.

.

.

Disclaimer : jika Naruto milik aku, berarti endingnya NaruSaku, KibaHina, SasuIno, dan MinaKushi hidup lagi dong. Wkwkkw *kabur sebelum di serbu para fans Naruto* pastinya semua chara di Naruto punya MASASHI KISHIMOTO

Warning: Alurnya kayak kelinci. Deskrip minim. OOC dan typo (s)

.

.

.

.

Ini musim semi pada tahun kedua di pernikahannya. Sungguh waktu berjalan begitu cepat, mengingat pekerjaannya yang selalu menyibukannya hanya untuk sekedar menatap istrinya sedang terlelap.

Jam lima pagi, Naruto selalu bangun lebih dahulu. Tentu saja dia harus bangun sepagi mungkin karena sebagai atasan dia harus mencontohkan hal yang baik kepada karyawannya—yang biasanya jam setengah tujuh dia sudah harus ada di sana.

Mungkin itu tidak berlaku untuk istrinya. Jadwal bangun Sakura kadang jam enam dan paling cepat setengah enam, kadang juga jam lima—bebarengan dengan suaminya bangun. Tentunya dia bangun secepat itu karena ada yang mengganggunya.

"Engh, Naruto..."

Sakura terjaga dari tidurnya merasakan Naruto mencium pipinya membuatnya kembali ke dunia nyata. Harum buah apel dari pewangi ruangan yang tergantung di AC melekat di kulit istrinya. Ini kadang menjadi alasan kerinduan Naruto untuk menyapukan indra penciumannya entah itu ke pipinya, ke lehernya atau ke semua yang bisa dijangkaunya.

"Nanti malam saja," suara Sakura terdengar serak namun cukup seksi bagi pendengaran suaminya. Walau dia baru tersadar, dia tahu suaminya itu mau apa. Bahkan ini bukan pertama kalinya Naruto menyerangnya dalam keadaan seperti ini. Alasannya tentu saja dalam keadaan seperti ini si cherry begitu lemah.

"Aku mau sekarang." Tangan Naruto mencari tangan Sakura—memberikannya kehangatan pada tangan tersebut. "Setiap aku pulang kau selalu sudah tertidur."

"Itu karena kau pulang larut sekali."

Napas Naruto terasa di leher Sakura,wanita itu membiarkan si rambut kuning menjatuhkan mukanya di persimpangan lehernya. Sepertinya Naruto menurut. Dia tahu istrinya sedang tidak ingin bangun. Padahal dia betul-betul sangat rindu.

Dan hanya ada satu perintah yang akan membuat Sakura bangun sesegera mungkin.

"Sepertinya Shina menangis."

Tidak butuh waktu lama pasti Sakura akan segera menuju ke kamar bayinya.

.

.

.

"Apa?! Istrimu sekarang ke luar negri?" Baru saja dia akan keluar rumah untuk berbelanja mingguan, kakaknya—Sasori menelponnya. Sakura hampir memekakkan telinga Sasori yang berada di seberang sana

"Iya, aku mohon tolong jemput Kira nanti siang soalnya bis sekolahnya sedang ada masalah kata gurunya, dan juga pindahkan saja jadwal lesnya yang hampir setiap hari, terserah kau di mana saja. Aku terlalu sibuk untuk mengurus itu."

Sakura terlihat menggeram. "Kenapa juga kau mau menikahi istrimu itu!"

"Hahaah, tadi sudah kutransfer di ATM-mu untuk biaya Kira. Maaf ya Sakura merepotkan. Kau adik yang baik."

"Kalau begitu tidak usah anggap Kira ini anak kalian lagi! Oh ya satu lagi, jangan bangga dengan prestasinya kalau nyatanya kalian tidak ada di sisinya." Setelah itu Sakura menutup teleponnya.

"Ada apa?"

Sakura menoleh dan mendapati ibunya yang sedikit terganggu dengan suara Sakura. Kemudian si cherry menyimpan ponselnya ke dalam tas. "Siapa lagi kalau bukan anak ibu yang paling menyebalkan."

"Memang ada apa dengan Sasori?"

"Memangnya aku ini tidak punya pekerjaan? Suruh saja istrinya berhenti bekerja atau bercerai saja dia."

"Sakura, kau tidak boleh berbicara begitu."

"Habis, aku sudah kesal. Padahal Kira bukan anak kandungnya atau keponakan kandungku, dan cucu kandung ibu. Mengapa harus kita yang bertanggung jawab?" Memang benar Kira bukan anak kandung dari Sasori. Soalnya Sasori menikahi janda yang beranak satu. Menyebalkannya ialah dia tidak peduli pada buah hatinya. "Aku rasa istrinya tidak pernah peduli sama Sasori-nii. Dia semaunya saja. Atau bahkan dia menikahi Sasori-nii hanya karena ibu terlalu baik padanya?"

"Sudahlah Sakura, Kira tetap keluarga kita."

"Iya aku tahu! Tapi—"

Ibu langsung memotong kata-kata Sakura, "Bukankah kau sama saja dengan istrinya?"

Sakura terdiam, memang dia punya niat untuk menitipkan bayinya yang baru berumur delapan bulan itu kepada ibunya. Karena mengingat dia juga punya rencana yang menyibukan untuk beberapa tahun ke depan. Detik selanjutnya Sakura tertawa. "Ibu! Sudah ah, aku mau pergi."

Ah, di sisi nyonya Haruno Mebuki akan sedikit ramai.

.

.

.

"Baiklah, apa anda sudah menentukan apa yang dipesan?"

Pelayan itu sudah menunggu Sakura sekitar satu menit untuk memilih menu yang akan menjadi santap siangnya hari ini. Wanita ini sungguh sangat bingung, mode makanan macam apa yang sekiranya tidak akan membuat badannya tambah melar di restoran ini.

"Kalau daging aku tahu kau tidak mungkin mau. Bagaimana kalau ayam, Sakura-chan?" Naruto yang sedari tadi ada di hadapannya memberi saran. Dia kasihan saja dengan pelayan itu.

Sakura mengalihkan perhatiannya dari menu yang dipegangnya. "Itu berlemak."

"Bagaimana dengan ikan?"

"Terlalu amis."

Naruto mengerutkan dahinya. "Salad?"

"Itu akan membuatku lemas seharian."

"Jadi, kau mau makan apa?"

"Maaf ya, sebentar lagi." Sakura malah tersenyum ke arah pelayan itu.

Dengan sabar, pelayan perempuan sekitar berumur dua puluh tahunan itu harus menunggu lagi. Diam-diam dia menghela nafas bosan. Asal Sakura memberikannya uang tips nanti, ini tidak akan sia-sia.

"Baiklah, aku akan pesan steak kentang panggang saja."

"Baiklah." Pelayan itu bernapas lega, "Kalau minumnya?"

"Air mineral saja untuku." Setelah itu Sakura menutup daftar menunya dan mempersilahkan pelayan itu segera pergi dari mereka.

Siang ini Sakura kebetulan ada di dekat daerah pabrik Naruto. Berhubung suaminya juga sedang istirahat makan siang jadi Sakura memutuskan untuk bertemu—hanya sekedar untuk makan siang bersama. Suaminya itu memang super sibuk sekali sekarang. Sakura selalu berusaha mencuri waktunya disela-sela pekerjaannya. Dan begitupula dengan Naruto yang berusaha mencuri waktu kebersamaannya di atas ranjang.

Memang sih setiap hari bertemu. Tapi, tetap saja kesibukan memisahkan mereka dari waktu bersama. Tapi, pekerjaan Naruto begitu padat sebagai kepala. Pagi saat bangun tidur sudah bersiap akan bekerja lagi. Pulang kerja kadang istirahat sebentar makan, setelah itu menghadap ke dapan komputer—terkadang pria itu tidak sengaja terlelap di depan komputer—yang lebih parahnya terkadang Naruto harus keluar kota untuk beberapa hari.

Sedangkan kesibukan Sakura untuk sekarang ini, pagi ngurus bayi, siang ngurus anak Sasori—malam ngurus kuliah yang baru akan berlangsung bulan ini.

"Ngomong-ngomong, Ibuku tidak suka kalau kita mencari baby sister."

"Memangnya kenapa? Jadi, siapa yang mengurus Shinaciku saat kau mulai kuliah?"

"Ibuku bersedia!" ujar Sakura.

"Bukankah itu akan menyita waktunya?" Naruto sebenarnya sangat tidak ingin membuat mertuanya kerepotan. Di lain sisi dia juga ingin istrinya dapat lulus strata satu dengan cepat dan tidak stop lagi seperti kemarin.

"Pokoknya beliau tidak suka. Ibuku juga bersedia mengurus anak nii-san. Aku heran istri nii-san begitu tidak peduli dengan anaknya." Sakura mengingat wajah istri Sasori yang begitu sibuk mencari uang. Padahal kakaknya begitu sibuk, dia mau ikut-ikutan sibuk juga. Terkadang gadis berambut pink itu harus memberikan perhatiannya kepada keponakannya.

"Kau juga sekarang lebih menyibukan diri, kan?"

"Tapi kan, aku tidak segila dia mencari uang. Aku masih bisa mengurus bayiku sendiri. Aku kasian dengan Kira. Padahal dia anak yang pintar." Kini wajah keponakannya yang ada di benak Sakura.

"Setelah ini kau mau menjemputnya ya?"

Kemudian para pelayan datang membawakan makanan yang mereka pesan.

"Yah, begitula, Naruto. Hari ini gurunya menelpon dan mengatakan bus sekolahnya tidak bisa mengantar pulang. Bagaimana kalau tidak ada yang bisa menjemput anak itu? Aku kasihan padanya."

"Tidak apa, dia sudah seperti anak kita sendiri."

"Kau benar." Sakura tersenyum lebar. "Ngomong-ngomong nanti malam kau mau makan apa?"

"Hm..."

"Tunggu, biar kutebak. Kare?"

"Aku sedang tidak ingin makan wortel."

"Ramen?"

"Hm, rencananya aku akan makan itu sore nanti."

Sakura mendengus jawabannya salah lagi, "bagaimana dengan sup udang?"

"Hm, ide bagus."

"Baiklah, jangan pulang terlambat lagi ya?"

.

.

.

"Hm, jadi dari les bahasa Inggris dan bahasa Jepang total biayanya seratus ribu Yen persemester? Lalu, ada tambahan lagi biaya per bulan untuk bahasa Inggris?" Sakura mengulangi lagi apa yang sudah ditawarkan orang yang berada di depannya.

Seorang guru berseragam formal itu mengangguk. Saat ini Sakura sudah ada di sekolah Kira. Di sekolahnya ada tawaran les untuk anak-anak dengan biaya yang tidak murah. Memang seperti itulah sekolah bertaraf internasional.

"Hm... baiklah, sensei." Sakura menoleh ke arah Kira yang duduk di sampingnya. Bocah kelas satu itu hanya diam menanggapi ini. Dia mirip seseorang yang dikenal Sakura. Sangat dingin dan tidak banyak tingkah. "Seperti yang Anda ketahui, keponakan saya ini selalu juara umum, dia juga sering ikut lomba, kan? Apa tidak ada potongan biaya untuknya?"

Ibu itu terlihat berpikir. Setahunya tidak ada potongan apa pun untuk program les tambahan di sekolah ini. "Maaf, tapi kami tidak sedang dalam promosi."

"Ngomong-ngomong, yang jadi guru mengajar bukan guru mata pelajaran dari sekolah ini kan? Maksudku seperti guru bahasa Inggrisnya yang didatangkan langsung dari Inggris?"

"Iya, nyoya, di sini tenaga pengajar khusus untuk les tambahan adalah strata dua."

Sakura mengerti. "Baiklah, saya akan bayar biayanya besok." Kemudian gadis itu membungkuk. "Kami pamit pulang dulu."

Setelah itu Sakura dan Kira keluar dari sana. Mereka berjalan ke arah halte bis yang berada di depan SD Tokyo International itu.

"Tidak apa kan, Kira les di sekolah saja mulai sekarang?"

Anak itu mengangguk, "lagipula, aku akan merepotkan aunty kalau les di luar."

"Bukannya merepotkan." Sakura meraih bahu bocah setinggi dadanya itu. "Soalnya aunty mulai kuliah minggu depan. Jadi, tidak bisa antar jemput Kira."

Kira hanya mengangguk.

"Baiklah, Kira mau beli apa siang ini?"

.

.

.

"Tadaimaaa!"

Setelah berkeliling cukup lama dengan Kira hanya sekedar membeli berbagai peralatan bayi dan sedikit mainan untuk keponakannya akhirnya mereka pulang.

"Okaeri."

"Apa Shinaciku siang ini makannya banyak?"

Baru saja masuk rumah Sakura sudah menanyakan hal itu. Wanita pink itu selalu menjaga pola makan anaknya agar sehat.

"Cukup banyak, hari ini dia menghabiskan satu porsi mangkuk kecil," jawab Mebuki.

Sakura berjalan menuju ke tempat tidur anaknya yang berada di ruang TV. Kalau siang, tempat bayi itu memang di sini, sedangkan malam tentu saja berada di dalam kamarnya sendiri.

Saat ini anaknya sedang tertidur lelap. Bayi itu mulai sekarang akan sering dijaga oleh neneknya sendiri. Sakura membelai pipi kecil bayi lelakinya. "Ibu, rindu padamu, sayang."

.

.

.

Lalu, kesimpulan apa yang akan dihasilkan oleh Sakura saat dia mengetahui dirinya tengah hamil? Siang itu satu setengah tahun yang lalu dia mendapati bercak darah pada celana dalamnya. Dipikirannya mungkin dia sedang datang bulan. Dia bersyukur karena bulan kemarin tamu bulanannya itu tidak datang.

Sakura kembali lagi ke ruang les masaknya. Beberapa teman sudah menyelesaikan pelajaran hari ini: memasak Vinchyssoisse*.

Entah mengapa tangannya gemetar saat mulai kembali berada di dapur les. Sakura merasa tidak kuat lagi untuk berdiri. Tubuhnya mendadak gemetar dan perlahan kesadarannya merosot.

Saat dia bangun, dia berada di dalam kamar rumahnya. Hari sudah malam, lalu sudah berapa jam dia tertidur. "I-ibu?" pertama kali yang dilihatnya adalah ibu Naruto disana.

Kushina membantunya duduk. Bukan hanya Kushina saja yang ada disana, ada Sasori, ibunya, Minato bahkan Naruto. Ada apa ini?

"Kau kelelahan, untungnya guru memasakmu mau mengantarmu pulang." Kushina menjelaskan.

"Padahal aku tidak melakukan kegiatan yang berat," Sakura bergumam.

"Itu karena tempat lesmu yang berada di lantai empat. Mengapa kau harus bolak balik naik tangga?" Naruto yang duduk di pinggiran ranjang bersuara.

"Benar," Sasori angkat bicara. "Seorang ibu hamil, tidak boleh bolak-balik naik tangga."

Mata Sakura melebar. Diulurkannya tanganya untuk menyentuh perutnya. Sudah berapa lama pernikahannya berjalan, lima bulankah? Yah, mendekati setengah tahun, dan dia sudah mengandung sekarang.

Sangat mustahil rasanya. Rasanya dia masih kekanakan sekali, kabur dari pernikahan, kuliah beberapa bulan, dan dalam jangka waktu secepat ini dia akan jadi seorang ibu. Yah, tentunya dia bahagia sekali.

.

.

.

Disaat semua makhluk di rumah sudah tertidur lelap, Naruto baru bisa pulang. Saat dia masuk rumah, di dalam hanya ada kegelapan karena lampu ruang tamu sudah dimatikan. Tidak ada suara atau keberisikan TV sedikitpun. Untung saja dia selalu punya kunci rumah cadangan mengingat dia selalu pulang dalam keadaan larut.

Naruto capek? Sebenarnya dia tidak terlalu capek. Pada waktu siang saat di pabrik dia punya waktu tidur sebentar, bawahannya memang menyiapkannya waktu istirahat untuk mencegah dia tidak terlalu kelelahan. Tentunya bawahan selalu berguna dalam situasi seperti ini. Kalau sore, Naruto kadang sempat keluar ke kedai ramen terdekat untuk menghilangkan kelaparan di perutnya setelah bangun tidur.

Naruto menuju ke dapur menghidupkan lampu dan mulai membuka tutup panci yang berada di atas kompor gas.

Sup udang.

Sakura sudah memasakannya. Naruto mengangkat panci itu ke atas meja makan. Di atas meja itu sudah tersedia mangkuk yang berisi nasi yang ditutupi, agar tidak tersentuh debu atau binatang yang terbang melewati.

Nasinya sudah cukup dingin. Well, ini sudah biasa bagi Naruto walau dia sudah makan sekitar jam delapan tadi dia harus tetap menghargai istrinya.

Setelah dia makan tentunya dia akan mengganti pakaian tidur. Masuk ke kamar pribadi mereka berdua tentunya sudah gelap, dan terkadang masih menyala karena Sakura mungkin lupa mematikannya.

Dilihatnya istrinya sudah tidur, senyum miring tercipta dan Naruto bergumam sendiri, "padahal dia menjanjikan sesuatu padaku pagi tadi."

Di dekatinya istrinya itu yang tidur dalam keadaan sangat tenang, dia belum begitu terlelap jauh, apa mungkin dibangunkan saja Sakura? Oh, otak nakal Naruto menggerayanginya.

"Sakura?" Naruto mulai masuk ke dalam selimut Sakura.

"Engh, Naruto kau sudah pulang?" entah sadar apa belum Sakura menggerakan mulutnya sementara matanya masih terpejam.

Naruto membelai surai pink-nya dengan sayang. Sambil merutuki pekerjaannya yang selalu menuntutnya sampai larut malam (dan terkadang tidak pulang). Namanya juga pabrik yang selalu bekerja 15-18 jam.

"Apa aku mengganggu tidurmu?" tanya Naruto dengan nada sepelan mungkin. Berharap dia tidak menganggunya padahal nyatanya memang mengganggu.

Sakura membuka matanya sebelah. "Besok aku harus bangun pagi."

Mimik Naruto tampak kesal. Lagi-lagi Sakura menolaknya. Lantas, apa dia harus merubah jadwal kerjanya agar pulang lebih awal? "Kau sudah berjanji."

Sakura tersenyum lemah. Sebenarnya dia rindu juga waktu kebersamaannya dengan sang suami. "Baiklah, tapi sebentar saja ya?" tangan Sakura menarik leher Naruto. Lagipula kegiatan ini memang sudah lama tidak dilakukannya.

.

.

.

Pagi berikutnya Sakura tentu harus bangun lebih awal dari suaminya. Hari ini pengumuman OSPEK dari kampus barunya. Dia harus siap untuk menghadiri Gladi Resik tepat waktu. Untung saja hari ini Naruto bisa mengantarnya ke kampus, karena ada beberapa kejadian kecil setiap pagi hari yang selalu menghiasi, seperti: anaknya yang mendadak bawel, atau membantu Kira menunggu bis sekolah, bahkan harus menumpahkan kopi di atas meja makan.

Terkadang kepalanya harus berdenyut dengan semua halangan yang dapat menghambatnya meraih Strata satu dengan lancar.

"Selamat pagi!" seorang gadis berambut pirang panjang menyapanya, kemudian gadis itu duduk di sampingnya.

"Ah, pagi." Balas Sakura. Kebetulan kursi di sampingnya masih kosong.

"Perkenalkan namaku, Shion. Senang bertemu denganmu."

"Ah, aku Sakura. Senang juga bertemu denganmu." Sakura senang hari pertamanya di kampus dia sudah mengenal seseorang, berarti kemana-mana dia punya teman sekarang.

Shion membuka obrolan lagi karena gladi resik OSPEK belum mulai juga, padahal hari sudah jam setengah delapan, bukankah jadwal Gladi Resik seharusnya jam tujuh tadi?

"Mengambil jurusan apa?"

"Hm, jurusan kedokteran. Kalau kamu?" Sakura agak meninggikan suaranya karena semakin lama Aula ini semakin ribut. Sudah banyak calon mahasiswa yang memenuhi setiap deretan kursi.

"Wah, sama ya? Kalau begitu mohon kerja samanya!" gadis itu membungkukan badannya.

"Wah, senangnya. Ngomong-ngomong kamu tinggal dimana?"

"Rumahku tidak jauh dari sini. Kalau ada waktu mampirlah."

"Baiklah." Hari ini Sakura yakin, harinya sangat menyenangkan.

.

.

.

Semenjak kembali pindah ke rumah Sakura, adalah sesuatu yang wajib untuk mengunjungi kedua orang tua Naruto dalam seminggu sekali, atau sebulan dua kali. Naruto sengaja pulang cepat dan menyerahkan pengawasannya kepada kaki tangan terpercayanya.

Sebelum ke rumah orang-tuanya, Naruto menjemput Sakura terlebih dahulu. Sebelumnya mereka sudah membuat janji untuk berkunjung ke rumah orangtuanya. Sakura juga sudah membeli beberapa buah-buahan untuk oleh-oleh mertuanya. Sakura berinisiatif mengajak Kira yang baru saja pulang dari les. Mau tak mau bocah itu menurut saja.

"Selamat malam, ibu." Naruto langsung masuk ke dalam diekori dengan Sakura yang menggendong Shinaciku dan Kira yang berjalan menuntut tantenya. Ini pertama kalinya Kira diajak kemari, sebelumnya dia memang tidak tinggal di rumah neneknya.

"Ah, Naruto, Sakura!" Ibu yang menyadari ada tamu masuk ke rumahnya langsung turun ke ruang tengah. Dia langsung mencium cucu pertamanya yang ada di dalam gendongan.

"Mengapa minggu lalu tidak kemari?" tanya ibu.

"Sakura selalu kelelahan sepulang dari OSPEK-nya, " Naruto menjawabnya disertai cengiran Sakura yang merasa tidak enak.

Pandangan ibu mengarah ke Kira. "Ini anak Sasori bukan?"

Kira membungkukan badan sebagai salam perkenalan. Dalam hal seperti ini tentu saja sudah dipelajarinya di sekolah internasionalnya. "Selamat malam, ibunya paman Naruto."

"Wah, anak yang pintar." Kushina menggosok kepala Kira dengan ekspresi takjub. Dia tidak menyangka dapat bertemu bocah sesopan dengan segala etiket yang sudah diketahuinya. "Jangan panggil ibunya paman Naruto. Panggil ibu saja."

"Apa?" Naruto tidak percaya. Ibunya selalu merasa muda untuk dipanggil nenek. Nyatanya memang dia sudah menjadi seorang nenek sih. "Lalu, anaku nanti manggil ibu apa?"

"Itu nanti akan kupikirkan."

Kemudian mereka berjalan menuju tangga dan naik ke lantai dua.

"Apa ayah sudah tidur?" Naruto bertanya karena ayahnya tidak keluar menyambutnya seperti biasa.

"Tidak, dia sedang bermain playstation."

"Apa?" Naruto terlonjak kaget. "Dia menyuruhku banting tulang di pabriknya, sementara dia bersantai bermain game?"

"Sudahlah, Naruto. Kau tidak usah sebawel itu." Sakura mencibir.

"Jadi, siapa yang kalian bilang bersantai bermain game?" Minato yang mendengar suara yang cukup keras itu berteriak dari dalam kamar. Detik berikutnya dia keluar dengan cengiran khasnya. "Wah, aku sudah rindu dengan cucuku ini."

.

.

.

Sakura sebenarnya ingin ke Yogurt Center untuk makan siangnya bersama Shion sepulang kuliah pertamanya hari ini. Teman barunya itu mengerti dan ikut pergi ke sana. Restoran itu menjual berbagai macam yogurt dan mie rebus Jepang dengan varian rasa yang pasti mengandung lemak serendah mungkin. Shion bukan gadis yang mudah gemuk, dia tidak masalah kalau harus makan nasi plus sushi sekarang juga. Tapi, teman pinknya itu tidak setuju dengan alasan badannya yang gampang melar itu.

Melihat Shion yang belum memutuskan pesanannya, Sakura merasa tidak enak. Sepertinya gadis itu tidak suka dengan pilihan restorannya.

"Kalau kau tidak suka kita pindah ke restoran lain saja."

Shion mengalihkan perhatiannya dari daftar menu. Kemudian dia menggeleng. "Bukan begitu, aku hanya tidak suka yogurt saja. Aku bisa mengeluarkan semua isi perut sehabis mengkonsumsinya."

Sakura semakin merasa tidak enak. "Habis makan di sini kita mampir lagi saja ke restoran lain kalau kau mau."

"Ahahah, tidak usah. Aku akan pesan sepertimu saja. Tapi, minumnya aku ingin air putih."

Setelah pelayan itu mencatat pesanan mereka berdua. Barulah ia pergi.

"Mengapa kau takut sekali gemuk, Sakura?" Shion membuka obrolan kembali.

"Entahlah, setelah melahirkan berat badanku sangat mudah bertambah."

Kalau saja saat itu Shion sedang makan ramen level 99 mungkin dia harus segera dilarikan ke rumah sakit terdekat, karena tersedak mendengar perkataan Sakura. "Jadi, kau sudah menikah?"

"Memangnya tidak kelihatan?"

Shion menatap Sakura mantap. Pandangannya seperti ingin memasuki ke dalam tubuhnya. Mencari kejujuran dari setiap perkataan dengan apa yang dilihatnya sekarang. "Kau seperti masih gadis."

"Benarkah?" wajar Sakura berbinar cerah. Jadi, program aturan makan sehatnya tidaklah sia-sia.

"Umurmu berapa?" tanya Shion meyakinkan. Pasti lebih tua darinya.

"Dua puluh tahun."

"Ah, masih muda aku ya?" Shion melebarkan bibir mungilnya.

"Paling juga beberapa tahun," gerutu Sakura karena merasa tak suka dengan perkataan Shion.

Sakura dan Shion tertawa bersama. Shion tidak menyangka teman barunya ini sudah menikah. Pantas saja ada cincin tersemat di jari manis kiri Sakura. Dan Sakura juga merasa—untuk apa juga pernikahannya ditutupi lagi seperti kemarin. Itu tidak masuk akal.

Selagi mereka berdua bercanda, mata Sakura menangkap sesuatu yang sangat familiar dulu. Seseorang itu adalah orang yang sangat ingin ditemuinya hingga saat ini. "SASUKE!" tanpa sadar Sakura berteriak melupakan beberapa detik Shion yang keheranan melihat ekspresinya.

Siapapun yang mendengar teriakan Sakura akan menoleh, apalagi yang punya nama pun segera menyadarinya. Ah, dia masih seperti dahulu. Wajahnya datar tidak ada ekspresi. Tidak seperti Sakura yang saat ini tengah merasakan dingin di sekitar telapak tangannya.

Laki-laki berambut dongker itu berjalan mendekat ke arah meja Sakura. Hatinya tetap datar biasa saja. Ini bukanlah hal yang kebetulan untuk bertemu cinta lamanya. Mungkin takdirlah yang mempertemukan mereka.

Sakura berusaha merubah mimik mukanya menjadi hal yang biasa.

Shion menoleh ke arah pemuda tampan yang sangat langkah itu. Dia sangat terlihat acuh dan tampak wajah arogan menyelimutinya.

"Apa dia suamimu, Sakura?"

.

.

.

Seperti istirahat siang sebelumnya, kali ini Naruto tidak membawa bento juga. Dia maklum istrinya atau bahkan ibu Sakura selalu sibuk ketika pagi. Jadi, dia sudah biasa makan siang di luar bersama bawahannya atau pergi sendiri mencari santapan. Terkadang juga Naruto harus memesan via telepon dari restoran luar. Sering kali pesanannya itu tidak datang tepat waktu atau bahkan tidak sesuai yang diinginkannya. Itulah sebab yang membuat Naruto malas sekali untuk tetap diam saja di dalam ruangan.

"Apa anda mau keluar?" tanya bawahan Naruto saat dilihatnya bosnya itu keluar dari ruangan.

"Ya, begitulah." Naruto merasa sedikit iri karena Konohamaru selalu dibawakan bekal. Niatnya yang ingin mengajak Konohamaru keluar sudah terbatalkan.

"Apa anda akan menelpon istri anda?"

"Kurasa dia sedang bersama teman-temannya sekarang, biar aku pergi sendiri saja."

"Hm, aku dengar di sekitar sini ada restoran yang enak dan rendah lemak."

Naruto tertarik karena mendengar kata rendah lemak itu. "Oh, apa nama restorannya?" siapa tau ini menjadi alternatif restoran ketika mengajak Sakura keluar.

"Yogurt Center."

.

.

.

Shion bergeser ke kursi sebelahnya mempersilahkan Sasuke duduk. Dari bahasa tubuh Shion dan mata Sakura, pemuda berambut dongker itu duduk di sana.

Shion memandang Sakura dengan tatapan, 'siapa dia? Kalau bukan suamimu kenalkan aku?'

Diam-diam Sakura menghela napas. Siapa sih yang tidak tertarik dengan Sasuke?

"Eng, Sasuke, ini temanku Shion." Sakura menoleh ke arah Shion. "Shion ini Sasuke teman sekolahku SMA."

Shion bernapas lega ternyata di sampingnya ini bukan suami Sakura. Gadis berambut kuning itu menjulurkan tangan tapi, Sasuke hanya meliriknya.

"Salam kenal," ujar Sasuke biasa.

"Salam kenal. Aku teman kuliah Sakura." Shion menarik tangannya kembali karena merasa tidak dihargai. Tapi, karena ketampanan Sasuke dia maklum. Kemudian gadis itu berdehem sendiri sambil merapikan rambut. Dia hanya salah tingkah.

"Jadi, kau sudah pindah kuliah?" Sasuke sudah mengalihkan pandangannya lagi ke arah Sakura.

"Yah, begitulah. Pasti kau sudah tahu kami di-DO."

Sasuke tahu kata 'kami' yang diucapkan oleh Sakura termasuk siapa saja. "Oh, begitu."

Seorang pelayan membawakan makanan pesanan Sakura dan menaruh di atas meja sana.

"Ah, kau sudah memesan makanan belum? Pesan saja aku yang traktir!" mumpung pelayan ada di depan mereka, makanya Sakura menawari Sasuke.

"Aku sudah memesan kopi."

"Baik, nanti saya antarkan kopinya kesini." Setelah pelayan itu membungkuk mereka kembali lagi ke arah belakang.

"Bagaimana dengan kuliahmu?" Sakura membuka obrolannya dengan Sasuke kembali.

Sementara Shion sibuk makan mienya. Sesekali dia melirik ke arah Sasuke. Untung saja ada semangkuk mie rebus Jepang rasa ikan Tuna untuk membantu kesibukannya.

"Ah, aku tahu pasti IPK-mu empat koma nol-nol kan?" tebak Sakura sebelum Sasuke sempat menjawabnya.

"Yah, begitulah."

"Wah, kau memang pintar sekali, Sasuke!" kemudian Sakura kembali menyendokan mie ke dalam mulutnya. Sakura menyadari sesuatu ada seseorang yang tengah berdiri di antara mereka. Itu bukan pelayan.

"Apa kabar, Sasuke?"

"Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja tentunya."

Sakura hampir menyemburkan mie dari dalam mulutnya karena melihat Naruto tengah berdiri di sini. Kemudian pandangan Naruto menatap Sakura yang mengerti maksudnya untuk bergeser ke samping memberikannya tempat duduk.

"Apa kalian sudah lama di sini?"

"Tidak juga." Sasuke menjawab datar. Seorang pelayan membawakan pesananya yaitu kopi rendah lemak yang pastinya hanya terkandung sedikit gula. Sasuke teringat akan sesuatu. "Ngomong-ngomong ponselmu Sakura, masih kusimpan."

Sakura teringat saat kejadian waktu itu—saat Sasuke menyita ponselnya. Diam-diam dia menghela napas. "Tak apa, kau boleh menyimpannya."

Shion menatap Sakura dengan tatapan bertanya, 'laki-laki berambut pirang ini, suamimu?'

Sakura mengangguk seakan mengerti bahasa isyarat dari temannya itu. Disitu Sakura malah merasa gugup. Mengapa ini bisa terjadi? Apa ini yang dimaksud dengan kebetulan?

"Aku tidak menyangka bisa bertemu dengan kalian di sini," ujar Naruto.

"Ya, aku juga tidak menyangka bisa begitu." Balas Sasuke.

"Kalau begitu, mengapa kau bisa ke Tokyo?"

"Aku sedang mengunjungi kakakku di sini. Sekarang aku juga sedang menunggu istrinya belanja di depan restoran ini."

Sakura mengangguk sendiri. Ternyata itu tujuannya kesini. Dari tadi dia ingin menanyakan itu. Sekarang Sakura dan Shion hanya diam saja, membiarkan Sasuke dan suaminya mengobrol.

"Oh ya, Sasuke. Aku minta maaf atas kejadian kemarin." Rintik hujan, tangisan Sakura, pukulan di wajah Sasuke terberseit di pikiran Naruto. Tidak seharusnya saat itu dia memberikan hadiah tinjuan mentah kepada pemuda itu.

Sakura pun lantas teringat juga.

"Aku sudah melupakannya." Sasuke menyesap kopinya lagi, merasakan pahit manis rasa cairan hitam itu.

"Dan soal perpisahan SMA kemarin. Aku..." Sakura membuka suaranya. "Aku hanya bisa meminta maaf." Sakura menundukan kepalanya dengan sangat dalam. Dia beruntung bisa bertemu dan mengucapkan kata maaf secara langsung.

Sasuke hanya diam saja. Ah, dia sudah melupakan hal itu. Kesibukannya dan waktu lama yang tidak bertemu Sakura-lah yang sudah menghapus kemarahan itu. Sasuke hanya menghela napas.

"Aku tidak menyangka dengan semua ini. Tapi, well. Ini kenyataan." Sasuke melirik arloginya menandakan dia harus segera pergi dari sini. Dia juga sudah merasakan getaran ponsel di saku celananya—mungkin itu kakaknya yang mencarinya.

"Baiklah, ini hari terakhirku di Tokyo. Kurasa kakaku menyuruhku keluar dari sini." Sasuke berdiri dari duduknya. "Oh iya, kalau ada waktu silahkan berkunjung ke Konoha. Walau bagaimanapun itu adalah tempat masa kecilmu." Kali ini pandangan Sasuke menghadap Sakura kembali.

Sakura tersenyum hangat. "Terima kasih banyak."

Hanya itu yang bisa dijawab oleh Sakura untuk mengantar kepergiannya sampai menghilang dari balik pintu restoran ini. Sekali lagi Sakura berterima kasih pada Tuhannya telah dipertemukan dengan mudah pada laki-laki itu.

Naruto menoleh menghadap sang istri yang masih terdiam menatap pintu restoran. Kalau boleh jujur, di sini dia agak cemburu. Tapi, untuk apa cemburu melihat pemandangan itu. Mereka hanya berteman sekarang, dan dirinya harus percaya.

.

.

.

"Aku pulang!"

Dari ruang TV Sakura bisa mendengar suara Naruto. Dilihatnya jam dinding yang tergantung di atas televisi itu. Masih jam delapan. Tumben-tumbennya suaminya sudah pulang. Sakura bangun dari duduknya dan melepaskan remote TV yang berada di tangannya, untuk menyambut kepulangan si kuning suaminya.

"Okaeri." Balas Sakura setelah berada di hadapan Naruto. "Tumben bisa pulang cepat."

"Entahlah aku hanya merasa lelah." Naruto melangkah menuju ke dalam.

"Mau makan atau mandi dulu?" Sakura mengikuti Naruto menuju ke dalam.

"Mau makan dulu."

"Heh? Tidak baik habis makan nanti mandi!"

Naruto berbalik menghadap istrinya. "Aku sudah lapar, Sakura-chan."

"Mandi dulu saja!"

"Bukankah kau yang menyuruhku memilih."

Akhirnya Naruto berjalan ke arah kamarnya yang berada di lantai dua. Sementara itu Sakura terkikik sendiri. Bertanya seperti itu, adalah hal yang wajar untuk di lontarkan kepada pasangan masing-masing. Sebenarnya Sakura hanya mempraktekan saja apa yang sudah diketahuinya. Sebabnya dia jarang sekali dalam situasi seperti ini—saat Naruto pulang cepat dan dia bisa menyambutnya.

.

.

.

Seusai menemani suaminya makan malam, Sakura masuk ke dalam kamar bayinya. Karena dilihatnya Shinaciku masih tertidur lelap, Sakura menutup kembali kamar kecil yang dipenuhi beberapa mainan dan poster warna-warni yang menghiasi dindingnya.

"Selamat tidur." Setelah pintu menutup Sakura berbalik masuk ke dalam kamar. Dilihatnya Naruto tengah duduk di tengah ranjang mereka.

"Shinaciku sudah tidur?"

"Iya." Kemudian Sakura menutup pintu kamar mereka. Si rambut pink mendekat ke sisi ranjang, lalu duduk di sana.

Naruto mendekat ke arah istrinya. Mendaratkan dagunya ke atas salah satu bahu Sakura, sementara tangan kanannya memeluk mesra pinggang istrinya. "Jangan bilang kau ingin segera tidur." Bisiknya tepat di telinga Sakura.

Semua pasangan normal pasti mengerti dengan maksud Naruto. Tidak bisa dipungkiri muka Sakura sedikit memerah. "Rencananya sih begitu."

Detik kemudian Naruto menarik dirinya, melihat itu Sakura berbalik ke arahnya. Ada apa dengannya. Apa dia marah?

"Lain kali kalau bertemu dengan Sasuke—ah, atau sedang makan siang dengan teman laki-lakimu, kau harus memberitahuku." Raut wajah Naruto berubah drastis menjadi serius.

Sakura menangkap sesuatu dari sikapnya barusan. "Memangnya kenapa? Kau cemburu?"

"Wajar saja kan? Oh iya, untung saja Konohamaru menyuruhku ke restoran... apa tadi?"

"Yogurt Center?"

"Ya, benar. Kalau tidak..." Naruto menggantungkan kalimatnya.

"Kalau tidak kenapa?" Sakura mulai malas dengan percakapan ini.

"Mungkin Sasuke akan mengajakmu pergi."

Sakura mulai merasa aneh dengan Naruto. Pikirannya entah melayang kemana. "Aku bukan wanita seperti itu, bodoh!"

"Itu bisa saja terjadi!"

"Mana ada orang yang mau melarikan wanita yang sudah punya anak?" Sakura sudah mulai geram. "Otakmu sudah kau taruh dima—"

Sakura tidak bisa melanjutkan kata-katanya lagi karena Naruto telah menekan bibirnya ke mulut itu, menguncinya agar tidak bersuara cukup keras. Sakura tidak bisa mengajukan protes karena Naruto begitu menikmatinya. Kecemburuan Naruto terasa mengalir melalui tekanan bibir ini.

Naruto melepaskan ciumannya. "Sssttt... nanti bayi kita terbangun."

Muka Sakura memerah merasakan deruan napas Naruto yang begitu dekat. Beberapa detik mereka berdua saling pandang. Mulut Sakura ternganga karena barusan melewati ciuman yang tidak direncanakan. Ia merutuki dirinya. Selalu saja ternganga kalau Naruto sudah menciumnya dadakan.

Susah payah Sakura menelan ludahnya. Ia berkata lamat-lamat. "Lain kali aku akan memberitahumu jika makan siang bersama teman kuliahku, tenang saja." Tangan Sakura merayapi dada bidang suaminya sampai terulur melingkari leher Naruto. "Teman pria di kuliahan, kan?"

Naruto tersenyum hangat. Dilingkarkannya pula lengannya ke pinggang Sakura. "Terimakasih, istriku."

Hari-hari pernikahan ini baru terasa hidup setelah cinta sudah tumbuh berkembang. Bercerai bukanlah sebuah jalan yang tepat jika sebuah pernikahan itu terpaksa. Kita hanya butuh cinta, dan jatuh cinta itu tidak sulit, kan?

.

.

.

.

.

END

.

.

.

.

.

*Vinchyssoisse : hidangan dari Prancis, sangat terkenal. Masakan berkelas, tapi tampilannya sederhana kayak bubur kentang.

.

.

.

Author POV :

fufufu... inilah akhir dari cerita author yang gaje ini. Semua ini gak akan selesai kalau gak ada readers. I love you all readers. Oh iya, ada flashback di sini tapi tidak aku tuliskan Flashback mode on, atau Flashback mode of.

Ketika aku membuka kotak review dan mendapati beberapa yang menginginkan ini untuk segera diselesaikan disitu semangat aku muncul. Yaah, walaupun kalian hanya menulis 'segera lanjutkaaan' aja. Kadang aku senyam-senyum gaje sendiri membacanya.

Curhat sebentar ya, boleh ya boleh *maksa* kemarin aku down banget liat ending Naruto (udah lama baka!) yaaa, setelah beberapa bulan atau mau mendekati setahun kali yak? Aku baru sadar, ngapain juga down, kecewa, ngambek, manyun, ya gak? Jadi mau gak mau aku coba nonton Naruto the Last (padahal penasaran) sama ngelanjut baca Naruto Gaiden. Dan kesan aku adalaaah? Ah, aku gak mau ngebash deh XD

Readers: woyy lo sendiri yang mulai duluan!

Oh iya, di chapter sembilan kemarin kalo kalian sudah menyadari, sebenarnya di situ Sakura sudah hamil :D makanya pas chapter 11 perutnya udah gede aja kan. Daaan, janji aku dichapter ini mau ada lahiran Sakura kaaan. Tapi, karena ngedown kemarin (alesan) aku melupakan ide awal ending fik ini dan mengganti dengan ide yang baruuuu XD maaf yaaa buat semuanya.

Sekali lagi, aku mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya telah memberikan perhatian kepada cerita aku yang... ah, sudahlah (aku tau ini lack of conflict alias gak jelas)

.

.

.

.

Ok, salam hontou ne arigatou.

By Amai pacar Levi mantannya Gaara XD