ketika bulir-bulir peluh mulai terakumulasi di tengah-tengah percintaan mereka yang semakin memanas. Begitu sensual—dan entah bagaimana berbeda dengan yang sebelumnya. Kali ini, tak ada yang merasa terpaksa melakukannya.

Napas berat mereka menyatu bersama dengan erangan dan desahan yang terlepas dari bibir masing-masing lagi dan lagi, membentuk melodi kasih sayang yang memantul di dinding-dinding kamar. Tempat yang menjadi saksi ketika cinta, hasrat dan kerinduan akan penyatuan fisik yang telah tertahan sekian lama mengambil alih semuanya.

Neji memeluk Sakura lebih rapat dari sebelumnya tatkala merasakan puncak percintaan mereka semakin dekat—mengeliminasi jarak sekecil apa pun antara dirinya dan wanitanya.

Setitik kristal bening meluncur dari sudut mata Sakura. Bukan karena luka kali ini, melainkan kebahagiaan yang membuncah dalam hatinya. Akhirnya ia dapat bersatu kembali dengan pria yang ia cintai. Dan ketika ia merasakan benih Neji mengalir dalam dirinya, saat itulah Sakura tahu, lukanya sedang disembuhkan.

.

.

G

.

.

Oni no Kuni…

Enam tahun telah berlalu semenjak pasangan muda itu memutuskan untuk kembali ke rumah mereka di Oni no Kuni. Banyak perubahan yang telah terjadi di rumah mungil di tepi hutan itu. Pekarangan yang beberapa tahun yang lalu dibiarkan polos dan langsung berbatasan dengan rimbunan pepohonan, kini sudah dibatasi oleh pagar bambu tinggi dengan pintu yang mengarah ke jalan setapak menuju sungai. Kebun kecil yang dulu hanya ditanami beberapa petak tanaman sayur dan obat kini tampak lebih rimbun dan bervariasi, ditambah sebuah petak kecil di dekat pagar yang ditanami bunga-bunga liar aneka warna.

Dan tentu saja perubahan yang paling mencolok adalah berdirinya sebuah pondok mungil yang berfungsi sebagai klinik pribadi sang nyonya rumah di sisi rumah utama. Meskipun bukan klinik yang besar, tetapi tempat itu cukup ramai dikunjungi warga sekitar—walaupun kadang-kadang kedatangan mereka bukan untuk berobat. Termasuk siang itu. Dari dalam pondok yang pintunya setengah terbuka itu, samar-samar terdengar suara beberapa wanita yang sedang berbincang-bincang.

Suasana yang kontras terasa di dalam rumah. Keheningan terasa di setiap ruangan. Tak ada suara langkah kaki bergedebukan melompat ke sana-kemari yang ditingkahi oleh suara jerit tawa dan ocehan cerewet yang biasanya terdengar memenuhi tempat itu. Sebagai gantinya, suara serangga yang mengerik dari pepohonan di luar jendela yang mendominasi.

Sebuah gulungan dengan lambang api Klan Hyuuga terbentang berantakan di atas meja rendah di ruang keluarga bersama beberapa buah buku gambar anak-anak dan pensil warna yang tercecer di mana-mana. Dua buah zabuton kosong yang ditumpuk dan tergeletak tak rapi di lantai tatami masih terasa hangat, pertanda orang yang duduk di sana belum lama meninggalkan tempat itu.

"Chiyo…" lamat-lamat terdengar suara seorang wanita memanggil. Sekali. Dua kali. Namun keheningan yang menjawabnya tampaknya membuat pemilik suara itu menjadi tidak sabaran. Langkah kakinya terdengar dari arah koridor mendekati ruangan itu. "Chiyo-chan! Kenapa tidak menjawab Ka—are?"

Hyuuga Sakura termangu di depan pintu. Mata hijaunya yang melebar mencari-cari ke sana-kemari di ruangan itu, tetapi tampaknya apa yang ia cari tidak ada di sana. Raut bingung tampak di wajahnya. "Ke mana perginya anak itu?"

Sementara itu, jalanan utama menuju alun-alun desa tampak lebih ramai dari pada biasanya. Di sepanjang tempat itu mendadak dipenuhi oleh deretan kedai-kedai tenda yang menjajakan dagangan mereka—mulai dari makanan, pernak-pernik khas negeri kecil itu sampai berbagai jenis permaian tradisional. Para pendatang dari luar desa juga terlihat di mana-mana, berbaur dengan penduduk setempat. Suasana yang khas terjadi setiap kali diselenggarakan festival tahunan di negeri Sang Miko. Ditambah lagi sore itu adalah upacara pembukaan oleh Sang Miko sendiri. Bisa dibayangkan betapa antusiasnya orang-orang yang ingin menyaksikan acara tersebut.

Begitu pula dengan seorang gadis kecil yang tampak berlari-larian menerobos kerumunan manusia di sana, meskipun alasan antusiasmenya berbeda. Senyum sumringah merekah di wajahnya yang bulat. Rambut cokelat gelapnya yang dikepang panjang bergoyang ke sana-kemari sementara kedua kaki mungilnya melangkah cepat menuju alun-alun desa yang letaknya persis di depan gerbang utama istana Sang Miko.

Kalau saja sedang tidak sangat antusias—dan penasaran—dengan berita yang baru didengarnya dari orang-orang desa, gadis kecil itu tidak akan berada di sana. Ibunya pasti akan mengomel jika tahu ia diam-diam kabur dari rumah dan pergi ke tempat ramai seperti ini seorang diri. Tetapi kali ini rasa ingin tahunya yang menggebu-gebu telah membuatnya melupakan janjinya pada sang ayah untuk menjadi anak baik.

Langkahnya terhenti ketika ia sudah cukup dekat dengan gerbang utama yang dijaga oleh beberapa pengawal. Penjagaan di tempat itu ketat seperti biasanya, bahkan mungkin lebih ketat lagi mengingat banyaknya para pendatang yang mengunjungi desa. Dan untuk masuk ke dalam sana membutuhkan izin khusus seperti yang dimiliki kedua orangtuanya. Tapi kali ini dia datang sendirian. Para pengawal itu pasti tidak akan mengizinkannya masuk.

Meski begitu, ia tidak lantas menyerah. Sejenak matanya yang sewarna mutiara dan tak berpupil itu mengawasi dinding beton tinggi yang membatasi halaman istana dan alun-alun. Beberapa pengawal juga tampak berjaga di semacam benteng di atasnya. Ia pernah membaca bahwa seorang shinobi dapat berjalan di dinding atau menggunakan jutsu tertentu untuk menyelinap tanpa diketahui. Masalahnya, ia belum menguasai itu semua.

Bukan berarti orangtuanya tidak mengajarinya sesuatu. Seperti anak-anak yang dilahirkan dalam keluarga shinobi pada umumnya, ia sudah mendapatkan pendidikan dasar shinobi sejak usianya masih sangat muda. Ibunya mengajarinya beberapa teori mengenai shinobi, desa asal mereka—Konohagakure—chakra, juga jutsu-jutsu dasar seperti bunshin dan kawarimi. Bahkan ayahnya sudah mulai mengajarinya dasar-dasar teknik Jyuuken sejak ia berusia tiga tahun.

Tapi tentu saja ia juga tidak bisa menggunakan Jyuuken pada pengawal-pengawal itu.

Kemudian ia melihat serombongan wanita mendekati gerbang utama istana sambil berbicang-bincang. Dari pakaian yang mereka kenakan, sepertinya mereka adalah orang-orang yang bekerja untuk Sang Miko. Sebuah ide terlintas di kepala si gadis kecil, lalu ia pun bergegas mendekati rombongan itu. Dengan gesit ia menyelinap di antara para wanita itu dan berjalan bersama mereka melewati pintu gerbang.

Rencananya sukses! Tak ada seorang pun yang tampaknya menyadari keberadaannya, termasuk para pengawal yang berjaga. Setelah mereka sudah cukup jauh dari pintu gerbang dan dirasa aman, gadis kecil itu bergegas memisahkan diri dari rombongan yang tampaknya akan menuju ke kuil Shion tersebut dan bersembunyi di balik pilar besar.

"Aaah… yokatta!" serunya kegirangan.

Ia lalu melayangkan pandangannya ke sekeliling tempat yang megah itu dan wajahnya merona oleh antusiasme. Ini bukan kali pertama baginya mengunjungi istana Sang Miko. Ibunya kerap kali mengajaknya serta setiap kali dimintai bantuan oleh rumah sakit istana dan mengizinkannya bermain bersama Kimiko-sama, calon miko generasi selanjutnya yang usianya setahun lebih muda darinya, sementara ibunya bekerja. Tapi betapa pun seringnya ia ke sana, istana itu selalu menjadi tempat yang mengesankan baginya. Indah, megah, luas… seakan menunggu untuk dieksplorasi oleh seorang gadis kecil berusia lima tahun yang rasa ingin tahunya sangat besar itu.

Namun tujuannya kali ini bukannya untuk memuaskan rasa ingin tahunya pada istana.

Tanpa membuang waktu, gadis kecil itu bergegas menuju tempat yang sudah ia kenal. Beruntung baginya karena saat itu orang-orang di istana tampaknya terlalu disibukkan dengan persiapan upacara pembukaan festival sehingga nyaris tidak ada yang menghiraukan keberadaan penyusup cilik itu. Lagipula orang-orang di sana sudah cukup sering melihatnya berkeliaran dengan putri Sang Miko sehingga tak menganggapnya aneh.

Dan tampaknya keberuntungan sekali lagi berpihak padanya. Ketika ia sampai di pelataran depan kantor keamaan yang letaknya terpisah dari istana, orang yang dicarinya baru saja keluar, terlihat tengah berbincang dengan dua orang pria lain—seorang pengawal pribadi Sang Miko yang juga teman ayahnya, Haru-san, dan seorang pria berwajah ramah dan berambut cokelat terang yang ia kenali sebagai suami Sang Miko, Nobuyuki-sama.

"Tousan!" seru si gadis kecil girang, sembari berlari menuju ayahnya.

Mendengar suara yang tak asing, Hyuuga Neji menoleh, terkejut melihat putrinya ada di sana. "Chiyo?—Ah, summimasen," Neji mengangguk kecil pada kedua rekannya, sebelum memisahkan diri dari mereka untuk menghampiri si gadis kecil. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya, ketika sang putri menubruk ke arahnya.

Alih-alih menjawab pertanyaan ayahnya, Hyuuga Chiyo malah menarik-narik ujung lengan pria itu. Sepasang bola mata yang diwarisinya dari sang ayah membulat, berbinar oleh rasa penasaran. "Ne, ne, Otousan… Benarkah?—Benarkah sebentar lagi akan pulang ke Konoha?"

Neji menatap Chiyo, sedikit terkejut. "Kau dengar dari mana?"

"Orang-orang dari desa yang datang ke rumah—pasien Kaasan," sahut Chiyo dengan suara kanak-kanaknya, "Mereka bilang pekerjaan Tousan sudah selesai di sini. Mereka juga bilang… kalau Kaasan kembali ke Konoha, mereka akan minta tolong pada siapa kalau sakit? Jadi benar atau tidak, Tousan?"

"Jadi kau mencari Tousan hanya untuk bertanyamasalah itu?" Neji tampak geli.

Chiyo mengangguk penuh semangat. Terkekeh kecil, Neji menepuk puncak kepala putrinya penuh sayang. "Itu benar, kita akan pulang ke Konoha tak lama lagi. Tapi kita harus menunggu sampai adikmu lahir dulu."

Mendengar jawaban ayahnya, Chiyo memekik kegirangan. Gadis kecil itu melompat-lompat antusias sementara mulutnya terus mengoceh, "Kyaaa! Kalau begitu aku bisa masuk Akademi Ninja dan bertemu dengan Hokage-sama! Lalu bertemu Kushina-neesan dan Minato-niisan! Dengan Kiseki-kun juga! Aku kepingin lihat gunung yang diukir wajah Hokage—Demo…" senyumnya tiba-tiba memudar dan ia kembali mendongak menatap ayahnya dengan sorot sedih. "Kalau aku pulang ke Konoha, berarti tidak bisa bermain dengan Kimiko-sama lagi."

"Apa boleh buat," ujar Neji sabar, lalu menambahkan ketika dilihatnya putrinya itu masih tampak terbebani pikiran akan meninggalkan teman baiknya, "Tidak apa-apa. Kau akan bertemu banyak teman baru di Konoha. Kimiko-sama juga pasti akan mengerti."

"Hai'…" Wajah gadis kecil itu perlahan kembali ceria.

Tersenyum, Neji sekali lagi menepuk kepala Chiyo. "Kalau begitu, bagaimana kalau sekarang kita jemput Kaasan?" usulnya sambil menjulurkan tangan pada putrinya untuk digandeng.

"Ano…" Chiyo menahan berusaha menahan ayahnya ketika mereka mulai berjalan ke arah rumah sakit istana—karena ibunya tidak ada di sana. "Okaasan sebenarnya tidak ada di rumah sakit," beritahunya ragu-ragu.

Neji menghentikan langkahnya dan menunduk memandang putrinya heran. Yang ia tahu, jika Chiyo berada di istana, pasti bersama Sakura. "Apa maksudmu Kaasan tidak ada di rumah sakit—Chiyo…" pandangannya berubah galak saat ia mulai memahami maksud putrinya.

"Tousan jangan marah. Aku cuma tidak mau merepotkan Kaasan, jadi aku datang kemari sendiri," Chiyo berkata cepat. Matanya yang bulat balas menatap ayahnya tanpa dosa. "Bukankah Tousan sendiri yang bilang padaku supaya tidak merepotkan Kaasan dan melakukan apa yang kubisa sendiri? Tadi Kaasan juga sedang banyak pasien—"

Neji menyela ucapan putrinya dengan helaan napas keras. "Sejak kapan kau jadi pintar berkilah seperti itu, hm?"—Chiyo nyengir, meleletkan lidahnya—"Dan bagaimana kau bisa melewati pintu gerbang?"

"Dengan teknik rahasia," sahut Chiyo sambil memasang wajah misterius yang menggemaskan, membuat ayahnya tertawa. "Ittai!—Otousaaan!" protesnya ketika Neji mencubit pipinya yang tembam.

"Lain kali jangan seperti itu, Nak. Kaasan pasti cemas kalau dia tahu—dan kau tidak boleh membuatnya cemas, mengerti?"

"Hai'!"

"Dan sebagai hukuman, besok kau harus berlatih Jyuuken lebih keras lagi!"

"Haaai'!" sahut Chiyo gembira.

Keduanya lalu menuju pintu gerbang istana. Neji disapa ramah oleh seorang pengawal yang berjaga di sana, tetapi ketika pengawal itu melihat Chiyo, wajahnya tampak bingung. Tapi ia tidak berkata apa-apa.

"Jadi, apa yang kau lakukan sepanjang hari ini, hm?" Neji menanyai putrinya ketika mereka menyusuri alun-alun desa yang ramai.

"Um…" Chiyo meletakkan telunjuknya di dagu, serius berpikir. "Tadi pagi aku membantu Kaasan memanen mentimun dan terong. Ne Otousan, Kaasan akhirnya mengizinkanku membuat kebun bunga di halaman!" beritahunya antusias.

"Benarkah?" Neji tersenyum kecil.

"Aah…" gadis kecil itu mengangguk. "Aku sudah menanam dandelion dan bunga kosmos yang kudapat di hutan. Terus… siang ini aku membaca tentang tenketsu, juga sudah menghafal beberapa aturan shinobi. Tousan mau mengetes?"

"Tidak usah. Biar Kaasan saja yang melakukannya," sahut Neji.

Mereka berhenti di depan sebuah kedai dango di sisi alun-alun. Neji berjanji akan bertemu dengan istrinya—dan Chiyo, jika anak itu tidak kabur duluan—di sana, tapi tampaknya Sakura belum datang. Neji lantas mengarahkan pandangannya ke arah ke ujung jalan itu. Nadi-nadi di sekitar matanya bermunculan, dan saat berikutnya, senyum tipis mengembang di bibirnya.

"Ah, Kaasan sebentar lagi datang."

Namun tampaknya Chiyo tidak mendengarkannya, karena perhatiannya tersedot pada hal lain. Ia menatap ayahnya takjub beberapa lama sebelum berkata dengan nada terpesona, "Tousan, kapan aku bisa menggunakan Byakugan?"

Nadi-nadi di pelipis Neji memudar ketika ia kembali menatap putrinya dengan sedikit terkejut. "Kalau sudah bisa mengontrol chakra dengan baik, baru bisa menggunakan Byakugan."

Chiyo memiringkan kepalanya. Wajahnya diliputi rasa ingin tahu. "Kenapa harus bisa mengontrol chakra dulu?"

Neji mengenali ekspresi di wajah putrinya. Sebentar lagi pasti akan dimulai sesi tanya-kenapa-begini-kenapa-begitu yang dilontarkan gadis kecil kesayangannya itu, dan ia tidak akan berhenti sebelum keingintahuannya terpuaskan. Neji tentu saja tidak keberatan, mengingat dirinya sendiri juga suka bertanya ini dan itu saat masih kecil dulu. Sekarang ia bisa memahami bagaimana perasaan mendiang ayahnya.

Akan tetapi, sebelum Neji sempat membuka mulutnya untuk menjawab, suara nyaring milik Sakura mengalihkan perhatian keduanya.

"CHIYO!"

Chiyo terlonjak mendengar ibunya meneriakkan namanya. Matanya terbelalak dan ia segera melompat ke belakang ayahnya, seakan mencari perlindungan. "Tousan, tutupi aku!"

Di seberang jalan, tampak seorang wanita berambut merah muda tergopoh-gopoh berjalan ke arah mereka. Wajahnya galak. Kondisinya yang tengah hamil tua sepertinya menyulitkannya bergerak cepat. Meski begitu, itu tak mengurangi kadar kengerian yang ia timbulkan pada putrinya.

"Sakura—"

Sakura mengabaikan suaminya dan berusaha menyambar Chiyo dari balik tubuh Neji. "Kemari kau, anak nakal! Kaasan mencarimu kemana-mana—"

"Kyaa! Tousan!" Chiyo berkelit menghindari sergapan ibunya.

"—Kaasan kira kau hilang, ternyata kau ada di sini! Kaasan cemas sekali, tahu tidak!" teriak Sakura.

"Kyaa!"

Hampir saja terjadi kejar-kejaran antara ibu dan anak itu jika saja Neji tidak segera menghalangi istrinya. Ia memerangkap tubuh Sakura di antara kedua lengannya, menjadi tameng antara istri dan putrinya yang bersembunyi di belakangnya. "Sudahlah…" ujarnya pada Sakura, berusaha menenangkan. "Ingat kandunganmu…"

Sakura berhenti berusaha melepaskan diri dari pegangan Neji, meski matanya masih menatap galak ke arah Chiyo yang seolah mengkerut di belakang ayahnya.

"Chiyo," panggil Neji tajam. "Minta maaf pada Kaasan."

"G—Gomenasai… Okaasan…" ucap Chiyo seraya menatap ibunya takut-takut.

Sakura memejamkan matanya, mengatur napas. "Lain kali jangan berbuat seperti itu lagi, Chiyo-chan."

Chiyo menundukkan kepalanya, menunjukkan penyesalan karena telah membuat ibunya cemas. "Aku tidak akan melakukannya lagi. Tapi aku cuma ke tempat Tousan, tidak kemana-mana—"

"Chiyo," Neji memperingatkan.

"Hai', Gomenasai…"

Mendengar ketulusan dalam suara putrinya, wajah Sakura melembut. Perlahan ia melepaskan diri dari pegangan Neji. "Chiyo-chan… Kalau kau ingin pergi-pergi, kau bisa memberitahu Kaasan dulu. Kaasan bisa mengantarmu kalau kau benar-benar ingin pergi. Jangan tiba-tiba menghilang seperti tadi. Kaasan tidak punya Byakugan seperti Tousan untuk mencarimu."

Chiyo mengangkat wajahnya ragu, tetapi ketika melihat wajah ibunya sudah tak terlihat marah, serta-merta gadis kecil itu tersenyum. "Okaasan tidak marah lagi pada Chiyo?"

"Kaasan tidak marah, hanya cemas," ujar Sakura sambil membalas senyum putrinya.

"Kau dengar itu, Chiyo?"

Chiyo menatap kedua orangtuanya bergantian. Merasa keadaan sudah cukup aman dan yakin ibunya tidak akan berteriak padanya lagi, dengan gembira Chiyo melompat dari tempat persembunyiannya di belakang Neji dan mendekati Sakura. Gadis kecil itu mengulurkan tangannya ke perut ibunya, mengusap-usapnya dengan tangannya yang mungil. "Ne Otouto, maafkan Nee-san, ya? Gara-gara Nee-san nakal, Kaasan jadi cemas. Kau baik-baik saja di dalam sana, kan?"

Sakura terkekeh mendengar itu. Neji hanya tersenyum simpul. Entah bagaimana Chiyo selalu yakin bahwa adik yang tengah dikandung ibunya itu adalah laki-laki.

"Ne Otouto-chan, kau harus cepat lahir, ya? Supaya kita bisa segera pulang ke Konoha…" lanjut Chiyo riang.

Sakura memandang suaminya dengan alis terangkat, yang langsung ditanggapi Neji dengan berkata pelan, "Dia sengaja menyusulku ke istana untuk menanyakan itu."

"Aah…" Sakura mengangguk mengerti.

"Baiklah," kata Neji lagi, "Upacara pembukaannya sepertinya masih satu jam lagi. Bagaimana kalau sekarang kita cari kedai ramen?"

"Yeey! Ramen!"

Chiyo melompat-lompat kegirangan, sebelum menyelip di antara kedua orangtuanya dan menggandeng tangan mereka. Gadis kecil itu menjerit gembira ketika ayah dan ibunya serempak mengangkat tangan mereka sehingga tubuhnya terangkat ke udara. Melihat keriangan putri mereka, Neji dan Sakura tertawa.

"Okaasan, setelah makan ramen apa aku boleh minta permen arum manis?" Chiyo menanyai ibunya ketika mereka berjalan menuju kedai ramen.

"Boleh…"

Sakura menatap orang-orang yang dicintainya itu dengan wajah lembut. Dadanya terasa hangat. Tak ada yang bisa membuatnya lebih bersyukur lagi dari pada ini. Suaminya yang tersenyum tanpa beban, dan gadis kecil buah cinta mereka yang bergelayut gembira di antara mereka. Juga… anak kedua yang sebentar lagi akan lahir.

Lalu ketika ia mengalihkan pandangannya dari sang putri untuk menatap Neji, pria itu juga balas menatapnya dengan sorot lembut.

"Aishiteru…" bibir Neji bergerak tanpa suara.

Sakura tersenyum. "Aishiteru, Neji-san…" balasnya.

.

.

Nyatanya, Neji memang tidak mencintainya seperti yang dia pikirkan. Melainkan lebih, lebih dan jauh melebihi apa yang pernah Sakura bayangkan sebelumnya. Kehidupan Hyuuga Sakura kini telah lengkap.

Aku sangat bahagia…

.

.

I

.

.

FINALLY! FIC INI SELESAI JUGA, ALHAMDULILLAAAAH…. UTANG FIC MC GUE BERKURANG SATU! :DD

Er… maaf soal lemonnya. Aku ngga terbiasa bikin yang beginian sih, jadi maklum aja kalo abal-abal. Aku mah pinginnya selain ada 'action', juga ada feel romantis di sana. Tapi sepertinya gatot, ya? Heuheu… L-scene itu sebenernya udah lama banget aku bikin, pas awal-awal fic ini dibuat malah. Niatnya sih biar tinggal kopas aja gitu kalo udah sampai di chapter terakhir. Tapi ternyata plotnya banyak yang berubah dari rencana plot awal, jadi scene itu juga jadi nggak pas lagi. Alhasil cuma dikopas sedikit dan ditambal sana-sini dan di pas-pasin sama plot yang baru. Hehe… - author males mikir.

Yang jelas, harapanku semoga dengan ending seperti ini cukup memuaskan teman-teman reader—walaupun authornya sendiri ngerasa ngga puas (banget) dan cukup menjelaskan kenapa Neji bisa bersikap seperti itu ke Sakura. Neji bersikap dingin ke Sakura (ga dingin juga sih kataku mah. Neji tetep care ke istrinya), karena memang ada alasannya. Bukan karena nature-nya begitu. Neji itu kan kalem.

Dan maaf kalo epilognya gaje. :P

Nama anaknya Neji dan Sakura, aku ambil dari nama Chiyo-baa-sama. Kenapa? Karena aku suka nama itu! Imut banget~ Ditambah, Chiyo bisa dibilang adalah salah satu orang yang disegani oleh Sakura (secara mereka pernah bertarung bareng gitu lho) dan Neji juga tahu tentang beliau dari misi kolabnya dengan tim 7 saat penyelamatan Gaara. Jadi ya… anggap saja Sakura menamai anaknya dengan nama orang yang dikaguminya. Dan aku ngebayangi fisiknya Chiyo-chan itu kaya Nejiko/Nejimi XDD *di-Jyuuken*, tapi ga juga sih. Chiyo di sini teh mukanya mirip Sakura dengan warna rambut dan mata Neji.

Minato dan Kushina itu nama anak kembarnya Naruto dan Hinata. Maap ya ngga kreatip n soooo Harry Potter—maksudnya kaya Harry yang ngasih nama anak-anaknya pake nama ortunya XD

Spesial thanks buat:

Kang Mas Neji Ganteng, yang selalu semangat nungguin kelanjutan fic ini. Maafin aku ya, Nand… kamu jadi ngga sempet membaca chapter terakhir ini… —dan aku juga ngga sempet baca sidestory yang kamu omongin itu :'((

Kakkoii-chan, karena alasan pertama aku membuat fic ini karena keseringan fangirling-an NejiSaku sama kamyu, Darl. Fic ini juga awalnya kutulis buat kamu. Thanks ya udah nyemangatin ya, Bu Dokter. :D

Ay, karena udah bersedia meluangkan waktunya buat ngedengerin curhatanku tentang fic ini dan ngasih masukan. Kamu yang jadi pemegang spoiler fic ini, Ay. Makasih karena ga 'bocor'. Hihihi… Dan yang pasti buat dukungannya juga

Buat semua yang sudah menyempatkan diri membaca dan mereview: Yaya PinkyBlossom, Hanaxyneziel, Hime, Myuuga Arai, thyz-thyz Verzabend, gak tau kasih nama, hhs ree chan, Secret reviewer, kiiro haruno, fyori nogi, El Lavender, yumi, arioschan, cherry, zoroutecchi, Sheila, uchihapusaGDhyuuga, tobaru, Tatsu Hashiru Katsu, A.D.R.I.F FiDaS, Animea lover Ya-ha, Addys Noveanette (get well soon, Sist. Jangan galau lagi, ya? :D), Beatrixmalf, Kira Desuke, Caprineptuniamania, ck mendokusei, Aphro, Cherry No Blue, CarnationKEKKAISHI, Matame Kiruka, Samasta, Arya Angevin, , sabaku no lia, Rahma, chiikuu, Aoi Ciel, Hoshi Yukinua, LadyGege, sakuraBELONGtoSASUKE, istrinya luhan, , icha22madhen, Gracia De Mouis Lucheta, Trancy Anafeloz, YUKIO, sasa-hime, ayamku, , Rey-chan YeyeCCS, no name, Mitsu Rui, mysparkyu, Hiromi Toshiko, hime chan, Ladychibby, Andromeda no Rei, NN, minjeee, Lollytha-chan, suzu aizawa, Hitomi, mantansilentreader, Kira-chan Narahashi, zetta hikaru, Just Ana, PuPut It's Me, Miwa Mitsuko, Fire Knight, Kitty Sevalinka Kuromi, miki, Laura Pyordova (maap~ *lirik review), Shena BlitzRyuseiran (reviewmu selalu bikin cekikikan sendiri XD), mkys, Hoshi Yamashita, adeanawinchester, koko ryutaro seperti mochi, Uchiha Hime Is Poetry Celemoet, Fumiki Ai, Pledis, Erna Bloom, me, hikari, LauraLin, Keiko, Carnadeite, Mameha, amellidong

Neng Vera, kayanya namamu juga belum kesebut, ya? (o.O) Buat Kak Sava Kaladze juga, ambudaff, Kak Awan Hitam, Luthi… Nggak tau apa masih ngikutin enggak, tapi seenggaknya pernah ngasih dukungan buat fic ini. Buat semua silent reader… Kou Hyuuga aka anak ayam, namamu udah ditulis di atas belum, ya? Hayo… prediksimu bener, ga? Hihi… Widya Aryani aka hatake satoshi, yang selalu review via FB.. :D Dan semua yang mungkin ga tersebut namanya.

Terimakasih banyak sudah mengikuti fic ini sampai selesai. Saatnya membereskan utang-utangku yang lain… :D