Kala aku masih kanak-kanak, berlarian dengan lutut rapuh dan wajah bercoreng krim dari tart yang kucolek diam-diam, aku berpikir bahwa kehidupanku akan terus begini: mendendangkan tawa ceria di bawah paparan sang surya, menjejaki rerumputan yang menari bersama embusan angin yang melompat-lompat ringan, akan bahagia dan menjerit lepas sepuasnya.

Kala aku remaja, aku belajar bahwa ketika mencintai seseorang, kita harus menyatakan bahwa kita menyayangi orang itu selagi kita mampu mengatakannya. Aku juga belajar bahwa suatu saat kita harus merelakan orang itu, karena cinta bukan berarti memiliki.

Ketika aku dewasa, aku mengenal takdir—sebuah alur dimana hidup kita akan berjalan mengikutinya...

.

.

.

Disclaimer:

Naruto © Masashi Kishimoto

.

.

"Do you believe in happy ending?"

"Depends. Anything with happy beginning would have a happy ending."

"Do you believe in your fate?"

"I do."

...

"So you believe your fate will have a happy ending?"

silence.

.

.

.

mysticahime™

© 2012

.

Presents...

.

.

UGLY GIRL UNDER THE RAINDROPS
The Final Chapter

.

.

.

Please take notes: Timeline setelah side story 4

.

.

.

ENJOY! :)

.

.

Satu anual telah berlalu semenjak Uchiha Sasuke melepas statusnya sebagai mahasiswa. Hari-hari yang semula dipenuhi dengan lembaran diktat dan textbook kini telah tergantikan oleh kesibukan meniti tangga karier cemerlang di salah satu anak perusahaan Uchiha Corp., bisnis milik keluarga Uchiha.

Satu anual telah berlalu, dan kini Haruno Sakura-lah yang akan segera melemparkan topi wisuda ke udara.

Suatu kebetulan yang kurang menyenangkan ketika hari yang ditunggu-tunggu ternyata jatuh pada suatu hari kelabu yang siap menjatuhkan tangisannya kapan saja. Untung saja sidang terbuka tersebut digelar di dalam ruangan sehingga para calon alumnus tidak perlu merayakan kelulusan dengan toga lembab dan wajah tercoreng tetes-tetes hujan.

Haruno Sakura mengerjap-ngerjapkan kedua matanya, masih merasa janggal dengan adanya bulu mata palsu menempel pada tepian kelopak matanya. Berdandan sama sekali bukan gayanya, tetapi Yamanaka Ino berhasil menjadikannya sebagai objek rias tadi pagi-pagi buta sekali. Sebagai akibatnya, kini gadis pink itu harus duduk diam tanpa boleh terlalu banyak bergerak. "Nanti make-up-mu luntur,"—begitu alasan Ino setelah selesai memoleskan lipstik merah muda pucat di bibir Sakura—"dan tentu saja kau tak mau duduk dua jam lagi untuk merapikan riasan, kan?"

Jadilah sekarang Sakura menghabiskan detik demi detik memandangi teman-temannya yang mulai mengisi kursi-kursi yang tersedia di dalam auditorium. Warna oranye yang menjadi perlambang seni memenuhi lingkup pandangan—gadis itu tak habis pikir mengapa toga kelulusan harus sesuai dengan warna jurusan; mengingat Suna University of Arts adalah kampus tunggal.

Embusan angin terasa di sebelahnya, Sakura mendapati bahwa Ino sudah duduk di sebelahnya. Si pirang itu sudah kembali dari toilet, selesai memperbaiki eyeliner-nya yang sempat tercoreng tadi.

"Oi, Forehead," sapanya sambil menyenggol Sakura. "Deg-degan?"

Sakura memutar kedua bola matanya, "Tidak pernah lebih dari ini. Terutama karena kau mempermak mukaku sampai jadi mirip tante-tante—"

Ino menoyor kepala sahabatnya dengan gaya main-main. "Hari ini hari wisudamu, Forehead! Dan lagi si lovey-dovey-Uchiha Sasuke akan datang, kan? Masak kau mau tampil seperti akan kuliah fotografi?—kucel, belum mandi, rambut seperti sarang laba-laba—"

"Aku selalu mandi!" Sakura mencubit lengan Ino yang tertutup toga oranye. Dialihkannya pandangan untuk menyapu seisi ruangan. "Kapan acaranya dimulai? Aku ingin cepat-cepat mencuci bersih semua dempul ini."

"Tidak akan lama lagi." Gadis pirang itu menyandarkan dorsumnya pada punggung kursi, menciptakan posisi senyaman mungkin sebelum bersiap menghadapi fase kehidupan selanjutnya. Ia mengedarkan visualisasinya ke seisi ruangan, tersenyum mendapati sebagian besar angkatannya ada di sana—terbalut toga oranye dan bertabur senyum. "Sakura... rasanya seperti mimpi!"

Sakura menaikkan sebelah alisnya. Tumben sekali Ino memanggilnya dengan nama asli, bukan dengan sebutan 'forehead' dan semacamnya. "Apanya yang seperti mimpi?" tanyanya keheranan. Namun sarkasme yang nyaris ia luncurkan tertahan begitu saja di tenggorokan ketika menangkap genangan transparan di pelupuk mata sahabatnya. "I—no...?"

Detik selanjutnya, kedua lengan Ino segera melingkari pundak Haruno Sakura, sementara sang empunya terisak-isak di baliknya.

.

.

.

.

Bukan sekali-dua kali Uchiha Sasuke menjejakkan kaki di kampus yang bukan tempatnya menuntut ilmu. Sebagai mantan ketua senat di Konoha International University, secara berkala ia berkunjung ke universitas-universitas tetangga; mengurusi acara kolaborasi, misalnya. Atau sekadar menemani delegasi KIU untuk mengikuti lomba. Seperti itulah.

Meninggalkan bangku kuliah sempat membuat Sasuke merasa kehilangan hal-hal semacam itu, seolah-olah kehidupannya sebagai mahasiswa sudah mendarah daging padanya semenjak ia menginjak dunia. Ada sesuatu yang hampa ketika ia menyerahkan tampuk kepemimpinan pada adik kelas yang dipercaya oleh seluruh jajaran senat untuk menyatukan mereka di tahun selanjutnya.

Sesuatu yang akan amat dirindukannya kemudian hari.

Di sinilah kini Sasuke berdiri, di pelataran Suna University of Arts, seorang diri. Naruto menolak keras menemaninya karena hari ini si jabrik itu mau mengikuti acara kencan buta di daerah Kabukicho—dasar makhluk tidak berkeperitemanan. Kalau urusan senang-senang saja, dia pasti ditinggalkan.

"Yaaa, kau juga kan mau bersenang-senang dengan Sakura, Teme!" begitu kata Naruto kemarin sore; perkataan yang membuat Sasuke tertawa melalui hidungnya. Bilang saja pemilik mata safir itu ogah mengikuti acara wisuda untuk ketiga kalinya seumur hidup. Yah, upacara pelepasan mahasiswa itu memang konsepnya begitu-begitu saja, penyerahan ijazah dan sebagainya.

Sasuke melangkahkan kedua tungkainya yang terbalut celana jeans hitam dengan malas, menyusuri petak luas menuju auditorium tempat wisuda akan diadakan. Sebenarnya pemuda itu tidak yakin apakah sopan mengenakan jeans untuk menghadiri wisuda, tetapi mengingat seluruh celana panjangnya dimasukkan ke laundry oleh Itachi, ia hanya bisa angkat bahu. Daripada mengenakan boxer atau celana tiga perempat, kan?

Sosok Sasuke yang asing di kawasan Suna jelas menarik perhatian orang-orang, terutama beberapa mahasiswi junior yang kebagian mengurusi acara wisuda dan (mungkin) berencana memberikan karangan bunga kepada senior mereka yang lulus hari ini. Memang, tidak ada teriakan "kya kya kyaaa! Dia ganteng banget!" seperti yang biasa dipekikkan oleh anak-anak SMA, namun tatapan-tatapan memuja tertangkap oleh radar Uchiha muda.

Diabaikannya seluruh serangan itu dan Sasuke menuju meja penerima tamu. Setelah memperlihatkan undangan wisuda kepada panitia yang berjaga, Sasuke menemukan dirinya terbawa arus entitas-entitas yang menyebar ke seluruh ruangan untuk menempati kursi masing-masing. Ia sendiri memilih kursi di barisang belakang, karena toh ada layar LCD besar yang akan menyorot jalannya acara itu. Lagipula, Sasuke enggan duduk bersama-sama dengan para orangtua yang hadir.

Dikeluarkannya ponsel dari saku celana, kemudian ia mengirim pesan singkat kepada Sakura; menyatakan bahwa ia sudah berada di lokasi wisuda, kemudian Sasuke bersandar dan memejamkan mata. Menunggu jarum jam berlarian menuju waktu yang telah ditentukan.

Menunggu hal lain yang sudah direncanakannya.

.

.

.

.

Haruno Sakura menggeram, menyandarkan punggungnya yang mulai terasa pegal pada dinding di belakangnya. Kedua emerald-nya tak lepas memandangi Ino yang tengah merapikan riasannya di cermin wastafel. Selepas menangis tiba-tiba tadi, gadis itu buru-buru menyeret Sakura ke toilet terdekat. Tentu saja Sakura menurut—maskara, eyeliner, dan blush on yang luntur akibat air mata membuat Ino terlihat seperti pembunuh bayaran kejam yang siap mencekik gadis Haruno itu bila dia tak mengikuti kata-katanya.

Jadi, setelah menitipkan clutch dan kursi mereka pada Shion dan kawan-kawan, keduanya segera melesat menuju kamar kecil di sisi luar auditorium.

"Sudah selesai belum, Pig?" Jemu, itulah yang bisa ditangkap dari nada bicara Sakura. Sudah setengah jam berlalu semenjak Ino mencuci muka dan mengulang pemakaian alat-alat rias itu. Berulang kali Sakura mengecek arloji perak yang melingkari pergelangan tangannya. Upacara perarakan pasti sudah dimulai.

"Sebentaaaarrr...!" Tangan Ino dengan terampil menggambar garis-garis halus pada alisnya, membentuk lengkung sempurna. "Satu lagi!"

"Kita pasti ketinggalan Hymne Mahasiswa!" gerutu Sakura kesal. Bibirnya mencebik dan ia mulai memainkan kuku palsu yang ditempel paksa oleh Ino. Sial, lem perekatnya terlalu kuat.

"Ya sudahlah, yang penting kan kita dapat ijazah nantinya." Santai sekali si pirang itu menjawab. Padahal setengah jam yang lalu ia menangis tersedu-sedu dan bilang kalau hari ini adalah hari bersejarahnya sebelum menjadi eksekutif muda yang cantik di perusahaan ternama.

Cepat sekali manusia berubah.

Sakura menengadahkan kepalanya dan memandang gulungan warna kelabu dari celah yang berada di atas dinding toilet. Cuaca mendung memang tak bisa dihindari kala musim gugur datang bertandang. Beruntung sekali pihak Suna tidak gila dengan mengadakan acara outdoor. Kan lucu kalau tiba-tiba hujan turun saat pembagian ijazah. Sakura dapat membayangkan Ino kalang kabut karena tata riasnya lumer terkena guyuran hujan.

"Oi, Forehead, sedang apa kau?" Suara temannya menarik Sakura dari alam khayalnya. Mata hijau itu bertumbukan dengan aquamarine yang terbingkai celak mata berwarna gelap. "Aku sudah selesai, nih. Katanya mau cepat-cepat ke auditorium lagi?"

Lengkungan sabit tercipta di bibir Sakura yang terwarnai rapi dengan lipstik. "Ya, ya, Pig."

.

.

.

.

Rona hujan semakin jelas melintas di cakrawala, mengguratkan warna-warna kelabu redup pertanda rintik hujan sebentar lagi akan memerciki permukaan bumi. Semilir angin menari di udara, meniupkan hawa dingin bagi jutaan entitas yang sedang berada di luar ruangan, membuat mereka mengeratkan jas luaran yang tebal dan mempercepat langkah kaki seolah-olah tak mau keduluan oleh butiran air yang terkondensasi.

"Oi!"

Uchiha Sasuke—dengan ponsel di telinga—menoleh dan menemukan sosok seorang gadis keluar dari bilik toilet. Toga dan gaun yang semula dikenakannya kini telah berganti menjadi kaus putih, jaket abu-abu bertudung, dan celana pendek di atas lutut berwarna broken white. Sepatu hak tingginya pun telah disubtitusi oleh sepatu kets bertali warna-warni. Seluruh riasan wajah dan rambutnya telah dihapus, menyisakan wajah polos tanpa sapuan warna sintetis dan rambut merah muda sebahu yang tergerai bebas.

"Lama," kata Sasuke datar sambil membuang muka. Ia memasukkan benda elektronik mahalnya ke dalam saku, memandang langit yang mendung. "Sudah hampir hujan."

"Memang." Gadis itu berceloteh ceria. Ia menyejajari Sasuke yang sudah berjalan terlebih dahulu. "Tapi udaranya jadi sejuk."

"Bodo." Gerakan ringan, dan tas besar berisi barang-barang Sakura sudah berpindah ke tangan Sasuke tanpa banyak frase terucap.

Tersenyum menyaksikan tindakan Sasuke yang tak terduga, Sakura melompat-lompat kecil mengikuti pemuda jangkung itu menuju tempat parkir mobilnya. Khas Sasuke sekali: irit bicara, namun tindakannya tak terduga.

Pemuda itu meletakkan tas Sakura di dalam bagasi, kemudian masuk ke dalam mobil merahnya setelah memastikan sang gadis duduk dengan nyaman di kursi sebelah pengemudi. Ia mencolokkan kunci dan men-starter mobil kesayangannya—hadiah spesial dari Fugaku sebagai ucapan selamat atas kelulusannya tahun lalu. Deru halus mesin terdengar selama beberapa detik, dan keduanya melaju keluar dari parkiran Suna University of Arts, menembus jalanan Shinjuku yang dipadati oleh kendaraan yang merayap.

"Kita mau ke mana?" Sakura memberanikan diri bertanya setelah menyadari bahwa selama bermenit-menit Sasuke hanya membawa mobil berputar-putar di jalur yang sama.

"Jalan-jalan," adalah kata yang dijadikan Sasuke sebagai jawaban.

Kening Sakura mengernyit, kemudian gadis bersurai bubble gum itu memandang keluar jendela. "Tapi kita sudah melewati kedai ramen itu sebanyak tiga kali," tunjuknya pada kios berspanduk dengan tulisan katakana tercetak di sana.

Sasuke mendengus. "Sebenarnya aku mau membawamu kembali ke Tokyo Bay, hanya saja aku baru ingat jalanan ke sana sedang ditutup karena—"

—yah, itulah kenyataannya. Sebenarnya Sasuke sudah merancang kejutan untuk seorang Haruno Sakura di Teluk Tokyo, namun sialnya, ketika Sakura sedang berbenah diri di toilet, Itachi menelepon adik sematawayangnya dan mengabarkan berita buruk bahwa Teluk Tokyo ditutup karena satu dan hal lainnya.

"Ngapain jauh-jauh ke Tokyo Bay?" tanya Sakura tanpa tedeng aling-aling. Gadis itu memainkan tali jaketnya dengan jari telunjuk, memelintirnya berkali-kali dan melepaskannya.

Kalau saja Sasuke belum mengenal Sakura, ia pasti akan terkejut dengan sikap santai dan lugas gadis itu. Sakura memang seperti itu, tidak pernah berusaha menunjukkan maksudnya secara implisit. Selalu terus terang dan apa adanya.

"Merayakan wisudamu." Dengan pandangan yang tidak beralih dari jalur yang sedang dilaluinya, Uchiha Sasuke tersenyum kecil. "Begitulah."

Sakura mengibaskan tangannya sambil tertawa. "Niat yang mulia, Tuan Uchiha. Sayang sekali takdir tidak merestuimu hari ini."

"Sepertinya."

Laju mobil mulai melambat—ada kemacetan di depan sana. Sasuke sedikit menyesal karena menghabiskan waktu nyaris setengah jam hanya berputar-putar di daerah itu sambil berpikir; kalau saja tadi ia langsung berpacu ke distrik lain, tentunya ia tidak akan terjebak dalam arus wisudawan yang juga keluar dari Suna Academy of Arts saat ini.

"Aku tidak keberatan kalau kita merayakan wisudaku di dekat-dekat sini, kok." Sakura menunduk dan memainkan ponsel putihnya. Jemarinya menari lincah di atas tuts. "Ino pergi bersama Sai untuk makan malam di Roppongi, hahaha."

Aku kan ingin merayakannya secara istimewa, bukan makan malam picisan seperti mereka—kata-kata itu hanya tertahan di ujung lidah Sasuke. Hari ini dia tidak ingin mengacaukan segalanya. Satu kesalahan saja, maka ia akan menyesal seumur hidupnya, iya kan?

Otaknya bermanuver dengan cepat, memikirkan tempat selain Tokyo Bay yang bisa menjanjikan kenangan manis bagi mereka berdua. Tokyo Bay jelas sudah menjadi sebuah tempat yang sarat akan kenangan—kencan pertama mereka kan di sana. Sebenarnya Sasuke berniat mengajak Sakura bernostalgia dulu sejenak di sana sebelum masuk ke puncak acaranya.

Mellow sekali.

Mmm, sebenarnya tempat yang bisa dipakai bernostalgia dengan Sakura ada banyak—Sasuke memainkan jemarinya di atas setir, mengamati lampu belakang mobil di depannya. Misalnya tempat waktu mereka bertemu dulu, di dekat stasiun. Atau di café waktu malam-malam itu. Di KIU, yang pertemuan sekejap mata.

Pijaran cahaya muncul di otak Sasuke.

Ya, dan satu tempat lagi, yaitu—

.

.

.

.

"Central Park?"

Sakura mengernyitkan dahi ketika melangkah turun dari mobil setelah Sasuke selesai memarkir kendaraannya di spot parkir sebelah utara taman. Gadis itu menghirup dalam-dalam aroma alam yang sudah lama tak dirasakannya.

"Hn." Sasuke menyusul keluar seusai memasang kunci ganda untuk alasan keamanan. "Kita pernah bertemu di sini."

Wajah gadis itu berubah cerah mendengarnya. "Hahaha, tentu aku masih ingat. Kau merebut bangku kesayanganku, lalu kita akhirnya duduk bersama sambil ngobrol. Padahal jarang-jarang aku mengizinkan orang menempati area kekuasaanku kalau aku berada di sana."

Sasuke diam saja dan mulai melangkah masuk ke dalam sirkumstansi taman sementara Sakura berlari-lari kecil mengikutinya sambil mengomel kenapa tiba-tiba Sasuke meninggalkannya. Jelas, Sakura tidak tahu apa yang ada di pikiran pemuda itu saat ini. Meninggalkan seorang perempuan bukan hal yang baik, kan?

Kalau saja Sakura bisa mengorek isi benak Sasuke saat ini, sudah dapat dipastikan gadis itu akan tertawa terbahak-bahak. Pasalnya, sesungguhnya Sasuke sedang berusaha mengendalikan degup jantungnya yang mendadak meningkat frekuensinya. Detak-detak yang semula teratur itu kini berubah menjadi aritmik, ditambah lagi kedua tangannya yang memang jarang terasa hangat menjadi semakin rendah lagi suhunya. Dan berkeringat.

Ia tak ingin pleno yang susah payah disusunnya semalam (dengan diiringi ejekan-ejekan Itachi) berakhir sia-sia karena ketahuan oleh Sakura.

Karena sedari tadi...

...Uchiha Sasuke tidak bisa mengalihkan pandangannya dari siluet Haruno Sakura.

Cara gadis itu nyengir dengan sebelah mata yang terlihat lebih sipit saat melakukannya. Dendang tawanya yang bagaikan lonceng yang menggema. Gestur tangannya yang lepas saat bercerita. Garis-garis wajahnya yang melembut saat tersenyum...

Karena itu mati-matian sang pemuda menahan dirinya untuk tidak terlalu lepas saat bersamanya. Sisi lepas Sasuke akan membongkar semua niatnya, karena seorang Haruno Sakura mampu menggali dirinya hingga ke titik terdalam.

Karena Sakura berbeda.

Dia gadis yang spesial.

Tarikan di lengan kiri Sasuke menyadarkan pemuda itu dari semua hal yang melanglangbuana di otaknya. Ketika menoleh, ia mendapati Sakura sedang menggembungkan pipinya.

"Hn?" Satu suku kata itu mampu mewakili seluruh kata tanya yang ada di dunia.

"Bangkunya terlewat, Sasuke!" Sakura menuding distansi beberapa meter yang tertinggal di posterior mereka. Bahasa tubuhnya seolah mengatakan, 'kita harus duduk di sana atau kutendang kau sampai Jupiter, dan tendanganku mengarah ke poin nol koma nol'.

Rotasi bola mata obsidian, dan Sasuke membiarkan diseret oleh tubuh Sakura yang lebih mungil dari raganya. Tak sampai satu menit berlalu ketika akhirnya mereka mengempaskan bokong masing-masing pada permukaan bangku yang terdiri dari batangan kayu yang dirangkai dengan rapi.

Tak ada yang bicara, keduanya terlarut dalam pergumulan hati masing-masing. Sasuke—dengan rencana dan pengendalian dirinya. Sakura—dengan apa pun yang sedang menari dalam batinnya.

"Oi, Sasuke." Sepertinya sapaan 'oi' merupakan ciri khas Haruno Sakura untuk memanggil orang-orang yang ingin diajaknya bicara. Rupanya gadis itu tak tahan juga untuk terpaku dalam keheningan.

"Hn." Sepasang netra Sasuke yang gelap melirik melalui ekor matanya.

Sesaat, gadis Haruno itu tampak ragu untuk melanjutkan kata-katanya. Ibu jari dan jari telunjuknya malah memuntir-muntir ujung rambut yang jatuh dekat dengan dagunya. Matanya mengerjap beberapa kali dan ia menarik napas panjang.

"Ada yang ingin kutanyakan..." gumamnya pelan, namun cukup jelas untuk didengar oleh sepasang telinga milik Sasuke.

Sebelah alis Sasuke menanjak. "Apa?"

"Mmm," ragu lagi, "setelah tiga tahun ini," helaan napas, "...sebenarnya hubungan kita seperti apa?" Kini sepasang giok itu menatap lurus kepada Sasuke, memaksa pemuda itu balas menatapnya. "Seperti apa perasaanmu kepadaku?"

"Kau..." Sasuke kebingungan mencari kata-kata yang tepat. Jangan gombal, tapi jangan menyebalkan juga. Jangan sesuatu yang picisan. "...berbeda."

Senyuman terulas di bibir mungil itu. "Bagaimana kalau kau memberitahuku perasaanmu—secara seni?"

.

.

.

.

"Bagaimana kalau kau memberitahuku perasaanmu—secara seni?"

"Secara seni?" Sakura bisa melihat tanda tanya besar di wajah Uchiha Sasuke. Pemuda itu kaget—dan bingung, tentu saja. Sepertinya seumur hidup Sasuke tak pernah diminta melakukan hal seperti ini.

Namun, Haruno Sakura adalah seniman, dan seniman adalah manusia yang selalu dipenuhi ide-ide gila untuk menciptakan hal-hal yang brilian. Karenanya ia ingin memastikan hubungannya dengan Sasuke dengan cara yang tak biasa; khas seniman.

"Ya," angguknya tanpa melepas senyum. "Karena aku berkecimpung di dunia seni—tepatnya desain komunikasi visual—bagaimana kalau kau menyampaikan perasaanmu dalam bentuk gambar?" Ia nyengir lagi saat Sasuke melebarkan matanya. "Ayolaaahhh, satu gambar menceritakan lebih dari seribu kata."

Sasuke memutar bola matanya mendengar kata-kata sang gadis. "Aku tidak bisa menggambar."

"Kalau gitu kau harus mengganti satu gambar itu dengan seribu kata." Ditatapnya pemuda berambut hitam itu dengan kedua mata membulat penuh permohonan. Sebenarnya Sakura sudah ingin tertawa menyaksikan reaksi Sasuke yang jelas terlihat sedang menyembunyikan perasaan kesalnya.

"Perasaanku hanya sepanjang satu kata." Pemuda itu mengernyit.

"Ya ucapkanlah seribu kali." Sakura tidak mau menyerah. "Aku mau kau mengungkapkan perasaanmu sebanyak seribu kata." Sasuke pasti tidak mau mengucapkan kata yang sama sebanyak seribu kali. Dia harus mencoba taktik lain. "Atau kau panjang-panjangkan saja menjadi seribu kata."

"Cih." Sasuke membuang wajah sambil merengut. "Aku bukan penggombal yang menggelikan seperti itu."

"Jadi...?" Sakura sengaja menggantung kalimatnya. Dalam hati, ia tahu Sasuke tidak akan menolak permintaannya. Tapi probabilitas terbesar adalah pemuda bermata jelaga ini akan menawar habis-habisan dengan caranya sendiri.

"Ah," Sasuke berbalik dan bersedekap. Kedua matanya menunjukkan penolakan eksplisit. "Ya, ya. Dengarkan."

Gadis itu mengikuti pose Sasuke; melipat kedua lengan, namun matanya mengajukan pengharapan disertai binar-binar cerah.

Tarikan napas panjang sebelum pemuda itu memulai, "Suka. Suka. Suka. Suka—"

—dan tawa Sakura meledak.

"Kau benar-benar akan mengulang kata 'suka' itu sampai seribu kali, Sasuke?" tanyanya, berusaha keras menahan tawa karena Sasuke sudah melemparkan death glare-nya. "Aku hanya bercandaaaa."

Pemuda itu mendengus, tetapi tetap melanjutkan kata-katanya. "Suka. Suka. Suka. Suka melebihi apa pun—"

Tawa Sakura akhirnya berhenti.

"—suka sampai kapan pun. Suka tak terbendung. Suka tanpa alasan—"

Rinai hujan mulai menari, setitik demi setitik berjatuhan di sekeliling mereka berdua.

"—kurangkum semua kata 'suka' itu menjadi 'cinta'." Sasuke menghentikan monolognya meski sebenarnya verbal itu belum mencapai jumlah seribu kata. Rintik hujan mengaburkan pandangannya, namun ia tak peduli. Hanya satu fokus di matanya: Haruno Sakura.

...gadis yang sedang tersenyum itu.

Tak ada tanda-tanda protes dari si pinky yang memenuhi isi kepalanya selama beberapa tahun ini. Mungkin sebenarnya ia tak perlu repot-repot mengucapkan banyak kata 'suka' itu. Mungkin sebenarnya yang diinginkan Sakura adalah—

"Giliranku." Tiba-tiba saja, gadis itu melepaskan jaket abu-abu yang semula melindungi tubuhnya. Kedua emerald itu menatap Sasuke dengan intens saat tangan-tangan putihnya menelungkupkan jaket di atas kepala Sasuke hingga tetesan hujan tak lagi membasahi rambut pemuda itu.

"Aku menerapkan lima pola dasar pemasaran," gadis itu memejamkan mata selama sedetik. Butir-butir air menganaksungai di wajahnya, menetes menuruni dagunya. "Pertama, konsentrasi pasar; aku hanya berkonsentrasi padamu."

"Kedua, spesialisasi kebutuhan; aku hanya memerlukan kebutuhan tunggal, yaitu cintamu."

"Ketiga, spesialis pasar; kau adalah spesialis pasar, segala hal mengenai dirimu memenuhi kebutuhan jiwaku."

"Keempat, spesialis selektif; tidak semua orang kuberikan perhatikan sebesar ini, hanya kau, Uchiha Sasuke."

"Kelima," Sakura menarik napas, "liputan penuh; kau memenuhi duniaku. Sekarang. Selalu. Selamanya."

Sebelum Sasuke sempat bicara, gadis itu sudah membungkam mulutnya dengan satu jari menempel di bibirnya. Senyuman cerah yang tak pernah bisa lepas dari benak Sasuke mengembang dengan tulus. "Target pasarku adalah kau, Uchiha Sasuke."

Dan Sasuke hanya bisa tertawa mendengar kata-kata Sakura. Dilepaskannya jaket yang meneduhinya dari terpaan hujan dan dipakaikannya pada Sakura yang sudah basah kuyup. "Dari mana kau menyontek bahan seminarku dulu, hn?"

"Mmm, perpustakaan," jawabnya malu-malu. Teringat olehnya hari-hari memusingkan dimana otaknya berseteru dengan buku manajemen pemasaran yang ia cari dengan susah payah di perpustakaan kota—bahkan hampir rebutan dengan seorang pemuda berkulit tan dengan rambut pirang jabrik. Rasa dingin menembus kulit Sakura, namun ia tidak memedulikannya. Di balik hawa menusuk itu, ia merasakan kehangatan.

"Aku kalah," ujar Sasuke tiba-tiba, membuat gadis yang sesaat menundukkan kepalanya mendongak dan melayangkan tatapan heran. Sudut bibir Sasuke tertarik ke atas. "Aku kalah romantis. Padahal rencananya hari ini aku ingin melamarmu..."

—lalu pemuda itu menarik tangan kanan Sakura dan menyelipkan lingkaran cincin keperakan pada jari manis gadis itu.

Pertama-tama, Sakura tidak menyadari apa yang dilakukan oleh Sasuke hingga ia merasakan sensasi sejuk logam mengelilingi jemarinya. Ketika dapat dilihat dengan baik, gadis itu memekik; antara senang dan terkejut.

"Pas?" Sasuke menatap tangan yang menari-nari di tengah rintik hujan.

Sakura merengut dan mengepalkan tangannya, sejurus kemudian ia mencondongkan tubuhnya ke depan dan menempelkan keningnya pada pipi Sasuke.

Rasa hangat menjalar di antara keduanya, mengabaikan sisa-sisa air hujan yang melekat di kulit mereka. Sasuke dapat merasakan napas Sakura di lehernya; ia gunakan kedua lengannya untuk melingkari tubuh gadis itu. Kulit yang dingin saling bertemu, menimbulkan konduksi kalor yang menyebar secara bertahap.

"Menyebalkan," gerutu Sakura sambil menarik tangannya yang terjepit di antara dirinya dan Sasuke, mengamati lekuk halus cincin yang sudah menjadi miliknya.

"Kenapa?" ia dapat merasakan gerakan dagu Sasuke di pelipisnya.

"Kau melamarku, tapi sama sekali tidak romantis, Baka-Sasuke!"

Sasuke dapat membayangkan ekspresi Sakura saat mengucapkan kalimat itu. Pasti pemilik mata hijau itu sedang memajukan bibir bawahnya sambil menggembungkan kedua pipinya yang basah. Yang bisa dilakukan si pemuda hanya tertawa sambil mengeratkan pelukannya.

"Tapi kau menerima, kan?" guraunya ringan.

Ada kebisuan singkat sebelum Sakura menjawab lirih, "Tidak mungkin aku menolak. Bodoh."

"Kau memang gadis menyebalkan yang kutemui di bawah hujan," gumamnya pelan sambil merengkuh bahu Sakura yang terbungkus t-shirt lembab. "Saking menyebalkannya sampai tak bisa tidak kupikirkan."

Di dalam dekapan Sasuke, Sakura hanya bisa tersenyum. "Aku juga."

Hujan membungkus keduanya dalam derai lambat yang terasa bagai curahan partikel-partikel tak kasatmata. Langit pucat tidak berniat menyingkirkan hamparan awan kumulonimbus dari permukaannya, membiarkan sepasang insan tertutup oleh guyuran takdir.

Segalanya bagaikan alur cerita yang ditulis dengan sengaja, dengan hujan sebagai latar utamanya. Sang pemuda dan sang gadis bertemu dan akhirnya saling jatuh cinta diiringi parsial cuaca basah sebagai pertanda dari goresan takdir.

Segala sesuatu dalam kehidupan ini diatur oleh goresan takdir. Siapa pun yang berjalan sejalur dengan takdir pasti akan menemukan sesuatu yang telah direncanakan semenjak dia menjeritkan tangis kala terlahir ke dunia. Sekeras apa pun berusaha, tidak ada yang bisa lari dari takdir yang telah tersurat ketika kau mengembuskan napas kehidupan di jagad ini.

Ada yang menyebutnya kebetulan kosmos, ada yang menyebutnya kuasa Dewi Fortuna—sebenarnya semua itu sama saja.

Mungkin ada kalanya kita bisa tertawa dan berkata, "Ah! Takdir itu takhayul!" tapi sebenarnya bahan olok-olok itu lebih dari sekadar yang kaubayangkan. Takdir bisa merampas dan memberi apa pun dari dan pada kehidupanmu, tidak ada yang pernah tahu.

Mungkin ada kalanya kau menjerit dan menyalahkan takdir, tapi kau tidak bisa berbuat apa-apa. Bisa jadi di balik semua itu, ada hal-hal lain yang tak pernah kau duga, hal-hal yang membuat kehidupanmu berbalik seratus delapan puluh derajat.

Tidak ada yang mustahil bagi takdir—bahkan happy ending yang selalu diucapkan di akhir dongeng-dongen pengantar tidur.

Bila takdir terpeta, maka alur kehidupan pun akan bergerak.

Dan, beginilah takdir menciptakan konklusi dari afeksi Uchiha Sasuke dan Haruno Sakura.

-FIN-

.

.

.

.

Cerita Tambahan

Beberapa bulan sebelumnya...

Begitu mendengar pintu dibanting, Uchiha Sasuke langsung mendongak dari pekerjaan di laptopnya. Kedua netranya menemukan sosok Uzumaki Naruto yang berjalan masuk ke ruang kerjanya dengan wajah berlipat.

"Cih," dengus pemuda pirang itu. Kekesalan tergurat jelas di wajahnya yang terbakar matahari. "Aku gagal mendapatkan buku itu!"

"Buku apa?" Sasuke mengembalikan konsentrasinya pada proyek yang sedang digarapnya. Hibah tengah tahun dari Itachi, kakaknya, sekaligus proyek besar perdana baginya selama bekerja di Uchiha Corp.

"Yang tentang pemasaran itu!" gerutu Naruto. Ia mencampakkan dirinya di salah satu sofa yang tersedia di dekat pintu. Sofa itu untuk klien, sebenarnya, namun Sasuke tidak berusaha mengusir Naruto dari sana. Kalau sedang mengamuk, Naruto hanya cukup didiamkan, nanti dia akan segera membaik.

"Hn," hanya itu respons yang diberikan Sasuke. Ia terlalu sibuk membuka file dan membuat perhitungan.

"Aku terpaksa mengalah karena sainganku cewek." Suara Naruto kembali terdengar. "Kalau cowok sih sudah kuajak berkelahi di luar perpustakaan."

Sasuke tidak menyahuti amarah Naruto. Menurutnya, kejengkelan sahabatnya hari ini terasa menggelikan. Mengomel karena tidak berhasil memenangkan buku pinjaman? Setahunya, Uzumaki Naruto tidak pernah berminat membaca buku.

Kedua mata biru Naruto beralih pada jam dinding yang tergantung di atas kabinet. "Hah! Ini sudah jam empat! Gawaaaattt, aku terlambat janjian dengan pacarku!"

Ia merangsek bangkit dari sofa dan segera memburu menuju pintu. Bunyi dentum kayu beradu terdengar bersama seruan, "Daahh, Teme!"

Setelah kepergian Naruto, Uchiha Sasuke hanya bisa menghela napas dan meregangkan tubuhnya yang mulai terasa kaku.

Ada-ada saja, pikir Sasuke, meneguk kopi yang sudah mendingin karena dibiarkan sedari tadi. Sepanjang ia mengenal Naruto, temannya yang satu itu memang tidak berubah.

Tidak akan pernah.

.

.

.

.

Author's Bacot Area

Banyak-banyak terima kasih kuucapkan pada kalian yang selama dua tahun ini setia menunggu kelanjutan 'Ugly Girl Under The Raindrops'. Yang rajin nagih update juga makasih ya :)

Fanfic ini bermula dari ide yang tiba-tiba pop out dari kepalaku, dan pas banget ada yang request SasuSaku. Ya udah deh sekalian dibikin. Hehehe :P

Banyak hal yang terjadi selama pembuatan cerita ini; naik-turunnya diksi, perubahan plot berkali-kali, karakterisasi yang kacau, dan sebagainya, dan seterusnya, dan lain-lain—tapi pada akhirnya berhasil mencapai titik akhir!

YEAAAAAYYYY!

Terima kasih sebesar-besarnya buat lebih dari 100 orang yang udah masukin fic ini ke daftar favorit kalian. Terima kasih telah menyukai cerita ini dengan segala kelebihan dan kekurangannya. *wink*

Terima kasih buat yang me -review di chapter lalu: kikihanni, Kira Desuke, sasa, lampu, kags. Z. dravtletoe, Chocolate Lolypop, skyephantom, Elyorre Edogawa, sasusaku saiino, akane yuzumega, ChieAkane ga login, Ria-Chan, littleparadox, missclouds, Lrynch Fruhling, chocobadas, Kamikaze Ivy-chan, LED, M-K luv, Panda Kurozuki, apricotyboo, Ay, Tsurugi De Lelouch, Kikyo Fujikazu, Kazuma B'tomat, Uchiha Hime Is Poetry Celemoet, Kana, Blue Crysanthemum, Hika, Dina Yoon, sanako saionji, Fuyu no MiyuHana, aiko kirisawa

Terima kasih buat kalian semua yang baca tapi ga review dan kadang cuma meninggalkan fave aja.

Setelah ini aku masih ada fic lain: LABYRINTH; multi-pair. Dibaca yaaaa *promo*

Buat kali ini, boleh dong aku minta semua yang pernah baca fic ini (silent maupun review) buat ninggalin komentar? Permintaan khusus chapter terakhir nih :)

I love you more than I've ever imagined :*

Me ke aloha,
mysticahime™
14082012